Pagi yang cerah seakan ikut berbahagia pada sepasang manusia yang akan menikah pagi ini di gereja katedral. Siapa lagi kalo bukan pasangan paling aneh Nick dan Butet. Pemberkatan akan dilangsungkan kira-kira empat puluh lima menit lagi tapi aku gak sabar. Bukan karena pengen lihat acara sakral di atas altar itu. Tapi karena aku sudah tidak tahan melihat pengantin wanita mondar mandir di hadapanku tanpa memperdulikan kain vein gaunnya yang tersiksa di seret kesana kemari.
"Tet plis deh lo duduk. Gak capek apa udah mondar mandir kayak setrikaan selama hampir.." aku melirik arloji di pergelangan kiriku. "setengah jam tanpa henti."
"Nervous banget nih gue" belanya.
Aku memutar mata dengan malas. "Nanti emang pertama kalinya lo jalan ke altar sebagai pengantin perempuan tapi gak usah demam panggung juga kali Tet. Lagak artis aja lo."
Butet tidak membalas ucapanku, tapi tidak membutuhkan waktu yang lama baginya berjalan menyeberangi ruangan hanya untuk menjitak kepalaku yang sudah tersisir indah. Jika hanya kami berdua di ruangan itu tentu aku tidak ragu untuk membalasnya bahkan kalo perlu hingga dandanan super mahalnya itu rusak. Ada Bunga di ruangan ini, adiknya Butet. Cantikkan namanya enggak kayak kakaknya, Butet!
Jika kau membayangkan orangnya seindah namanya aku menjamin itu benar. Pertama sekali aku bertemu Bunga aku menganggap Butet bercanda saat memperkenalkan Bunga sebagai her only sister. Bagaimana bisa Bunga yang cantik dan ramah itu memiliki seorang kakak yang judesnya amit amit kayak Butet. Sering aku bercanda pada Butet mengenai asal usulnya. Aku bertanya tanya apalah dia sungguh anak kandung dari keluarga Siahaan atau tidak. Karena sejauh aku mengenal keluarganya dari beberapa kali pertemuan, hanya Butetlah sikapnya yang sangat bertolak belakang. Selain Bunga dan orangtua mereka, ketiga saudara Butet sangat welcome padaku. Jika aku sudah mengajukan pertanyaan ini maka dapat dipastikan lenganku memerah karena pukulan dahsyatnya. Lagi-lagi aku bertanya, apa yang membuat Nick ingin menikah dengannya.
"Kak, dah dipanggil tuh.. " suara lembut Bunga menyadarkanku. Aku menghampiri Butet yang semakin pucat dibalik riasannya. Aku menggenggam lengan kanannya sebentara Bunga melakukan hal sama di lengan satunya. Setelah memberikan senyum menguatkan pada Butet, kami berjalan ke arah pintu. Bersiap menghantarkan sang mempelai wanita berjalan menuju altar.
***
Acara pemberkatan telah usai satu jam lalu. Aku tidak dapat menahan haru saat Nick dan Butet mengucapkan janji pernikahan. Saat acara mengucapkan selamat kepada pengantin di altar, aku memeluk Butet dengan mata yang memerah. Bukan hanya aku, ibunya Butet, Bunga dan bahkan Butet sendiri tidak jauh berbeda denganku tapi ada sedikit perbedaan pada Butet. Meski ia berusaha keras menahan air mata agar tidak keluar, ia tersenyum bahagia.
Resepsi di Jakarta menggunakan konsep Internasional di salah satu hall hotel bintang enam. Setelah pulang dari gereja, pengantin dibawa ke kamar hotel yang telah dipesankan untuk mengganti pakaian. Resepsi dimulai sore nanti kira kira 3 jam lagi jadi keluarga maupun pengantin masih punya waktu untuk istirahat.
Aku berbaring di kasur bersama Butet dan Bunga, para wanita lain berada di kamar yang satunya dan para pria tentu saja di kamar yang berbeda. Aku memperhatikan wajah polos tanpa makeupnya Butet. Ia tidak terlihat pucat seperti tadi, namun terlihat tenang dan memancarkan rona bahagia meski dia sedang terpejam.
"Are you happy?" bisikku lirih pada Butet yang tidur menyamping menghadapku. Bunga ada dibalik punggungnya.
Butet membuka matanya, keningnya sedikit berkerut mendengar pertanyaanku namun hilang dalam sekejap diganti senyum lebar.
"Absolutely I am! This is the best day in my life" bisiknya semangat. Senyumnya menular padaku.
"Makanya buruan nikah lo biar tahu rasanya jadi the happiness bride" Senyumku luntur seketika. Tidak, aku menjadi tidak senang bukan karena takut menikah. Tapi karena.. yah, aku belum punya calon.
"Stop thinking about him! This is my best day, please.." Butet menyentuh sisi wajahku untuk mengenyahkan seseorang yang kupikirkan. Aku menarik sudut bibirku lalu menumpukan tanganku diatas tangannya.
"Sorry.." lirihku pelan. Gadis yang baru saja menjadi seorang istri itu menggeleng pelan sambil berkata tegas. "Don't say sorry to me but say to yourself. But promise me something.." jedanya.
"Find the right man for you because I know he won't and never be yours."
Aku menggeleng. Rasanya akan sulit namun ekspresi Butet saat ini sangat tidak bisa ditolak. Sambil menghela nafas berat aku mengangguk. Aku berjanji pada sahabatku tapi tidak pada diriku sendiri. Lebih baik melihatnya tetap tersenyum di hari bahagia daripada mendengar nasehat 3 sks ala Butet.
Butet kembali memejamkan matanya. Aku tidak ingin mengganggu karena dia sungguh butuh istirahat sejenak dan aku kembali pada pikiranku tentangnya. Tentang seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Yang sudah menemani perjalanan hidupku sejak masa abege labil. Yang aku tahu kenakalan remajanya dan kisah cinta monyetnya. Yang pernah membuatku menangis karena permen karetnya menempel di rambutku saat kami retret ke Berastagi, yang selalu membullyku dengan sebutan-sebutan anehnya namun tidak pernah menjadi musuh.
Tapi dengan keadaan kami yang sekarang, ini teman atau musuh?
Entah dia menganggap apa, yang jelas, sekarang aku.. miss him so damn.