"Dav, yang ambil konsumsi siapa?" tanya seorang laki-laki pada Dava yang tengah duduk di bangku kesekretariatan.
"Emang anak konsumsi yang biasa ambil siapa? Kan ada si Agam," jawab Dava.
"Dav, si Agam kan gak masuk, dia sakit." Laki-laki itu melanjutkan, "Di konsumsi yang laki-lakinya cuma dia, dan sekarang dia gak masuk, mau di ambil sama siapa? Sama gue?"
"Ya udah sama lo aja Han, lo kan logistik,"
Dava adalah tipe ketua yang kurang perhatian. Dava tidak akan mengajukan diri kalau disuruh kemana-mana. Memang sih, Dava adalah ketua yang tidak baik kalau dalam urusan ambil barang begini, ia akan melimpahkan pekerjaan yang tentu bukan pekerjaannya kepada orang lain.
"T-tapi Dav, duit bensinnya?" Farhan mengadahkan tangan.
"Ya udah sini, sama saya saja, mana notanya?" Aidan yang tiba-tiba datang membuat Farhan dan Dava menoleh.
Farhan merogoh nota belanja konsumsi yang ada di saku celananya kemudian memberikan secarik kertas itu pada Aidan.
"Mau gue temenin, Dan?" tawar Farhan.
"Gak usah, saya sendiri saja." Aidan langsung pergi sebelum mendapat anggukan dari Farhan.
Aidan pergi ke gerbang terlebih dahulu untuk izin kepada dua tatib yang berjaga, dan bilang kepada mereka bahwa Aidan akan mengambil konsumsi di tempat catering.
"Kak! Kak Aidan!" seorang perempuan yang memakai pakaian serba hijau stabilo dari atas hingga kebawah berlari-lari setelah turun dari angkot.
Aidan diam di tempat ketika perempuan itu memanggil. Laki-laki itu melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah pukul tujuh lebih lima belas.
"Kak, izinin gue masuk dong, plis." Binar memohon pada Aidan.
Baru saja Aidan membuka mulutnya untuk mengambil napas, Binar langsung menyerbu, "Plis, plis, plis, kak, gue udah capek-capek naik angkot, masa di suruh pulang?" jeda sebentar, "Gue telat bangun kak, sumpah beneran, gue gak bohong,"
Aidan menarik napasnya, "Terus?"
"Tadi pagi pas habis kakak telepon, gue ketiduran kak."
"Ya udah, lanjutin tidurnya, pulang." Aidan bersuara tanpa intonasi.
"Alasan yang sama," komentar salah seorang tatib, "Ikut ospek tahun depan aja kalau sekarang gak siap,"
Mata Binar memerah, ia tidak mau mengulang ospek yang sangat menyebalkan ini di tahun depan, apalagi bareng adik-adik yang baru masuk. Binar gak mau, semuanya ribet.
Binar memegang tangan Aidan dengan erat, keningnya ia landaskan di lengan Aidan, "Plis kak, gue mohon, gue pengen ikut ospek,"
Kedua tatib yang berada disana saling memandang karena melihat kejadian terlarang yang seharusnya tidak ada yang berani melakukan itu.
Binar menyentuh tangan Aidan.
Aidan tidak suka disentuh oleh perempuan yang bukan mahromnya.
Aidan memberontak untuk melepaskan tangannya dari jeratan Binar, "Gak usah pegang-pegang."
Setelah jeratan tangan Binar terlepas, Binar masih berusaha memegang tangan Aidan, "Plis, kak, plis. Gue janji gak akan telat lagi."
Aidan memundurkan langkahnya, "Jangan paksa saya untuk membentak."
Binar diam, matanya yang bulat fokus menatap lurus pada mata hazel Aidan, "Plis, kak ..." Binar memohon dengan wajah manis.
Astagfirullah, Aidan menundukkan wajahnya, ia telah bertatapan dengan perempuan yang bukan mahromnya. Laki-laki itu mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, "Masuk." Jeda sebentar, "Kalau besok telat lagi, gak usah masuk."
Binar mengangguk cepat, "Makas--" ucapan Binar terhenti ketika Aidan telah pergi menuju mobilnya yang terparkir disebelah mini market.
"MAKASIH KAK AIDAN!" teriak Binar sambil melambaikan tangan pada Aidan yang melihat kearahnya selama dua sekon.
Tak terasa Binar menarik senyumannya, kalau dilihat-lihat Aidan memang tampan dengan rambut modis, hidung mancung, mata hazel, dan alis tajamnya.
"Kamu dihukum," ucap Hisyam.
Binar tidak sadar kalau Hisyam sedang berbicara kepadanya, gadis itu masih tersenyum sendiri seraya memandang mobil Aidan yang pergi meninggalkan pekarangan mini market.
"Heh, kamu gila?" tanya teman Hisyam bernama Ari.
Binar berdiri tegap ketika mendengar suara Ari yang terdengar cukup keras di telinganya, "Siap, saya tidak gila!"
"Ini bukan militer."
"Suka-suka gue lah. Mau gue sebut panti jompo, hah?" Binar menantang Hisyam.
"Kebun binatang!" Hisyam terlewat kesal.
Binar tertawa, "Hahaha gue lagi ngomong sama monyet,"
"BINAR YUMNAA ANANTA!" Dava berteriak dengan suara tegas, lelaki itu sudah kesal dengan kelakuan Binar, perempuan yang satu itu sudah kelewatan. Datang suka-suka, dan tidak punya sopan santun.
"Ada apa kak Dava?" suara Binar berubah menjadi lembut.
"Syam, bantu tuh banyak yang pingsan, kesehatan kurang personil," suruh Dava pada Hisyam.
Hisyam mengangguk kemudian segera pergi ke lapangan untuk membantu panitia yang lain.
"Siapa yang suruh kamu masuk?" tanya Dava sambil menatap Binar dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kak Aidan yang ganteng dong," jawab Binar penuh semangat.
"Astaga si Aidan itu otaknya kesambet kali ya, gue udah bilang kalau lo telat gak usah disuruh masuk, bego."
"Kak Dava kayak yang ganteng aja berani bilang gitu ke kak Aidan," jawab Binar asal ceplos.
Tekanan darah Dava naik seketika, matanya memerah, "BINAR!"
"IYA, KAK DAVA?!"
"LARI LIMA KELILING LAPANGAN BASKET!" suruh Dava.
"GAK MAU!"
"CEPETAN!"
"GAK MAU! GUE MAU OSPEK, BUKAN MAU OLAH RAGA!"
"BINAAAAR! CEPETTT!"
"GAAAAK!"
"CEPETAN GAK?!"
"GAK!"
"CEPET!"
"TETEP GAK MAU!"
***
"Lo tau gak, si Inggrid itu pura-pura pingsan karena pengin digendong sama kak Rafli,"
Binar yang tengah membersihkan toilet membelalakkan mata ketika mendengar dua orang perempuan yang tengah bergosip ketika hendak masuk ke toilet.
"Elo yang namanya Binar ya?" tanya salah seorang diantara mereka.
"Apaan?" Binar bertanya balik dengan ketus.
"Cantik-cantik kok trouble maker,"
"Ya terus kalau gue cantik dan suka membuat kerusuhan masalah gitu buat lo?"
"Makanya kalau gak niat kuliah tahun ini, gak usah daftar dulu. Nyusahin semuanya ish,"
Binar tertawa, "Haha lo merasa gue nyusahin lo, gitu? Coba mikir, kapan gue nyusahin lo?"
"Ya iyalah, kak Dava sama kak Aidan harus kena batunya gara-gara lo."
"Gue gak pernah minta mereka buat memanjakan gue tuh, merekanya aja terlalu berlebihan. Ya mungkin karena gue terlalu cantik kali ya?" ucap Binar percaya diri.
"Lo pakai pelet kali ya, masa kak Aidan yang jutek gitu mau aja ngikutin permintan lo," desis gadis itu, "Udah telat dua hari, gak tau malu lagi,"
Emosi Binar memuncak, tangannya menjulur pada ember yang ada disebelahnya, kemudian mengangkat ember itu dan ditumpahkan airnya ke kepala gadis yang membuat keributan.
Byurrrr
"WOI! BINARRRRRRRRR! GILA LO!" Rara berteriak ketika tubuhnya telah basah kuyup karena ulah Binar.
Rara mendorong tubuh Binar ke dinding kemudian mengacak-ngacak rambutnya sambil menjerit-jerit.
Teman Rara berusaha melerai perdebatan keduanya namun teman Rara iu menyerah karena Rara dan Binar bagaikan kucing dan tikus.
"ADA APA INI?!" Dava beserta gerombolannya datang untuk melihat kejadian yang cukup membuat heboh satu kampus itu.
"BINARRR, GILA, RASAKAN INI!" Rara menarik rambut Binar dengan kuat.
"Awhhhhh, lepasin woy!" Binar meringis walaupun tangannya masih menghalau gerakan Rara.
Dava mendorong tubuh Binar sehingga gadis itu terlempar ke lantai. Binar menangis saat itu juga, air matanya turun dengan deras melewati wajah cantiknya.
"Dava!" Suara bariton seseorang terdengar menggema toilet perempuan.
Aidan datang, pria tampan itu menarik lengan hoodie army-nya sampai menutupi telapak tangan, dengan gerakan gesit ia segera membantu Binar berdiri.
"Dav, dia perempuan! Kamu gak seharusnya melakukan itu!" bentak Aidan pada Dava membuat tangisan Binar semakin keras, "Dan kalian!" telunjuk Aidan bergerak menunjuk mata beberapa laki-laki yang datang bersama Dava, "Kalian hanya menonton adegan tadi?! Laki-laki cupu." Aidan menarik tangan Binar agar menjauh dari gerombolan laki-laki itu.
Dava tersenyum kecut, "Haha, jadi kayak gitu laki-laki yang diidam-idamkan perempuan karena kealimannya?"
PLAKKK
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Dava. Rara menampar pipi mulus milik Dava.
"Lo boleh melerai perdebatan, tapi lo jangan pernah menyakiti wanita sedikitpun! Banci!" Rara pergi diikuti oleh temannya.
Dava tersenyum kecut sembari memegang pipinya yang membiru, "Haha siap, gue memang cocok jadi tumbal,"