Aku melangkahkan kakiku ditengah gelapnya pagi karena matahari belum juga ingin menunjukkan sinarnya. Udaranya terasa dingin, tapi tidak begitu buruk karena dadaku masih terasa panas jika mengingat kejadian kemarin. Ingin rasanya tanganku ini menojok seseorang hingga babak belur dan membuang tubuhnya ke sebuah jurang yang gelap dan dalam. Dan sejak keluar dari gedung serba guna itu, aku tidak bisa memalingkan pandanganku dari Kesya. Walaupun begitu, pikiranku masih melayang memikirkan siapa pelaku kejahatan ini.
“Van, gue bisa jalan sendiri kok.”
Suara Kesya langsung menyadarkanku dari lamunan. Ku alihkan padanganku kearahnya dan melihatnya seperti meringis kesakitan. Aku pun menyadari hal tersebut dan segera melepaskan genggaman tanganku di pergelangan tangannya.
“Sorry, sakit ya?” ucapku meringis.
Kesya tersenyum mendengar ucapanku. “Udah enggak kok." ia mengusap pergelangan tangannya kemudian memperhatikan sekeliling. "Ngomong-ngomong kita mau kemana, Van? Ini masih gelap banget, terus disini banyak pohonnya lagi.”
Ku sunggingkan senyuman misterius kearahnya. Ya, sekali lagi Kesya ku suruh menginap di rumahku. Walaupun ia mengatakan orang tuanya sudah datang, tapi aku rasa ia lebih baik tinggal sehari lagi bersamaku agar ia bisa menenangkan dirinya di keramaian-ku harap kalian tidak menganggapku cowok buaya ya-. Dan sejak pukul empat pagi tadi, kami sudah bersiap untuk pergi ke tempat yang memang sudah ku persiapkan untuknya. Dengan begitu, ia bisa melupakan sejenak kejadian kemarin yang menimpanya.
“Pokoknya lo liat aja sendiri.”
Kesya mengkerutkan keningnya. “Atau jangan-jangan lo mau mesum ya disini?” tanyanya penuh selidik.
Aku benar-benar ingin tertawa mendengar ucapannya. Tapi demi menjaga citraku, apun pura-pura terkejut dan menghentikan langkahku di depannya. “Lo pikir gue cowok murahan yang mau ngamilin cewek di tempat kayak gini?” tanyaku balik.
Walaupun gelap, aku bisa melihat Kesya sedikit salah tingkah mendengar pernyataanku. “Bu… Bukan gitu maksudnya! Emm, terus bener nih kita nggak sekolah? Kamu yakin kita harus bolos hari ini? Nanti kita dapet absen alpa, gimana?”
Kali ini aku tak bisa menahan tawaku akan pertanyaannya yang bertubi-tubi. Dan ada satu hal yang membuatku tersenyum juga karena ucapannya. Saat Kesya sudah mengucapkan kata ‘kamu’, entah kenapa kedengaran sangat berbeda di telingaku-tentu saja itu dalam artian yang baik-.
Melihatku tertawa, Kesya langsung tersenyum kecut dan melipat kedua tangannya. Setelah berhasil mengontrol tawaku, aku langsung menatapnya serius. “Denger ya, Sya. Dari kemaren kita pulang sekolah sampe kita ada di rumah, lo bener-bener murung kayak orang gila—ouhh” tiba-tiba Kesya memukul lenganku saat aku mengatainya orang gila.
“Lo udah lima kali nyebut gue orang gila! Emang, gue keliatan stress banget ya?” ia langsung mengecilkan nada suaranya saat mengucapkan kata ‘stress’.
“Jelas lah, lo kayak habis di kejar-kejar debt collector karena kelilit utang!”
“Ish, nyebelin banget sih loh!” kali ini iya memanyunkan bibirnya kemudian berjalan mendahuluiku.
“Kesya? Jangan ngambek gitu kali.” Godaku sembari berusaha mensejajarkan langkahnya.
Kesya tidak menyahuti. Ia masih tetap berjalan dengan wajah datarnya. Aura dingin pun langsung terasa saat ku pandangi wajahnya yang mulai terlihat oleh cahaya langit pagi.
“Sya?” sekali lagi aku mencoba memanggilnya namun tetap tak direspon. Ia seperti menganggapku angin lalu dan saat ini ia sedang berjalan sendirian saja.
Akhirnya aku langsung memegangi pergelangan tangannya untuk menghentikannya. Kesya memang berhenti, tapi tidak menolehkan wajahnya kearahku. Ia masih menatap lurus kedepan dengan tampang datarnya.
“Lo marah sama gue?” tanyaku pelan.
“Nggak kok.” Jawabnya datar.
Aku menghembuskan nafasku. Kini sifat dinginnya kembali lagi seperti dulu. “Gue tau lo marah. Jadi, maafin gue ya?”
“Gue nggak marah kok.”
“Kalau emang lo nggak marah, kenapa lo nggak mau liat wajah gue?”
Mendengar perkataanku itu, ia langsung menoleh dan menatapku tanpa ekspresi apapun. “Lo bilang gue kayak orang gila? Yaudah, jangan liat muka gue.”
“Hah? Pfftt.” Kali ini aku kembali tertawa mendengar perkataannya. Kesya mengkerutkan keningnya. “Kenapa? Ada yang salah?”
Aku melepas genggaman tanganku kemudian membawa rambutnya kebelakang telingannya. Kesya menatapku dengan wajah kebingungan tapi tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Denger, Sya. Mau wajah lo kayak orang gila, kayak monyet, kayak apapun itu gue nggak masalah. Karena yang gue liat itu bukan cuman wajah semata, tapi kebaikan hati yang paling utama.”
Kesya tersenyum miring. “Dasar gombal. Gue udah sering denger kata-kata dari cowok kayak gitu di novel. Jadi jangan pikir karna gue nggak pernah pacaran, gue nggak tau mana yang tulus dan mana yang gombal.”
Aku menatapnya dengan serius, begitu pula sebaliknya. Kesya cukup terkejut saat ku letakkan kedua tanganku di pipinya. Ia berusaha melepaskan diri namun aku menahannya.
“Apaan sih, Van. Lepasinn…” dengan susah payah Kesya mengucapkan kalimat ini.
“Lo pikir gue gombal?” tanyaku tanpa mengindahkan erangannya.
Mendengar pertanyaanku, ia menghentikan gerakannya untuk melepaskan diri. “Iya!” jawabnya tegas.
Aku mengkerutkan keningku. “Yakin nggak takut ngomong gitu?”
Kesya menggelengkan kepalanya. “Udah ih, gue mau balik aja.” Ia kembali berusaha melepaskan kedua tanganku dari pipinya tapi aku menahannya. “Van, ihh lepasin.”
“Mau gue cium lo?” tanyaku dan langsung membuatnya diam.
Kesya menatapku dengan mata yang membulat. Astaga, dibawah sinar langit pagi yang masih samar-samar seperti ini saja entah kenapa membuat pesonanya memiliki nilai tambah tersendiri.
“Mau gue cium?” tanyaku sekali lagi. Jujur saja, pertanyaanku tadi benar-benar diluar pikiranku. Aku juga masih tau etika untuk menciumnya di ruang terbuka seperti ini, apalagi dengan seragam sekolah kami. Bisa-bisa kami digiring ke kantor desa dan jadi bahan gosip disini. -Yah, walaupun ini masih gelap dan kemungkinan tidak ada warga desa yang berlalu lalang disini-.
Kesya tetap tak menjawab pertanyaanku. Jika ku perhatikan, wajahnya mulai merona walaupun tak ada senyuman diwajahnya yang masih datar itu. Ia memandangku dengan tatapan dinginnya. Hmm, apa dia benar-benar ingin dicium olehku tapi tidak ingin mengatakan ‘iya’?
Baik, mungkin ini yang dinamakan senjata makan tuan. Aku yang mengerjainya tapi justru jantungku yang tidak bisa ku kendalikan dengan baik. Aku pun mulai memejamkan mataku dan mendekatkan wajahku kepadanya. Apa ini akan menjadi kedua kalinya aku mencium Kesya setelah kejadian di kolam renang itu? Oke, tidak masalah. Lagi pula Kesya tidak menyahuti pertanyaanku, jadi aku lakukan saja. Dapat ku rasakan hembusan wajah Kesya di wajahku, semakin dekat wajahku semakin cepat pula deguban jantungku.
“OOOUHHH!!!!” teriakku saat ku rasakan hantaman di kaki kiriku. Aku langsung menjauhi Kesya dan menatapnya kesal. “Sakit, Sya.” Ucapku sembari mengelus kakiku yang diinjak olehnya.
Kesya menatapku dengan geram. “Tuh kan! Udah gombal, modus lagi! Dasar cowok!” ia kembali berjalan mendahuluiku lagi.
“Sya, demen banget sih lo ninggalin gue. Nunggu!”
Aku pun segera menyusulnya. “Kaki lo tajem bener sih, sakit nih kaki gue!”
Kesya menoleh sebentar. “Siapa suruh modus.”
“Lo juga yang salah, gue tanya kok malah diem aja? Itu berarti mau kan?—ughh.”
Lagi-lagi ku rasakan hantaman, tapi kali ini di perutku. Aku memandangnya tak percaya. “Ternyata lo bener-bener sadis ya, Sya. Gue nggak nyangka cewek cuek kayak lo bisa nyakitin cowok kayak gini.”
Ku lirik wajahnya seperti ada rasa bersalah disana, namun saat aku memalingkan wajahku ia langsung berubah datar kembali. “Lo pikir kalau cewek di tanyain kayak gitu bakalan jawab kayak gimana? Mereka malu tau mau jawab apa. Lain kali, kalau lo mau nanya sesuatu ke cewek mending pikir-pikir dulu deh.”
Aku menghembuskan nafasku. “Iya deh, gue tau gue salah. Maafin gue ya?” aku menatapnya dengan wajah memohon.
Kesya melipat kedua tangannya kemudian menghentikan langkahnya. Ia menatapku lama dan aku tidak tau arti dari pandangan itu. Perlahan ku lihat senyuman melintang di bibirnya kemudian ia tertawa kecil. “Lo nggak perlu minta maaf kayak gitu kali, Van. Gue juga nggak nganggap itu semua terlalu serius kok, jadi santai aja.” Kemudian ia tertawa.
Aku mencubit pipinya. “Dasar jaiilllll!!! Udah yuk, gue punya hadian buat lo di depan sana.”
“Hadiah? Menurut gue keindahan alam ini udah cukup kok sebagai hadiah.” Kesya merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya itu. Aku benar-benar salut karena Kesya masih bisa tersenyum walaupun terror masih menghantuinya di depan sana. Ya, inilah alasanku kenapa aku mengajaknya untuk bolos sekolah hari ini-dan aku harap kalian tidak menirunya-. Aku mengajaknya ke perbukitan yang jauh dari kota. Melihat pemandangan hijau di pagi hari adalah hal menyenangkan yang bisa ku berikan pada Kesya untuk melepas penat yang menghantui pikirannya.
“Ada yang lebih indah lagi,” aku langsung menarik tangannya menuju ke tempat yang memang menjadi tujuan utama kami. Ia mengikutiku tanpa ada pertanyaan lagi yang terlontar dari bibirnya. Kami memanjati beberapa bebatuan yang memang sedikit curam, walaupun sedikit kesusahan karena Kesya menggunakan rok tapi kami berhasil sampai ke puncak bebatuan itu. Disana, Kesya langsung terpukau dengan menatap pemandangan yang ada di depannya.
“Wow, Van. Alam ini bener-bener ada ya?” ujarnya tak percaya.
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya yang seperti anak kecil itu. “Gini nih anak kota. Makanya sekali-kali main ke desa, lo bakalan sering nikmati indahnya perbukitan di pagi hari kayak gini.”
Kesya menjawabku dengan anggukan kecil. Ia menatap tebing-tebing yang mulai bersinar oleh matahari pagi. Bunga pun seakan bermekaran dan sekumpulan serangga beranjak datang mendekatinya. Banyaknya pohon disana langsung bergoyang saat angin berhembus dan juga menerpa wajah kami berdua. Kesya langsung merentangkan kedua tanganya dan memejamkan kedua matanya. Ku pandangi wajah Kesya yang mulai menampakkan senyuman itu. Hatiku berdesir mengikuti langkah angin yang mulai menjauh untuk membagikan kesejukkannya kepada makhluk hidup lain yang ada di perbukitan ini. Dan inilah yang aku inginkan, melihat senyumannya itu. Melihat wajahnya merona dengan beban pikiran yang mulai hanyut dan tergantikan oleh pemandangan indah yang terhampar di depan mata.
Aku memegang tangan Kesya dan ikut merentangkan tanganku sama sepertinya. Ku pejamkan mataku untuk ikut menikmati aroma pagi tanpa ada polusi yang biasa ku hirup jika ada di jalanan kota.
“AAAHHHHHHHH!!!!” aku berteriak melepaskan segala lelah di tubuhku. Aku menunggu Kesya juga berteriak sama sepertiku, tapi tak kudengar apapun darinya. Ku buka mataku perlahan dan menoleh ke arah Kesya. Ternyata ia sudah tak memejamkan mata lagi tapi justru menatap kosong ke perbukitan yang ada di depannya.
“Sya?”
Ia menoleh. “Gue nggak apa kok, Van.” Jawabnya, seakan tau aku akan menanyakan keadaannya. Kesya menghembuskan nafasnya. “Andai gue bisa sebebas lo tanpa ada rasa takut yang menghantui perasaan lo di hari esok.”
Aku mengkerutkan keningku. “Kalau lo mau teriak, teriak aja. Kalau lo terus pendem semuanya, lama-lama lo bisa gila beneran.”
Seakan tak merespon ejekanku, Kesya justru melepaskan tanganku kemudian duduk menghadap ladang yang mulai di datangi oleh para petani. Aku pun mengikutinya dan duduk disebelahnya.
“Van, liat deh.” Ia menunjuk anak kecil yang sedang memetik hasil ladang bersama anak-anak sebayanya.
“Ya?”
“Bukannya gue nggak bersyukur akan apa yang udah gue punya saat ini,” ia menghembuskan nafasnya dan menoleh karahku. “tapi kadang, gue berharap lebih baik gue jadi kayak mereka daripada hidup dengan rasa kesendirian yang terus meliputi diri gue ini.”
Aku tersenyum mendengar perkataannya. “Terus, kenapa lo pengen jadi kayak mereka? Bukannya lo nggak perlu capek-capek kerja? Lo nggak perlu bantu ortu lo buat nyari uang. Lo udah di gampangkan dalam segala hal.”
Kesya menggeleng. “Mungkin lo bener, tapi semua itu percuma tanpa ada rasa cinta yang menghangatkan di dalamnya. Mungkin panti asuhan adalah satu-satunya tempat yang bisa jadi penghangat gue selama ini, tapi nggak setiap hari gue bisa ngerasainnya.”
Ia memalingkan wajahnya dan kembali melihat ke arah ladang. Saat ini anak-anak itu sedang bermain dan salah satu diantara mereka terjatuh, dengan cepat ibunya yang sedang menanami benih langsung mendekat dan membersihkan luka si anak itu. Ku pandangi Kesya yang tersenyum getir melihat itu semua.
“Walaupun nggak sekolah, tapi mereka patut bersyukur akan cinta yang bisa mereka rasakan baik itu dari orang tua maupun dari teman-teman sebaya mereka.”
Aku mengkerutkan keningku. Mungkin aku memang sudah pernah menanyakan ini, tapi rasanya belum puas jika ia belum mengatakan semuanya. “Kalau boleh gue tau, kenapa sih lo nggak pernah mau bertemen sama anak-anak di sekolah. Yah, minimal temen satu kelas aja udah cukup kok.”
Kesya menghembuskan nafasnya. Ia mulai memejamkan matanya kemudian mengangkat wajahnya kearah langit seakan meminta kekuatan dalam menjalani setiap langkah kehidupannya ini. Setelah cukup lama, akhirnya ia menoleh kepadaku dan tersenyum kecil. “Gue terlalu takut, Van. Gue takut kalau gue cuman jadi bahan mainan mereka. Mereka berteman bukan karena hati mereka, tapi mereka berteman karena pikiran mereka.” Lagi-lagi Kesya menghembuskan nafasnya. “Yang ada di pikiran mereka cuman manfaatin Kesya, daripada menemani Kesya.”
“Tapi nggak semua orang punya pemikiran kayak gitu. Gue yakin, dari ribuan siswa di sekolah pasti ada yang mau tulus buat temenan sama lo, yah contohnya adalah gue.” Aku langsung menepuk dadaku dengan gagahnya.
Kesya mendengus mendengar ucapanku. Dipalingkannya pandangannya menuju kendaraan yang mulai terlihat di jalan raya yang melintang disekitar bukit. “Kamu emang baik, Van. Tapi yang perlu kamu tau, udah berapa kali aku ngalamin hal kayak gitu? aku belum pernah ngerasain yang namanya taman kanak-kanak karena orang tuaku bener-bener nggak ada waktu buat ngurusin semua itu. Mereka lebih mentingin kerjaan mereka dan jadilah aku anak rumahan yang setiap harinya ada guru les yang dateng ke rumah buat ngajarin aku membaca, menghitung, menulis. Sampai akhirnya waktu aku masuk ke sekolah dasar, aku bener-bener kesusahan buat nyari yang namanya teman. Mereka justru memandangku aneh karna cara bicaraku yang terlalu baku dan nggak sama kayak mereka. Tapi lambat laun, tiba-tiba mereka mulai deketin aku. Dan karena senang mereka mau berteman denganku, akhirnya aku sering bawain mereka jajanan yang memang cukup mahal untuk mereka. Dan tanpa aku sadari, makin lama mereka mulai morotin aku dengan menyuruhku untuk beliin mereka boneka saat di ulang tahun, beliin kotak pensil kesukaan mereka, beliin mereka buku cerita, bahkan aku disuruh untuk ngerjain tugas mereka karena nilaiku selalu bagus didalam kelas dan kalau aku nggak mau ngelakuin itu semua, mereka akan ngejauhin aku begitu juga dengan teman-teman lainnya. Aku nggak mau kesepian kayak di rumah, Van. Makanya aku mau ngelakuin semua perintah mereka. Sampai akhirnya, aku dengerin sendiri kalau mereka bilang aku anak yang bodoh karena mau aja dimanfaatin sama mereka. Sejak saat itu, aku mulai ngejauhin diri dan jadilah aku anak kutu buku yang selalu sendirian sampe saat ini.“
Hatiku sedikit tersayat mendengar ceritanya. Walaupun bergitu, aku berusaha tersenyum di depannya. Kuambil tangannya dan mulai mengenggamnya erat. Ia masih menatap kearah jalan raya dan ia membiarkanku memainkan jarinya. “Aku tau kamu emang anak yang polos.”
Saat aku mengucapkan kata itu, Kesya sontak terkejut dan melihatku. “Tadi gue ngomong pakek aku-kamu?”
Aku langsung tertawa melihat ekspresi kagetnya itu. Ia langsung melepas tangannya dariku namun aku mengambilnya kembali dan langsung memeluknya dalam dekapanku. “Sya, aku lebih seneng kalau kamu jadi apa adanya daripada harus memaksakan diri demi jadi orang lain. Aku lebih suka kalau kita ngomongnya pakek aku-kamu daripada gue-elo.” Aku mengelus lengannya pelan. “Dan untuk ceritamu tadi, aku nggak nyalahin kamu atas kelakuan temen-temenmu yang hanya bisa memanfaatkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Kamu itu baik, Sya. Kamu polos dan kamu memang nggak punya banyak pengalaman akan dunia luar yang memang kejam ini. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, kalau kamu juga harus mulai melupakan semua kenangan buruk itu dan berani membuka lembaran baru karena kita tidak akan tau bagaimana hasilnya jika kita tidak kembali mencobanya.”
Ku rasakan tubuh Kesya bergetar. Ku eratkan dekapan tubuhku kepadanya. Ku dengar ia mulai terisak tapi ia seperti menahan tangisannya.
“Tapi, Van. Aku udah pernah coba buat buang pikiran itu tapi sampe SMP pun aku tetep dapet temen yang cuman mau maanfaatin aku aja. Bahkan mereka dengan terang-terangan minta sumbangan ke orangtuaku dalam rangka acara kelas, tapi aku sama sekali nggak ada di undang kesana. Hiks. Aku berusaha buat nutupin itu dari orangtuaku dengan berdalih kalau aku lagi sakit. Dan memang bener waktu itu aku lagi sakit, tapi lebih tepatnya sakit hati.”
Isakkan terdengar lebih kencang. Aku berusaha menenangkannya dengan mengelus pelan punggungnya yang rapuh itu.
“Maaf buat kamu jadi nyeritain masa lalu kamu ini. Tapi kamu memang harus membagi bebanmu ini ke orang lain. Aku salut banget kamu masih bisa bertahan sampai saat ini. Dan untuk masalah yang masih menerormu ini, aku akan berusaha buat ngungkapin secepatnya.”
Kesya melepas pelukanku. Ia membersihkan sisa air mata yang masih membekas di pelupuk mata dan pipinya. Ia menatapku kembali dengan mata sendunya itu. “Makasi banyak, Van. Aku sendiri masih bingung siapa orang yang nerror aku akhir-akhir ini. Aku ngerasa selama SMA ini aku nggak ada buat kesalahan sama siapapun sampai aku harus nanggung akibat kayak gini. Bahkan untuk temen-temen masa laluku, aku sudah nggak pernah liat mereka lagi. Dan aku bener-bener nggak tau gimana jadinya kalau aku harus ngadapin ini semua sendirian. Sekali lagi makasi karena kamu udah nemenin aku sampai sejauh ini.”
Aku mengelus wajahnya yang memerah karena tangisannya itu. “Dan aku juga berterima kasih karena kamu mau mempercayaiku untuk menemanimu di jalan yang sulit ini.”
Kesya tersenyum kepadaku. Ia menganggukkan kepalanya dan menatapku dalam diam. Aku pun ikut tersenyum karena ia sudah mau membagi bebannya kepadaku. Darahku kembali berdesir. Aku mulai memejamkan mataku begitu pula dengan Kesya. Kami mulai menghabiskan jarak yang berada diantara kami. Akhirnya, untuk kedua kalinya kami melakukan ciuman kami. Di tengah perbukitan yang mulai terang oleh sinar matahari pagi dan suara burung seakan mendukung kami untuk saling melepaskan beban yang kini mulai terasa ringan oleh hembusan angin yang menyentuh kulit kami.
Kenangan ini akan menjadi kenangan terindah bagi kami berdua. Dimana hanya kami yang bisa merasakan indahnya cinta di tengah dukanya hati kami karena tersakiti oleh orang-orang disekitar kami. Duka yang suatu saat nanti akan menjadi sebuah kisah untuk kami kenang di hari tua.
*******************