Bandung menyambut kedatangan ku dengan keadaan sedang di guyur hujan deras yang tak mengenal ampun.
Malam itu, aku dan Selatan membelah jalanan malam kota Bandung dengan perasaan was-was akibat hujan, kami merasa takut karena prasangka jika mobil yang di kendarai oleh Selatan akan mengalami hal buruk akibat jalanan licin yang disebabkan oleh hujan, dan untungnya, prasangka itu tak benar, karena kami sampai di tujuan dengan selamat tanpa ada sama sekali insiden.
Selatan juga mengatakan, jika akhir-akhir ini langit Bandung memang lagi senang-senang nya menurunkan hujan untuk membasahi bumi yang kering, dan itu terbukti setelah aku tinggal di Bandung selama sepekan. Hujan masih tetap turun, hampir setiap waktu, dan seperti nya hujan masih enggan untuk berhenti dalam waktu dekat, sebab langit abu-abu nampaknya masih ingin menguasai langit Bandung lebih lama lagi.
Aku yang dulu sangat menyukai hujan, entah kenapa sekarang menjadi sebal jika mendengar suara jatuhnya. Bagaimana tidak, selama sepekan aku tinggal di Bandung, aku sama sekali tak pernah keluar dari rumah. Bahkan sama sekali belum pernah melihat langit biru Bandung menghiasi atap bumi, alhasil, sepanjang hari aku hanya diam di kamar saja, duduk terpaku didepan laptop sambil menghabiskan stok film yang sudah berada di laptop itu. Tapi, terlepas dari itu aku masih mencintai hujan.
Sekarang ini, hawa dingin menyelimuti ku--dingin dalam artian nyata, bukan artian sendiri seperti saat aku masih berada di Jakarta--dan malam begitu terasa ramai akibat suara tetesan hujan yang masih juga mengguyur. Namun hal itu tak terlalu ku pikirkan sebab aku hanya fokus menonton film yang dengan terpaksa harus aku selesaikan malam ini. Kenapa? Sebab besok, aku akan kembali bersekolah.
Jangan kaget, karena selama seminggu aku tinggal disini, aku telah mengalami banyak perubahan, yang jika aku ceritakan semuanya akan membuat kalian merasa bingung dan tentu saja juga merasa kaget.
Dimulai dari hari pertama aku tinggal disini, di Bandung, di rumah Selatan.
Satu hal yang membuat ku merasa tak percaya saat sampai dirumah ini, adalah rumah ini sendiri. Rumah yang terbuat dari kayu--sepertinya jati--yang sanggup membuat aku berpikir keras tentang siapa pemiliknya, dan kenapa aku di bawa kesini. Dan pertanyaan itu seketika terjawab, saat Selatan melangkah kan kakinya masuk kerumah ini.
Iglo, adalah nama yang Selatan berikan pada rumah ini, sama seperti rumah yang sering kau lihat di kartun-kartun yang bertemakan kutub. Dan hebatnya, rumah ini sama sekali tak memiliki warna putih, dan tak terasa dingin, sebab rumah ini dipenuhi oleh tanaman dan tumbuhan yang membuat suasana rumah ini sedikit mirip dengan hutan, namun terasa hangat dan nyaman.
Setelah itu, aku dibuat terkejut oleh sosok perempuan yang sebaya dengan Selatan. Aku kaget, karena tak mengenal orang itu. Dan rupanya, dia adalah kakak ipar ku, jodoh Selatan, dan ibu dari keponakan ku. Kalian mungkin bertanya, mengapa aku tak mengenal kakak ku itu, jawabannya sederhana, sebab Selatan tak pernah mengenalkan nya. Dan lagi, saat ia menikah Selatan menikah, aku, ibu, dan ayah tak tahu sama sekali.
Aku kemudian berkenalan dengan nya, berjabat tangan, dan tak lama kemudian ia menyebutkan namanya
"Rachel," begitu katanya. Aku pun ikut menyebutkan nama ku, nama lengkap, dan ia tersenyum. Ia kemudian menanggapi, "Kalau kalian punya saudara lagi, namanya siapa? Barat, atau Timur?" Akupun tersenyum saat mendengar pertanyaan nya, dan memilih untuk tak menjawab, karena beberapa detik kemudian ia mengajak kami masuk.
Saat memasuki rumah mereka, aku masih di buat tak percaya karena interior di dalam rumah itu. Interior nya tidak mewah, tapi berkelas. Semuanya berwarna alam, cokelat, hitam, sedikit ada emas dan putih, dan beberapa lagi berwarna hijau.
Lupakan masalah rumah, karena dua hari setelah kedatangan ku, ada satu hal yang membuat aku merasakan hidup, lagi. Sebuah kehangatan keluarga yang tak aku dapat dulu. Aku mendapatkan hal itu dari kakak ku, Selatan dan Rachel, juga anak mereka, bayi Sailor. Setelah tinggal bersama mereka selama beberapa hari, pikiran ku sudah sedikit berhasil melupakan apa yang ada di Jakarta, walau sesekali aku masih teringat tentang Amara dan Satya, dan sesekali juga aku merasakan sepi, namun yang tak berarti. Itu semua, berkat hangat nya keluarga, yang tentu saja ku dapatkan dari belas kasihan Tuhan.
Dua hari setelah itu, tepatnya hari keempat, Selatan mengajak ku untuk berbincang tentang sesuatu di rooftop Iglo, dalam hati aku berusaha menebak, topik apa yang akan ia bahas. Aku sudah menduga-duga jika ia akan membahas sesuatu yang berkaitan tentang ibu, ayah, Amara, atau sesuatu yang berkaitan dengan mereka. Tapi, rupanya aku salah, sebab Selatan ternyata membahas masalah pendidikan ku, sekolah ku yang terhenti.
Selatan memberi ku sebuah tawaran untuk kembali bersekolah di salah satu sekolah favorit di Bandung, tapi aku menolak nya dengan alasan ingin beristirahat dulu, dan jika bisa akan melanjutkan nya tahun depan--walau alasan sebenarnya karena aku enggan untuk memiliki teman baru. Tapi ia menolak pendapat ku itu mentah-mentah, ia tak lagi memberi ku tawaran setelah itu, tapi paksaan, dan aku tak menyukai nya, dan setelah itu obrolan kami berakhir dengan alasan aku ingin makan.
Tapi, keesokan hari nya, hari kelima, Selatan yang sejak pagi telah menghilang dari rumah, tiba-tiba pulang saat hujan sedang deras-deras nya. Ia masuk kedalam rumah dengan pakaian yang basah di beberapa bagian, dan sebuah kantongan yang saat itu aku tak tahu isinya. Dan setelah itu, Selatan memilih untuk mandi dan menghangatkan badannya di ruang keluarga, baru setelah itu ia memanggil ku, lagi.
Saat aku datang menghampirinya, ia langsung memberikan ku kantongan yang tadi ia bawa, dan setelah itu menyuruh ku untuk mengetes semua seragam yang katanya ada didalam sana.
Aku bingung dan tak mengerti kenapa ia membelikan ku seragam, aku pikir itu adalah seragam keluarga atau semacam nya, dan saat aku masuk ke kamar untuk mengetes nya, ternyata seragam itu adalah seragam sekolah. Aku langsung lari menghambur keluar kamar, mendatangi Selatan, dan marah-marah. Aku mengembalikan seragam sekolah yang ia berikan padaku, dan ia menolaknya.
Kami berdebat hari itu, aku ngotot tak mau sekolah, dan Selatan juga ngotot ingin aku sekolah, terus seperti itu sampai Rachel datang menengahi, ia memberi saran padaku, katanya, "Coba dulu sampai satu minggu, kalau nggak cocok, yaudah berhenti, kalau cocok, lanjut." Awalnya aku menolak, namun karena terus diberi pemahaman secara halus oleh Rachel, akupun akhir nya setuju untuk kembali bersekolah selama seminggu, dan aku akan mulai bersekolah hari senin minggu depan, lebih tepatnya besok.
Karena itu, sekarang aku memilih menghabiskan malam dengan menonton series Harry Potter dari pertama sampai terakhir, sebab jika aku menonton sebagian, aku tak yakin bisa menyelesaikan sebagian nya lagi besok. Malam sebenarnya telah larut, sudah hampir memasuki jam tiga pagi, dan aku masih tetap terjaga dengan mata yang sama sekali tak merasakan kantuk karena keasikan menonton film.
Selain itu, aku juga merasakan ada sesuatu didalam hati ku, seperti penasaran dan antusias, juga takut dan khawatir saat memikirkan bagaimana besok saat aku akan sekolah. Bertemu dengan teman baru, lingkungan baru, suasana baru, apa aku bisa menerima nya, atau tidak. Apa aku akan merasa nyaman, atau justru sebaliknya.
Aku terus kepikiran, dan membuat ku tetap terjaga.