Chapter VIII
Hari itu Hujan
(2012)
Menjadi siswa kelas XII ini ternyata lumayan sibuk tapi menyenangkan. Kami memulai semua dengan semangat untuk ujian nasional. Sebentar lagi kami akan menjadi mahasiswa, iya selangkah lagi kami mendekati UAN (Ujian Akhir Nasional) dan setelah itu selesai masa-masa SMA ku, masa putih abu-abu ku yang indah tanpa harus memikirkan hal lain, semua itu akan berlalu dan membuat aku sedih memikirkannya. Apalagi kalau harus kuliah di tempat yang berbeda dengan Dafa dan di kota yang berbeda pula, benar-benar hal yang tidak terbayangkan untukku.
“Dafa, nanti Dafa mau kuliah dimana?” karena kami sudah kelas XII jadi pembicaraan kami mulai mendekati kata kuliah, universitas, dan semacamnya.
“Dafa mau kuliah jurusan teknik Nay, biar bisa gondrong hehe” jawabnya entah serius atau bercanda, tapi aku tahu dia mampu untuk kuliah jurusan itu.
“Gondrong, iih awas aja Dafa berani gondrongin rambut, di tambah lagi nanti kalau pergaulan Dafa merokok, awas aja Nayla nggak mau lagi berteman dengan Dafa. Titik” dengan ketus dan kesal aku menjawab tapi dia selalu menganggap aku bercanda.
“Iya nggak apa-apa kalau nggak mau jadi teman, tapi tetap jadi yang di sayang kan?” dia tertawa dengan mengejekku yang hanya bisa terdiam dan tersipu.
“Dafa, Nayla serius. Dafa tau kan Nayla nggak suka laki-laki yang merokok”
“Iya sayang, Dafa nggak akan merokok” jawabnya dan membuatku lega.
Setiap hari aku dan dia selalu bercanda dan tertawa, kadang ada waktu dimana dia membuat aku marah dan mungkin sebaliknya tapi semua segera membaik karena Dafa tidak pernah sama sekali marah secara langsung padaku, dia lebih memilih diam dan melupakannya begitulah yang dikatakannya padaku. Kadang itu membuat aku khawatir tapi aku berpikir positif saja dan berusaha untuk melakukan yang terbaik agar tidak menyakitinya. Aku selalu takut untuk mengecewakannya. Hanya saja aku merasa Dafa tidak terlalu terbuka tentang perasaannya padaku.
***
Hari ini Shela teman sekelas ku meminta bantuan untuk meminjam buku IPS pada Diandra, karena sepupunya Shela jurusan IPS tapi malas mau beli buku, jadi dia mau fotokopi buku Diandra. Aku pun dengan shela ke kelas Diandra dimana itu juga kelasnya Gilang. Aku tidak pernah sampai masuk ke dalam kelas mereka, biasanya aku hanya menunggu Diandra di depan kelas. Aku masuk dan langsung mencari meja Diandra, ternyata dia duduk di bangku barisan belakang karena Diandra punya badan yang tinggi. Saat menuju meja Diandra pandanganku teralihkan oleh keributan dari seberang meja Diandra, yah itu kan Gilang dan teman-temannya yang entah mengapa mereka membuatku tidak nyaman.
“Di, mana buku yang mau aku pinjam?” aku langsung ke intinya karena aku tidak ingin berlama-lama dikelas Diandra ini.
“yaah Nay sms aku nggak kamu baca?”
“Kamu ada sms Di? Yaah aku lupa bawa HP makanya aku tadi langsung ke sini”
“Aku nggak punya bukunya, terus aku pinjam buku Gilang tapi kita masih ada jam pelajaran untuk buku itu jadi ntar pas pelajaran kesenian lewat kelas kamu kita antar ya” aku terdiam mendengar ada nama Gilang di sebut dalam pembicaraanku dan Diandra.
“Oke Nay?” Diandra meyakinkan jawaban apa yang akan keluar dari mulut ku. Bagaimanapun buku itu untuk Shela, yasudahlah semua juga sudah biasa-biasa saja antara aku dan Gilang. Bahkan Gilang juga tidak akan pernah tahu bagaimana dulu perasaanku padanya.
Aku dan Shela pun kembali ke kelas, tidak tahu apa yang terjadi pada diriku tapi aku merasa aneh dan merasa bersalah. Aku mencari sisi yang akan meyakinkan ku kalau itu adalah hal yang biasa saja.
“Sa, tadi aku kelas Diandara sama Shela buat minjam buku IPS untuk sepupunya”
“terus kenapa Nay? kok jadi nggak semangat gitu”
“Diandra nggak punya bukunya, dan memang dia jahil banget Sa, kamu tahu dia meminjamkan buku Gilang dan ntar mereka bakal ngantar ke sini. Gimana dong Sa?”
“Ntar kan Diandra juga ngantarin bukunya Nay, kamu tenang aja nanti aku temenin ngambilnya kalau ada Gilangnya”
“Makasih ya Sa, aku takut Dafa atau yang lain mikirnya macam-macam, terutama Dafa deh aku takut dia cemburu lagi”
Bel yang menandakan jam pelajaran habis, dan istirahat kedua sudah berbunyi. Aku melihat Cika dan Gaby lewat, mereka kan sekelas dengan Diandra. Berarti sebentar lagi Diandra ke sini.
“Nay, ada teman kamu nyari tu di depan kelas” teriak salah satu teman sekelasku.
“Oh iya makasi ya” jawab ku padanya. Aku dan Rosa pun langsung beranjak dan menuju ke depan kelas. Sungguh memang jahil Diandra yang menghilang begitu saja.
“Nay, ini buku yang mau di pinjem teman kamu kan?” si otak udang yang tiba-tiba ada di depan kelas ku. Diandra memang nakal, aku langsung mengambil buku itu.
“Makasih ya, ntar kalau dia udah selesai fotokopi langsung aku balikin ke kamu. Daa Gilang” aku dan Rosa langsung masuk ke kelas dan aku rasa itu biasa saja. Sudah tidak ada perasaan apapun lagi pada Gilang.
“tuh kan Nay, kamu udah nggak suka lagi sama dia jadi kamu harus biasa aja. Kita kan teman sekelas nggak mungkin kan mau pura-pura nggak kenal kalau ketemu. Nanti kamu di bilang aneh Nay” perkataan Rosa ada benarnya juga. Harusnya aku biasa saja pada Gilang mengapa harus takut.
“Rosa, menurut kamu aku harus bilang ke Dafa nggak ya kalau aku tadi minjam buku ke Gilang?”
“terserah kamu Nay, tapi itu kan cuma minjam buku yaaah tetap terserah deh seenaknya kamu Nay”
Buku itu pun aku tepikan di meja ku karena Shela baru akan mengambilnya sepulang sekolah. Entah apa yang terjadi Dafa yang duduk tepat di seberangku terdiam melihat buku itu. Usai sudah pelajaran hari ini, Dafa memutuskan untuk pulang duluan dan tidak mengantarku ke parkiran seperti biasa. Ada apa dengan Dafa.
“Nay, Dafa mau ke tempat teman sepulang sekolah ini jadi Dafa duluan ya” pamitnya pada ku tidak seperti biasanya.
“Oke, hati-hati yaa” aku hanya menjawab sekena ku saja. Sambil membawa buku itu pada Shela, aku baru melihat ada tulisan tangan Diandra di tepi buku itu “Nayla*Gilang” ya ampun apa maksud dari tulisan Diandra di buku ini benar-benar memalukan. Aduh bagaimana tadi kalau Dafa melihatnya, teman-teman Dafa melihatnya sungguh kacau. Namun Dafa tidak berkata apa-apa atau bertanya padaku, mungkin saja semua biasa saja untuknya.
“Sa gimana dong kalau Dafa lihat?” aku bingung dan lalai nya aku mengapa tidak teliti dari tadi.
“yaudah lah Nay, itu hanya tulisan juga semoga Dafa nggak secumburu itu untuk marah sama kamu ya jadi kamu tenang-tenang aja” perkataan Rosa membuat cemas ku sedikit berkurang dan semoga Dafa juga tidak marah dengan tulisan ini kalau memang terbaca olehnya. Aku pun pulang dengan harapan besok akan baik-baik saja dengan aku dan Dafa.
Hari ini hujan, aku berteduh di musholla depan kelas dengan Rosa menunggu hujan teduh dan pulang.
“Sa, hujan hari ini seakan tahu kalau hati ku juga sedang mendung” aku memulai curahan hatiku pada Rosa yang sudah berhari-hari aku pendam.
“Kenapa Nay, kamu bertengkar sama Dafa? Soalnya akhir-akhir ini kamu jarang sama dia”
“bertengkar gimana Sa, aku sama Dafa aja udah jarang ngobrol beberapa hari ini, di sms juga Cuma ucapin selamat tidur aja. Aku jadi takut mau sms dia duluan soalnya dia juga sibuk les kan sama seperti kita”
“kalau takut terus nggak akan ada ujungnya Nay, kamu sms saja seperti biasa. Kita kan juga les tapi nggak juga sesibuk itu. Kamu yang les di Ahesa les pasti lebih sibuk seharusnya, tapi kamu masih punya waktu buat peduli sama dia. Namanya juga pacaran Nay ada baik dan buruknya kalau di laluin”
Rosa benar tentang rasa takut yang membuat aku takut untuk memulai bertanya kabar tentang pacar ku yang sebenarnya sekelas dengan ku tapi berubah jadi jauh dari pandanganku. Dia sibuk dengan teman-temannya belakangan ini sehingga membuat aku merasa tidak nyaman untuk menganggunya. Hujan kemarin-kemarin dia ada disini menunggu reda bersama ku yang bahkan dia berharap hujan tidak berhenti agar dapat lebih lama bersama ku. Dia membuat aku teringat hujan tahun lalu saat aku belum menjadi pacarnya. Untuk pertama kalinya Dafa memboncengku dan mengantarku pulang ke rumah dengan hujan sebagai saksinya yang melihat aku terdiam di belakang punggungnya dan dia dengan gaya santainya mengejekku dengan si otak udang itu. Aku tidak tahu bahwa hujan itu sebagai awal keakraban aku dan dia sehingga hujan-hujan hari ini membuat ku mengenang hal indah tentang Dafa.
“Nay hujan nya teduh, ayok kita pulang” Rosa dan aku menuju parkiran bersama. Hari ini aku pulang les langsung dengan Lara teman sekelas ku yang juga sama tempat lesnya denganku dan Rosa sudah di tunggu oleh pangerannya si Samy yang sedari tadi sudah menunggu di parkiran.
***
Benar sudah hampir seminggu aku tidak saling berkirim pesan singkat dengan Dafa, dan aku tadi siang saat istirahat di sekolah sempat cerita dan bertanya pada Didi. Entah mengapa teringat kembali di pikiranku percakapan singkatku dengan Didi
“Di, kamu tahu nggak sih si Dafa belakangan ini sibuk apa?” aku duduk di samping Didi karena penasaran mengapa si Didi tidak sesibuk Dafa.
“Mereka lagi sibuk belajar Nay, terus bahas les-les gitu sih setau aku, memangnya kenapa Nay?”
“Dafa suka hilang nggak ada kabar Di belakangan ini, dia ada cerita atau apalah gitu ke kamu?”
“Cerita apa Nay? Nggak ada sih Cuma dia pernah bilang ke aku, seminggu yang lalu atau yang lalu nya lagi yaa. Ah yang jelas dia bilang dia itu beneran sayang sama kamu Nay, dia nggak main-main” jawaban Didi membuat aku tersenyum sendiri dan menghela nafas, haruskan aku percaya. Tapi Didi bukan pembohong dan aku tahu Didi adalah teman yang baik.
“Iyalah Di, semoga apa yang kamu bilang itu benar, soalnya udah hampir seminggu ini dia cuek banget sama aku”
“Padahal dalam seminggu sebelum itu Nay dia cerita sama aku, percaya aja Nay sama dia. Kasih dia waktu”
Mungkin perkataan Didi ada benarnya aku hanya harus memberi waktu untuk Dafa sendiri dan kesibukannya untuk ujian, yang sebenarnya aku juga melalui ujian yang sama dengannya. Ah benar-benar menyebalkan memikirkan bahwa aku sendiri yang sibuk memikirkan hubungan kami disaat UTS sedang menanti. Malam ini aku akan tanya ke Dafa, biar aku bisa tenang belajarnya buat minggu depan.
“Dafa, lagi sibuk nggak? Nayla mau nanya” aku mengirim pesan untuknya dan selang beberapa menit HP ku langsung berbunyi, ternyata itu sms dari Shela.
“Nay sepupu aku udah selesai minjam buku teman kamu, besok aku bawa ya buat kembaliin ke dia” pesan ini menyadarkan aku, kalau aku masih harus bertemu Dafa untuk mengucapkan terimakasih padanya.
“iya Shel, bawa aja nanti kita kembalikan sama-sama” balasku pada Shela, yang menunjukkan sudah hampir setengah jam Dafa tidak menjawab pesanku. Aku merasa begitu kesal dengan Dafa, marah? Tentu aku sangat marah dengan sikapnya yang kali ini benar-benar sukar untuk di toleransi. Sudahlah lebih baik tidak aku pikirkan. Aku pun mengirim pesan pada Gilang untuk datang mengambil bukunya di kelasku besok. Aku tidak tahu mengapa berkirim pesan dengan Gilang menghiburku dari kekesalan ku terhadap Dafa. Sehingga tiba-tiba malam itu, saat diluar rumah hujan sedang deras-derasnya Dafa mengirimi aku pesan yang aku tidak mengerti apa sebabnya.
“Nay, Dafa minta maaf udah nggak ada sms Nay beberapa hari ini. Nay kita udahan aja ya. Kita balik lagi kayak dulu. Kita temanan aja Nay” satu pesan yang mebuat aku cukup membeku setelah satu jam lebih dia membalas pesanku yang isinya benar-benar membuat aku terpaku. Aku tidak dapat membalas pesannya hingga akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya saja dengan perasaan was-was apakah ini mimpi atau nyata.
“Dafa, Nayla nggak mau basa-basi, intinya Dafa minta kita putus iya kan?” dengan suara agak gemetar aku bertanya padanya. Lama tidak ada jawabannya darinya.
“Jawab Nayla, Dafa benar mau putus?” aku menekankan padanya dengan harapan dia menjawab tidak.
“Maafin Dafa Nay, Dafa rasa Nayla nggak bahagia pacaran dengan Dafa, iya kan?”
“yang nentuin bahagia atau nggak nya itu Nayla. Kecuali Dafa yang udah nggak suka lagi sama Nayla atau mungkin Dafa yang nggak bahagia pacaran sama Nayla. Intinya Nayla nggak mau putus. Ok?” entah mengapa aku seberani ini dan telpon ku terputus sendiri. Lalu pesan masuk dari Dafa.
“Iya nay.. maafin Dafa ya. Dafa sayang sama Nayla. Yaudah Nayla tidur ya, Dafa juga mau tidur. Selamat tidur sayang” pesan masuk dari nya mebuat hujan di luar pindah ke pipi ku. Dia jahat menganggap semua baik-baik saja padahal aku disini khawatir setengah mati. Pesan masuk berikutnya aku pikir dari Dafa, tapi dia bilang udah mau tidur.
“yaudah deh Nay besok pagi aku ke kelas mu ngambil buku nya, tapi kamu harus traktir aku karena udah minjamin buku buat teman kamu” ternyata satu pesan ini dari dia, iya aku hampir lupa sedang berkirim pesan dengan Gilang. Aku mencoba menghibur diri dengan bercanda dengan Gilang, ternyata dia tidak berubah masih sama seperti dulu otak udang yang kadang bisa baik di saat yang tepat.
“Traktir kamu, boleh tapi ayok kita taruhan siapa yang besok bangun lebih pagi berarti dia yang traktir. Yang bangun duluan harus ngebangunin lawannya. Ok?” entah taruhan apa yang aku buat ini, tapi seru juga. Anggap saja ini salam terakhir ku untuk Gilang karena setelah ini tidak ada alasan lagi untuk memulai komunikasi dengannya si otak udang yang pernah singgah, dan aku takut Dafa jadi bimbang karena cemburu padanya.
“Eh aku bangun duluan, buktinya aku duluan yang sms. Bangun sana sholat terus jangan kesiangan pergi sekolah. Aku tunggu traktirannya” aku mengirimi pesan pada Gilang karena aku bangun lebih awal darinya. Aku juga mengirimi pesan untuk pacarku dengan ragu.
“Dafa, bangun udah subuh jangan lupa sholat. Sampai ketemu di sekolah” pesan terkirim dan ternyata tidak seperti biasa langsung mendapat balasan.
“Iya, makasih Nay. Udah lama ya rasanya Nay nggak ngebangunin Dafa” balasan yang membuat aku bingung dengannya. Biarlah waktu yang memperbaiki keadaan dingin hubunganku dan Dafa.
Ternyata hari ini jam pertama pelajaran kelas Diandra adalah kesenian sehingga, dan apa yang terjadi dengan Gilang. Dia terlambat sudah jam 07.10 menit dia baru menuju lab seni.
“Kamu benar-benar ya lang, pake acara telat lagi” aku mengiriminya pesan karena kesal mengapa dia terlambat padahal tadi dia bangun awal. Lalu mengapa juga aku peduli, ya namanya juga teman.
“iya aku ketiduran lagi tadi Nay hahaha” balasan Gilang padaku.
Mata pelajaran kedua kami berganti dengan kelas Diandra, kesenian. Ini hal yang paling membuat tidak nyaman dan aku meminta Rosa untuk mengembalikan buku Gilang padanya. Entah apa pikiran Gilang yang jelas semua sudah selesai dan kami berdua biasa saja. Aku pun menuju ke lab seni dengan Dafa seakan tidak ada yang terjadi kemarin, dia memperlakukan aku seperti biasa yang dia lakukan dengan baik, lembut dan tidak menyinggung apa yang terjadi tadi malam.
Istirahat tiba, aku dan Rosa pergi ke kantin bersama karena Dafa sedang bermain dengan temannya di lab. Aku meninggalkan HP ku dengan Didi karena tadi dia pinjam buat foto contoh soal dan aku tidak tahu ternyata HP itu di berikannya ke Dafa. Ya Ampun kotak masuk ada nama Gilang, bagaimana kalau Dafa baca. Semoga Dafa mengerti, atau setidaknya bertanya padaku apa yang terjadi.
“Nay ini HP Nayla tadi Didi titpkan ke Dafa” dengan wajah biasa saja dia tersenyum manis tapi mencurigakan.
“Oke, Dafa cek-cek HP Nayla ya?” aku penasaran dan bertanya padanya.
“Enggak, langsung masuk saku aja tadi” semoga dia berkata jujur padaku.
Mata pelajaran kesenian pun selesai dan kami berjalan menuju ke kelas, dan entah aku salah lihat atau tidak di depan lab IT ada Gilang dan teman-temanya serta ada Cika dan Gaby. Tidak seperti biasa Dafa menggenggam tanganku dan menggandengku untuk melewati mereka, “so sweet, pacaran terus aja Nayla sama Dafa ni” ejek Gaby dan Cika yang membuat aku bingung harus tersenyum atau diam saja. Entah ada apa dengan Dafa, perlakuan yang tidak biasa di depan kelas lain dia menggandeng tanganku, terutama di depan Gilang. Aku tahu Dafa tidak terlalu menyukai jika aku terlalu akrab dengan Gilang, atau itu hanya perasaanku saja. Sudahlah yang jelas hari ini aku bahagia karena Dafa masih seperti dulu, romantis.
***
Aku berharap tidak untuk hari ini saja Dafa seperti itu. Perkataan nya semalam membuat aku takut untuk berharap lebih. Apa yang harus aku lakukan jika Dafa benar-benar ingin putus dariku. Hujan kemarin masih menyisakan tanda tanya di hatiku. Terkadang hal memilukan sebaiknya tidak terjadi saat turun hujan, karena rasa mengenang nya saja sudah menyakitkan dan menyisakan luka apalagi harus mengenang di bawah rintikkan hujan yang pada akhirnya hujan itu tidak hanya membasahi tubuhmu tapi juga hati yang akan lagi dan lagi terulang di setiap hujan turun. Hujan yang membuka dalam kenangan, dan hujan yang mengikis habis tawa dengan tetesan hangat pipi. Ah aku suka hujan, dan aku harap hujan bersahabat denganku.
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu