Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesya
MENU
About Us  

Ku perhatikan setiap foto yang ada di handphoneku dengan hati terluka. Gambar di foto itu adalah beberapa momen saat aku dan Kesya sedang berada di bukit beberapa hari yang lalu. Di foto itu kami nampak bahagia dan senyuman seakan selalu terukir di setiap slidenya. Beberapa kali ku hembuskan nafasku saat mengingat momen yang ku rasa tidak akan pernah ku dapatkan lagi, karena semuanya sudah dihancurkan oleh tantangan konyol yang dulu pernah aku, Edo, Denon mainkan.

          “Shit!”

          Aku mengumpat sembari mengacak rambutku gusar. Denon benar-benar merusak hidupku sekarang. Aku tahu jika ia membenciku, tapi saat ini aku benar-benar berada di titik dimana rasa sayangku kepada Kesya bukanlah sebuah permainan lagi. Aku sungguh-sungguh ingin menemani ditengah keterpurukannya. Semua yang pernah kuucapkan padanya adalah tulus dari hatiku. Disaat aku dan Kesya sudah berada di zona saling mempercayai, kini semua itu seakan musnah hanya karena tantangan tolol itu terbongkar. Oke, bukan maksudku ingin menyembunyikannya dari Kesya. Suatu saat nanti pasti akan aku ceritakan awal mula kenapa aku mendekatinya, hanya saja saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu.

          Aku terus berusaha untuk menghubungi Kesya, tapi untuk kesekian kali pula ia tidak ada menjawab panggilanku. Setiap pesan yang kukirimkan padanya seakan angin lalu yang tidak ingin dihiraukannya. Bahkan kemarin malam aku sudah datang kerumahnya, tapi tidak ada respon sedikit pun darinya untuk membukakanku pintu. Aku tidak bisa seperti ini, aku harus segera menjelaskan semua kesalahpahaman ini.

          “KAK DEVANN!!!!!!”

          Suara adikku tiba-tiba saja memenuhi setiap sudut kamarku. Aku hanya bisa menutup telingaku sembari memandanginya geram. “Dik! Berapa kali kakak bilang kalau mau mau masuk itu ketuk pintu, bukan teriak kayak gitu!.”

          Seperti tuli, adikku hanya berjalan melewatiku kemudian duduk di kasurku. Aku berpaling kearahnya “Ngapain kamu ke kamar kakak? Lagi nggak ada kerjaan?”

          Tania melipat kedua tangannya kemudian menatapku. “Aku ini punya rahasia tau! Kakak mau aku kasih tau atau enggak?!” bentaknya.

          Aku menarik nafasku menahan amarah, bisa-bisanya adik psikopatku ini malah balik membentakku dimana seharusnya aku yang marah padanya. “Rahasia apa?” tanyaku to the point.

          Tania tersenyum penuh arti. “Kasih aku uang seratus ribu dulu baru aku kasih tau rahasianya!”

          “Hah?” aku melongok mendengar ucapan adikku. Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku dan berjalan menghampirinya. Aku langsung menjewer telinganya untuk mengusirnya dari kamarku. “Mending kamu keluar sekarang daripada cuman mau nyari masalah sama kakak.”

          “Aduhh sakit kak!” adikku mengerang cukup berlebihan padahal aku tidak menarik teringanya begitu keras. Segera ku lepaskan tanganku dari telinganya saat suaranya bisa mengundang kehadiran orangtuaku.

          “Dasar lebay! Buruan keluar sana, kakak lagi banyak kerjaan!”

          Adikku tetap bersikeras tidak ingin meninggalkan kamarku. “Ish, kakak! Aku itu bener punya rahasia, dan untuk melancarkan rahasia ini aku perlu minta uang sama kakak.”    

          “Yaudah, kamu minta aja uang sama mama! Kakak kan belum kerja, uang jajan kakak juga belum dikasih sama papa!”

          “Kemaren aku udah minta uang sama mama buat ganti barang temenku yang aku rusakin, jadi kalau aku minta lagi pasti aku kena hukum sama mama.” Tania memasang raut wajah sedih saat menceritakan ulahnya itu.

          Ya, satu lagi yang perlu kalian ketahui. Adik psikopatku ini sering merusak barang teman-temannya hingga ibuku harus mengganti barang yang di rusak oleh Tania. Sikap ceroboh serta keras kepalanya lah yang membuatnya serasa tidak punya malu terus-terusan melakukan hal tersebut.

          “Kakak nggak peduli, pokoknya kamu keluar dari kamar kakak sekarang.” Aku menarik tangan adikku namun ia tak bergerak sedikitpun karena tangan yang satunya memegangi pinggiran kasurku.

          “Aku nggak bohong kak, ini soal Kak Kesya—kyaa.”

          Aku melepaskan tangan adikku saat ia mengucapkan kata Kesya. Tania langsung terpental ke samping kasurku hingga lengannya terbentur pinggiran kasurku. Ia mengelus lengannya yang memerah. “Aduh, sakit tau!”

          Aku langsung berjongkok di sebelah adikku. “Rahasia apa yang mau kamu kasih tau kakak?”

          Tiba-tiba saja Kesya menjulurkan telapak tangannya di depanku. “Seratus ribu?”

          Aku memutar kedua mataku mendengarnya. “Iya, nanti kakak kasih habis kamu ceritain rahasianya ke kakak!”

          Tania menyipitkan matanya. “Janji?” kini ia menyerahkan kelingkingnya padaku.

          “Iya, dik! Emang kakak pernah bohong apa?” aku menautkan kelingkingku padanya.

          Ia mengangguk kemudian bangkit dari duduknya. Aku pun mengikutinya yang duduk bersila di atas kasurku. “Besok itu hari spesial buat Kak Kesya. Jadi tadi tuh Bunda Dena nelpon mama, terus kita di undang buat dateng ke panti asuhan. Karena besok juga hari minggu, jadi mama nyetujuin undangan itu.”

          Aku menyipitkan mataku. “Kamu nggak lagi bohong kan dik?”

          Tania melipat kedua tangannya. “Emang aku pernah bohong sama kakak?” tanyanya sensi.

          Aku memutar bola mataku mendengar pertanyaan. Aku tidak akan menyahuti pertanyaannya, karena aku yakin kalian pasti sudah tahu yang sebenarnya.

          “Emang mama ada bilang kalau Kesya bakalan ngerayain ulang tahunnya di panti asuhan?”

          Tania menggelengkan kepalanya. “Tapi, waktu Kak Kesya nginep disini, aku pernah nanya kapan ultahnya dan Kak Kesya bilang tanggal 9 Maret. Aku sampe lingkerin kok di kalender dapur, jadi aku nggak mungkin salah. Jadi, menurut instingku, besok itu kita bakalan ngerayain ultahnya Kak Kesya di panti asuhan.”

          Ku perhatikan lebih dalam raut wajah adikku untuk memastikan apakah kali ini ia sungguh-sungguh atau hanya mempermainkanku saja. Tania yang melihatku tak menyahut segera mencubit pipiku. “KAKAK!!”

          “Aduhhh!!” aku melepaskan tangan adikku dari wajahku. “Iya-iya kakak percaya sama ceritamu!”

          Tania tersenyum penuh kemenangan. “Yaudah, mana uangnya sekarang?”

          “Pertanyaan kakak, uangnya mau kamu pakek buat apa? Buat bayar barang temenmu yang kamu rusakin lagi?”

          “Ish! Kakak ini gimana sih? Jelas-jelas tadi aku udah bilang kalau uangnya itu mau aku pakek buat ngejalanin rencana ini. Yang artinya, aku mau pakek uangnya buat beliin Kak Kesya hadiah!"

          “Ohh…” aku mengangguk mendengar penjelasan adikku.

          “Yaudah,” aku segera bangkit dari dudukku dan langsung mengenakan jaket yang tersampir di kursi belajarku. “kalau gitu sekarang kita beliin Kak Kesya hadiah. Dan kakak juga mau minta bantuan kamu.”

          Tania menaikkan sebelah alisnya. “Bantuan aku? Mau ngapain emangnya?”

          Aku tersenyum dan segera mendekatkan bibirku ke telinganya. Aku segera membisikkan rencanaku kepada adik psikopatku ini. Tania langsung mengangguk menyetujui ucapanku. “Siap deh! Aku jamin Kak Kesya bakal suka sama hadiah kita.”

          Kami berdua langsung berhigh-five dan segera menuju mall untuk mencari hadiah spesial untuk Kesya. Dan ku harap, besok bisa menjadi hari dimana Kesya akan memaafkan ku kembali.

 

                                                                                             ******************

Untuk pertama kalinya di hari minggu ini aku bangun pada pukul 5 pagi. Entah apa yang menggangu pikiranku, rasanya otak ini tidak bisa tenang dan ingin rasanya matahari cepat bangun juga dari tidurnya hingga bisa menyinari hari yang istimewa ini.

          Sebelum mandi, aku menuju meja belajarku terlebih dulu untuk menuliskan surat permohonan maaf serta penjelasan tentang tantangan yang aku, Edo, dan Denon mainkan dulu. Dan aku juga menuliskan jika selama ini yang menjadi pelaku terror yang mengejarnya adalah Vina serta Denon. Aku pun memasukkan bukti foto yang kemarin sudah ku cetak walaupun tampang Denon dan Vina tidak terlalu jelas disana. Semoga dengan aku memberikan surat ini kepadanya, ia akan mengerti dan bisa memaafkan ku walaupun kami tidak bisa seakrab dulu lagi. Untuk masalah Denon dan Vina, aku akan segera mengurus mereka besok setelah ku beritahukan cerita ini kepada Kesya.

          Tepat pukul 7 pagi, aku sudah siap dengan pakaian kemeja rapi dengan celana panjang berwarna hitam. Rambutku pun yang biasanya berantakan kini ku sisir rapi agar terlihat lebih menawan.-ku harap kalian tidak menganggapku kegeeran karena hari ini aku memang terlihat menawan-.

          Saat keluar dari kamarku, suasana benar-benar terasa hening. Ini aku yang terlalu bersemangat atau memang pagi ini tidak terdengar suara apapun dari segala penjuru ruangan di rumah ini. Bahkan biasanya, ibuku sudah sibuk dengan pancinya jika kami akan berpergian pagi sekali. Tapi kali ini terlihat berbeda, semua terdengar sunyi. Aku pun memeriksa setiap ruangan seperti dapur, kamar mandi bawah, dan halaman depan.

          “Apa mereka masih pada tidur?” gumamku seorang diri.

          Aku pun segera berlari ke kamar adikku yang masih tertutup. Dengan kasar ku buka pintu kamar Tania dan dengan kesal menerjang masuk ke dalamnya.

          “Dik! Bangunn!” aku membuka selimut adikku yang menutupi tubuhnya. Ku goyangkan tubuh adikku agar ia segera bangun tapi tetap tidak ada respon darinya. Aku berkacak pinggang di sampingnya menahan kesal, bisa-bisanya adikku ini menipuku kemarin jika kami akan berangkat pagi-pagi sekali.

          Senyum jahilku langsung muncul saat ku lihat hidungnya yang terlihat kembang kempis secara beraturan. Segera ku jepit hidung kecilnya dengan kedua jariku agar ia kehabisan oksigen. Benar saja, baru dua detik ku jepit hidungnya, ia sudah pengap dan langsung meninju pelipisku ini dengan tangannya. Sontak aku menjauh dan memegangi pelipisku yang terasa nyeri oleh hantamannya. Ku pandangi adikku dengan geram. “Kamu abis mimpi ninju orang ya? Sakit nih wajah kakak!”

          Bukannya menjawab pertanyaanku, ia masih berusaha menarik nafas sebanyak-banyaknya seakan ia baru keluar dari kolam berenang setelah tenggelam berjam-jam. Tania memandangku dengan wajah khas baru bangun tidurnya, ‘jelek tentu saja’.

          “Kakak jahat banget sih! Mau buat aku mati muda? Aku nggak bisa nafas tau!”

          Aku memutar bola mataku. “Kakak cuman jepit hidungmu dua detik tapi kamu udah buat pelipis kanan kakak lebam. Jadi kamu sama jahatnya sama kakak!”

          Tania melipat kedua tangannya. “Aku mau lanjut tidur, kakak keluar sana!”

          “Enak aja, jelasin dulu kenapa kamu, mama, sama papa masih tidur jam segini padahal kemaren kamu bilang kita mau ke panti asuhan jam 7 pagi?”

          Seakan ucapanku hanya angin lalu, Tania langsung merebahkan dirinya dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimat. Aku mengepalkan kedua tanganku melihat tingkahnya ini, seharusnya aku mendapat penghargaan sebagai kakak tersabar di dunia.

          Aku berjalan mendekati adikku dan segera menarik selimutnya kemudian melemparnya ke sembarang tempat. Aku menjewer telinganya sekaligus menutup mulutnya untuk mencegah teriakannya terdengar hingga ke kamar orangtuaku.

          Tania langsung memukul lenganku karena kesakitan. Kali ini aku memang menjewernya cukup keras agar ada efek jera yang ia terima. Setelah puas dan tentu saja karena hati nuraniku sebagai seorang kakak muncul, aku langsung menjauhkan diriku darinya. Tania mengusap telingaku yang memerah dan memandangiku ingin menangis.

          Melihat air matanya muncul, aku langsung mendekatinya dan memeluknya. Tania terisak di dadaku dan aku langsung mengelus rambutnya pelan. “Maafin kakak ya dik, kakak nggak maksud nyakitin kamu kok.”

          “Sakit tau kak, Hiks.”

          “Iya-iya kakak yang salah deh. Tapi kamu juga nyebelin, ngapain kamu bohong sama kakak? Padahal kalian aja belum bangun jam segini.”

          Aku melepaskan pelukanku darinya. Tania menghapus air mata yang membasahi pipinya, ia memandangku dengan wajah memerah. “Iya deh, aku juga salah. Maaf ya kak. Sebenernya aku cuman pengen bercandain kakak, pengen aja liat kakak pas lagi buru-buru pengen ketemu Kak Kesya padahal acaranya itu mulai jam lima sore.” Kali ini Tania langsung tertawa setelah mengucapkan kata-kata itu.

          Aku benar-benar melongo mendengar cerita adikku. Pelajaran buatku, aku tidak akan pernah mendengar perkataan adikku lagi sampai kapanpun!

          Aku menarik nafasku pelan. “Oke, sebenernya kakak pengen banget buat kamu menderita sekarang karena kamu buat kakak bangun pagi di hari libur yang cerah ini. Tapi kakak nggak bakalan ngelakuin itu, tenang aja.” Aku tersenyum kearah Tania dengan tampang dipaksakan.

          Adik psikopatku ini langsung tertawa dengan puasnya. Ia sampai memegangi perutnya saat mengingat kembali ceritaku yang harus bangun pagi karenanya. Aku melipat kedua tanganku menunggunya sampai Tania berhenti tertawa. Setelah di rasa puas, ia langsung menjulurkan lidahnya kearahku. “Wekk!!! Sapa suruh percaya sama aku! Udah ah, Tania mau tidur lagi!.”

          Tania langsung merebahkan tubuhnya. Aku segera bangkit dan menjauhi tempat tidurnya. Pikiran jahatku tiba-tiba saja memberikanku ide untuk melakukan aksiku jahilku terhadap Tania. Tepat saat aku hendak menutup pintu kamarnya, aku langsung memindahkan kunci kamarnya ke bagian luar agar aku bisa menguncinya dan ia tidak bisa keluar dari kamarnya. Setelah mendengar bunyi terkunci, ku dengar Tania langsung berteriak dari balik kamarnya dan menggedor-gedor pintu kamarnya sendiri. Kali ini pun aku berusaha tuli dan kembali ke kamarku untuk melanjutkan tidurku hingga siang nanti.

 

                                                                                                  ***************

Aku memandangi halaman depan dengan kesal. Hari ini aku hukum oleh ibuku untuk membersihkan sepatu haknya yang akan ia gunakan ke panti asuhan. Semua ini tentu saja karena ulah adikku, Tania. Bisa-bisanya dia melebihkan perlakuanku padanya pagi tadi. Jadilah ibuku menyuruhku untuk membersihkan sepatu agar aku tidak bertengkar terus dengan adikku.

          Mungkin kalian menganggapku sebagai anak laki-laki manja yang menuruti begitu saja semua kemauan ibunya tanpa ada perlawanan sedikitpun mau itu perbuatan memalukan sekalipun. Asal kalian tau saja, aku sama sekali tak berani untuk melawan setiap perkataan dari ibuku. Semua berawal saat ibuku akan melahirkan adikku, Tania. Bagaimana pengorbanan beliau yang seakan berada di ambang hidup dan mati. Aku melihat bagimana ibuku menutup matanya perlahan saat Tania berhasil dilahirkan. Dan ibuku sama sekali tak merespon saat dokter dan ayahku memanggil namanya. Aku dan ayah benar-benar panik, aku sampai memukul perut ayahku sembari menangis sekencang-kencangnya. Aku tidak ingin jika ibuku dipanggil oleh Tuhan begitu cepat, aku ingin membahagiakan beliau dengan prestasiku. Saat itu aku terus berdoa pada Tuhan dengan mengatakan kalau aku tidak akan menentang semua ucapannya. Dan aku sangat bersyukur karena Tuhan masih menyayangi keluarga kecilku ini, ibuku masih bisa melihat dunia lagi setelah koma beberapa hari. Darisana lah aku berusaha menepati janjiku untuk tidak akan menyakiti hati ibuku tercinta. Karena dari beliaulah, aku bisa merasakan indahnya dunia ini.

          Tinn…

          Ku dengar suara klakson dari depan rumahku. Ku sipitkan mataku saat melihat ada yang turun dari sedan hitam yang berhenti disana. “Meta?” gumamku.

          “Siapa, Van?” panggil ibuku dari dalam rumah. Ku dengar langkah kaki mendekati ku.

          “Ngapain Meta kesini, Ma?” tanyaku saat ibuku sudah berada di luar.

          “Udah, kamu nggak usah banyak tanya. Sana ambil barang-barang kamu, hari ini kita bakalan naik mobil keluarganya Meta.”

          Ibuku langsung meninggalkanku yang masih terpaku di tempat. Adikku pun langsung keluar dari dalam rumah dan mengekori ibuku tanpa mau melihatku. Tak mau ambil pusing, aku segera berbalik untuk mengambil barang-barangku yang masih tertinggal di atas sofa. Setelah mengecek semua barangku, terutama kado serta surat yang akan ku berikan pada Kesya, akupun langsung berlari keluar rumah dan tak lupa mengunci pintu depan rumahku.

          Aku bergegas menuju mobil Meta. Aku pun baru ingat jika hari ini ayahku berhalangan ikut karena urusan pekerjaan, mungkin karena itu ibuku meminta Ibu Meta untuk menggunakan mobil mereka saja. Kulihat ibuku masih belum memasuki mobil dan menunggu diluar. “Kok nggak masuk, Ma?”

          “Kamu duduk di jok belakang ya sayang, adik kamu minta di depan. Jadi mama harap kamu mau mengalah.” Ibuku mengelus rambutku dan tersenyum.

          Aku membalas senyuman ibuku. “Iya, Ma.”

          Aku segera masuk ke dalam mobil. Dibagian belakang, ku lihat Meta melambaikan tangannya sebelum akhirnya menupuk pelan bagian kiri kursinya. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. Setelah semua masuk, sopir pribadi Meta segera melajukan kendaraannya.

          Ibuku dan Ibu Meta langsung hanyut dalam obrolan mereka. Sedangkan adikku Tania kulihat sedang asyik membaca komik yang kemarin baru ku belikan untuknya. Seketika hatiku kesal, dasar adik nggak tau terima kasih. Untung adik kandung, kalau enggak udah ku remes-remes dia.

          Masih menahan rasa jengkel di hatiku, tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku segera menoleh kearah pemiliknya dan tersenyum. “Hey.” Sapaku.

          Meta membalas senyumanku. “Hei, Van. Ngomong-ngomong lo kenapa? Daritadi gue perhatiin muka lo bete banget?”

          Aku membuang nafasku dan menghempaskan tubuhku ke sandaran mobil. “Gue baik kok, Met.” Jawabku singkat.

          “Oh, yaudah.” Meta menganggukkan kepalanya kemudian memandang kesisi kanan jendela. Akupun melakukan hal yang sama disisi jendela satunya. Keheningan terjadi diantara kami berdua, ibuku dan ibu Meta masih sibuk dengan cerita mereka. Yah, bukan rahasia umum lagi bagaimana jika ibu-ibu sudah berkumpul.

          “Nggak kerasa ya bentar lagi kita udah mau UN.” Ucap Meta.

          Aku menoleh kearahnya. “Yah, begitulah waktu. Kita nggak akan pernah bisa ngerasain gimana mereka berjalan. Btw, sebelum UN jangan lupain ujian praktek sama US.” Ucapku mengoreksi.

          Meta tertawa mendengar ucapanku. “Iya, Van. Buat gue yang super sibuk kayak gini mah udah nggak bisa mikirin itu lagi, noleh dikit adalah andalan gue.”

          Aku melipat kedua tanganku. “Tapi gue saranin lo kurangin dikit kesibukan lo di osis. Kasian, waktu lo tinggal bentar lagi buat nerima pelajaran di kelas. Setidaknya manfaatin waktu itu sebaik mungkin buat belajar materi ujian.”

          Meta memandangku lama setelah aku mengucapkan kata-kata menasehatinya. Akupun balik menatapnya dengan wajah bingung, apa aku ada salah kata ya?

          Aku mengusap tengkukku karena risih. “Eee, Met? Gue ada salah ngomong ya?” tanyaku akhirnya.

          Meta langsung tersadar dan memalingkan wajahnya dariku. Tak lama setelahnya, ia tertawa dan kembali menoleh kearahku. “Sori, lo nggak ada salah ngomong kok.”

          Aku kembali menatapnya bingung. “Lo kenapa sih?”

          Meta menggelengkan kepalanya. “Udah, nggak usah lo pikirin. Oh iya,” kali ini Meta menepuk jidatnya sendiri.

          Aku menautkan keningku. “Nah, sekarang lo kenapa lagi nih?”

          Meta tersenyum kecut kemudian mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Gue lupa besok ada tugas.” Bisiknya.

          “Tuga?—pffttt” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Meta langsung menutup mulutku dengan tangannya. Ia memberikan isyarat agar aku tidak mengucapkan sepatah katapun jika ia melepaskan tangannya dariku. Aku pun mengangguk menyetujuinya. Melihatku mengangguk, ia pun menjauhkan dirinya dariku.

          “Kenapa?” ucapku tanpa suara.

          Meta kembali mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Awalnya mama ngelarang gue buat ikut gara-gara kemaren malem mama ngeliat gue lagi ngerjain tugas. Tapi gue tetep maksa ikut dan janji bakal buat tugasnya tadi pagi. Tapi gue lupa ngerjainnya karna asik diskusi sama anak osis di sekolah.” Setelah menceritakan hal tersebut, Meta kembali menjaukan tubuhnya dariku.

         "Makanya, jangan sampe nyokap gue tau. Sstt." Ucapnya dengan suara rendah.

          Aku pun mengangguk mengerti. “Oh, gitu." Aku menggaruk kepalaku. "Met, kalau lo emang butuh bantuan dalam hal pelajaran, lo bisa minta tolong sama gue kok.”

          Meta menatapku tak percaya. “Serius nih?” tanyanya antusias.

          Aku mengangguk mengiyakan. “Dan lo tenang aja, bimbingan gue nggak di pungut biaya sepeserpun kok.”

          Meta langsung tertawa mendengar ucapanku. “Iya. Tapi gue serius lo, Van. Gue butuh banget bimbingan sebelum UN. Terutama di pelajaran fisika. Aduh, rasanya mau mati gue mikirin itung-itungannya.”

          Kali ini aku yang tertawa mendengar ucapannya. Tiba-tiba pikiranku teringat akan sahabatku.  “Lo kayak Edo aja sih, mungkin kalian berdua cocok kalau gue jodohin.”

          Meta memukul lenganku. “Ish, apaan sih. Gue serius, lo beneran mau ngajarin gue kan?”

          Setelah berhasil mengontrol tawaku, aku langsung menatap Meta. “Iya, gue juga serius kok. Nanti lo tinggal kontak gue aja kalau mau belajar bareng.”

          “Siap deh.”

          Aku dan Meta kembali larut dalam obrolan kami. Kami membicarakan kejadian-kejadian yang sering ada di SMA Harnas, seperti guru killer, murid paling nakal, Pak Gindul yang akhir-akhir ini menjadi bahan gosip karena sedang dekat dengan salah satu guru baru yang ada di sekolah kami, dan masih banyak lagi hal yang Meta ceritakan padaku yang ternyata tidak aku ketahui sebelumnya. Meta pun berkali-kali membuatku tertawa karena sikap konyolnya. Ternyata teman masa kecilku ini atau mungkin sempat hilang sesaat dari pikiranku kini kembali muncul di hadapan. Aku pun seakan merasakan dejavu saat bercerita dengannya, seakan percakapan ini pernah terjadi sebelumnya. Yah, setidaknya aku bisa kembali bertemu dengan teman masa kecilku sebelum benar-benar ku lupakan.

          “Devan, Meta. Ayo turun.” Suara ibuku langsung menyadarkan kami berdua. Tak terasa kami sudah sampai di parkiran panti asuhan.

          “Iya, Ma.”

          Aku langsung turun mendahului Meta. Aku menoleh ke adikku yang sudah bergabung dengan geng kecilnya saat pertama kali kesini. Ku pandangi sekelilingku dan tak ada banyak kendaraan disini, pikiranku justru sekarang akan banyak undangan yang datang ke panti asuhan. Apa itu berarti acara ini cuman acara kecil-kecilan saja?

          “Van?” panggil Meta.

          Aku segera menoleh kearahnya. Ku lihat ia memperlihatkan sesuatu padaku. “Ini punya lo bukan?”

          “Oh iya, gue lupa.” Aku langsung mendekati Meta dan mengambil totebag berwarna biru itu.

          “Kalau boleh tau, itu apaan?” tanya Meta.

          Aku menatap Meta. “Bukan apa-apa kok, cuman hadiah kecil aja. Yaudah yuk, kita masuk ke dalem.”

          Tanpa bertanya lagi, Meta mengangguk menyetujuinya dan kami langsung berjalan masuk ke dalam gedung panti asuhan. Tidak banyak yang berubah dari panti asuhan ini sejak aku pertama kali datang kemari beberapa waktu lalu, semua masih tetap sama dan ku rasa timbul sedikit kenangan disini. Ya, saat melewati ruangan bertuliskan ‘Kitchen’, tiba-tiba saja otakku kembali terngiang dengan Kesya. Entah kenapa hatiku terasa nyeri saat memikirkannya, aku rindu dan sangat menyesal dengan semua tantangan itu. Jika tahu semuanya akan berakhir menyakitkan, aku tidak akan pernah berkata 'iya' untuk menjawab tantangan konyol dari kedua sahabatku itu-oh, satunya mantan sahabatku lebih tepatnya-.

          “Van?”

          “Eh..” aku tersentak saat Meta memanggilku. “Ya?”

          “Daritadi gue ngajak lo ngomong, lo nggak dengerin ya?” tanyanya menyelidiki.

          Aku mengusap tengkukku. “Sori, Met. Emang lo ngomong apaan?”

          Meta mengibaskan tangannya. “Nggak penting kok. Oh ya, mama mana ya? Kita harus kemana ni---ehh awas.”

          Tiba-tiba saja beberapa anak melintasi kami sambil saling melemparkan kapur tulis. Tanpa sengaja anak-anak itu muncul dari ruangan yang kami lewati dan langsung menabrakku dan Meta hingga kami berdua tersungkur ke belakang. Meski tidak terlalu keras, ku rasakan pantatku berciuman dengan lantai dan itu cukup membuatku mengaduh kesakitan. Ku perhatikan bajuku terkena lemparan kapur hingga meninggalkan jejak putih disana. Dengan cepat ku bersihkan noda itu dan teringat akan Meta yang juga terjatuh disampingku. Aku menoleh kearah Meta untuk memastikan keadaannya.

          “Meta, lo gapapa kan?” Ku liat ia sibuk mengibaskan tangannya.

          “Mata gue kayaknya kemasukan sesuatu deh, perih banget.” ucapnya.

          Aku langsung membalikkan tubuhku Kearah Meta. “Sini, gue tiupin ya.”

          Meta mengangguk setuju dan berusaha membuka matanya. Ku dekatkan wajahku dan meniup matanya secara perlahan. “Gimana? Masih perih?” tanyaku.

          Meta mengijap-ngijapkan matanya. “Masih sih, tapi nggak separah tadi kok.” Jawabnya.

          “Eh, kening lo kena kapur tu.” Ku bersihkan sisa kapur yang ada di kening Meta. Setelah bersih, aku langsung berdiri dan mengulurkan tanganku ke Meta. “Sini, Met.”

          Meta meraih tanganku. “Thanks ya, Van.”

          Ku tepuk-tepukkan tanganku yang terisi kapur. “Iya, sama-sama." Ku pandangi halaman rumah dimana anak-anak yang tadi menabrak kami kini tengah bermain. "Gue rasa adik-adik tadi terlalu semangat mainnya, sampe nggak nyadar nabrak kita.”

          Meta tertawa mendengarku. “Namanya juga anak kecil, dipikiran mereka cuman ada main doang.”

          Aku mengangguk menyetujui perkataan Meta.

          “Eh, adik lo bukan sih?” ucap Meta. Aku segera mengikuti arah pandangnya. “Iya.” Jawabku sekenanya.

          “Kok jawabnya gitu banget sih? Lagi berantem?”

          Aku mengangkat bahuku. “Nggak, lagi males aja liat mukanya.”

          “Idih, jahat banget sih sama adik sendiri.” Meta kembali tertawa.

          “Biarin aja, dia juga jahat sama gue.”

          Tiba-tiba saja Tania sudah berada di depanku. “Kakak, dicariin mama tau! Buruan, acaranya mau mulai!” bentaknya.

          Aku menarik nafas panjang. “Ini juga kakak mau jalan kesana tau!” ucapku tak kalah sengit.

          Tania melipat kedua tangannya. “Yaudah, kalau gitu buruan kesana!”

          “Iya, dasar bawel!” aku menatap adikku tak suka begitu pula sebaliknya. Setelah cukup lama bertatapan seakan ada sinar laser yang keluar dari mata kami, aku pun langsung memalingkan wajahku sedangkan adikku berjalan meninggalkan kami berdua. Aku melipat kedua tanganku melihat kepergian adik psikopatku itu.

          Tiba-tiba ku dengar suara tawa disebelahku. Meta sedang tertawa entah karena apa sebabnya. Aku mengkerutkan keningku. “Kenapa?” tanyaku kebingunan.

          Setelah berhasil mengontrol tawanya, ia menatapku sambil menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, lucu aja ngeliat kalian berantem kayak tadi. Lo mirip anak kecil tau, tapi gue suka kok litanya.”

          Aku menghembuskan nafas malas. “Yah, begitulah gue kalau udah debat sama tu monster cilik. Gue jadi kebawa sifat anak kecil kalau udah deket dia.”

          “Ya ampun,” Meta menggelengkan kepalanya. “yaudah mending kita cari nyokap kita dulu. Yuk.”

          Kami berdua kembali melanjutkan perjalanan kami. Aku dan Meta menuju halaman belakang yang kulihat sudah dihiasi dengan beberapa balon disetiap pohonnya. Dan tepat di tengah-tengah halaman, terdapat meja dan diatas meja tersebut terdapat spanduk bertuliskan “Happy Birthday Kesya 18th”. Ternyata adikku calon detektif yang handal, ia bisa ngambil kesimpulan yang tepat dari dua informasi yang didapatnya. Tidak seperti diriku, belum menjadi seorang detektif saja sudah mengacaukan semua bukti yang ada.

          “Jadi ini ulang tahun Kesya?” tanya Meta.

          “Iya. Gue juga awalnya nggak tau kok kalau sekarang ultah dia.” jawabku.

          “Berarti tas yang lo pegang itu isinya kado buat Kesya?” tebak Meta.

          Aku mengangguk mengiyakan. “Kesana yuk, Met.”

          Aku mengajak Meta menuju tempat dimana ibuku sedang duduk. Ku lihat disana ada Ibu Meta dan juga Bunda Dena. Kulihat ada dua orang lagi yang duduk di sebelah Bunda Dena, tapi aku tidak mengenal siapa mereka.

          “Ma?” panggiku.

          Ibuku langsung menoleh. “Eh, Devan.” Ibuku langsung memalingkan wajahnya. “Ini Ketrin anakku, gimana ganteng kan?”

          Wajahku seakan panas mendengar ucapan ibuku. Tapi aku hanya diam saja dan mencoba tersenyum kepada wanita yang ibuku panggil Ketrin itu.

          “Wah, iya ganteng kok. Mungkin kalau di jodohin sama Kesya boleh juga.”

          Aku mengkerutkan keningku. Kesya? Apa dua orang ini orangtua Kesya.

          “Halo Devan, kenalin tante mamanya Kesya dan ini Om Daniel ayahnya.” Tante Ketrin memperkenalkan pria yang ada di sebelahnya. Aku langsung menyalami Tante Ketrin dan Om Daniel secara bergantian. “Kalau saya Devan om, tante.” Jawabku.

          “Nah, kalau ini Meta anakku. Ayo salam juga Meta.”

          Meta mengangguk dan menyalami orangtua Kesya sama halnya seperti yang ku lakukan tadi. “Saya Meta.”

          “Kalian bertiga satu sekolah ya? Kok nggak pernah main kerumah?” tanya tante Ketrin.

          “Kebetulan saya nggak satu kelas sama Devan dan Kesya tante. Kami juga akrab baru-baru ini kok.” Jawab Meta.

          Tante Ketrin mengangguk dan menoleh kearahku. “Kalau kamu satu kelas ya sama Kesya? Boleh dong main-main kerumah tante kapan-kapan.”

          Saat hendak menyahuti ucapan tante Ketrin, adikku yang ternyata dari tadi nyempil di sebelah ibuku memotongnya duluan. “Kak Devan sama Kak Kesya kan pacaran, jadi pasti sering ngapelin Kak Kesya kesana.” Ucapnya.

          Aku menatap adikku dengan wajah melongo. Bagaimana anak sekecil dia tahu arti dari kata 'apel?!'. Bener-bener bocah nggak tahu malu plus perusak suasana. Awas aja, aku nggak bakal maafin dia nanti.

          “Wah, seriusan? Kok Kesya nggak ada cerita apa-apa sama tante. Soalnya yang tante tau, Kesya cuman deket sama Reyhan aja.”

          Setelah mengucapkan kalimat itu, Meta langsung tersedak saat meminum minumannya. Semua yang ada disekitar kami langsung menoleh karahnya. Aku langsung mengusap punggungnya agar ia bisa berhenti dari batuknya.

          “Kamu kenapa Meta?” tanya ibunya.

          “Lo kenapa, Met?” bisikku.

          Meta menggelengkan kepalanya. “Permisi, Meta mau ketoilet dulu ya.” Setelah itu Meta langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju toilet.

           “Meta kenapa, Van?” tanya ibuku.

          Aku mengangkat bahuku. “Nggak tau, Ma.”

          Tante Ketrin melihat jam tangannya. “Eh, udah mau jam lima nih. Kesya kemana ya?”

          “Tadi aku ketemu Kak Kesya pas mau nyamperin Kak Devan. Tapi aku lupa nanya mau kemana.”

          Tante Ketrin menganggukkan kepalanya. “Dena, gimana kalau kita kumpulin anak-anak sekarang. Kasian kalau kemaleman, besok juga mereka harus sekolah kan. Aku bakalan telpon Kesya supaya dateng kesini."

          “Biar aku aja yang ngumpulin anak-anak, kalian diem disini aja.” Ucap Om Daniel. Kemudian segera menuju halaman untuk memanggil semua anak-anak yang ada dan langsung membagikan bingkisan berisi makanan ringan. Ku pandangi Ayah dan Ibu Kesya dalam diam, ternyata orangtuanya memang penyayang terutama dengan anak-anak. Tak heran Kesya juga mempunyai sifat yang sama seperti mereka. 

          “Itu Kak Kesya.” Teriak Tania. Kami semua langsung menoleh kearah yang ditunjuk oleh adikku.

          “Wow.” Ucapku tanpa sadar. Pandanganku seakan langsung teralihkan kepadanya. Hari ini Kesya benar-benar terlihat anggun dengan gaun putih yang dikenakannya. Rambut yang setengah di gerai dengan hiasan bunga mawar di tengahnya. Riasan tipis di wajahnya membuatnya terlihat sangat natural dan sangat senada dengan kulit putihnya. Hari ini ia benar-benar terlihat seperti princess ‘Belle’ di dunia nyata.

          “Devan? Tolong matanya di jaga.” Ucap ibuku menjahili.

          Aku tersentak dan tersenyum kikuk. Ku pandangi Kesya yang seperti langsung memalingkan wajahnya dariku. Huft, ternyata ia masih marah denganku. 

          Aku pun kemudian menatap ibuku malu. “Ma, please deh. Jangan kayak Tania suka buat fitnah.” Ucapku.

          Semua yang ada disana langsung tertawa. Aku menutup wajahku sembari menggelengkan kepala. Ibu dan adikku ini benar-benar pinang dibelah dua!

          “Kesya, sini sayang.” Tente Ketrin melambaikan tangannya ke Kesya. Kesya menoleh dan berjalan kearah kami. Padahal aku sangat ingin memandangnya sekarang, tapi gara-gara ucapan ibuku, aku jadi harus menjaga mataku saat ini. Lagipula, saat tadi aku melihatnya, ia pun membuang mukanya dariku.

          “Ya, Ma?”

          Tante Ketrin bangkit dari duduknya dan menghampiri Kesya. “Bukannya tadi kamu minta pakek baju kaos aja ya? Kok sekarang malah berubah pikiran?’

          “Wah, iya kak. Tadi juga pas kita papasan kakak nggak pakek baju ini?” tanya Tania.

          Kesya tersenyum kikuk. “Eeee, gapapa kok. Tiba-tiba pengen aja.” Jawabnya.

          Perlahan aku mulai berani kembali melihat wajahnya itu. Cantik.

          “Atau…” tiba-tiba Tania tersenyum jahil. “Kakak  kaget ya ada Kak Devan disini? Terus tiba-tiba kakak ganti baju buat kelihatan cantik? Iya kan?”

          Aku menoleh kearah adikku. “Jangan sok tau deh dik!” ejekku. Walaupun merasa kesal, tapi asal kalian tau saja, saat adikku mengucapkan kalimat itu hatiku benar-benar berharap jika itu memang benar.

          Ku pandangi Kesya untuk melihat responnya. Ku lihat wajahnya sedikit memerah karenanya. Apa itu berarti semuanya benar?

          “Itu aku yang maksa tante. Bukan karena ada Devan.”

          Tiba-tiba Reyhan muncul dari balik punggung Kesya. Seketika hatiku terasa panas melihat keberadaannya disini, bisa-bisanya dia menghinaku seperti itu.

          Tania melipat kedua tangannya dan menatap penuh selidik. “Bener gitu kak?” tanya adikku. Untuk saat ini aku sangat berterimakasih pada adikku yang tidak tahu malu ini.

          “Iya.” Jawab Kesya.

          “Yah, Berarti aku salah dong.” Tania langsung cemberut di buatnya.

          “Kebetulan pas kemarin aku di Singapura, aku ngeliat baju ini dan keinget Kesya. Yaudah, mumpung dia juga mau ulang tahun, aku hadiahin dia ini aja.”

          Mendengar kalimat yang diucapkan Reyhan, rasanya dadaku sesak ingin muntah. Bahkan telingaku serasa panas mendengar ucapan berlebihannya itu. Aku tahu dia habis dari Singapura, tapi nggak usah pamer juga kali disini. Pengen aku hajar aja tu muka sok polos!

          “Oh. Kalau gitu, kita mulai aja yuk acaranya. Papa juga udah ngumpulin anak-anak disana.” Tante Ketrin langsung menarik Kesya menuju halaman tengah. Semua langsung mengikutinya kecuali Reyhan. Entah apa yang ditunggunya, tapi yang pasti ia seakan menunggu semuanya agar menjauh. Aku pun tak mempedulikannya dan segera menyusul ke tengah halaman. Tepat saat melewatinya, Reyhan langsung menghentikanku.

          “Kenapa?” tanyaku tanpa mau basa-basi.

          “Lo apain Kesya?” tanya Reyhan balik.

          Aku menautkan keningku. “Maksud lo apaan?”

          “Denger ya, dari awal gue emang udah curiga sama lo. Gue nggak percaya sama temen yang tiba-tiba sok akrab kayak lo. Ngaku sama gue, apa yang sebenernya lo mau dari Kesya?”

          “Lo juga perlu denger ya, gue bener-bener tulus pengen temenan sama Kesya. Dan gue saranin lo nggak usah sok tau tentang gue!”

          Reyhan langsung menarik kerah bajaku. “Sok tau lo bilang? Gue liat pake mata kepala gue sendiri kemarin malem Kesya nangis di kamarnya. Gue juga awalnya curiga, tumben banget tiba-tiba Kesya minta nginep disini dari pulang sekolah. Dan perlu lo tau, semenjak dia masuk SMA, nggak pernah gue liat dia nangis sampe sesenggukan kayak gitu. Cuman lo satu-satunya tersangka yang gue yakinin sebagai dalang semuanya!”

          Aku tertegun mendengar cerita Reyhan. “Kesya nangis? Terus dari pulang sekolah Kesya nginep disini?” tanyaku.

          “Lo budeg atau gimana sih? Perlu gue ulang lagi? Atau sekarang lo udah ngerasa bangga bisa bikin dia kayak gitu?” ucap Reyhan bertubi-tubi.

          Aku berusaha mengontrol pikiranku agar tetap tenang. Nggak, aku tahu aku salah, dan aku akan segera memperbaiki ini semua.

          Ku lepaskan genggaman tangan Reyhan dari kerah bajuku. Ku pandangi dia dengan setenang mungkin. “Walaupun gue baru temenan sama Kesya beberapa bulan ini, tapi gue lebih kenal dia daripada lo yang udah bertahun-tahun kenal dia. Dan gue saranin sekali lagi buat nggak usah sok tau sama apa yang nggak lo ketahui sama sekali!.”

          Ku rapikan bajuku yang terlihat kusut sebelum akhirnya pergi meninggalkan Reyhan. Selama perjalanan, pikiranku terus terngiang akan ucapan Reyhan tentang Kesya. Pantes saja waktu aku ke rumahnya tidak ada sahutan sedikitpun dari Kesya. aku menghembuskan nafas panjang. Apa benar ia sesakit itu saat mengetahui tantanganku dengan Edo dan Denon? bukankah itu hanya sebuah permainan yang kurasa tidak perlu di ambil hati terlalu dalam?

          Ku pandangi Kesya yang kini tengah menyanyikan lagu selamat ulang tahun bersama yang lainnya. Di wajahnya tersirat senyuman cerah yang biasa kulihat beberapa waktu lalu. Tapi beberapa hari yang ini, wajah dinginnya kembali tersirat atau mungkin hanya kepadaku wajah itu akan tersirat. Entahlah, kurasa karma itu benar-benar ada. Ucapanku dulu saat mengatakan tidak akan pernah jatuh hati pada Kesya, justru menjadi senjata makan tuan terhadap diriku sendiri.

 

                                                                                                        *****************

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
BACALAH, yang TERSIRAT
9793      2051     4     
Romance
Mamat dan Vonni adalah teman dekat. Mereka berteman sejak kelas 1 sma. Sebagai seorang teman, mereka menjalani kehidupan di SMA xx layaknya muda mudi yang mempunyai teman, baik untuk mengerjakan tugas bersama, menghadapi ulangan - ulangan dan UAS maupun saling mengingatkan satu sama lain. Kekonyolan terjadi saat Vonni mulai menginginkan sosok seorang pacar. Dalam kata - kata sesumbarnya, bahwa di...
Truth Or Dare
8977      1706     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
I Can't Fall In Love Vol.1
2650      1063     1     
Romance
Merupakan seri pertama Cerita Ian dan Volume pertama dari I Can't Fall In Love. Menceritakan tentang seorang laki-laki sempurna yang pindah ke kota metropolitan, yang dimana kota tersebut sahabat masa kecilnya bernama Sahar tinggal. Dan alasan dirinya tinggal karena perintah orang tuanya, katanya agar dirinya bisa hidup mandiri. Hingga akhirnya, saat dirinya mulai pindah ke sekolah yang sama deng...
TRIANGLE
335      218     1     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...
Should I Go(?)
10331      2402     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
sHE's brOKen
6915      1669     2     
Romance
Pertemuan yang tak pernah disangka Tiara, dengan Randi, seorang laki-laki yang ternyata menjadi cinta pertamanya, berakhir pada satu kata yang tak pernah ingin dialaminya kembali. Sebagai perempuan yang baru pertama kali membuka hati, rasa kehilangan dan pengkhianatan yang dialami Tiara benar-benar menyesakkan dada. Bukan hanya itu, Aldi, sahabat laki-laki yang sudah menjadi saksi hidup Tiara yan...
Just a Cosmological Things
936      526     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Premium
Cheossarang (Complete)
21732      1942     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Nothing Like Us
35447      4505     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
between us
315      218     1     
Romance
gimana rasanya kalau di antara kita ada beribu masalah... apakah aku sanggup