Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warna Untuk Pelangi
MENU
About Us  

Usai membaca karya adiknya, Reva memutuskan untuk mengirim naskah tersebut pada penerbit. Tanpa sepengetahuan Revi sendiri.

Tidak membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mendengar kabar baik dari pihak penerbit. Reva pun mengabarkan berita tersebut sebagai kejutan untuk adiknya.

Awalnya Revi kesal karena Reva membuat keputusan sendiri akan karyanya. Tapi kekesalan itu tidak bertahan lama, karena bagaimana pun Reva hanya ingin “menolong” Revi agar dunia mengetahui bakatnya.

Tika, nama editor yang tertarik dengan karya Revi pun tampak antusias menjalani kerja samanya dengan cewek itu. Menurut Tika, Revi merupakan penulis muda yang patut diapresiasi.

“Keluarga dan teman-teman pasti bangga sama kamu!” ucap Tika, antusias.

Revi tersenyum. “Makasih. Tapi saya justru nggak mau teman-teman saya tau, Mbak.”

Tika mengernyit. “Lho, kenapa?”

Revi hanya menggeleng kecil.

Tika tidak memaksa. Ia justru tersenyum manis menanggapi. “Kalau gitu, kita butuh nama pena. Kamu udah punya?” tanya Tika. Karena saat naskah Revi sampai ke penerbit, Reva hanya mencantumkan nama lengkap Revi, bukan nama pena cewek itu.

Revi berniat menggeleng karena ia memang belum memiliki nama pena yang sesuai dengannya. Namun, tiba-tiba wajah Reva yang sangat mirip dengannya itu, terlintas di benaknya. Membuat Revi tersenyum manis dan mengangguk pada Tika. “Udah, Mbak.”

“Oya?” respons Tika, lantas menopang dagu, antusias. “Apa namanya?”

“Pelangi…” ucap Revi, menggantung. “Harus dua kata nggak sih?”

Tika terkekeh. “Nggak. Tapi, nama Pelangi itu udah biasa. Kalau nggak salah, ada juga deh penulis yang awalan nama penanya itu Pelangi. Jadi, kalau bisa jangan Pelangi doang. Cari yang unik,” sarannya.

Revi manggut-manggut. Memikirkan ucapan Reva dan alasan mengapa kakaknya itu sangat menyukai pelangi. Katanya, pelangi itu penuh warna. Berwarna seperti Revi yang absurd, alias memiliki macam-macam warna.

Terkadang, cewek itu bersikap ceria seperti warna kuning. Terkadang, cewek itu bersikap dingin seperti warna biru. Terkadang, cewek itu bersikap hangat seperti warna oranye. Terkadang, cewek itu sangat bergairah seperti warna merah. Terkadang pula, cewek itu tampil misterius di depan dunia, seperti warna hitam.

Tapi pada dasarnya, bagi Reva, Revi tetap adiknya yang polos. Sebesar apa pun dunia luar berusaha mewarnai hidup adiknya, Revi tetaplah Revi di depan keluarganya. Sebanyak apa pun tinta mewarnai seluruh permukaan, dasar sebuah kanvas tetaplah putih.

Revi meyakinkan dirinya sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “Putih. Pelangi Putih.”

***

Lagi-lagi, Revi tidak masuk sekolah. Anya bilang, mamanya Revi telah meminta izin pada guru dengan menelepon pihak sekolah dan mengatakan bahwa Revi sedang sakit. Ia pun tahu hal tersebut dari guru yang bersangkutan, bukan Revinya sendiri.

Di hari sebelum Revi sakit, Anya memang merasakan ada yang aneh pada Revi. Sahabatnya itu jadi lebih pendiam. Revi bahkan sering ketangkap basah tengah melamun oleh guru yang berbeda, di jam yang berbeda pula. Membuat Anya menaruh iba pada telinga Revi saat itu pasti sudah melepuh kepanasan.

Anya ingin tahu, hal apa yang mengusik pikiran Revi hingga sahabatnya itu terlihat tidak bersemangat sepanjang di sekolah. Revi bahkan tidak akan bersuara jika Anya tidak memulai atau memancingnya.

Oleh karena itu, Rain memutuskan untuk mengunjungi rumah Revi hari ini juga. Ia tidak tahan untuk mengetahui apa yang terjadi pada cewek itu. Karena entah mengapa, perasaannya mengatakan suatu hal yang bersangkutan dengan cowok asing kemarin.

Diam-diam Rain berterima kasih pada Affan yang pernah menyuruh Rain mengantar Revi ke rumah cewek itu. Meskipun hanya sampai di depan gang, tapi Rain tahu yang mana rumah Revi. Hmm, nggak tahu-tahu banget sih. Rain cuma sok tahu aja.

Rain tersenyum saat seorang ibu-ibu yang tinggal di gang yang sama, keluar dari rumahnya dengan sapu lidi di tangan. Baru ibu itu akan menyapu halaman luar rumahnya, Rain berdeham.

“Permisi. Maaf ganggu. Ibu tau rumahnya Revi nggak?” tanyanya, sopan.

Ibu itu tertegun sebentar, sebelum akhirnya tersenyum. “Eleh eleh, kasep pisan ey. Kirain nyariin anak saya, eh taunya nyari neng Repi.”

Rain tersenyum lebar. “Iya. Ibu kenal Revi?”

Ibu itu lantas menggeleng. “Teu.

Rain langsung berjengit mendengarnya. Cowok itu meringis kecil, menahan kekesalannya. “Ng, yaudah deh, Bu. Makas—”

“Cari siapa?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah ibu di hadapannya. Rain menduga jika cowok itu adalah anaknya ibu tersebut.

“Revi, Mas. Kenal nggak?” tanya Rain.

“Oooh, adeknya si Reva, ya?” balas cowok itu membuat Rain mengernyit, bingung. Mana ia tahu seluk beluk keluarga Revi? “Kenal sama Kakaknya gue mah. Itu tuh, rumahnya yang dicat warna abu-abu. Yang pagarnya warna hitam.”

“Oh, si Neng Pina?!” sahut ibu itu. “Atuh, Ibu mah kenal adiknya si Repa, teman kecilnya si Jodi itu. Cuma Ibu nggak ngeh tadi kalau yang kamu cari si Repina.”

“Revina, Bu. Pamali gonta-ganti nama orang,” tegur cowok yang ternyata bernama Jodi.

Rain hanya tertawa kecil menanggapinya. “Yaudah Bu, Mas, makasih infonya. Saya permisi. Punten,” pamit Rain sopan, lantas berlalu meninggalkan si ibu yang terpesona dengan aksen Sunda cowok itu.

Begitu sampai di depan rumah bercat abu-abu itu, Rain lantas mengetuk-ngetuk pagar dengan koin seribuan yang ia temukan dikantungnya. “Permisi…” ucapnya lantang.

“Maaf aja, Mas!”

Rain langsung tercekik mendengar sahutan tak lazim yang diterimanya. “Ng… Saya mau bertamu. Bukan minta sumbangan apalagi ngemis!” balasnya sewot.

Pagar hitam di depan Rain cukup tinggi, nyaris sejajar dengan bahunya. Mungkin karena seragam sekolah yang membalut tubuhnya itu tertutupi oleh pagar, makanya ia disangka bukan ingin bertamu.

Terdengar kunci pintu diputar, sebelum akhirnya pintu kayu itu terbuka. Menampakkan seorang wanita yang lumayan mirip dengan Revi. Rain menduga jika wanita itu adalah ibunya Revi dan… Reva? Entahlah. Apa kakak Revi juga mirip dengan cewek itu? Dan Rain semakin penasaran dibuatnya.

“Oh, maaf,” ucap wanita itu menyesal, lantas membuka gembok pagar. “Temannya Revi, ya?” tebaknya begitu ia menyadari seragam sekolah yang membalut tubuh pemuda di depannya.

Rain mengangguk dan menyalami tangan wanita itu dengan sopan. “Iya, Tante. Saya ke sini mau jenguk Revi. Dia sakit apa, Tante?” tanyanya.

Wanita itu tidak menjawab. Marisa hanya mempersilahkan Rain untuk masuk dan duduk di ruang tamu. “Duduk dulu, Nak…” ucap Marisa, menggantung.

Seolah tahu pikiran wanita itu, Rain langsung membungkuk dalam dan memperkenalkan namanya. “Rain, Tante.”

“Rayin?”

“Iya. Rain. Tulisannya nggak pakai Y tapi,” jelasnya.

“Oh, Rain.” Marisa terkekeh menanggapinya. Ia cukup terhibur dengan sikap Rain yang terkesan agak polos dan sangat sopan. “Yaudah. Nak Rain duduk dulu, ya. Saya buatkan minuman sebentar.”

“Eh, nggak usah repot-repot, Tante,” cegah Rain.

Marisa mengibas tangannya. “Nggak. Sebentar ya.”

Mau tidak mau, Rain tersenyum. Kehadiran Marisa membuat Rain merindukan sosok yang akhir-akhir ini sibuk dan tidak punya cukup waktu untuk menghabiskan akhir pekan bersama Rain dan Raya. Siapa lagi kalau bukan ibundanya?

Tidak lama kemudian, Marisa kembali dengan segelas teh hangat di tangannya. Rain hanya berharap semoga minuman itu manis dan bukan tawar.

“Nih, diminum dulu,” ucap Marisa lantas tersenyum. “Semoga gulanya pas ya,” lanjutnya seolah mengetahui isi pikiran Rain.

Rain tersenyum malu-malu sebelum akhirnya menyesap teh hangat tersebut.

“Nak Rain teman sekelasnya Revi?”

Usai meletakkan kembali gelas di atas meja, Rain menggeleng kecil. “Bukan, Tante. Saya teman main pas istirahat.”

“Hmm?” Marisa mengernyit bingung. “Gimana?”

Rain menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Duh! Teman apa sih sebenarnya Rain bagi Revi?

Pada akhirnya Rain menjawab, “Ng… kami suka bareng kalau istirahat.”

“Oh,” balas Marisa seraya manggut-manggut.

Rain memainkan jemari di pangkuannya seraya melirik Marisa dari balik bulu mata. Hingga keheningan tercipta seperti sekarang, Marisa tidak juga mempersilahkan Rain untuk menjenguk Revi.

Rain pun berdeham. “Hmm… saya boleh jenguk Revi sekarang nggak, Tante?” tanyanya, sesopan mungkin.

Marisa tersenyum. “Maaf mengecewakan Nak Rain, tapi Revi lagi nggak bisa diganggu saat ini.”

Rain tertegun. “M-maksudnya?”

“Saya yakin, Nak Rain mengerti maksudnya.” Marisa mengembuskan napas sejenak. “Saya mempersilahkan Nak Rain duduk di sini karena saya nggak mau berlaku nggak sopan pada tamu dengan mengusir Nak Rain. Lagipula, niat Nak Rain sangat baik. Meskipun saya belum bisa mempertemukan Nak Rain dengan Revi.”

“Emangnya kenapa, Tante?” tanya Rain, kecewa.

Marisa tidak menjawab alasannya. Wanita itu hanya kembali tersenyum dan mengatakan, “Jangan khawatir, Revi nggak sakit. Dia cuma lagi nggak ingin ditemui siapa pun.”

Rain menunduk. Kalau tahu begitu, untuk apa dirinya membuang-buang waktu kemari? Bukan hanya Revi, Rain juga gemas dengan Marisa dan ingin menggigit wanita itu. Tapi tidak mungkin! Rain bisa dosa besar!

Marisa menatap rambut tebal Rain yang tengah menunduk dengan tatapan hampa. Ia tidak mungkin membiarkan Rain bertemu dengan Revi saat ini. Ia tidak mungkin membiarkan cowok itu melihat keadaan Revi yang sedang jauh dari kata baik-baik saja.

Marisa tidak ingin Revi kehilangan teman sebaik Rain. Karena saat ini, Revi sangat berbahaya bagi siapa pun. Termasuk Marisa, ibunya sendiri.

***

Usai mengantar Rain sampai ke depan rumah, Marisa bergegas masuk ke dalam dan mengunci pintu. Wanita itu terdiam saat suara barang pecah kembali terdengar. Diam-diam ia bersyukur karena keributan itu kembali mewarnai atmosfer rumahnya setelah Rain pamit pulang.

Marisa menatap nelangsa pintu kamar Revi. Kembali dirinya tersentak saat mendengar bunyi benda yang dibanting kuat-kuat dari dalam.

Ribuan kali Marisa meyakinkan Revi jika semua yang terjadi bukanlah kesalahannya. Tapi Revi tidak kunjung bisa memaafkan dirinya sendiri.

Marisa terduduk di sofa yang ia letakkan di depan kamar Revi. Sudah berhari-hari ia tertidur dan beristirahat di sana. Bukan di kamarnya. Ia tidak ingin lengah. Marisa tidak ingin terlambat sedetik pun jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Revinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Manuskrip Tanda Tanya
4739      1528     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
The Last Cedess
837      560     0     
Fantasy
Alam bukanlah tatanan kehidupan makroskopis yang dipenuhi dengan makhluk hidup semata. Ia jauh lebih kompleks dan rumit. Penuh dengan misteri yang tak sanggup dijangkau akal. Micko, seorang putra pekebun berusia empat belas tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari misteri alam. Semua bermula dari munculnya dua orang asing secara tiba-tiba di hadapan Micko. Mereka meminta t...
Black Roses
30962      4443     3     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
The Diary : You Are My Activist
13975      2383     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Dream of Being a Villainess
1209      698     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Penantian
3325      1534     16     
Romance
Asa. Jika hanya sekali saja, maka...
Kebaikan Hati Naura
608      338     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.
Memeluk Bul(a)n
21494      3666     28     
Fantasy
Bintangku meredup lalu terjatuh, aku ingin mengejarnya, tapi apa daya? Tubuhku terlanjur menyatu dengan gelapnya langit malam. Aku mencintai bintangku, dan aku juga mencintai makhluk bumi yang lahir bertepatan dengan hari dimana bintangku terjatuh. Karna aku yakin, di dalam tubuhnya terdapat jiwa sang bintang yang setia menemaniku selama ribuan tahun-sampai akhirnya ia meredup dan terjatuh.
karena Aku Punya Papa
476      343     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
ARTURA
300      241     1     
Romance
Artura, teka-teki terhebat yang mampu membuatku berfikir tentangnya setiap saat.