Orang lain hanya bisa tahu dari apa yang mereka lihat, tanpa tahu apa yang dirasakan oleh orang yang mereka perhatikan. Seperti sekarang, sebagian orang melihat sepasang kekasih yang terlihat mesra pada kenyataannya “sepasang kekasih” itu tidak lain adalah dua orang yang terpaksa melakukan hal manis: sang laki-laki merangkul pundak, dan gadisya menerimanya dengan lapang. Gadis itu –Dhisty- menahan diri untuk tidak menarik tangan Seva yang berada dipundaknya dan menggigitnya kencang.
Lewat ekor matanya dia melihat drama dunia yang begitu mengganggu.
“Lo kan bilang enggak ada pacar waktu itu.”
“Waktu itu. Sekarang beda,” Seva menarik pinggang Dhisty mendekat membuat gadis itu memekik, kaget. “Dia pacar gue, karena itu berhenti ngelakuin hal rendah kayak gini.”
Dhisty menoleh dengan tampang kaget. Sadis, menjadi kata pertama yang terngiang di kepalanya. Sepertinya laki-laki ini memang punya mulut pedas. Dia semakin tidak menyukai Seva. Pandangannya teralihkan, melihat bagaimana respons gadis di depannya.
Harus diakui, gadis yang kini tengah merengek pada Seva, cantik. Kulit putih, mata cukup besar, dengan bulu mata yang lentik. Penampilannya juga bisa modis, dan bisa dipastikan termasuk gadis yang setiap bulan akan pergi ke salon, merawat diri.
“Lo pasti bohong.” Gadis itu mendelik ke arah Dhisty, membuatnya tersentak. “Dia pasti yang godain lo!” tunjuknya dengan penuh amarah.
She said what?
Emosi yang memang sudah ada di dalam diri Dhisty semakin berkobar penuh gelora. Dia sudah dipaksa untuk membantu laki-laki keparat ini, dan sekarang dia dituduh. Sialan. Ekspresi Dhisty berubah keras, tatapan nyalang ia arahkan pada gadis pengejar Seva itu.
“Godain?” Dhisty berkata sinis, setengah tertawa. “Gue?” tambahnya sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iya lo!” Lagi-lagi telunjuk itu mengarah pada Dhisty. “Siapa lagi?! Lo pasti yang godain dia. Enggak mungkin Seva mau sama cewek macam lo!”
Ada uap yang keluar dari kepala Dhisty, darah disekujur tubuh mendidih, dan dia bisa mendengar teriakan iblis yang mendengung di kedua telinganya; mengumpati gadis itu. Ia menepis tangan Seva kuat-kuat, emosinya menghilangkan ketakutan yang menjeratanya. Secepat kilat dia menoleh ketika mendengar suara tawa dari sampingnya.
Pundak Seva bergetar, sirat laki-laki itu tengah tertawa tanpa suara. Dan ketika tatapan mereka bertemu, Seva menegakan tubuhnya.
“Gue godain laki-laki macam ini?” Dhisty menunjuk Seva, tak peduli apa yang dia lakukan itu sopan atau tidak. Dia sudah terlanjur emosi dengan dua orang sialan itu. “Lo buta apa gimana? Daripada gue godain laki-laki macam dia, mendingan gue godain Lee Donghae sekalian, lebih cakep, kaya.”
“Macam ini?! Lo ngerendahin Seva?”
“Kalau iya kenapa?” Dhisty mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menantang gadis di depannya. “Gue rendahin juga dia milih gue.” Sungguh, ketika dia mengatakan itu perutnya melonjak, dan mulutnya ingin memuntahkan sesuatu. “Jadi mending lo pergi deh, hus-hus. Percuma lo ngerengek sama dia, dia juga enggak mau.” Dengan angkuhnya dia mengibaskan tangannya, mengusir.
Hiruk pikuk yang terdengar seolah tidak menarik bagi dua orang yang saling melemparkan pandangan tajam dengan alasan yang berbeda; gadis asing dengan alasan cemburu, dan Dhisty dengan alasan ingin menyelesaikan ini secepat yang dia bisa. Percakapan yang terbias di udara tak mengusik keduanya untuk “membunuh” satu sama lain.
“Dasar gatel!”
Gila, ini benar-benar gila. Dhisty memang pernah melihat beberapa kondisi di mana para gadis merebutkan seseorang yang telah mempunyai pacar. Dulu dia pikir bahwa semua itu adalah hal yang tidak berguna, dan sekarang pikirannya berubah; semua itu sungguh tidak berguna dan sangat mengganggu. Meski dia bukan pacar sesungguhnya manusia kucing ini
“Gatel?” Lagi Dhisty tertawa, dia mendekati gadis dengan rambut sepundak yang sudah berhasil membuat kemarahannya memuncak. “Denger ya, nona. Yang murahan siapa? Lo atau gue? Perlu gue rekam lo dan sebarin ke sosial media, biar mereka yang menilai siapa yang murahan di sini. Gue masih baik, mendingan lo minggat dari sini.”
“Gue enggak takut! Seva cuman milik gue, bukan lo! Dasar cewek rendahan! Lo itu yang ngerebut Seva dari gue! Dasar enggak guna cari pacar!”
“Rendah—an!” Suara Dhisty tertahan karena pinggangnya mendadak dipeluk. Ia menoleh dengan pelototan yang jelas pada Seva. Laki-laki itu menatapnya datar, dan itu sungguh menarik minat Dhisty untuk mencakarnya sekarang juga.
“Emang lo siapa berhak ngakuin kalau gue milik lo? Lo itu enggak penting dihidup gue, cuman pengganggu yang bikin sakit mata.”
“Seva,” panggil gadis itu dengan nada manja.
Dhisty ingin melambaikan tangan, dia sudah tidak kuat lagi dengan drama kehidupan ini. Ia menggeliat bersiap untuk lepas dari Seva, tapi laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya.
“Dia emang bego.” Dhisty langsung mengepalkan tangannya, dia saat ini sudah masa bodoh, benang ketakutannya terputus. Terserah dengan dia dipecat atau tidak. “Dia emang enggak guna, dia emang manja ...”
“Seva!”
“Tapi, dia orang yang gue sayang. Jadi mendingan lo pergi, karena lihat tampang dan tingkah lo yang rendahan buat gue jijik.”
Perlahan emosi Dhisty turun dan menghilang, kepalanya mendadak kosong, dia tidak bisa berikir beberapa detik setelah ucapan itu terdengar. Membiarkan percakapan-percakapan asing mulai mengambil alih. Ia berulang kali mengerjap, seolah apa yang dia lihat dan dengar hal yang begitu asing. “Lo bilang apa? Gila.” Meski pelan, namun ia yakin, Seva mendengarnya. Terbukti dengan gerakan kepala yang menoleh ke arahnya, dan senyuman mengejek di wajah laki-laki itu.
“Jadi, lo enyah dari hadapan gue. Atau lo mau lihat gue ciuman sama dia.”
Belum sempat Dhisty menyela, suara gadis itu kembali terdengar, bergetar.
“Lo brengsek Sev!”
Dhsity langsung melepaskan tangan Seva dari pinggangnya ketika gadis itu pergi dan ia langsung mengambil jarak aman. “Lo tahu, lo itu keparat.”
“Lo seharusnya seneng, ada orang ganteng yang ngakuin lo jadi pacar. Mana ada lagi cewek manja yang dapatin cowok kayak gue.”
“Jaga mulut lo!”
“Kalau gue jaga mulut, gue enggak bisa cium lo. Dan lagian, orang yang lo anggap keparat ini bos lo.”
Dhisty merasakan rasa panas merebak dalam tubuhnya, namu ia acuhkan. “Di tempat kerja, bukan di sini!”
“Enggak ada bedanya. Toh predikat gue jadi bos lo enggak bakal ilang, sebelum lo keluar dari kerjaan. Ditambah lagi, seharusnya lo bersyukur karena gue bisa membuat muka lo merah.”
Tangan Dhisty melayang dengan ringan dan mendarat dengan keras di pipi Seva. Membuat laki-laki itu memalingkan mukanya. Terserahlah kalau dia dipecat, dia tidak peduli. “Jaga omongan lo. Gue udah tahan diri, tapi sekarang enggak. Lo bilang gue pacar lo? Sekarang kita putus! Dasar laki-laki kucing!” Dia berbalik dan menarik Asri menjauh, langkahnya lebar, berusaha untuk meninggalkan tempat itu sekarang juga.
Dalam diamnya ada pertanyaan yang menggelitiknya: Apa Seva benar-benar akan memecatnya?
****
“Dhis, darimana?”
Dhisty berbalik, terkejut ketika menemukan Gala yang berada di belakang mobilnya. Berdiri tegap, dengan pandangan yang mengarah padanya. Ia menyelipkan rambutnya di belakang telinga. “Oh dari jalan-jalan. Lo?” Dhisty berkata dengan tenang, emosinya sudah langsung lenyap karena melihat Gala. Laki-laki itu seperti hujan di atas panasanya gurun pasir.
“Habis nyari refrensi.” Gala mendekat, rambut lepeknya tidak menurunkan tingkat ketampanan laki-laki itu di mata Dhisty. Malah sebaliknya, Gala semakin tampan.
“Oh. Lo ngapain ke rumah gue? Tumben amat.”
“Lo enggak suka?”
Yakali gue enggak suka, malah seneng banget.
“B aja sih gue.” Dhisty menurunkan pandangannya, dan matanya langsung berbinar melihat plastik yang dibawa oleh Gala. “Lo bawa apa?” tanyanya antusias. Biasanya Gala membawa makanan yang enak banget. Kalau tidak hal yang dia suka –seringnya sih yang dia suka- laki-laki itu akan membawa sesuatu yang disukai oleh orang tuanya. Kadang dia berpikir, Gala melakukan itu untuk menarik perhatian orang tuanya, mencari restu. Pikiran yang lahir dari harapannya.
Sentilan cukup kencang mendarat di dahi Dhisty, membuat gadis itu mendongak dan melayangkan tatapan bengis. “Lo apa-apaan sih, Gal? Lo kira ini papan asal nyentil doang.”
“Di mata gue sih kening lo papan buat nyentil.”
“Sialan lo!”
Gala terlihat tertawa, tak peduli dengan gumaman yang dilayangkan oleh Dhisty. Gadis itu terus menerus mengusap keningnya. Untung sayang, katanya berulang kali. “Ini lagi apa-apan sih?! Lepas nggak?!” Dhisty menggerakan bahunya berulang kali, mencoba melepaskan rangkulan Gala. Bukannya longgar tapi, rangkulan itu semakin erat
“Gala, lepas! Lo kok makin hari makin nyebelin!”
“Nyebelin gini juga lo suka kan?” Kali ini kedua pipi Dhisty yang menjadi korban kejailan Gala. Entah dicubit, dipencet-pencet.
Mendengar itu, Dhisty menutup bibirnya, ia terpekur sesaat, membiarkan Gala mempermainkan pipinya. Pandangannya menatap Gala lama, memperhatikan sekaligus berpikir. Bagaimana kalau dia mengatakan yang sejujurnya; dia menyukai Gala bukan lagi sebagai sahabat, melainkan orang yang dia suka?
“Kalau gue suka beneran sama lo gimana?”
Mendadak Gala berhenti melakukan tingkah menyebalkannya. Laki-laki itu tampak bingung terlihat jelas dari kedua pancaran matanya, ditambah dengan kernyitan dahi yang dalam. Sejenak hanya keterdiaman yang menyapa mereka, seolah keakraban yang tadi adalah imajinasi belaka.
Jantung Dhisty berdebar kencang, perutnya terasa melilit, napasnya tertahan. Ia takut sekaligus tak sabar dengan reaksi Gala. Sejujurnya, dia tidak berniat untuk mengucapkannya, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seolah-olah dia tidak sanggup lagi menyimpannya.
Ia terus memperhatikan Gala, menelan ludah dengan susah payah. Laki-laki itu tampak serius, sebelum tertawa, membuat Dhisty dilanda kebingungan.
“Kenapa?”
“Lo itu lucu, suer dah.” Kembali rambut Dhisty diacak-acak oleh Gala, membuat gadis itu menunduk dalam. “Gue tahu lo suka sama gue, kalau lo enggak suka sama gue mana mau lo sahabatan sama gue, oneng.” Dia menyempatkan mengacak rambut Dhisty sekali lagi, sebelum menarik diri. “Gemesin.”
Entah apa yang harus dirasakan oleh Dhisty, senangkah? Atau merasa lega? Karena perkataan Gala itu masih abu-abu untuknya. “Terserah lo lah.” Ia menyetakkan tangan Gala ketika hendak menyentuh kepalanya dia melangkah menjauh, meninggalkan Gala di belakangnya
“Lo marah gue acakin rambut lo?”
Dhisty terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia marah bukan karena hal itu, masalahnya Gala tidak akan mengerti.
“Dhis.”
“Oh ada Gala.” Mama Dhisty muncul, ia tersenyum lebar menyambut Gala. “Tumben, Gal.”
“Iya, main-main Tante.”
Kedua mata Dhisty berotasi. “Ma, Dhisty mau mandi dulu.” Gadis itu langsung melenggang begitu saja, mengacuhkan panggilan Gala. Emosinya mendadak tidak bisa dikendalikan, hal yang sering terjadi ketika dia tidak mendapatkan apa yang dia mau. Ia membuka dan menutup kamarnya pelan, dan berdiri di balik pintu dengan lemas.
Dhisty menyadari bahwa ketika seseorang mulai dilanda dengan rasa cinta berlebih, sebesar apa pun kemarahannya, itu tidak akan bertahan lama. Dan dia kecewa dengan Gala –yang mungkin laki-laki itu tidak tahu. Entah itu sebuah kebodohan atau bagaimana, tapi dia mengakui bahwa dirinya bodoh. Ia menghela napas dalam. Dan dia juga menyadari suatu hal, cinta dalam diam itu ada resikonya. Kalau dia beruntung; orang yang dicintainya akan membalas perasaannya, kalau pun tidak, dia tidak akan berubah dan tetap berada di samping kita. Kalau tidak; dia akan ditinggalkan, diacuhkan, dan yang paling buruk, mereka tidak akan pernah seperti semula –tidak saling mengenal. Membayangkannya saja sakit, apalagi jika itu benar-benar terjadi
Dhisty yang sudah bermenit-menit berdiri akhirnya memutuskan mandi, menyegarkan kepalanya dan mendinginkan perasaannya. Tak membutuhkan waktu lama bagi dia untuk ke kamar mandi dan kembali ke bawah. Ia melangkah pelan menuju ruang tamu di mana percakapan terdengar.
“Nah ini, Dhisty. Kan, Tante bilang, dia sama kamu enggak bakal marah lama.”
“Siapa bilang Dhisty enggak marah. Marah kok. Lagian tuh bocah suka banget ngacakin rambut orang.” Ia mengambil bantal sofa dan memangkuknya ketika ia duduk.
“Biasanya gue yang ngacak, gue yang perbaiki juga. Sini deh, gue perbaiki.”
Dhisty menunjuk Gala, penuh peringatan. “Enggak usah megang-megang, gue gigit lo entar.”
“Enggak boleh galak-galak gitu, Dhis. Nanti, enggak ada yang suka.”
“Nanti Gala yang suka, Tante.”
Ada setruman kecil dalam tubuh Dhisty, mempercepat aliran darah gadis itu dan menyebarkan rasa panas. “Apa sih ngaco, kayak gue mau sama lo aja.” Dia mengambil satu slide Redvelvet sambil mengulum senyum.
“Kalau sama kamu Tante percaya. Omong-omong, memangnya kamu enggak punya pacar?”
Dalam kegiatan memakan Redvelvet, Dhisty menoleh ikut memperhatikan Gala. Ini pertanyaan yang sudah dia nanti.
“Udah ada, Tante. Ini makanya bawa makanan, sekaligus traktir. Lagian...”
Percakapan itu terbias setelah kata “ada” masuk ke dalam telinga Dhisty. Rasa nyeri begitu hebat menyetakkannya, membuat bibirnya berhenti mengunyah, membuat rasa manis berubah menjadi hambar. Detik ini, gadis itu tidak tahu bagaimana cara berbicara. Ia sibuk dengan rasa sakit yang teramat menyayat dalam hatinya. Gala sudah mempunyai pacar. Kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepalanya, menghancurkan perasaannya, menggenggam jantungnya hingga berdebar nyeri.
“Dhis?”
Refleks Dhisty menyentakkan tangan Gala yang menyentuh kepalanya. Masih dengan kebingungan dia menatap Gala, hanya sejenak sebelum akhirnya dia berpaling lagi. “Dhisty mau tidur, Ma. Dhsity capek.” Tidak mau repot-repot menjelaskan, ia meletakan makannya dan pergi dari sana. Gadis itu tidak peduli dengan nada suaranya yang bergetar, yang ingin dia lakukan adalah menghindar.
Gala menyentuh lengan Dhisty. “Dhis, lo kenapa? Sakit? Perlu gue beli obat.”
Lagi rasa nyeri itu kembali hadir dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan pelan, dia melepaskan tangan Gala. “Gue mau tidur.” Cukup kalimat singkat itu, dan dia bergegas pergi.
Ketika pandangannya tidak lagi menangkap sosok Gala, air matanya tumpah begitu saja, seolah mereka sudah menanti-nanti kapan akan dikeluarkannya. Bukannya lo udah tahu kalau lo sama dia itu enggak akan bisa pacaran. Dhisty membuka pintu dengan kasar, dan membantingnya. Dan lagi, lo bukannya tahu kalau dia enggak mungkin suka sama lo. Ia berjalan cepat, dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Lo seharusnya tahu, cowok seperti Gala, enggak mungkin enggak punya pacar.
Dinding-dinding kokoh yang berada di segala sudut, lantai yang dingin, dan langit-langit kamar, serta benda-benda mati yang ada di sana, menjadi saksi bagaimana gadis itu tengah menangis dengan isakan yang begitu memilukan.
Lo tahu, lo yang buat diri lo sakit. Bukan orang lain.
Dhisty menutup kedua telingannya dengan bantal. Menghalangi suara-suara bodoh yang kini berdengung kencang di telinganya. Ia ingin menangis, terus menerus menangis. Membiarkan rasa patah hati yang dia rasakan ini, akan pergi beriiringan dengan air matanya yang tumpah.
Sepertinya halnya cinta, patah hati bisa datang tiba-tiba tanpa ia tahu kapan ia datang.
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog