Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesya
MENU
About Us  

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah sembari meringis. Masih ada sedikit rasa penyesalan di dalam hatiku saat melihat Vina menangis tadi. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya bisa menghancurkan perasaan orang lain dengan begitu teganya. Tapi ini bukan masalah kasihan atau tidak. Aku juga tidak mungkin memaksakan kehendakku untuk menyukai seseorang yang sama sekali tidak ku sukai. Lagi pula, ada orang yang lebih menyukai Vina dibandingkan diriku.

         Dan jujur saja, aku mempunyai feeling jika orang iseng yang mengerjai Kesya itu tidak suka jika dia dekat denganku. Karena sebelumnya, Kesya pun tidak pernah mendapatkan terror seperti ini. Tapi saat kami mulai dekat, terror itu menimpanya. Terror yang mungkin saja adalah sebuah peringatan awal dari si pelaku seperti di film-film yang biasaku tonton. Dan aku tidak peduli jika kalian menganggapku ke-PD-an karena menganggap akulah penyebab Kesya mendapat terror itu. Jadi daripada dugaanku benar dan malah terjadi lagi, lebih baik ku cegah saja kan?

         Karena teori itu pula, aku menebak Vina dalang dari semua ini. Memang belum ada bukti, tapi lagi-lagi aku hanya mengikuti feelingku. Ya, aku percaya dengan perasaanku. Jadi aku harus segera mengakhiri semua ini agar Vina dapat mengerti jika aku tidak bisa menjadi miliknya.

         “Devan?” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku segera menoleh dan mendapati Meta berada disisiku.

         “Hai, Meta. Ada apa?” tanyaku.

         “Ini,” Meta mengeluarkan secarik kertas dari map yang dipegangnya. “ada undangan dari anggota osis. Kita mau ngadain syukuran untuk anak kelas 12 di puncak sehabis UTS nanti. Sekalian ngerayain datangnya tahun baru. Gue minta tolong ya sama lo kasih tau info ini ke temen-temen kelas lo. Dan ini nggak diwajibkan sih, tapi gue harap semuanya bisa hadir malam itu.”

         Aku menerima kertas itu dan membacanya sekilas. “Kita mau camping?”

         Meta mengangguk. “Ya, cuman dua hari satu malem aja kok. Sorenya kita langsung pulang. Anggap aja ini sebagai acara refresing kita sebelum bertempur di ujian nasional.”

         “Oh,” Aku mengangguk mengerti. “oke deh. Nanti gue sampein ke ketua kelas gue buat infoin ini. Makasi ya, Meta.” Ucapku.

         “Gue kali yang makasi, Van. Oh, satu lagi.” Ucap Meta menghentikanku saat aku ingin beranjak meninggalkannya. “Soal tawaran gue waktu itu gimana, Van?” tanyanya.

         Aku mengerjit bingung. “Tawaran apa, Ta?”

         “Ish, masak lo lupa sih. Dasar pikun!” ejeknya kemudian tertawa.

         Aku hanya menimpalinya dengan senyuman tipis. “Hehe, sorry gue emang pikunan orangnya.”

         “Yaampun, itu lo tawaran nyanyi pas prom night sekolah kita. Lo mau atau enggak ngewakilin anak kelas 12?”

         “Oh, itu toh." aku mengangguk mengerti. "Bukannya lo sempet bilang bakalan ada seleksi dulu ya? Terus kalau misalnya temen sekelas gue ada yang mau nyanyi juga gimana?”

         “Kalau itu lo tenang aja. Jadi lo itu ceritanya perwakilan anak kelas 12 aja, terus nanti lo juga akan ngebacain pidato perpisahan untuk angkatan dibawah kita sama guru-guru sekalian. Dan untuk temen-temen kita yang mau perform, bisa kok tampil pas acara hiburan setelah acara resminya berakhir.” Ucapnya panjang lebar.

         “Dan untuk masalah seleksi, kita pihak osis udah milih kok orang-orangnya. Terus kita adain voting dan lo paling banyak pemilihnya, Van.” Tambah Meta.

        Aku mengangguk untuk yang kedua kalinya. “Oke, deh. Kalau emang kayak gitu, gue juga nggak bisa nolak. Makasi infonya, Ta.”

         “Sama-sama. Kalau gitu, gue mau balik keruang osis dulu. Bye, Van.”

         Vina melambaikan tangan kearahku kemudian berlalu. Aku memandangi kepergiannya hingga ia menghilang diantara kerumunan siswa-siswi yang ingin balik ke kelas mereka. Aku benar-benar tidak ingat jika Meta adalah teman masa kecilku, yang kemudian pisah hingga bertahun-tahun lamanya. Bisa kalian bayangkan, sekarang kami bagaikan orang asing yang baru bertemu di sekolah ini.

         Bibirku terangkat. Ya, mungkin sebentar lagi kami bisa mengenang kembali masa kecil kita.

 

                                                                                                                                                          ************

 

Ku pantulkan bola basket berulang kali ke tanah. Sesekali ku lirik tempat parkir yang mulai ramai di datangi oleh orang-orang yang ingin berolahraga. Ku lemparkan bola basket ke dalam ring dengan kasar saat tak melihat sosok Denon dan Edo disana.

         “Mereka yang ngajakin main basket, tapi malah telat!” Gerutuku seorang diri.

         Ku lemparkan kembali bola basket ke dalam ring beberapa kali sampai seseorang berteriak memanggil namaku. “Devan!”

         Aku segera menoleh dan mendapati Denon dan Edo berlari kearahku. Saat aku hendak melambaikan tangan kearah mereka, Denon dengan cepat memukul rahang kiriku hingga aku tersungkur kebelakang.

         Ku rasakan darah keluar melalui sudut bibirku. Ku pandangi Denon dengan tatapan tak mengerti. “Apa-apaan lo main nonjok gue kayak gini!” bentakku. Ku rasakan beberapa orang yang sedang jogging mulai memperhatikan kami. Tapi aku tak mempedulikan pandangan mereka, yang kubutuhkan hanyalah penjelasan Denon yang terlihat begitu marah kepadaku.

         “Apa-apaan kata lo? Lo tu yang apa-apaan!” bentaknya balik. Denon berusaha kembali mendekatiku tapi ditahan oleh Edo.

         “Sabar, Non. Lo nggak bisa emosian kayak gini!” cegahnya.

         Bahu Denon terlihat naik turun, begitu pula denganku. Aku segera bangkit. “Apa salah gue sampai lo marah kayak gini? Padahal tadi di sekolah lo baik-baik aja?” tanyaku berusaha sabar. Karena jika emosi dibarengi dengan emosi semuanya tidak akan berakhir dengan baik.

         “Lo apain Vina sampai dia nangis kayak gitu, hah? Lo tau, gue paling yang bisa kalau ada orang yang berani nyakitin cewek yang gue suka walaupun dia sahabat gue sendiri!” bentaknya.

         Oke, sekarang aku tau pokok masalahnya. Denon tidak suka ada yang menyakiti Vina, dan aku sudah melakukannya.

         “Gue sama sekali nggak ada maksud buat bikin Vina nangis. Justru disini gue mau bantu lo supaya Vina sadar kalau yang tulus mencintai dia itu bukan gue tapi lo.” Ucapku sembari meringis merasakan sakit yang menjalar keseluruh wajahku.

         Denon tertawa sinis. Dihentak tangan Edo yang tadi memeganginya dan berjalan mendekatiku. “Denger ya, gue nggak suka cara bicara lo yang merendahkan gue kayak gitu! Mentang-mentang dia suka sama lo, bukan berarti gue nggak bisa ngalihin perhatiannya dia ke gue. Lo pikir gue sepengecut itu! Tanpa lo yang kasih tau ke Vina, gue bakalan kasih tau sendiri perasaan gue ke dia. Gue nggak butuh perantara kayak lo!”

         “Lo udah salah paham, Non. Gue nggak nganggap lo pengecut atau apapun itu. Gue cuman berusaha jujur ke Vina. Gue kasihan sama dia dan gue nggak mau terkesan ngegantungin dia terus. Gue cuman mau dia sadar, Non. Gue nggak mungkin ngulur-ngulur waktu terus.”

         Denon menarik bajuku. “Dan perlu lo tau, sekarang Vina justru benci sama gue! Tadi pulang sekolah gue liat dia lagi nangis sendirian di dalem kelas. Suatu kebetulan karena barang gue ada yang ketinggalan disana. Pas gue samperin, Vina justru natap gue dengan penuh kebencian. Dia marah dan ceritain semua yang udah lo bilang ke dia. Dia bilang nggak mau bicara sama gue lagi dan kalau bisa nggak ketemu gue sekalian!” ceritanya dengan penuh penekanan kemudian melepaskan bajuku. "Lo ngerti nggak? Dia ngerasa kalau gue yang ngebujuk lo buat nggak suka sama dia dan malah nyuruh dia buat jadian sama gue!"

         Aku terpaku sesaat mendengar ceritanya. “Lo bener-bener udah salah paham, Non. Oke, besok gue bakalan temuin Vina. Gue akan jelasin lagi semuanya dan please lo harus percaya kalau gue ngelakuin ini buat lo dan juga...” aku menghentikan ucapanku.

         Denon menaikkan sebelah alisnya. “Kesya?” tebaknya.

         Aku mengangguk mengiyakannya. Denon kembali tertawa tak suka. “Jadi lo sekarang udah bener-bener jatuh cinta sama dia? Singkat amat ya? Dulu aja ngomongnya susah, nggak suka. Dasar munafik!”

         “Gue lagi ngejalanin tantangan dari kalian dan sekarang lo malah bilang gue munafik? Mau lo apa sih sebenernya?” Bentakku kesal. Kini emosiku mulai tesulut dengan ucapan Denon. Aku ingin menarik kerah baju Denon namun langsung dicegah oleh Edo.

         “Oke, lo berdua mulai kayak anak kecil. Ini tempat umum, Bro. kalian nggak malu diliatin sama orang-orang disini?” tanyanya.

         Dengan cepat ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Dan benar saja, orang-orang mulai menggerubungi kami. Aku menghela nafas panjang. “Gue mau balik.” Ucapku final.

         Tanpa peduli lagi, aku berbalik dan meninggalkan mereka berdua. Setelah melihatku pergi, orang-orang yang awalnya berkumpul mulai bubar dan kembali ke kegiatan awal mereka. Dapat ku dengar Denon mengumpat di belakangku.

         Kenapa semuanya malah makin kacau begini. Mereka nggak tau kebenarannya, terutama Denon. Dia benar-benar sudah salah paham denganku. Aku tidak ingin membuat Vina menjauhinya, justru aku hanya ingin membuat Vina sadar.

         Tidak, bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak ingin persahabatan kami retak hanya karena perempuan. Aku menyayangi mereka seperti saudara kandungku sendiri. Aku harap semuanya bisa kembali seperti dulu lagi. Atau mungkin tidak?

 

 

                                                                                                                            ******************

        

         Aku memarkirkan motorku di bawah pohon yang rindang, melepaskan helm ku dan berjalan menuju kelas. Ya, kemarin adalah hari yang buruk. Aku tidak tahu apakah Denon masih marah denganku. Semoga saja dengan semalaman berfikir, dia akan mengerti jika apa yang aku lakukan itu semua demi dia juga.

         Saat melewati pintu gerbang, ku lihat Kesya sedang tertawa dengan pengendara motor sport hitam seperti sebelumnya.

        'Dia lagi.' Batinku tak suka.

         Siapa lagi kalau bukan Reihan. Ku lihat Kesya mencubit lengan Reihan dan membuatnya meringis kesakitan. Aku mengerutkan keningku. Dasar lebay, aku rasa cubitannya tidak akan sesakit itu.

         Reihan mengacak rambut Kesya pelan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Kesya yang terlihat kesal dengan perlakuannya itu. Kesya segera merapikan rambutnya yang berantakkan dan berbalik, sialnya mata Kesya malah menangkapku sedang memperhatikannya. Dia tersenyum dan berjalan mendekatiku.

         “Baru sampai juga, Van?” tanyanya.

         Aku tersenyum kikuk. “Eh, iya nih. Tadi itu Kak Rei ya?"

         Dasar Bodoh! Kenapa aku malah menanyakan itu kepada Kesya.

         "Iya, Van" jawabnya.

         "Oh. Ke kelas bareng, yuk.” Ajakku.

         Kesya mengangguk menyetujui, tapi kemudian dia menarik lenganku agar menghadap kearahnya. “Bibir kamu kenapa?” tanyanya lagi sembari memegang luka lebam akibat pukulan Denon kemarin.

         Aku meringis. “Aduh!”

         “Van?” panggilnya pelan. Ia segera mengambil saputangan dan sebotol air dari dalam tasnya. Kemudian dituangkannya air itu hingga saputangannya basah. Ia menarikku agar lebih dekat dan mengompres luka lebamku dengan air hangat.

         “Lo bawa dulu aja saputangan gue, ya?” ucapnya. Ia meraih tanganku kemudian meletakkannya di saputangan miliknya.

         “Makasi, Sya.”

         Kesya tersenyum. Astaga manis sekali. Aku selalu suka melihat senyum itu. Sangat natural tanpa paksaan sedikit pun. Hatiku langsung berdesir, aku senang akhirnya aku bisa membuatnya bahagia seperti ini. Aku akan selalu berusaha agar senyum itu dapat terus bertahan di wajahnya.

         Seketika aku teringat sesuatu. Reihan?

         Aku lupa jika laki-laki itu juga sering membuat Kesya tersenyum. Membawa kebahagiaan tersendiri untuk Kesya, seperti tadi. Tidak, aku tidak akan kalah darinya. Aku pasti bisa meluluhkan hati Kesya.

         “Van? Lo gapapa kan?” Panggil Kesya.

         Aku segera menggeleng. “Nggak kok. Yuk ke kelas.”

         Aku kembali merasakan tatapan itu. Tatapan aneh dan tidak suka di sekelilingku. Ku lirik Kesya, ia sama sekali tidak merasa terganggu dengan tatapan itu. Aku menghela nafas.

         ‘Dasar Cuek.’

         Sesampainya di kelas, kami langsung menuju tempat kami masing-masing. Saat hendak meletakkan tasku, Edo melambaikan tangannya. “Gue pindah kesini ya.” Ucapnya.

         Aku mengerjitkan keningku. “Denon?” tanyaku

         Edo mengangkat kedua bahunya. “Tadi dia telepon gue, katanya suruh pindah tempat. Belum sempet gue kasih komentar apa-apa, tu anak udah main matiin teleponnya secara sepihak.”

         Aku menghela nafas. Ternyata Denon masih marah padaku. “Oke deh.”

         Dan bisa kalian bayangkan sendiri. Dari Denon masuk ke dalam kelas hingga bel pulang sekolah, dia tidak menyapaku sama sekali. Bahkan kurasa melirik pun tidak. Berulang kali ku tarik nafas dalam-dalam. Apa ini yang namanya cobaan untuk persahabatan? Bahkan sebelumnya kami tidak pernah bertengkar seperti ini, paling hanya candaan belaka. Aku benar-benar kebingungan dan tidak tahu harus melakukan apa.

        Dan Vina? Yah sejak pertama kali melihatnya tadi pagi, matanya terlihat bengkak dan wajahnya sedikit pucat. Aku sempat mengkhawatirkannya dan ingin menanyakan keadaannya. Tapi sama seperti Denon, Vina seakan-akan tidak menganggapku ada. Dia terus memalingkan wajahnya dariku, dan jujur saja itu sedikit membuatku frustrasi. Aku benar-benar merasa sudah menjadi orang jahat sekarang.

         Edo sendiri terlihat agak kesusahan. Aku kasihan padanya, dia yang tidak ada masalah apa-apa justru harus yang paling repot disini. Jadi daripada dia harus bolak-balik seperti cacing kepanasan, ku sarankan saja agar dia selalu bersama Denon jika diluar kelas. Lagipula selama di dalam kelas, dia selalu berbicara denganku. Dan kuharap semoga Edo dapat mencairkan hati Denon yang sedang beku itu.

 

                                                                                                                               *****************

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monday
316      247     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
The watchers other world
2051      848     2     
Fantasy
6 orang pelajar SMA terseret sebuah lingkarang sihir pemanggil ke dunia lain, 5 dari 6 orang pelajar itu memiliki tittle Hero dalam status mereka, namun 1 orang pelajar yang tersisa mendapatkan gelar lain yaitu observer (pengamat). 1 pelajar yang tersisih itu bernama rendi orang yang suka menyendiri dan senang belajar banyak hal. dia memutuskan untuk meninggalkan 5 orang teman sekelasnya yang ber...
One-room Couples
1191      591     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Renafkar
9601      1841     5     
Romance
Kisah seorang gadis dan seorang lelaki, yakni Rena dan Afkar yang sama-sama saling menyukai dalam diam sejak mereka pertama kali duduk di bangku SMA. Rena, gadis ini seringkali salah tingkah dan gampang baper oleh Afkar yang selalu mempermainkan hatinya dengan kalimat-kalimat puitis dan perlakuan-perlakuan tak biasa. Ternyata bener ya? Cewek tuh nggak pernah mau jujur sama perasaannya sendiri....
Pensil Kayu
404      273     1     
Romance
Kata orang cinta adalah perjuangan, sama seperti Fito yang diharuskan untuk menjadi penulis buku best seller. Fito tidak memiliki bakat atau pun kemampuan dalam menulis cerita, ia harus berhadapan dengan rival rivalnya yang telah mempublikasikan puluhan buku best seller mereka, belum lagi dengan editornya. Ia hanya bisa berpegang teguh dengan teori pensil kayu nya, terkadang Fito harus me...
Klise
3174      1190     1     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
BAYANG - BAYANG JIWA
9587      2364     8     
Romance
Kisah aneh 3 cewek sma yang mempunyai ketidakseimbangan mental. Mereka tengah berjuang melewati suatu tahap yang sangat penting dalam hidup. Berjuang di antara kesibukan bersekolah dan pentingnya karir dengan segala kekurangan yang ada. Akankah 3 cewek sma itu bisa melalui semua ujian kehidupan?
KATAK : The Legend of Frog
435      351     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
I'M
9184      1835     4     
Romance
"Namanya aja anak semata wayang, pasti gampanglah dapat sesuatu." "Enak banget ya jadi anak satu-satunya, nggak perlu mikirin apa-apa. Tinggal terima beres." "Emang lo bisa? Kan lo biasa manja." "Siapa bilang jadi anak semata wayang selamanya manja?! Nggak, bakal gue buktiin kalau anak semata wayang itu nggak manja!" Adhisti berkeyakinan kuat untuk m...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
14364      2926     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.