Hari ini Jingga tidak tampak di langit pagiku.
Apa jingga ketakutan?
Jangan takut, percayalah aku selalu berusaha menjagamu.
???
Pagi ini matahari enggan menampakkan dirinya. Terlihat dari langit yang berubah menjadi kelabu dan menutupi cahaya matahari.
Rintik-rintik kecil mulai turun membasahi bumi. Membuat semua orang menepi untuk menghindari.
Gadis itu baru saja sampai ke tempatnya untuk menimba ilmu. Pakaian putih abu dengan timpalan jaket varsity oranyenya itu sedikit basah karena gerimis.
Dengan gerakan cepat, dia berlari hingga mencapai koridor sekolah. Dia juga tak ingin lebih basah dari ini karena ulah hujan yang bisa ia tebak akan datang sebentar lagi dengan keroyokan itu.
Padahal dulu, dia senang sekali hujan-hujanan. Menari-nari di tengah guyuran hujan sambil tertawa lepas bersama seseorang yang ia rindukan selalu.
Bahkan dia sendiri sudah lupa kapan terakhir bisa hujan-hujanan dengan begitu senangnya.
"Hei Oren!" panggil seseorang yang membuat gadis berambut kecoklatan itu menoleh untuk mencari pemilik suara nyaring itu.
Dan ditemukannya seorang gadis berperawakan tinggi semampai bak model-model di majalah dan televisi itu sedang memamerkan deretan giginya yang di behel berwarna merah muda yang sudah berdiri di dekatnya.
"Astaga Frida, nama gue Jingga bukan Oren!" Protes gadis itu.
"Tapi gue panggil Oren lo-nya nengok," bela gadis berambut curly itu sambil merapikan rambut nya yang terlihat sedikit basah. Mungkin karena gerimis yang sedang mengguyur.
"Reflek tau!"
"Yaudah sih, Jingga itu kan artinya warna oren, kaya jaket lo ini."
"Ya daripada nama lo artinya hari jum'at, horror kaya muka lo," ucap Jingga sambil melangkah pergi meninggalkan Frida yang tengah berfikir soal kata-kata yang baru saja Jingga ucapkan.
Emang Frida artinya hari jum'at?
"Itu mah friday woi, sialan lo!" teriak Frida setelah mengerti maksud dari perkataan Jingga tadi. Jingga yang kini sudah berada beberapa langkah di depan Frida terkekeh sambil terus melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Baru saja Jingga melangkahkan kakinya beberapa langkah, ia buru-buru mengurungkan niatnya karena ada sesuatu yang membuatnya tertarik saat ini.
Seseorang yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Jingga berdiri saat ini. Laki-laki yang menggunakan seragam yang sama dengannya itu sedang asik menyumpal kedua telinga dengan headset sambil terus berkutat dengan benda pipih di tangannya.
Jingga berjalan mendekati laki-laki itu dan duduk di sampingnya tanpa ijin. Dia menoleh ke arah Jingga yang saat ini tengah memamerkan deretan giginya yang rapi walaupun ada cabe nyelip di sana. /gak
"Pagi Biru," sapa Jingga.
Tanpa berniat membalas sapaan gadis itu, Biru segera berdiri lalu melangkah pergi meninggalkan Jingga yang masih menatap punggung Biru yang menjauh.
"Sabar, sabar," ucap Jingga sambil mengusap dadanya.
"Masih mau deketin Biru?" Tanya Frida yang kini sudah berdiri di dekat Jingga.
Jingga menatap gadis itu lekat. Dia berdiri dari duduknya, menarik napas dalam lalu membuangnya berat. Tanpa menjawab pertanyaan teman sebangkunya itu Jingga bergegas melangkah pergi menuju kelasnya.
***
Jingga duduk di bangkunya sambil menyimpan tas abu-oranye di atas meja. Gadis itu memang menyukai warna Jingga seperti namanya. Jingga yang tenang karena selalu di tunggu saat pagi dan sore hari. Warna indah yang selalu menjadi pengawal dan penutup hari di bumi.
Jingga merogoh kolong mejanya. Setiap pagi memang dirinya selalu melakukan itu karena beberapa bulan belakangan ini selalu ada origami warna-warni dengan berbagai bentuk berbeda setiap harinya yang bisa ia temukan di kolong mejanya.
Jingga sendiri tidak pernah tahu siapa pelaku yang sengaja memberikan origami warna-warni itu setiap hari di bawah mejanya.
Setelah merasa tangannya sudah menemukan sesuatu, gadis bermata hitam bulat itu menarik tangannya dari sana. Benar saja, origami berbentuk perahu dengan warna biru sudah berada di tangannya.
Dengan tidak sabaran, Jingga membuka kertas origami itu hingga terlihat tulisan di baliknya.
Hari ini Jingga tidak tampak di langit pagiku.
Apa jingga ketakutan?
Jangan takut, percayalah aku selalu berusaha menjagamu.
Bibir gadis manis itu tertarik untuk mengukir senyum sambil terus menatap kertas yang sedang ia pegang. Lalu Jingga memasukkan origami itu kedalam tasnya.
Sudah berapa banyak origami yang di simpannya di dalam kotak aquarium kecil bekas ikan peliharaan Ayahnya yang sekarang sudah di pindahkan ke dalam aquarium yang lebih besar itu yang sengaja di letakkan di kamarnya untuk menampung origami-origami tadi.
"Ga, lo gak mau tau siapa yang ngirimin origami tiap hari gini buat lo?" Tanya Frida yang kini sudah duduk tepat di samping Jingga.
"Mau, tapi kan kita gak pernah berhasil nemuin siapa pelakunya," kata Jingga pasrah.
Mereka sudah pernah mencari tahu siapa sang pelaku, tapi pencarian mereka tak kunjung dapat hasil hingga kini.
"Gue sih yakin pelaku nya cowok, dia pasti suka sama lo deh." kata Frida sambil memainkan ponsel pintar yang baru saja ia keluarkan dari sakunya.
Jingga terdiam. Dia juga ikut memikirkan siapa pelaku tersebut. Dan mulai menerawang siapa kira-kira kandidat yang patut dia curigai.
"Menurut gue, mending lo cari tau deh orangnya, kali aja lebih ganteng dari Biru, biar lo jangan ngejar-ngejar dia mulu yang ga pernah respons lo." celetuk Frida.
"Gue gak ngejar-ngejar ya!" Sergah Jingga tidak terima dengan perkataan temannya barusan yang menyimpulkan bahwa dia mengejar-ngejar Biru.
Jingga bukan tipe cewek seperti itu. Sungguh. Dia punya alasan sendiri untuk itu.
"Gak ngejar-ngejar tapi sibuk banget cari perhatian Biru." sindir Frida yang tetap fokus pada layar ponselnya.
"Itu karena gue--"
Jingga mendengus sebal. Perkataannya harus terhenti karena baru saja bel tanda masuk sudah berbunyi nyaring. Dan itu artinya guru akan segera memasuki kelasnya.
***
Jam istirahat sudah berbunyi beberapa menit lalu. Jingga memutuskan enggan pergi ke kantin bersama Frida. Dia lebih memilih mencari laki-laki kurus tinggi yang dikenalnya dengan nama Biru. Laki-laki itu biasanya menyendiri di taman belakang sekolah. Dengan keyakinannya itu, Jingga memutuskan untuk ke sana menemui Biru.
Dugaannya tidak meleset. Karena kini, mata bulat milik Jingga sudah menangkap keberadaan target yang dicarinya. Dengan cepat Jingga berjalan menghampiri laki-laki yang terlihat tengah menulis di bukunya.
Dengan ceroboh, kaki Jingga tersandung dan alhasil gadis itu sudah jatuh di atas tanah sambil mengaduh kesakitan.
Biru seketika menoleh ke arah suara itu dan mememukan Jingga sudah terduduk sambil memegangi lututnya. Laki-laki itu segera menghentikan aktivitasnya dengan menutup bukunya.
Biru berjalan mendekati Jingga. Kiranya akan menolong Jingga bangun, namun Biru malah melewati gadis yang tengah kesakitan itu dan meninggalkannya pergi.
Bukannya nolongin malah pergi gitu aja. Nyebelin banget orang ini ya Ampun.
"Biru!" Panggil Jingga. Yang punya namapun menghentikan langkahnya, namun tanpa membalikkan tubuhnya.
Dengan susah payah Jingga berusaha membangunkan dirinya sendiri. Nyeri di lututnya cukup membuatnya meringis. Sepertinya akan menjadi luka lebam di sana.
"Ini, dari Mama buat Tante Vio," kata Jingga setelah berusaha melangkahkan kakinya mendekat ke arah Biru.
Biru menoleh ke arah bingkisan berwarna merah marun yang di berikan Jingga. Dia meraih bingkisan itu, dan tanpa bicara apapun laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkan Jingga yang masih kesakitan karena kakinya yang memar.
***
"Aduh sakit banget Da," kata Jingga mengeluh pada sahabatnya itu.
"Ya lagian lo kenapa bisa sampai jatuh segala sih? ceroboh!" omel Frida sambil membantu memapah Jingga menuju ke kelas.
"Orang kaya gitu yang masih lo kejar? Lo jatuh aja dia gak peduli Ga," kata Frida mendumel.
"Dia punya alasan cuek sama gue." bela Jingga
"Apa alasan nya? Kasih tau gue!"
Jingga terdiam. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Frida barusan. Dia bimbang, bingung harus menjawab apa. Bukan karena dia tidak tahu alasan Biru acuh tidak acuh padanya. Hanya saja banyak yang Frida tidak tahu. Ingin Jingga memberitahu, tapi harus dari mana?
"Kan lo diam, udah lah Jingga, jangan nyusahin diri sendiri," kata Frida seraya terus memapah teman sebangkunya itu.
Setelah sampai di dalam kelas, Frida membantu Jingga duduk perlahan ke bangkunya.
"Eh kok ada obat merah di meja lo?" Tanya Frida mengambil benda berwarna kuning itu dari atas meja beserta kapasnya.
Jingga mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu. Lalu dengan serempak mengedarkan pandangan ke sekitar. Berharap menemukan seseorang yang sudah menyimpan obat merah itu.
Pencarian mereka berhenti tepat di bangku tengah yang di duduki lelaki berkaca mata tebal itu.
"Eh Joni, lo tau gak siapa yang simpan obat merah di sini?" Tanya Frida.
"Gak tau, gue juga baru datang," jawabnya.
Jingga dan Frida saling tatap kebingungan. Siapa pelaku yang sudah menyimpan obat merah beserta kapasnya itu di meja. Apa maksud orang itu? Sepertinya dia tahu kalau Jingga sedang terluka saat ini.
"Benarkan yang gue bilang, orang itu pasti ada di sekolah kita dan suka sama lo Ga," kata Frida sambil menuangkan obat merah pada kapas lalu menempelkannya pada lutut Jingga yang terlihat sudah mulai membiru.
Jingga masih berdiam karena sibuk dengan pikirannya sendiri sambil terus menerka-nerka sang pelaku.
???
Beginningnya udh bikin penasaran nih, sukses selalu 😊 Jika berkenan mampir dan like story aku ya https://tinlit.com/read-story/1436/2575.. Terima kasih :)
Comment on chapter Prolog