“Mampus, telat ini telat! Ah!” Dhisty menuruni tangga terburu-buru. “Ma, Pa, Dhisty berangkat dulu!” teriaknya ketika sampai di lantai dasar. Ia mengabaikan perutnya yang meraung-raung, meminta makan. Sabar ya nak, hidup dan mati pemilik tubuhmu ini sedang dipertaruhkan.
Kakinya bergerak gelisah, ia menatap sekeliling, mencari keberadaan orang tuanya. Setelah bermenit-menit menunggu dengan hati yang gelisah, akhirnya Dhisty berteriak –setelah berpikir orang tuanya tidak ada di rumah.
“Anu Non, Ibu sama Bapak udah pergi.”
“Ais! Ya udah deh, Bi. Aku berangkat.”
Dhisty menyugar rambutnya sembari berjalan cepat. Waktunya terbuang percuma karnenaya Kecepatannya semakin meningkat. Kepalanya sudah ruwet, ditambah dengan ponsel yang sejak tadi berbunyi nyaring, meminta dikeluarkan dari sakunya. Dia tahu, kemungkinan besar seseorang yang terus menerornya adalah Asri, orang yang membuat dia terbangun dari mimpi sesaatnya dan langsung menyiapkan segala sesuatu dengan cepat.
Percaya atau tidak, kalau sudah bertemu dengan telat, apa pun yang tidak pernah terjadi sebelumnya, atau yang tidak pernah terpikirkan, akan dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Dhisty ketika masuk ke dalam kamar mandi, kurang dari 5 menit. Mandi capung.
“Aduh nih kunci mana sih!” Dhisty merogoh tasnya tak sabaran, mencari kunci yang saat ini sangat menjengkelkan. Kenapa benda itu kalau dibutuhkan selalu tidak langsung ketemu?!
Map yang sejak tadi dia genggam ditaruh kasar di atas mobil, merogoh tasnya dengan gelisah. Dia mengobrak-abrik isi tasnya. “Nah, akhirnya ketemu!” katanya geregetan. Tidak mau membuang-buang waktu lagi dia membuka mobil, menyambar map, dan masuk ke dalam mobil.
“Sial! Kenapa nggak bisa nyala sih?!” Dhisty mencoba kembali menyalakan mobil, dan tetap tidak bisa menyala dengan benar. “Argh!” Dia memukul setir dengan kesal, dan langsung keluar dengan tampang yang kesal.
Dhisty tidak menyangka, harinya akan buruk. Rasanya dia ingin mengumpati. Kadang dia tidak habis pikir, mengapa setiap ada sesuatu hal yang mendesak, ada saja halangannya. Itu sungguh mejengkelkan.
Ia berjalan keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari ojek yang mugkin nyasar ke jalan rumahnya. Lingkungan rumahnya terlihat sepi, tidak heran karena jam-jam segitu –jam 09.00- banyak orang yang sudah bekerja atau pun sekolah, hingga menyisakan deru angin yang membawa debu.
“Acih!” Dhisty mengusap hidungnya, matanya memerah. “Ah! Hari si—bentar. Gala!” katanya begitu penuh semangat. Seolah mendapatkan harta karun di tumpukan pasir.
Untuk apa dia punya tetangga kalau tidak bisa dimanfaatkan, sekaligus modus.
Dhisty buru-buru menelpon Gala, mengabaikan segala pemberitahuan yang bersarang di ponselnya. Kakinya bergerak gelisah, matanya menatap tajam ke arah kamar Gala yang hanya sedikit bisa terlihat dari tempatnya. Bibirnya bergumam lirih. “Nih orang keman—halo Gala! Anterin gue kampus! Sekarang! Hidup mati gue, Gal!”
****
“Nih.” Dhisty melempar helm yang sejak tadi dia pakai, dan langsung meninggalkan Gala begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih. Dia memanjangkan kakinya, mengambil langkah selebar-lebarnya. Koridor yang ramai membuat Dhisty harus semakin meningkatkan kemampuannya mengambil celah.
“Oi! Pelan-pelan napa?! Lo kira ini koridor nenek moyang lo apa?!”
“Sorry-sorry, gue buru-buru!” katanya ketika pundaknya membentur tubuh orang lain. Dhisty tidak berhenti ketika mengatakan itu, dia hanya menoleh sesaat sambil menunjukan memelas.
Elah, kalau gue nggak buru-buru, ogah kali gue lari-larian kayak gini.
Alas sepatunya terus menerus bergumam, ketika wajahnya menyentuh dinginnya lantai. Dhisty berbelok, menaiki undakan tangga yang kali ini di matanya semakin menyeramkan. Satu undakan digantikan dengan undakan lain. Terus begitu sampai akhirnya dia sampai di ujung tangga. Dia tidak tahu ini jam berapa, dia tidak tahu apa yang akan terjadi, dia hanya berharap bahwa dosen mata kuliahnya kali ini masih ada di sana, kalau tidak, tamat riwayatnya.
“Ah, ini kenapa juga kelasnya harus pindah-pindah sih?! Mana di lantai dua, bikin tambah ruwet!” omel Dhisty.
Kurang beberapa meter dari kelasnya, Dhisty berhenti. Menarik napas dalam-dalam, menghembusnya perlahan, mencari ketenangan. Tangannya mengusap dada, mencoba untuk membantu debaran jatungnya tenang.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Dhisty bergerak. Sayangnya ketika dia melangkah, jantungnya kembali menggila, keringat dingin mulai keluar, dan pikiran negatif mulai menyapanya. Perlahan dia maju, menelan air ludah, lalu melongokkan kepalanya.
Dengan mata yang terpejam dan suara begitu memelas, Dhisty berkata, “Permisi, Pak. Maaf saya telat. Saya tadi ketiduran.” Tubuhnya membungkuk, mengisyaratkan bahwa dirinya begitu menyesal.
Dia paham, alasan yang dikatannya begitu klise. Hampir semua orang yang telat mengucapkan hal yang sama, kalau pun tidak alasan lainnya; karena ban bocor, macet. Membuat mereka kadang tidak dipercayai, padahal alasannya itu benar.
Dhisty sudah siap untuk mendengar omelan, sayangnya beberapa menit berlalu, tidak ada suara tinggi yang menyapanya. Membuat ia perlahan menegakkan tubuhnya. Matanya melotot, dan dia bergegas masuk.
“Lihat muka lo, Dhis! Gila, gue mau ngakak!”
Pandangan tajam langsung mengarah pada Dimas –salah satu teman kelasnya. Laki-laki dengan jaket biru dongker yang menutupi kaos hitamnya. Kedua tangannya memukul meja, membuat kelas mereka semakin ribut karenanya. Tampak kebahagiaan yang sangat jelas di wajah laki-laki itu.
Dhisty menggeram, ia melangkah maju. “Berisik lo dodol!” hentaknya keras sambil melayangkan kekesalan pada Dimas.
Bukannya diam, laki-laki itu malah semakin mengejek.
“Awas lo!” Dhisty melenggang menuju Asri yang terkekeh. “Lo bohongin gue ya?” tuduhnya langsung sambil menarik kursi, menjatuhkan dirinya di sana.
“Nggak kok. Tadi beneran dosennya dateng.”
Dhisty menyipitkan kedua matanya. Sikunya ia taruh di atas meja, lalu memiringkan tubuhnya. “Siapa?” tanyanya dengan nada menuntut. Dia tidak mau dibohongi untuk kedua kalinya.
“Aryo.”
“Asri, gue serius!”
“Gue juga.” Asri sedikit memutar tubuhnya, menunjuk orang yang tak jauh dari tempatnya. “Dia yang minta gue chat lo. Aryo, orang yang cita-cita jadi dosen.” Ia menghela napas, lalu menatap Dhisty secara penuh. “Dan karena gue juga bosen sendiri, nggak ada temen ngobrol. Ya, jadi ... gitu.”
Dhisty ingin sekali meremas wajah Asri saat ini juga. Menyalurkan bagaimana rasa frustasinya saat ini. Bagaimana bisa, gadis itu bisa bersikap santai? Padahal gadis itu sudah membuatnya kalang kabut.
“Mana tugas lo? Aryo bakal ngumpulin langsung ke dosen. Dosen nggak masuk, lagi kemana gitu, lupa gue.”
Aryo, ketua tingkat dalam kelasnya. Bertugas berkomunikasi dengan dosen, memberitahukan jika ada pergantian jam, tugas, apapun yang berhubungan kuliah.
“Elah masih marah lo?” Asri menoel pipi Dhisty. “Maaf deh, maaf.”
Dhisty menepis tangan Asri, bukan tepisan kasar tapi masih menyiratkan kekesalan.
“Lo tahu nggak sih,” Dhisty mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas, melihat teman-temannya, “pagi gue itu berantakan banget. Gara-gara chat lo itu,” katanya sambil menunjuk Asri. “Mana sampai neror gue berapa kali. Dan lagi, gara-gara lo gue cuman mandi lima menit.” Dhisty merentangkan tangannya. “Lima menit, bayangkan tuh gimana gue mandinya!”
Asri tertawa, tak peduli dengan ekspresi Dhisty yang sudah nelangsa. Dia menepuk pundak sahabatnya itu. “Sabar, siapa suruh lo telat. Lo kemarin kerja atau gimana sih? sampai telat gini.”
“Tapi kan lo nggak seharusnya bikin gue tambah ketakutan gini,” kata Dhsity masi tidak terima. Dia menarik napas, lalu menggeleng pelan. “Emang sih kemarin gue kerja, tapi bukan itu yang buat gue telat.”
“Terus?”
“Gue ngobrol sama Gala. Dia nyanyi, gila udah lama banget gue nggak denger suara dia.” Dhisty tersenyum lebar, membayangkan kejadian di mana dia bisa leluasa melihat wajah Gala hanya beberapa meter dari balkon kamarnya. Matanya berbinar penuh rasa.
“Sampai malem Kak Gala nyanyi?”
“Ya nggaklah, gila aja.” Dhisty merotasikan kedua matanya. “Suaranya habis kali.”
“Ya bisa aja kan?” Asri terkekeh geli. “Oh ya, Dhis. Gue nebeng lo ya. Mobil gue dipake.”
“Mobil gue mogok.”
“Lha terus lo ke sini naik apa?”
“Nebeng sama Kak Gala. Nah ini juga yang buat gue kesel sama lo. Mana gue mandinya cuman lima menit. Bayangin deh bau gue gimana.” Bahunya melorot membayangkan kalau Gala diam-diam membau sesuatu yang tidak enak dari tubuhnya. Mana pake motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Angin tidak sebaik itu untuk tidak membuang bau tubuhnya.
“Ya nggak gimana-gimana.”
“Asri!”
“Iya-iya. Tapi, jangan salahin gue dong. Kak Gala tuh juga ikutan salah. Dia nyanyi sampai lo bangun kesiangan.” Asri masih suka menggoda Dhisty. Dia tahu bagaimana sukanya Dhisty pada kakak tingkatnya itu.
“Bener juga sih. Kalau dia nggak nyanyi kan, gue nggak telat.”
Asri manggut-manggut. “Mana tugas lo, biar gue kumpulin sama Aryo barengan tugas gue juga,” katanya sambil mengangkat makalah dengan sampul biru.
“Bentar.” Dhisty merogoh tasnya, dia mulai dilanda kepanikan ketika tidak menemukan makalah yang sduah mati-matian dia buat. “Makalah gue! Astaga!” Dikeluarkan semua barang-barangnya di tas, memenuhi mejanya.
Tidak ada, sama sekali tidak ada. Kemana makalah itu pergi?!
“Lo lupa bawa kali.”
“Gue bawa Asri, bawa!” Masih dengan mencari dalam tasnya. Ia menggigit bibir bawahnya, raut wajahnya sudah seperti ingin menangis. Dia masih inagt betul, tangannya mencengkram makalah itu kuat.
Sebuah tepukan di atas kepalanya, membuat dia menoleh dan siap untuk menghujat. Tapi, sebelum kata-kata itu meluncur, sebuah senyuman terulas di pipinya.
“Makalah lo.” Gala memukul pelan kepala Dhisty. “Kebiasan banget lo kalau keburu-buru suka jatuhin sesuatu.” Ia berdecak lalu menyilangkan kedua tangannya.
“Gal, lo terbaik.” Dhisty mengacungkan jempolnya pada Gala. “Ngomong-ngomong, lo sjeak kapan di sini?” katanya rendah. Dia takut kalau Gala mendengar semua perkataannya, mengenai perasaannya. Bisa dipastikan kalau ia tidak bisa hidup dengan tenang, karena memikirkan kemungkinan yang dipikirkan oleh Gala.
Dhisty menelan ludahnya, ia gugup mendengar jawaban dari Gala. Ia memperhatikan bagaiman kerutan muncul di kening laki-laki itu. Ekspresi yang berubah, dan bibir kecil yang mulai muncul.
Satu sentilan mengenai kening Dhisty, membuat gadis itu mengaduh.
“Dari lo yang nyalahin gue.”
“Sakit.”
“Bodo.” Gala menjulurkan lidahnya, dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Lo udah kelar belum kuliahnya?”
“Udah sih. Cuman ini doang. Kenapa?” Dhisty mengusap keningnya berulang kali.
“Temenin gue makan.”
“Ha?”
Kedua bahu Gala turun, ia membuang napas pelan. Tubuhnya ia condongkan. “Temening gue makan, gara-gara lo, gue harus bangun dari tidur dan ngelepasin sarapan gue.”
****
“Makan, Dhis. Gue tahu lo belum sarapan.” Gala memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Bibirnya terus mengunyah dengan pelan, sembari matanya mengarah pda Dhisty.
“Gue kira lo mau makan di kantin, malah di sini.” Dhisty merapikan helaian rambutnya yang maju ke depan, menaruhnya di belakang ke belakang. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya manyun lagi.
Dhisty sebenarnya tidak memasalahkan jika mereka harus pergi ke mall, kalau semisal dia mandi seperti biasanya. Beda dengan hari ini yang hanya mandi lima menit. Bahkan dia tidak tahu, apakah sabun yang dia pakai berhasil membersihkan dirinya. Tadi, dia sudah meminta parfum pada Asri –secara diam-diam, dan itu hanya mengurangi sedikit ketakutnya.
Semua orang mau terlihat cantik dihadapan orang yang dia suka ‘kan? Begitu juga dengan Dhisty yang diam-diam menciumi bau dirinya sendiri. Ketek gue nggak bau kan?
“Kenapa sih? Lo nggak suka di sini?” Gala akhirnya menurunkan sendoknya, ia menatap Dhisty dengan bingung. “Tumben banget lo nggak mau jalan ke mall.”
“Bukan gitu.” Masa iya, dia harus mengatakan alasan yang sebenarnya. Yang ada malah dia kehilangan muka. “Gue cuman lebih enakan makan di kantin hari ini. Malas jalan-jalan aja.”
“Serius?”
Dhisty mengangguk antusias. Dia mengalihkan pandangannya ke segala arah sambil menyuap makanannya. Melakukan kontak mata dengan Gala saat ini, tidak baik. Entah bagaimana caranya, Gala terkadang begitu peka dengan sikapnya.
“Lo kenapa?”
“Ha?” Dhisty mengerjap. Ini pertanyaan mengarah kemana lagi. Dia menoleh dengan ringisan yang kentar. “Kenapa apanya?”
Gala tidak menjawab, sebagai gantinya dia mengulurkan tangan,menyentuh bagian ujung bibir Dhisty. Tanpa tahu bahwa perlakuannya saat ini membuat sesuatu dalam diri gadis itu membuncah.
“Ke—kenapa?”
“Lo kenapa gugup?” Gala menarik sesuatu dari wajah Dhisty. “Ada nasi di ujung bibir lo. Makan yang bener, jangan kayak anak kecil ah.”
Dhisty menunduk, dia menghirup napas dalam-dalam, dan membuangnya secara perlahan. Ternyata benar, berduaan dengan Gala itu tidak baik sama sekali. “Lo tiba-tiba ngarahin tangan lo ke gue.” Dia mendongak, setelah mendapatkan ketenangan. “Gue kira kan lo mau cubit gue gitu. Kan lo suka kejem sama gue.”
“Oh gue kira lo gugup karena kira gue bakal cium lo.” Bahu Gala naik turun, beriringan dengan tawa Gala yang menderai.
Dhisty memanyunkan bibirnya, merasa sedikit sebal karena tingkah Gala. Dia diam, memperhatikan tawa laki-laki itu. kapan ya, gue bisa bilang suka sama lo, Gal?
“Lo kenapa sih?” Kini tawa itu menghilang, Gala kembali megulurkan tangannya menyentuh kening Dhisty, lagi. “Lo beneran nggak apa-apa? Magh lo kumat apa gimana?”
Belum sempat membalas perkataan Gala, suara lain terdengar.
“Permisi, boleh gabung nggak?”
Saya anak semata wayang. Tapi saya jauh dari kata manja.
Comment on chapter Prolog