Sepanjang perjalanan Zela merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa keceplosan menimpali benak Jay? terpaksa Zela harus menghindar demi citra diri dan tak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Jika Jay tahu, bahaya. Jay masih termenung dengan sikap Zela yang membuatnya semakin penasaran. Menurutnya Zela sosok gadis yang sulit ditebak dan berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan.
“Aneh. Apa dia bisa mendengar pikiranku? Tapi... masak sih? terus kenapa dia langsung ngacir kek maling ketangkap basah? Haish! Lu sangat menantang” monolog Jay sambil tersenyum miring.
Jay melempar-lemparkan kunci mobilnya sambil berjalan menuju parkiran. Ia bersiul ria, seperti seorang remaja sedang kasmaran. Tapi siulanya berhenti ketika ponselnya berdering nyaring.
“Hello...ada yang bisa diban.tu”
“Oh Astaga Jaaaay. Lu kemana seharian? Lu tau gak hari ini ada meeting sama pihak majalah mana? Kalo mau cuti bilang-bilang kek? Jangan seenak jidat. Minimal hubungi sekertasi lu, biar gak...”
“Minum dulu Sesil, pasti auskan. Suruh ambilin Nando ya”
“Gue lagi kesel Jay. Tau gak sih. Ini lagi si Zela, malah gak masuk. Padahalkan dia tau kalo banyak naskah yang harus di edit dan masuk ke tim penerbit besok. Heran gue”
“Jangan salahkan dia. Eh nyaris aja lupa, besok malam dateng ke party Papa ya. Bilanganin sama staff yang lain”
“Hmmmm, gak usah ngalihin pembicaraan. Lu lagi bela Zela? Ada hubungan apa lu sama dia? Jangan bilang lu suka sama dia?”
“Uhuk. Anjay kalo ngomong...”
“Suka bener ya. Hahaha”
“Udah ah. Ngaco lu. Gue lagi nyetir nih. Besok jangan marahin Zela okeh. Bye”
Jay buru-buru menyentuh layar yang tulisan akhiri sambil tersenyum. Ia tak ingin Sesil mengoreksi lebih dalam lagi. Jay sangat paham bagaimana sifat Sesil yang sangat mengerikan jika mengusut rahasia dari salah satu sahabatnya. Cukup mengertikan memang sahabatnya itu.
***
Senja telah beranjak meninggalkan siluet orangenya. Kini sang cakrawala siap menyambut dengan sejuta gemintang. Para insan telah hilir-mudik menuju persinggahan. Kebisingan ibukota telah beraksi. Suara klason saling sahut menyahut di penjuru jalan. Tapi, Sesil belum beranjak dari meja. Berulang kali mengusap wajah kusamnya.
“Belum pulang Sesil?”
“Belum. Masih banyak banget nih PR. Tim editor banyak yang gak masuk hari ini. gak taulah pada kemana. Gue juga pusing, Nando dengan sikap Jay hari ini”
“Dia berulah lagi?”
“Tepatnya, dia membuat skandal”
“Maksud lu apa Sesil?”
“Ada yang lihat Jay pergi sama Zela”
“ Masak? Wah, sepertinya gue mecium sesuatu yang aneh pada Jay. Sejak kapan dia mau dekat dengan lawan jenisnya?”
“Hmmmmm. Iya sih. sejak kejadian itu dia selalu menghindar dengan lawan jenis. Dan anehnya, tadi dia ngomong jangan marahin Zela”
“Ha? Seriusan? Sejak kapan dia jadi perhatian lagi sama orang lain?”
Sesil hanya mengengat bahu dan menghembuskan nafas berat. Entah apa yang terlintas dibenak Nando. Sembari mangut-mangut ia tersenyum jahat. Seperti merencakan sesuatu.
***
Pukul tujuh malam.
Warna-warni lampu kota menghiasi trotoan jalan. Kendaran saling berebut untuk segera sampai rumah. Sesekali klason bersahutan ketika salah satu kendaran paling depan melambat. Beda cerita jika mereka tak memakai kendaraan pribadi atau bang ojol. Mereka akan naik salah satu kendaran umum.
Seperti Busway, kereta atau Bus. Beberapa kali busway melintas, namun Zela tak juga bergeming dari tempat duduknya. Terlalu asyik dengan pikirannya yang berkelana entah kemana. Dan masih bimbang dengan pilihan yang akan diambil.
Sepuluh menit berlalu, Zela berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekat tiang halte. Tapi ketika busway melintas ia menggeser tubuhnya memberi jalan untuk ibu-ibu yang berlari supaya dapat tempat. Jika tak mengalah, urusan makin panjang.
"Zela. Kau harus datang. Jay menunggumu"
"Benar kata Mela. Kau harus datang. Aku kasihan melihat dia”
"Kumohon Ze, datanglah"
Si empu nama hanya mengerjap. Kaget. Dengan sikap makhluk tak di undangan itu. Untung bisa menahan umpatan mautnya. Jika saja situasi mendukung, Dipastikan mereka jijik mendengar umpatan Zela.
***
Master Ceremony telah membacakan susuan acara malam ini. Tapi perhatiannya telah diusik oleh seseorang yang terus melototin pintu masuk. Seolah sedang menunggu orang spesial. Ya siapa lagi kalau bukan tuan muda Zhing Jun Jay. Ternayat tak hanya sang Master Ceremony yang memperhatikannya. Ayah, Bunda dan Nenek heran dengan sikap Jay seperti cacing kepanasan.
Selesai membacakan susukan acara, maka Master Ceremony mempersilakan yang punya hajat untuk sambutan. Riuh tepuk tangan mengiringi Zhing Jimin naik podium.
"Oh No" pekik seseorang dari arah pintu sambil menutup mulutnya.
Seketika tamu undangan melihatnya penuh selidik. Raut wajah-wajah tak suka terlihat dari tatapan mereka. Tapi raut tuan muda dari pemiliki acara berseri ketika gadis yang di tunggu akhirnya menampakkan diri. Ya tuan muda yang tak muda lagi itu melangkah mendakiti gadis yang mengenakan dress selutut itu, sangat angun dan cantik jika di perhatikan.
“Ehm, hay bagaimana kabar lu hari ini” sapanya basa-basi.
Zela tak menjawab hanya terjingkat kaget dan menoleh sumber suara. Tanpa permisi badannya limbung, untung Jay langsung sigap menangkisnya.
“Zela Shinjin are you oke? Hey. Bangun!! Lu kenapa?” panik Jay sambil menepuk-nepuk pipi Zela. Sang Bunda melihat adegan tanpa skenario itu dan langsung menghampir putra kesayangannya itu.
“Jay, bawa dia ke kamar tamu. kalau di sini jadi perhatian nanti Ayah bisa naik tensi” saran Bunda lembut.
“Ke kamar Jay aja Bun”
“Iya Jay, nannti bunda menyusul”
Jay langsung mebopong tubuh mungil Zela. Nando, Sesil dan Lisa melihatnya dan mereka langsung mengekori Jay. Ternyata tak mereka saja yang tahu. Tapi Metra dan dua sahabatnya.
Sampai di kamar, wajah Zela nampak pucat dan keringat bercucuran. Jay semakin panik dengan keadaan Zela yang tak seperti bisanya.
“Jay kenapa dia?” tanya Nando
“Gue gak tau Nan. Sesil?” ucap Jay penuh selidik.
“Enggak Jay, gue gak marahin dia, serius. Gue juga gak nyuruh dia ngedit naskah yang menumpuk. Tapi memang dia yang mau sendiri” jelas Sesil ngeri dengan tatapan Jay bagikan setan murka.
“Gue gak mau, jangan. Tolong jangan ganggu gue” suara Zela mengalihkan perhatian mereka. Jay melesat ke samping Zela yang mata tertutup tapi mulutnya terus bicara ‘gue gak mau’. Seperti seorang yang sedang bernegoisasi.
Semua yang menunggu Zela panik. Sudah lima belas menit berlalu tapi belum juga membuka mata. Dan reaksi Zela membuat orang semakin tambah panik. Tiba-tiba bunyi ponsel dari tas Zela berdering mengagetkan. Tanpa persetujuan Jay langsung menjawab.
“Zela. Lu dimana? Lu gak pa-pakan?”
***
Tanpa permisi Joni melesat menuju kamar Jay. Ia tak menghiraukan orang-orang yang menatap heran. Dan perhatian mereka teralihkan dari sajian Metra yang sedang memainkan pianika klasik. Bunda mengernyitkan dahi dengan orang asing yang langsung menuju ke arah kamar Jay. Diam-diam Bunda mengikuti.
Joni langsung menghampiri Zela yang masih terbaring dengan wajah gelisah.
“Bodoh! Lu mikirin apa sampai lemah seperti ini?” sarkas Joni dengan menampar wajah Zela. Jay, Nando, Sesil, Lisa dan Bunda yang di balik pintu hanya melongo dengan sikap Joni.
Berhasil. Zela langsung tersentak dan duduk dengan wajah linglung. Semua yang melihat lega. Joni merentangkan tangan berniat ingin memeluk Zela. Tapi Zela reflek langsung berdiri dan merapikan rambutnya.
Dan orang yang paling bahagia dengan adegan itu adalah Jay. Ia tersenyum sambil memalingkan muka.
“Lu ngapain di.. oh tante maaf saya merusak a...” kata Zela ketika sepasang matanya menangkap Bunda sedang mematung di depan pintu.
“Tidak nak. Merusak apanya? di bawah masih berlangusng kok” jawab Bunda lembut sambil menghampir Zela.
“Hah? Bunda sejak kapan berdiri di situ?” lirih Jay.
“Oh maaf tante saya langsung nylonong saja tadi” sambung Joni malu-malu.
“Hehehe, tidak masalah nak. Saya pikir tadi kamu hanya kelelahan nak”
Hening. Tak ada jawab dari pihak bersangkutan. Semua saling pandang dengan arti tersendiri.
“Ehm. Saya pamit tente. Ze pulang jangan malam-malam” Joni mengalihkan pembicaraan.
“Jon. Lu memang teman gue terbaik. Lu ke sini sedangkan di rumah lu masih ada Arum” ~ Zela sambil memandangi bahu Joni.
“Kejar bodoh! Bilang lu ingin pulang bersamanya. Ck! Kenapa juga nih hati”~ Jay.
Zela mengernyitkan dahi dan mengalihkan matanya ke Jay. Dan mata mereka saling bertemu. Di sini Bunda merasa ada yang aneh dari putranya.
“Ehm. Gue tiba-tiba haus nih” ucap Nando sambil berjalan keluar.
“Duh gue kok jadi sakit hati karena lapar sih” Lisa menyindir sambil tersenyum jahat.
“Oh My... tukang tambal masih buka gak ya? Baru inget ban gue bocor” Sesil pura-pura menepuk jidat.
Bunda tersenyum dengan tingkah teman putranya dan mengikuti mereka. Bunda paham dengan kode-kodean mereka. Ah! Lucu sekali teman-teman Jay ini. Mungkin begitulah arti dari raut wajah Bunda.
***
Thanks masukannya kaka, siap edit :)
Comment on chapter Episode satu