-Semua ini bukan sebuah kebetulan.Karena kita adalah dua orang yang menemukan takdir DNA -
Vi memukul keras samsak yang ada dihadapannya. Sudah dua jam berlalu, namun pria itu tetap mengeluarkan tenaganya untuk memukul benda yang tergantug didepannya. Keringat terus-menerus keluar dari tubuhnya. Tidak luput, tetesan keringatnya terjatuh ke lantai dengan mudahnya.
Grek...
Suara pintu tergeser tidak membuat Vi menghentikan kegiatannya. Pria itu seakan tidak peduli siapa yang datang ke ruang latihannya.
"Berhentilah memukul benda mati itu, Vi. Kau seperti orang bodoh yang memukuli benda tidak bernyawa. Kenapa kau tidak datang saja ke tempat tinju untuk mendapatkan lawan yang sebanding?" ujar seseorang dibelakang Vi sambil menghisap sebatang rokok.
"Kenapa tidak kau saja yang menjadi lawanku. Bukankah kau sudah ada disini. Itu semakin bagus, bukan?" ucap Vi masih tetap memukuli samsak dihadapannya tanpa ampun.
"Kau pikir aku mau masuk ke rumah sakit untuk kedua kalinya? Jangan berharap hal itu akan terjadi lagi."
Vi menghentikan kegiatannya dan berbalik. "Kenapa tidak? Kau cukup tangguh untuk menjadi lawanku, Daniel." ujar Vi tanpa beban membaut pria yang bernama Daniel itu menatap wajah Vi dengan kesal.
"Teman macam apa kau itu? Bahkan kau tidak merasa bersalah telah mengirimku ke rumah sakit saat itu. Dan sekarang, kau berharap aku akan masuk ke rumah sakit untuk kedua kalinya? Kau teman yang kejam, Vi," Daniel segera melangkah meninggalkan ruang latihan Vi dengan wajah sangarnya. Pria itu tidak menoleh sedikitpun saat ia meninggalkan Vi yang sama sekali tidak peduli dengan kepergiannya.
"Badan saja yang besar, tapi tenaga tidak ada." ucar Vi dengan senyum mengejeknya.
@@@@
Setelah menghabiskan waktunya diruang latihan seharian, Vi segera masuk kedalam kamar mandi dan memembersihkan dirinya. Vi melepas bajunya yang basah oleh keringatnya sendiri. Segera pria itu menyalakan shower dan detik berikutnya Vi merasakan guyuran air yang membuat beban ditubuhnya hilang seketika. Vi memejamkan matanya menikmati guyuran air yang mampu menghilangkan rasa penatnya.
Seusai membersihkan dirinya dengan mandi, Vi segera berpakaian tanpa mengeringkan rambutnya yang masih basah dan meneteskan air. Pria berkulit putih itu semakin terlihat tampan dengan keadaan rambut belum dikeringkan. Ia meraih jaket kulit berwarna hitam dan mengenakannya bersama kaos dengan warna serupa. Ditambah dengan celana jeans berwarna hitam juga. Gaya kasualnya semakin membuat Vi terlihat sempurna.
Tidak membuang waktu, Vi segera meraih kunci mobilnya dan keluar dari rumahnya untuk menemui seseorang. Vi mengendarai mobil sport berwarna hitam dengan kecepatan normal. Setelah setengah jam mengemudi, Vi berhenti didepan klub malam. Tanpa basa-basi lagi Vi segera turun dan masuk kedalam klub itu tanpa kendala sedikitpun.
Vi segera menuju sofa yang terletak disudut klub, dimana Daniel duduk bersama teman wanitanya. Setelah menemukan orang yang dicarinya, Vi segera mendatangi Daniel dan duduk dihadapan pria itu.
"Kau tidak bosan melakukan ini setiap hari?" ujar Vi setelah mendudukkan dirinya dihadapan Daniel.
"Apa?" tanya Daniel tidak peduli. Pria itu terlalu sibuk memanjakan wanita yang ada disampingnya. Membuat Vi ingin mengirimkan pria itu ke rumah sakit lagi.
"Bermain wanita, minum, dan pulang dengan keadaan mabuk. Aku harus membawamu pulang ke rumahku dan duduk bersamamu untuk sarapan setiap pagi. Aku bosan melakukan itu." Vi meraih segelas vodka dan meneguknya sekaligus.
"Bukankah itu gunanya teman? Kau sudah membuatku kesal hari ini, jadi apa salahnya jika kau menebus kesalahanmu itu dengan menemaniku sampai urusanku selesai. Benarkan, manis?" ucap Daniel seraya tersenyum manis pada wanita yang ada disampingnya.
"Kau pikir aku Ibu mu? Setiap hari harus mengurusmu seperti ini." ucap Vi dingin.
"Baiklah Tuan Kim, persetan dengan apa yang kau katakan. Daripada kau marah-marah tidak jelas, lebih baik kau mencari wanita yang bisa mengajakmu bersenang-senang."
Vi membuang wajah mendengar saran bodoh Daniel. Temannya yang satu ini sama sekali tidak membantu.
"Kau pikir aku akan mati jika tanpa wanita? Aku bisa hidup tanpa mereka. Dan satu lagi, jangan pernah menyebut margaku lagi."
"Astaga, Vi. Kau begitu menakutkan. Hatimu sekeras batu. Kau akan membuat hati wanita tersakiti jika mereka mendengarkan ucapanmu barusan. Ckckck, kau terlalu kolot. Kau harus tahu rasanya jatuh cinta. Kau normal bukan?"
Tanpa peduli dengan ocehan Daniel yang tidak penting, Vi segera bangkit dari tempatnya menuju dance floor. Vi tidak menari. Pria itu hanya ingin melihat suasana baru. Mencari tahu, mengapa Daniel sangat suka ketempat yang dianggapnya membuang-buang waktu seperti ini. Wanita? Daniel benar-benar gila.
"Akhh..." pekik seorang gadis karena membentur tubuh Vi.
Vi segera berbalik melihat siapa yang dengan cerobohnya menabrak tubuhnya yang jelas-jelas terlihat oleh mata.
"Perhatikan langkahmu, Nona. Kau tidak lihat aku berdiri disini?" ucapan Vi menusuk dan sedingin es batu.
Gadis itu memiliki tinggi sebatas dagu Vi. Rambut hitam legam dengan balutan dress diatas lutut berwarna merah gelap yang kontras dengan kulit putihnya. High heels yang dikenakan gadis itu sama sekali tidak membuat tubuhnya tinggi dihadapan Vi. Ia mendongak untuk melihat siapa yang ditabraknya. Penglihatannya mengabur dan kepalanya terasa pening karena terlalu banyak minum. Bisa dikatakan gadis itu tengah mabuk.
"Ahaha, maaf. Ku rasa aku melihat tokoh kartun disini. Kenapa kau begitu tampan, huh? Visualmu seperti tidak nyata." ucap gadis itu dengan wajah memerahnya karena pengaruh alkohol.
Vi tidak peduli dengan ucapan bodoh gadis itu. Ia hendak pergi, namun gadis itu mendekapnya dan menghentikan langkahnya.
"Kenapa kau pergi? Tolong bantu aku. Kau jahat sekali ingin meninggalkan wanita lemah sepertiku." ucap gadis itu lemah.
Vi sama sekali tidak mau tahu. Pria itu ingin melepaskan pelukan gadis itu yang melilitnya seperti ular. Tapi percuma, gadis itu tidak mau melepaskannya.
"Nona, sadarlah. Tolong lepaskan tanganmu dari tubuhku sekarang juga." ucap Vi sambil terus berusaha melepaskan pelukan gadis itu.
"Mmm, tidak mau. Kau harus menolongku terlebih dahulu. Tolong aku..."
"Aku tidak bisa menolongmu. Tolong lepaskan."
"Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu..." gigih gadis itu.
Vi mendengus kesal. Gadis ini benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Jika saja dia bukan seorang wanita, Vi pasti sudah mendorongnya dengan keras. Ketika Vi hendak mencoba untuk melepaskan pelukan gadis itu tiba-tiba saja pelukan gadis itu terlepas. Bukan karena keinginan gadis itu, tapi karena seorang pria menarik gadis itu hingga pelukannya terlepas dari tubuh Vi.
"Dasar gila! Apa yang kau lakukan Rua! Kenapa kau malah menempel pada pria asing ini! Kau sudah tidak waras!" bentak pria itu sambil menatap tajam Vi.
Vi sendiri tidak takut dengan tatapan membunuh pria itu. Vi hanya diam, menunjukkan ekspresi wajah datarnya. "Seharusnya kau menjaga gadis itu baik-baik. Dia melilitku seperti ular." setelah mengucapkannya, Vi segera pergi menjauh dari dua orang asing yang membuat kepalanya pusing seketika.
Sementara gadis bernama Rua itu melihat tubuh Vi yang semakin menjauh dari pandangannya. Ingin sekali Rua terbebas dari pria yang sedang bersamanya sekarang. Seandainya saja Vi menolongnya, hidupnya akan terbebas dari tekanan saat ini juga. Sayangnya, Vi bahkan tidak peduli dengan apa yang ia alami saat ini. Tentu saja. Memang siapa Rua bagi Vi, selain orang asing yang tiba-tiba menempel pada tubuh pria itu layak parasit. Karena Vi terus memintanya untuk menjauh darinya. Benar-benar gila.
Pagi harinya Vi bersiap untuk berangkat ke kampusnya, Seoul National University. Jujur saja, jika bukan ayahnya yang memintanya untuk meneruskan sekolahnya, pria itu lebih baik menghabiskan waktu bersama samsak tersayangnya dirumah. Vi memang anak tunggal. ayahnya sibuk bekerja diluar negeri. Sementara ibu Vi meninggal saat Vi masih berusia lima tahun.
Ayah Vi memberi kebebasan dan fasilitas penuh untuk Vi. Apapun yang diinginkan Vi, ayahnya pasti akan mewujudkannya dalam sekejap. Tapi sayangnya, bukan itu yang diinginkan Vi. Pria itu hanya ingin ayahnya kembali untuk menjenguknya sebentar saja. Sudah 14 tahun lamanya ayah Vi tidak kembali ke Korea hanya untuk menjenguknya. Bahkan menghubunginya saja tidak. Hal itu yang membuat Vi tidak peduli dengan orang disekitarnya. Vi lebih suka menyendiri daripada bergaul dengan banyak orang.
Dunia sudah berubah. Begitupun dengan hatinya. Anak laki-laki yang dulunya polos dan periang kini berubah menjadi pria berusia 23 tahun yang berhati dingin. Tidak ada cara untuk mengubah sikap Vi yang sekarang. Semua tergantung waktu. Bahkan takdir pun belum dapat menjawabnya.
To Be Continue
lanjutin dong min, ayang embeb aku nih si V wkwkwkwkkwk
Comment on chapter DNA