Chapter X
Dinding Kokoh
(2012)
Hari ini ulangan harian matematika, sebelum beberapa minggu lagi ujian akhir nasional yang menandakan aku bisa segera lari dari masa ini. Bukan masa putih abu-abu yang menyenangkan tetapi dari masa terbentuknya dinding kokoh dari aku dan Dafa yang sangat menyesakkan aku. Aku lelah mendongak ke balik dinding yang tidak ada batas tingginya. Dia benar-benar ahli membangun dan terus membangun sehingga aku menemukan satu titik dimana menyudahi harapan ku untuk kembali. Aku dan dia memang sudah benar-benar usai, entah mengapa diri ini begitu lemah sehingga aku hanya bisa menitikkan airmata setiap ada hal tentang dia.
Beberapa hari berlalu sungguh menyulitkan dan menyesakkan bagiku. Dia menghindariku, bahkan untuk lewat di sampingku saja dia enggan. Ada apa denganku, sehingga dia memperlaku kan aku seperti itu. Kamu sungguh ingin aku membencimu kah Dafa? Apa tidak cukup kebohongan mu tentang kita dapat menjadi teman. Aku hanya sedang berusaha menjadi biasa saja, tolong itu tidak mudah untukku. Beri aku waktu dan jeda untuk benar-benar berhenti menangis karena kita sudah usai, jangan kau membuat rumit dengan tingkahmu.
“Dii...” aku memeluk Diandra dan tertumpah lah semua airmata yang entah mengapa tidak habis sejak hari itu. Hari ini aku harus tetap les untuk ujian yang sebentar lagi menyapa. Aku benar-benar harus tangguh, setelah dia robohkan hatiku. Aku tidak bisa berlarut dan menyerah dengan ujian, aku harus menunjukkan pada Dafa, kalau aku baik-baik saja.
“Nay kamu kenapa? Jadi benar kata Rosa kalau kamu putus sama Dafa?” aku memang tidak menceritakan pada teman-temanku, selain Rosa karena kami sekelas. Aku hanya terdiam dan memeluk Diandra semakin erat. Aku menangis dalam diam di pelukkannya seakan baru semalam aku dan dia berpisah.
“Nay, jangan diam aja.. benar kan? Kok kamu nggak cerita sendiri sama aku. Biar aku labrak tuh Dafa, udah tau deh dia pasti Cuma main-main sama kamu. Aku jadi kesal ni Nay, udah ya jangan nangis lagi” aku bahkan tidak dapat berkata-kata dengan Diandra, aku yakin tanpa mengatakan apapun Diandra mengerti maksudku.
“yaudah kamu masih ada kelas kan? Udah-udah nanti malam aku ke rumah kamu ya sama Ria, kita curhat-curhatan biar kamu lega. Tenang Nay masa-masa ini bakalan cepat berlalu” perkataan Diandra cukup menghiburku. Aku beruntung memiliki Diandra, Rosa dan Ria karena mereka benar-benar teman terbaikku yang ikut mewarnai masa putih abu ku.
Sudah hampir menuju UAN 2 minggu lagi, aku harus les dan les yang harusnya menyibukkan hingga harusnya Dafa tersingkir dari pikiranku. Sungguh dia tetap kokoh dalam pkiranku, perlahan bahkan melihat papan tulis saja airmata ku menetes sendiri, ya ampun Nayla cukup.
“Kamu kenapa Nay? Mata kamu perih ya karena kipas angin, aku matikan kipasnya ya” yah itu Cinta, hari ini les aku sekelas dengan Cinta. Aku hanya dapat tersenyum menjawab pertanyaan nya. Mungkin memang karena angin mataku berair.
***
Usai sudah ujian-ujian dari ujian nasional dan ujian sekolah, perlahan kesedihan ku akan dirinya memudar dan perpisahan yang sesungguhnya antara aku dan dia akan tiba. Beberapa kali aku melihatnya membonceng gadis lain yang mereka bilang mereka hanya teman tapi cukup membuatku merasakan kecewa. Aku hanya tidak sengaja melihatnya tapi mengapa mataku tidak bersahabat lagi, hujan lagi, dan lagi menyapa pipiku perlahan. Begini kah yang kamu inginkan Dafa?
“sudahlah Nay, cukup kamu bersedih untuk dia yang bahkan udah bisa jalan sama gadis lain, dan itu teman kita pula. Dafa benar-benar hebat Nay, kamu seharusnya sadar dia baik-baik saja jadi kamu juga harus begitu” nasehat Rosa dan Ria yang kebetulan bersama menyaksiakn aksi Dafa yang luar biasa karena kami semua sekelas termasuk gadis itu. Mereka ada benarnya, aku harus menunjukkan kalau aku tidak seperti dia, untuk apa mencari pelarian yang hanya akan menjadikan ku sama dengan dia. Aku hanya perlu tetap sendiri untuk saat-saat sulit ini yang tentunya bersama tema-teman terbaikku.
***
Perpisahan yang sesungguhnya tiba, sehingga membuat aku takut melangkahkan kaki. Iya kami semua lulus dari masa putih abu-abu yang indah itu. Pagi ini Diandra datang menjemputku, mulai terlintas khalayan bodoh dari pikiranku “andai saja aku sama Dafa masih pacara pasti sekarang dia yang ada di bawah pohon itu menungguku” Maafkan aku hati ucapku pelan.
“Naaay..... udah siap perpisahannya?”
“Siap donk,, bentar lagi kuliah yeay!” sorakku dan Diandra yang berencana untuk kuliah di kota yang sama.
Sepanjang perjalanan di bonceng oleh Diandra pikiran dipenuhi oleh Dafa yang nantinya tidak bisa untuk ku lihat lagi meski sekedar diam-diam aku tidak bisa lagi memperhatikannya. Masa ini benar-benar sudah akan berakhir, mengapa aku tidak ingin ini berlalu. Dengan pikiran-pikiran konyol ku, aku membiarkan Diandra berbicara dan mengoceh sendiri. Setidaknya aku akan tetap bersama Diandra di perantauan nanti meski dengan tujuan jurusan yang berbeda.
Tiba di depan gedung yang tampak begitu ramai dengan seragam batik karena pakaian perpisahan hari ini adalah batik. Mataku melirik kemana-mana mencari titik yang menentukan koordinat Dafa. Dia belum datang tampaknya, kami pun duduk di barisan kelas masing-masing. Aku duduk di samping Rosa dan Ria, dan Diandra jauh di seberang karena kami beda kelas. Setelah beberapa menit duduk mulai lah acara perpisahan ini. Di mulai dari kata sambutan, persembahan tarian dari guru, dan lagu-lagu dari para penghibur setiap kelas. Banyak wajah tampak sedih dan raut yang muram. Buka hanya aku yang akan merindukan masa putih abu-abu ini, mereka semua juga akan merindukannya tapi bagaimana dengan Dafa? mungkin dia juga akan rindu tapi tanpa ada aku di kisah nya.
“Nay, perwakilan kelas kita nyanyi, ada Dafa main gitar Nay” seru Ria padaku yang lagi sibuk ngobrol dengan Rosa yang sebentar lagi akan merantau beda propinsi dengan ku. Rosa dan Dafa akan merantau di kota yang sama, tapi tidak dengan Samy pacarnya Rosa yang akan melanjutkan di kota yang jauh lebih jauh dari kami. Entah bagaimana hubungan mereka berdua nantinya.
“oh iya, itu dia dan teman-temannya” aku melihat dengan lekat wajah Dafa, wajah yang akan aku rindukan itu cukup aku potret dalam memoriku.
“emm jangan di liat terus Nay, nanti susah move on” ejek Rosa padaku.
“Nggak apa-apa Nay, buat dijadikan penawar rindu” Ria malah tambah mengejekku. Kami hanya tertawa menikmati suasana yang menjadi saksi kalau kami telah menyelesaikan tugas kami sebagai seorang siswa.
***
Acara perpisahan usai dengan sesi salam-salaman dengan guru-guru yang luar biasa di SMA ku. Mereka pun menangis sambil bersalam-salaman. Aku pun merasa begitu sedih mengingat kembali bagaimana dulu penyesuaian dengan mata pelajaran IPA dan perjuangan untuk masuk jurusan itu.
“Naaaay” teriak Diandra dari sebrang dengan seseorang yang tidak asing di sampingnya, Gilang.
“Hay Nay, aku minta maaf ya kalau aku banyak salah sama kamu Nay” perkataan yang mebuat aku tersenyum sehingga bingung harus menjawab apa, iya Gilang meminta maaf padaku yang aku juga tidak tahu apa salahnya sambil menjabat tanganku.
“iya lang, aku juga deh. Kita maaf-maafan walau bukan lebaran yaa” sambil tertawa kami hanya saling berlalu dan aku melihat nya menangis bersalam-salaman.
“ternyata Gilang melo juga Di”
“Iya Nay daritadi dia sedih setiap bersalaman, eh dia nempel terus tu sama pacar baru nya Nay” Diandra menyadarkan ku bahwa aku melewatkan itu, Gilang sudah punya pacar. Aku turut bahagia untuknya.
“Kamu udah ketemu Dafa Nay?”
“Belum Di, daritadi dia nggak tau duduk dimana”
“tadi aku liat dia ke depan, ayok Nay kita ke depan setidaknya kamu harus salam perpisahan dan foto sama dia. Aku kan bawa kamera hari ini Nay”
“idih kok kamu lebih semangat dari aku sih Di, kita pamit dulu sama Rosa dan Ria. Setelah bertemu dan foto bersama Rosa dan Ria kami pun menuju Dafa. dengan perasaan khawatir nanti Dafa menolak bertemu dengan ku.
“Fa, hey salam dulu kita, kamu harus banyak minta maaf sama aku” belum selesai pikiran-pikiranku Diandra sudah menyapanya lebih dulu.
“oh iya Di, maaf ya kalau banyak salah tapi ntar teman kayak aku susah ditemukan Di” mereka bercanda, senyum Dafa selalu indah.
“hay fa” hanya itu yang dapat terucap dari bibirku yang terlanjur kelu. Sambil bersalaman aku dan Dafa hanya tersenyum.
“yaudah foto dulu kalian berdua” seru Diandra yang sudah memasang posisi pada kami berdua.
“Oke, sip bagus fotonya” Diandra yang langsung mengambil foto tanpa aba-aba.
Dafa pun berlalu dan tidak menoleh lagi, aku hanya terdiam di belakang Diandra dan menatap punggungnya hingga tidak terlihat lagi.
“Dia nggak menoleh sedikitpun Di” tangis yang aku tahan sedari tadi pun pecah. Kami benar-benar berpisah.
***
Inilah sebuah pertemuan yang bermula di putih abu-abu ku dengan banyak warna-warni menghiasi setiap sudut waktu yang kami lewati. Aku memulai dengan bertemu dengan teman-teman yang baik dari geng beliaku di kelas X, dan dengan Rosa, Diandra, juga Ria. Aku memulai sebuah kisah yang di sebut cinta pertama di putih abu ini bersamanya yang sekaligus jadi pacar pertamaku. Aku belajar semua disini, dari belajar untuk akademik sampai belajar urusan hati. Ada yang patah, lalu tumbuh dan berputik hingga patah kembali.
Aku akan membingkai masa-masa putih abu ini dan aku simpan di sudut memori terbaikku. Untuk dia yang bersedia menyapa kisahku meski singkat kamu tetap jauh melekat di ingatanku. Semoga kamu tidak marah dengan aku yang memilih untuk tetap menjaga mu di hatiku. Aku hanya akan perlahan menerima bahwa masa kita sudah usai, meski kamu memilih untuk menghapusnya. Berpisah itu tidak pernah mudah untukku andai kamu tahu. Setidaknya biarkan aku menyimpan kenangan yang pernah menyapa kamu dan aku dengan kisah indahnya, dengan kisah manja penuh tawanya. Aku dan kamu pernah ada pada masa itu dengan ikatan sederhana yang kamu putuskan untuk menghapusnya tanpa sisa. Bangunlah terus dinding kokoh mu dan lihat bagaimana musim rindu menyapamu dengan aku yang akan perlahan menghapus jejakmu. Semoga waktu bersahabat denganku dengan tidak membiarkan musim hujan selalu hadir menepi dipipiku.
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu