Namaku Embun. Embun Cahaya Abadi. Jangan pernah tertawa ketika aku menyebutkan nama lengkapku. Karena aku pasti akan marah. Marah kepada kedua orang tuaku yang memberikan aku nama seperti itu.
Aku anak ke dua dari 3 bersaudara. Kakak pertamaku itu sudah menikah. Dia laki-laki dan sekarang tinggal di Jakarta bersama istrinya. Karena kakaku itu memang anak kebanggaannya kedua orangtuaku.
Usiaku yang terpaut 5 tahun darinya, kadang selalu membuatku iri. iri Karena dia lebih tua dariku. Lebih pintar dariku dan lebih sukses dariku.
Dia yang bekerja sebagai dokter, selalu membuatku malu kalau berhadapan dengannya. Profesi itulah yang selalu dijadikan bahan perbandingan kedua orang tuaku . Karena kakaku ini seorang dokter sedangkan aku mahasiswa manajemen tingkat akhir yang tak lulus-lulus.
Sedangkan adik perempuanku, hanya terpaut 3 tahun dariku. Dia kuliah di salah satu universitas negeri dan mahasiswi jurusan psikolog tingkat akhir yang sedang mempersiapkan sidang akhirnya.
Kakak dan adikku memang kuliah di universitas negeri, sedangkan aku hanya bisa kuliah di universitas swasta. Dan, hal itu selalu menjadi bahan olok-olok mereka kalau kamu semua sudah berkumpul. Miris sekali bukan?
Usiaku sekarang sudah menginjak 24 tahun. Usia 24 seharusnya memang sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan, seharusnya sudah mempersiapkan masa depannya seperti pernikahan salah satunya.
Tapi, itu semua tidak berlaku untukku. Aku masih belum menyelesaikan kuliahku. Bahkan, skripsi saja nyaris tak pernah aku sentuh selama 6 bulan terakhir ini.
"Kamu itu mau jadi apa? Usiamu sudah tua, seharusnya Kamu sudah mendapatkan pekerjaan. Masih mending kalau kamu melanjutkan S2 mu. Jangankan S2, S1 saja kamu belum beres!"
"Mah, zaman sekarang aja sarjana itu banyak yang pengangguran!" jawabku kesal, saat sedang makan siang bersama mamahku yang baru sama pulang ngajar.
Mamah itu guru Kewarnegaraan di salah satu Sma negeri yang berada di Bandung. Setiap hari, aku selalu diceramahi mamahku soal pendidikan juga pekerjaan. Kesal memang, tapi mau bagaimana lagi. Yang dikatakan mamah itu semuanya benar.
"Terus, kamu mau menyontoh sarjana pengangguran itu? Aya, memangnya kamu tidak malu? Semua teman satu gengmu sudah lulus. Bahkan, mereka sudah bekerja dan ada yang mau menikah. Memangnya kamu tidak iri?"
"Rido belum lulus Ko, Mah. Kayanya kami bakalan wisuda bareng, deh."
"Kejauhan kamu ngomongin wisuda. Sidang akhir aja kamu belum. Aya, malu sama tetangga, malu juga sama keluarga kalau kamu pulang ke kampung halaman nanti"
"Ngapain mesti malu sih,Mah. Toh, mereka bukan yang ngbiayain aku kuliah ini. Ribet banget deh mamah."
"Susah yah kalau ngomong sama kamu. Kamu nggak malu sama adikmu sendiri yang sebentar lagi lulus kuliah? Masa kakak kesusul sama adiknya sendiri? Pokoknya,mamah nggak may tahu. Selesaikan kuliahmu dan tahun ini mau nggak mau, suka tak suka,kamu mesti lulus."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, mamah langsung masuk ke dalam kamarnya. Aku menghela nafas pendek. Ku ambil sisa paha ayam yang berada di atas piring meja makanku. Dan, Ku makan dengan kesal paham ayam itu.
Setiap hari, setiap jamnya, mamah memang paling keki kalau sedang berbicara denganku. Keluargaku memang berlatar pendidikan semua. Papah juga salah satu seorang pendidik yang mengajar di salah satu universitas swasta di Bandung.
Sebagai dosen yang mengajar hukum bisnis, papah memang tidak terlalu bawel seperti mamah. Papah memang sedikit lebih kalem dan lebih bijaksana. Tapi, kalau sudah marah, marahnya benar-benar menakutkan layaknya preman pasar yang suka malakin orang.
"Mah, Aya keluar dulu!" teriakku begitu selesai makan siang dan mengambil tas di dalam kamarku.
Aku berjalan sampai ke depan perumahan. Setelah 15 menit menunggu,akhirnya teman yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Lama banger sih,Do. Panas nih nungguin lo."
"Sorry, habisnya rumah lo jauh, sih. Daerah macet pula. Mau pakai motor juga pasti bakalan lama nyampenya," Katanga menjawab sambil memberikan helm padaku,kemudian Ku pakai.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Rido.
"Nongkrong di Ciwalk aja, yuk"
"Emangnya lo punya duit? Kerja aja belum, punya duit dari mana lo?"
"Gue punya tabungan Kali, Do. Udah, cepetan berangkat! Lama banget, deh."
"Iya, bawel lo!"
Rido, salah satu teman satu geng aku yang senasib dan seperjuangan banget. Cuma dia yang sampai sekarang belum lulus sepertiku. Cuma dia yang selama ini selalu menemani aku dengan setia ke mana pun aku pergi. Dan, cuma Rido yang tahu soal impianku yang ingin menjadi penulis terkenal.
"Mau nunggu fera pulang kerja nggak?" tanya Rido begitu kami berdua sudag sampai di parkiran ciwalk.
"Boleh. Kita nunggu di Jco aja gimana?"
"Ayo. Let's go!" teriaknya seperti anak kecil sambil mendorong kedua bahuku dengan setengah berlari-lari kecil.
"Nikahnya Rara nanti, enaknya ngasih apa yah, Do?"
"Nanti aja ngobrol lagi sama anak-anak."
"Kalau duit gue kurang, gue pinjem duit lo dulu yah,Do?"
"Iyeee. Gue kan emang udah jadi ATM berjalan lo, kalau urusan perduitan."
Aku tertawa kecil mendengarnya. Aku langsung menggandeng tangan kanan Rido dan berjalan berdampingan bersamanya. Kalau orang lain yang lihat, mungkin kami seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda kasmaran.
Maklum, kami berdua ini dua jomblo akut yang hampir 2 tahun ini belum punya pacar juga. Banyak yang bilang kami berdua cocok dan menyarankan kami untuk pacaran saja . Tapi, kami menjawabnya hanya dengan tertawa dan bercanda seperti biasanya.
"Eh, itu kaya temen SMP gue, deh!" seru Rido tiba-tiba.
"Mana?"
"Itu," Katanya kembali sambil menunjuk salah satu pria tinggi yang baru saja turun dari lantai 3.
"Virgo!!" teriak Rido kembali hingga membuat pria tinggi bernama Virgo itu menoleh ke arah kami berdua.