Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesya
MENU
About Us  

Motorku melaju dengan pelan di jalanan kota yang super padat ini. Ku pandangi langit yang hari ini sedang mendung. Huft, Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul setengah 5 sore dan sepertinya matahari sudah malas menunjukkan sinarnya di kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan duniawi saja. Melupakan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang hanya perlu diucapkan dengan satu kata ‘bersyukur’.

         Bersyukur saat baru bangun saja mungkin sesuatu yang sudah sangat jarang dilakukan. Apalagi hal-hal yang mungkin sering kita anggap sepele. Ya, seperti aku saat ini. Mengeluh karena cuaca mendung dan malas jika hujan turun. Baju dan sepatu basah, barang-barang bawaan juga basah, jalanan yang licin kadang kala membuat kita jatuh. Padahal itu semua hanya rekayasa diri kita yang terlalu berlebihan. Tuhan sudah berbaik hati kepada kita memberikan karunianya melalui hujan. Hujan membuat kota ini lebih asri karena telah menyirami tumbuhan yang ada disekitar kita. Hujan memberikan kita kebutuhan air minum tanpa adanya kekeringan. Begitu banyak rasa syukur yang kita lupakan karena kita menganggapnya sebagai sesuatu yang merugikan.  

         Suara klakson mulai memenuhi sekelilingku. Orang-orang yang tidak sabar ingin pulang ke rumah mereka saling beradu kecepatan di jalanan yang penuh dengan kendaraan ini. Aku hanya bisa menghela nafas malas. Apa-apaan sih mereka! Memangnya aku juga nggak ada kepentingan disini? Aku juga mau pergi ke rumah Kesya sekarang. Kami sudah janjian sejak pukul empat sore yang artinya aku juga terlambat ke tempat tujuanku. Dasar egois.

         Ya, hari ini aku mengajak Kesya untuk mengerjakan tugas kimia bersama. Seperti yang kalian ketahui, kemarin aku sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Bu Siska dengan benar dan dia malah memberikan kami tugas yang langsung membuatku sakit mata melihatnya. Jangan salah paham, sebenarnya Bu Siska orang yang baik. Tapi karena sifatnya yang menurutku sedikit genit membuatku jadi malas belajar di pelajarannya. Moodku seketika hilang hanya dengan mendengar suara Bu Siska. Jangan anggap aku sebagai murid durhaka, kalian benar-benar tidak tau bagimana rasanya jika dipandang oleh teman sebaya kalian sebagai ABG yang menyukai gurunya sendiri.

         Akhirnya aku sampai di rumah Kesya. Kulihat gerbang rumahnya terbuka dan aku langsung memasukan motorku kedalamnya. Ku parkirkan motorku di halaman depan rumah Kesya dan berjalan masuk. Lagi-lagi ku dapati pintu depan rumahnya tidak tertutup dengan benar. Apa dia nggak takut kalau maling datang ke rumahnya? Seharusnya kejadian waktu aku memasukinya rumahnya tanpa permisi membuatnya sadar untuk selalu ingat mengunci pintu.

         Pipiku seketika memerah. Sialan! Kenapa jika aku mengingat malam itu aku selalu tersipu seperti anak perempuan. Aku berusaha menghilangkan pikiran itu dan kembali fokus ke dunia nyata

         “Kesya?” panggilku. Selama beberapa detik tak ada jawaban dari Kesya.

         “Kesya? Ini gue Devan.” Kini aku sedikit meninggikan suaraku dengan harapan ia akan segera keluar dari dalam sana.

         Ku dengar langkah kaki mendekatiku. Akhirnya, kali ini dia mendengar panggilanku tanpa perlu lagi aku masuk ke rumah orang tanpa permisi seperti sebelumnya.

         Kesya muncul dihadapanku. Ku perhatikan dia hari ini tampak berbeda, tapi apa ya? Baju? Rambut? Kacamata?

         Tunggu, sejak kapan dia pakek kacamata? Di sekolah pun Kesya tidak pernah memakainya.

         “Dari kapan lo pakek kacamata, Sya?” tanyaku penasaran.

         Kesya tampak terkejut dengan ucapanku. Dengan cepat dilepaskannya kacamata miliknya dan menyembunyikannya di balik punggungnya.

         “Enggak ada kok, Van. Yuk masuk dulu.” Ajaknya.

         Aku mengerjit bingung. Biarlah, mungkin hanya kebetulah saja dia sedang mengenakan kacamata.

         Aku pun mengikuti Kesya masuk ke rumahnya. Ku dengar suara penggorengan dan sendoknya saling beradu dari arah dapur. Ku percepat langkah kakiku agar sejajar dengan Kesya.

         “Nyokap lo semangat banget sih masaknya?” tanyaku membuka percakapan.

         Kesya menoleh kearahku. “Itu bukan nyokap gue kok.” Jawabnya.

         Aku mengangguk. “Oh, berarti bokap lo dong ya? Jago masak berarti.” Pujiku.

         Kesya tertawa mendengar ucapanku. “Bukan, Van. Itu juga bukan Bokap gue. Mereka masih ada di luar kota, belum pulang sampai sekarang. Besok mereka baru balik kesini.” Jelasnya.

         “Berarti pembantu lo?” tebakku untuk yang ketiga kalinya. Kalau bukan nyokap atau bokapnya, sudah pasti itu pembantu Kesya. Mengingat dia nggak punya saudara- Atau mungkin ada?-

         Belum sempat Kesya menjawab pertanyaanku. Pertanyaan lain justru datang dari arah dapur. “Siapa, Kesy?” tanyanya.

         Tunggu. Aku sangat familiar dengan suara ini. Suara laki-laki yang membuatku gerah setengah mati. Siapa lagi kalau bukan Reihan.

         Aku menghela nafas malas. Kenapa orang ini harus ada disini? Dia pasti akan mengganggu momen romantisku dengan Kesya saat kami belajar bersama.

         “Devan, kak.” Jawab Kesya saat kami sudah sampai di dapurnya. Kesya menyuruhku untuk duduk di meja makan sementara dia mengambilkanku minuman dingin di dalam kulkas. Aku mengikuti perintahnya. Ku perhatikan Reihan sedang memasak dengan api yang berkobar-kobar mengikuti perginya penggorengan yang diangkatnya. Sesekali ia melempar masakannya hingga melayang di udara. Dan kalian tahu, aku sangat berharap masakan itu akan jatuh menimpa wajahnya saja. Dasar pamer!

         “Nih,” Kesya menyodorkanku minuman dan duduk di depanku. Ku terima minuman itu dan meneguknya hingga habis setengahnya. “Makasi, Sya.”

         Kesya mengangguk. “Hari ini Kak Rei mau ngadain acara kecil-kecilan karena berhasil lolos jadi chef. Lo mau kan ikut makan bareng kita? Baru setelahnya kita ngerjain tugas Bu Siska.”

         Saat hendak menjawab pertanyaan Kesya. Reihan sudah lebih dulu menaruh segala masakannya di hadapan kami berdua kemudian duduk disebelah Kesya. Ku perhatikan banyak sekali menu yang dihidangkan disini. Dari baunya saja sudah dapat dipastikan jika masakan Reihan ini akan membuatku terus menambah porsi makanku. Tapi demi menjaga gengsiku, aku akan menolak makan malam yang menggiurkan ini.

         “Maaf, Sya. Tapi sebelum jalan kesini gue udah makan kok.” Dustaku.

         “Serius lo udah makan? Gue nggak enak kali makan cuman berdua sedangkan lo cuman jadi penonton aja?”

         “Gapapa kali…” Reihan memotong ucapanku dengan mengambil cumi asam manis yang kemudian menaruhnya tepat didepan hidungku.

         “Serius nggak tertarik sama ini?” tanyanya sedikit mengejek.

         Aku berusaha menahan ludahku. Baunya sungguh menggugah selera. Tapi di sisi lain aku tidak sudi makan masakan dari Reihan.

         “Nggak!” dustaku untuk yang kedua kali.

         “Oh, terus ini?” kali ini Reihan mengambil ayam rica-rica dan semur jengkol dikedua tangannya. Di letakkan kembali makanan itu ke depan wajahku.

         Sialan! Semur jengkol adalah makanan kesukaanku. Bagaimana caraku untuk menahan godaannya?

         Dan kalian bisa tertawa sepuasnya sama halnya seperti Kesya dan Reihan saat ini. Perutku yang tidak kuat iman ini tiba-tiba berbunyi dengan cukup keras sehingga didenagr oleh mereka berdua. Semburat merah karena malu menghiasi pipiku. Wajahku seketika panas dan menjalar hingga ke telingaku. Dan akhirnya, image ku ini hancur seketika hanya karena semur jengkol yang belum terjamin rasanya ini.

         “Akhirnya goyah juga lo. Udah nggak usah gengsi-gengsian, dijamin makanan ini tanpa ada racun sedikit pun.” Ejek Reihan.

         Aku hanya tertawa garing mendengarnya.

         ‘Muka lo kali yang kayak racun, bikin gue mau muntah terus!’ batinku.

         Setelah berhasil menghentikan tawanya, Kesya tersenyum kearahku. “Gapapa kok, Van. Sini biar gue ambilin nasinya.”

         Kami bertiga langsung menyantap hidangan diatas meja dalam diam. Dan harus ku ancungi jempol masakan Reihan ini, makanannya benar-benar enak. Walaupun pernah mencoba masakan Reihan saat di panti asuhan sebelumnya, tapi kali ini rasanya sangat berbeda dan menurutku lebih spesial.

         Suara dentingan sedok dan piring yang saling beradu menggema di sekeliling kami. Rasa canggung langsung muncul begitu saja saat kami hanya saling berdiaman sejak tadi.

         Tiba-tiba Reihan menghapus keheningan yang menyergap diantara kami. “Jadi, ada urusan apa lo kesini?” tanyanya.

         “Gue mau belajar bareng Kesya.” Jawabku singkat.

         Reihan mengangguk. “Kalau gitu gue nggak bisa ninggalin kalian berdua gitu aja disini. Harus ada orang dewasa yang mengawasi kalian berdua, salah-salah kalian malah ngelakuin hal yang aneh-aneh lagi.” Ucapnya sambil tetap menyantap makanannya.

         ‘Udah pernah kali! Lo nya aja yang nggak tau!’

         Tentu saja aku tidak mungkin mengatakan itu, walaupun aku sangat ingin melakukannya. Bisa-bisa dia malah diinterogasiku dan Kesya sampai malam dan aku tidak akan diizinkan lagi kesini.

         “Bukannya tadi kakak bilang mau ketemu bosnya kakak untuk bicarain promosi masakan buatan Kak Rei, ya?” tanya Kesya bingung.

         ‘Rasain lo!’ batinku sambil tertawa puas-tapi tetap didalam hati-. Tidak mungkin aku ketawa begitu saja dihadapan mereka, bisa-bisa aku dianggap orang gila.

         “Eee….” Reihan tampak kebingungan. “Kakak bakalan tunda pertemuan itu buat Kesy kakak tersayang.” Ucapnya kemudian sambil mengacak pelan rambut Kesya.

         ‘Dasar nggak tau malu! Inget usia, woy!’

         Untuk saat ini aku hanya bisa membantin untuk melampiaskan rasa jengkelku terhadap Reihan.

         Kesya menggeleng. “Jangan, kak. Kak Rei baru kerja beberapa hari masak udah berani ngebatalin pertemuan penting sama bosnya kakak.” Tolak Kesya.

         “Pokoknya kakak nggak bisa ngebiarin kalian berduaan disini. Kakak bakalan telepon bos kakak sekarang.” Reihan segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang.

         Aku seperti sedang melihat drama sekarang. Tiba-tiba saja kantung kemihku terasa penuh, aku harus ke belakang.

         “Sya, gue pinjem kamar mandi bentar ya.” Bisikku kearah Kesya.

         Kesya mengangguk. “Silahkan. Lo tau kan dimana kamar mandinya?”

         “Tau kok. Yaudah, gue permisi.” Aku segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

         Huh. Lega rasanya saat semuanya keluar. Aku segera membersihkannya dan bergegas kembali ke dapur. Sebelum sampai, samar-samaku dengar Reihan berbicara kepada Kesya.

         “Kamu yakin Kesy bisa percaya sama laki-laki itu?” tanya Reihan. Ternyata dia sedang membicarakanku dibelakang. Ku tajamkan telingaku agar dapat mendengar pembicaraan mereka dengan jelas.

         Aku tak mendengar jawaban apapun dari Kesya. Apa dia masih ragu sama aku?

         “Kok diem? Kamu belum yakin betul kan sama dia? Jadi kakak nggak bakalan mau ninggalin kalian berdua disini.”

         “Tapi kak, jelas-jelas tadi bos kakak nggak mau ngundur pertemuan ini. Nanti Kak Rei bisa dipecat.”

         Oh, jadi Reihan nggak rela ninggalin kita berduaan. Kenapa sih tu orang curigaan banget. Emang apa yang akan kulakukan dengan Kesya? Lagi pula aku tahu sopan satun kok.-Dan untuk kejadian yang waktu itu, aku khilaf kok.-

         Aku segera membenarkan pakaianku, tidak mungkin aku berlama-lama disini mendengar pembicaraan mereka. Dengan tampang tidak tahu apa-apa, aku berjalan mendekati mereka. Reihan segera menghentikan argumennya saat aku datang.

         “Lagi diskusiin apaan nih?” tanyaku pura-pura penasaran.

         Reihan menatapku tak suka tapi aku berusaha menghiraukannya. Emang aku akan peduli dengannya.

         “Kak Rei khawatir ninggalin kita berdua disini.” Jawab Kesya kemudian.

         Aku menatap Reihan dengan wajah kebingungan. “Kenapa? Emang lo pikir gue bakalan grepe-grepe Kesya?” tanyaku.

         Wajah Reihan memerah mendengar pertanyaanku. “Jaga mulut lo ya, Van! Gue cuman nggak bisa biarin cowok yang baru dikenal Kesya ditinggalin gitu aja tanpa ada yang ngawasin.”

         “Dan perlu lo tau, gue udah dua tahun sekelas sama Kesya. Dan bentar lagi udah mau tiga tahun. Jadi gue itu masuk kategori teman lamanya Kesya.”

         Reihan tak menjawab pernyataanku dengan argumennya yang menyebalkan.

         “Dan gue tau lo itu mau jadi kakak yang baik buat Kesya, tapi jangan terlalu posesif juga lah bro.” sambungku lagi.

         “Kesya itu bukan sekedar adik gue tau!” ucap Reihan kesal. Aku hanya meresponnya dengan mengangkat kedua bahuku.

         Kesya mengusap lembut bahu Reihan. “Udahlah kak. Daritadi juga aku udah jelasin kan? Kakak nggak usah terlalu khawatir kayak gini. Nanti kakak langsung telepon aku aja kalau udah sampai tempat kerja.” Ucap Kesya menenangkan.

         Tatapan Reihan terus menusukku. Tak mau kalah, aku pun balik menatapnya dengan tajam. Cukup lama kami hanya saling pandang dengan penuh kebencian. Akhirnya Reihan pun mengalah. Yes! Aku tau aku pasti menang.

         “Oke deh. Pokoknya gue akan selalu ngawasin kalian berdua, terutama lo!” ucapnya sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.

         “Santai, bro. Lo bisa pegang kata-kata gue.”

         Reihan bangkit dengan tidak rela dari tempat duduknya. Ia langsung mengenakan jaket miliknya dan mengusap lembut rambut Kesya. “Hati-hati ya, Kesy.” Ucapnya.

         Kali ini aku benar-benar mau muntah dibuatnya.

         Kesya tersenyum. “Kakak juga ya.”

         Sekali lagi Reihan menatapku, baru kemudian ia berlalu meninggalkan kami berdua di meja makan.

         Ku lihat Kesya menghembuskan nafas pelan. “Maafin Kak Rei ya, Van.”

         Aku mengibaskan tanganku. “Santai aja kali, Sya. Gue udah biasa ngadapin orang keras kepala kayak Reihan.” Ucapku.

         “Dia orangnya memang agak posesif. Bunda Dena bilang, kalau Kak Rei pernah kehilangan adiknya waktu kecil. Karena itu dia nggak mau kalau sampai hal itu terulang lagi sama aku ataupun anak-anak yang ada di panti asuhan.”

         Aku mengangguk mengerti. Jadi itu toh alasan dia mempunyai sifat seperti itu.

         “Yaudah deh, kalau gitu gue bantuin lo bersihin piring-piring ini dulu. Baru kita ngerjain tugasnya.” Ucapku kemudian segera bangkit dari tempat duduk.

         “Eh, nggak usah.” Kesya menahanku. “Mending lo tunggu gue aja di ruang tamu, gue bisa kok beresin ini sendiri.”

         “Gapapa, itung-itung kerjaan lo jadi cepet selesai kalau gue bantu. Gini-gini gue sering bantu nyokap gue masak di rumah, walaupun cuman jadi tukang cuci piring aja sih.”

         Kesya tertawa mendengar ucapanku. “Oke deh kalau emang nggak ngerepotin. Makasi ya, Van.” Ucapnya kemudian.

         “Sama-sama.”

         Kami pun segera membersihkan segala perabotan yang ada di meja makan maupun yang ada di dapur. Benar-benar deh tu Reihan, habis masak malah nggak di bersihin dulu segala tetek bengeknya. Awas aja kalau ketemu lagi, gue nasehatin tu orang.

         Setelah memakan waktu sekitar 15 menit, akhirnya dapur Kesya sudah kembali bersih.

         “Mulai aja yuk, Van. Gue ambil buku dulu ya di kamar.”

         “Yaudah, kalau gitu gue tunggu di ruang tamu.”

         Kesya segera berjalan ke kamarnya sedangkan aku ke ruang tamu. Ku keluarkan semua buku dan alat tulis yang kubawa. Sembari menunggu Kesya datang, ku perhatikan kembali seluruh ruangan ini. Semuanya masih tetap sama seperti saat aku datang kemari. Kemudian pandanganku terhenti ke halaman belakang rumah Kesya. Oh God, ingatanku di kolam berenang itu kembali terngiang-ngiang. Wajahku kembali memerah, aku mengutuk diriku yang terus tersipu malu jika mengingat kejadian itu.

         “Sorry lama.” Panggil Kesya, memutus ingatanku.

         “Eh, nggak lama kok.”

         Kesya segera mengambil tempat di depanku. “Lo bilang nggak ada nyatet kan yang di terangin sama Bu Siska? Nih, nanti bawa aja catetan gue. Katanya sih materi ini bakalan keluar juga waktu ujian nasional.” Ucapnya sembari menyerahkan buku bersampul cokelat kepadaku.

         “Makasi. Terus lo gimana? Udah selesai?” tanyaku.

         Kesya menggeleng. “Belum, ini tinggal satu nomer lagi. Gue kerjain ini dulu ya? Baru gue jelasin semuanya ke lo.”

         “Boleh deh, lo kerjain aja dulu. Gue tunggu kok.”

         Kesya segera membuka buku tugasnya. Dikerjakannya soal terakhir itu dengan sangat mudah, dan kalian tau kalau dia tidak ada melihat catatan sedikit pun untuk mengerjakan soal itu? Astaga, pantas saja selama ini aku kesulitan untuk menyalip rankingnya dikelas.

         Ku perhatikan wajah polos itu. Entah kenapa aku tidak pernah bosan untuk memandanginya. Dan sialnya disaat-saat terakhir seperti ini aku baru menyadari itu. Walaupun saat ini aku dan Denon sedang bermusuhan, tapi aku sangat berterima kasih kepadanya. Tentu kepada Edo juga.

         Tiba-tiba hatiku terasa sakit. Aku sangat rindu pada mereka. Jahilnya mereka, pelanggaran yang mereka buat sampai akhirnya dipanggil Pak Gindul, semua yang mereka lakukan hingga membuatku kesal setengah mati. Padahal baru beberapa hari musuhan tapi aku merasa sangat kehilangan mereka. Kira-kira apa yang bisa aku lakukan untuk membuat kami kembali seperti dulu lagi?

         Tiba-tiba suara bel rumah Kesya memecah konsentrasi kami berdua. Kesya segera menghentikan pekerjaannya dan menoleh kearahku. “Bentar ya, Van.” Ucapnya kemudian berjalan menuju pintu masuk rumahnya.

         Setelah menunggu beberapa menit, Kesya tak kunjung datang. Bahkan aku tak mendengar suara apapun dari depan. “Kesya?” panggilku.

         Tak ada jawaban darinya. Aku mulai panik dan segera bangkit. “Kesya lo gapapa, kan?” panggilku lagi setengah berteriak.

         Aku berlari untuk mencarinya. Kulihat Kesya sedang bersimpuh didepan sana, memandangi sesuatu. “Kenapa, Sya?” tanyaku dengan jantung yang berdebar cepat..

         Aku terpaku melihat benda didepan Kesya. Ada sebuah kotak berukuran sedang disana. Aku berlutut disebelah Kesya untuk memperhatikan lebih jelas isi dari kotak tersebut. Ada puluhan anak tikus disana, tikus putih dan tikus hitam. Bagian kepala dan juga tubuh mereka sudah tidak menyatu lagi, dan darah menggenangi tubuh hewan-hewan malang itu.

         “Shit!” umpatku.

         Aku segera menoleh kearah Kesya. Kulihat ia menangis dalam diam. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya.

         Dadaku terasa sakit melihatnya seperti ini. Ku tarik dia kedalam pelukanku, berharap agar ia bisa kembali tenang. “Tenang, Sya. Gue nggak bakalan tinggalin lo sendirian.” Ucapku sembari mengelus puncak kepalanya.

         Kesya tak menjawabku, kini ku rasakan tubuhnya bergetar hebat. Keeratkan pelukanku, aku tak peduli jika Reihan akan melihat ini. Yang penting Kesya dapat menghilangkan rasa terkejutnya.

         Ku pandangi lagi kotak itu. Kali ini orang yang mengerjai Kesya benar-benar sudah keterlaluan. Aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepala orang itu.

         Tunggu dulu. Tiba-tiba ingatan kembali terngiang saat aku bertemu dengan Vina di halaman belakang sekolah. Apa iya Vina yang melakukan ini? Apa dia merasa sakit hati kemudian kembali meneror Kesya seperti ini? Jika memang benar dia yang melakukan ini semua, aku tidak akan pernah memaafkannya.

         Setelah sedikit lebih tenang, Kesya melepaskan pelukanku. Dihapusnya air mata yang membanjiri pipinya yang kemerahan itu.

         “Maaf, Van.” Ucapnya sembari menunduk.

         “Nggak ada yang perlu lo maafin sama gue, Sya.”

         Kesya menggeleng. “Van, kayaknya lo pulang aja deh. Besok-besok aja kita lanjutin belajar kita. Gue butuh istirahat.” Ucapnya.

         “Gue nggak bisa tinggalin lo gitu aja disini, Sya. Orang ini tau rumah lo dan mungkin aja sekarang dia masih ada disekitar sini. Lo harus nginep di tempat lain, Sya.” Ucapku.

         “Percuma, Van. Gue nggak punya temen sama sekali. Siapa yang bisa gue maintain tolong?” tanyanya. Ia kembali terisak pelan.

         “Gue anter lo ke hotel. Lo bisa nginep di hotel, Sya. Setidaknya disana lo bisa lebih aman.” Ucapku berusaha menenangkannya.

         Lagi-lagi Kesya menggeleng. “Nggak bisa, Van. Kartu Kredit gue dijaga ketat Bokap. Kalau sampai mereka tau gue pakek uangnya buat nginep di hotel, mereka bakalan mikir yang macem-macem.”

         "Kalau gitu gue anter lo ke panti asuhan."

         Lagi-lagi Kesya menggeleng. "Gue nggak mungkin kesana, bisa-bisa Bunda Dena khawatir. Lagipula ini udah malem, bunda pasti curiga."

         Oke, otakku mulai buntu. Aku pun tidak tau harus melakukan apa sekarang. Aku segera merogoh saku celanaku dan tidak menemukan dompetku disana.

         Sial! Lagi-lagi aku lupa membawa dompetku. Aku tidak membawa uang sepeser pun disaat genting seperti ini.

         Aku langsung teringat Denon, tapi aku tidak mungkin meminta bantuannya. Bisa-bisa teleponku hanya dipandangi saja olehnya. Oh, Edo!

         Aku segera mengambil handphoneku dan menelpon Edo. Ku lihat Kesya mengkerutkan keningnya. “Lo nelpon siapa, Van?” tanyanya.

         “Edo.” Jawabku.

         Aduh, Edo tidak mengangkat teleponku. Sekali lagi ku tekan namanya dengan harapan dia akan mengangkat teleponku, tapi sama seperti sebelumnya tidak ada respon dari Edo.

         Untuk yang kelima kalinya Edo tetap tidak menjawab panggilanku.

         “Kemana sih ni anak?” ucapku kesal. Saat hendak menelponnya sekali lagi, Kesya segera menghentikanku.

         “Udah, Van. Gapapa kok. Gue nggak masalah ditinggal sendirian…”

         Tiba-tiba ponsel Kesya berbunyi. Dengan cepat ia melihat nama yang tertera di layarnya. “Kak Rei.” Bisiknya kemudian.

         Aku menghela nafas malas saat nama itu disebutkan. Kesya memastikan suaranya agar tidak terdengar serak, baru kemudian mengangkat panggilan itu.

         “Halo Kak Rei.” Ucapnya.

         Aku berusaha mencuri dengar apa yang dikatakan Reihan kepada Kesya. Tapi sialnya aku tidak mendengar apapun.

         “Iya kak, gapapa. Kakak fokus aja dulu sama kerjaan kakak.”

         Aku terus memperhatikan apa yang diucapkan Kesya. Kulihat ia melirikku sebentar sebelum akhirnya kembali fokus lagi kepada ucapan Reihan.

         “Iya kakak tenang aja, bentar lagi juga Devan pulang kok. Tinggal beberapa materi lagi.” Jawabnya kemudian.

         Ternyata Reihan masih mengkhawatirkan keberadaanku. Dasar keras kepala! Coba aja kalau aku tidak ada disini sekarang, mungkin tidak seorang pun yang akan mengetahui tentang kejadian ini. Mengingat Kesya senang menyimpan masalahnya sendiri. Dan siapa yang akan menenangkan Kesya disaat dia sedang syok seperti sekarang?

         “Udah dulu ya kak, aku mau lanjutin tugasku dulu. Kakak nggak mau kan Devan lama-lama disini? Yaudah, sampai nanti.” Kesya segera mematikan teleponnya kemudian menatapku dengan mata sembabnya.

         “Gue gapapa kok disini sendirian. Lagian kan disini ada tetangga, kalau ada apa-apa gue tinggal teriak aja.” Kesya segera bangkit dan berjalan kedalam untuk mengambil sesuatu. Kemudian ia kembali keluar membawa kantong plastik hitam berukuran cukup besar dan berlutut disampingku untuk memasukkan kotak itu kedalamnya.        

         “Bentar ya, Gue buang ini dulu.” Kemudian ia kembali bangkit dan berjalan menuju tempat sampah yang ada diluar rumahnya.

         Ku pandangi punggung Kesya. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian disini. Ini sudah kedua kalinya aku melihat terror untuk Kesya. Aku tidak akan memaafkan diriku jika sampai hal-hal buruk terjadi padanya. Tidak, aku harus membuat keputusan yang tidak boleh ditolak oleh Kesya.

         Setelah kembali, Kesya tersenyum kepadaku untuk memberitahukan jika ia tidak apa-apa. “Yuk masuk, Van.” Ucapnya.

         Aku menahan pergelangan tangannya sebelum ia masuk kedalam. “Lo harus nginep di rumah gue, Sya. Tanpa penolakan!”

 

 

                                                                                                                               *********************

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CATATAN DR JAMES BONUCINNI
3105      1006     2     
Mystery
"aku ingin menawarkan kerja sama denganmu." Saat itu Aku tidak mengerti sama sekali kemana arah pembicaraannya. "apa maksudmu?" "kau adalah pakar racun. Hampir semua racun di dunia ini kau ketahui." "lalu?" "apa kau mempunyai racun yang bisa membunuh dalam kurun waktu kurang dari 3 jam?" kemudian nada suaranya menjadi pelan tapi san...
My sweetheart senior
16995      3166     3     
Romance
Berawal dari kata Benci. Senior? Kata itu sungguh membuat seorang gadis sangat sebal apalagi posisinya kini berada di antara senior dan junior. Gadis itu bernama Titania dia sangat membenci seniornya di tambah lagi juniornya yang tingkahnya membuat ia gereget bukan main itu selalu mendapat pembelaan dari sang senior hal itu membuat tania benci. Dan pada suatu kejadian rencana untuk me...
Deepest
1068      639     0     
Romance
Jika Ririn adalah orang yang santai di kelasnya, maka Ravin adalah sebaliknya. Ririn hanya mengikuti eskul jurnalistik sedangkan Ravin adalah kapten futsal. Ravin dan Ririn bertemu disaat yang tak terduga. Dimana pertemuan pertama itu Ravin mengetahui sesuatu yang membuat hatinya meringis.
Selfless Love
4622      1307     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Sekotor itukah Aku
402      304     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
Iblis Merah
9656      2568     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Bandung
24713      3077     6     
Fan Fiction
Aku benci perubahan, perubahan yang mereka lakukan. Perubahan yang membuat seolah-olah kami tak pernah saling mengenal sebelumnya - Kemala Rizkya Utami
Tembak, Jangan?
254      213     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Nirhana : A Nirrathmure Princess
15800      2354     7     
Fantasy
Depresi selama lebih dari dua belas tahun. Hidup dalam kegelapan, dan berlindung di balik bayangan. Ia hanya memiliki satu harapan, yang terus menguatkan dirinya untuk berdiri dan menghadapi semua masalahnya. Ketika cahaya itu datang. Saat ketika pelangi akhirnya muncul setelah hujan dan awan gelap selama hidupnya, hal yang tak terduga muncul di kehidupannya. Fakta bahwa dirinya, bukanlah m...
Memoar Damar
6152      2812     64     
Romance
Ini adalah memoar tiga babak yang mempesona karena bercerita pada kurun waktu 10 sampai 20 tahun yang lalu. Menggambarkan perjalanan hidup Damar dari masa SMA hingga bekerja. Menjadi istimewa karena banyak pertaruhan terjadi. Antara cinta dan cita. Antara persahabatan atau persaudaraan. Antara kenangan dan juga harapan. Happy Reading :-)