Kay meletakkan sepatunya di rak dengan rapi, menggantinya dengan selop, lalu pergi ke dapur. Rumah selalu sepi dan gelap belakangan ini, sejak Kak Erhu menikah dan tinggal bersama suaminya. Adik-adik Kak Erhu cenderung sibuk oleh urusan mereka sendiri. Yaa… bukannya Kay ingin diurusi juga sih.
Terdengar suara air mengalir dari kamar mandi, dengan bayangan orang bergerak-gerak di balik pintu ber-frosted glass. Kay cepat-cepat mengambil gelasnya dan mengisinya dengan air mineral dari dispenser. Namun, ketika dia berjalan melewati pintu kamar mandi, pintu terbuka dan sesosok berambut panjang keluar dari sana.
“Mama!” orang itu menjerit kaget, kedua tangan tertangkup di dada.
Suaranya yang melengking membuat Kay terlonjak dan sebagian air di gelasnya tertumpah ke lantai.
“Jangan diam-diam gitu dong! Aku kan jadi kaget!”
“Sori,” gumam Kay, buru-buru mengambil pel.
Yang baru keluar dari kamar mandi adalah cewek bertubuh kecil yang mengenakan sehelai kaus oblong longgar dan celana pendek. Tangannya memegang handuk putih, yang digunakannya untuk mengeringkan rambutnya. Kulitnya nampak licin berkilat-kilat dan sedikit merona. Wangi sabun samar-samar tercium darinya.
Lyra, adik bungsu Kak Erhu.
Terdengar derap langkah di lantai dua, kemudian kepala seorang cowok menyembul dari balik pegangan tangga.
“Ra?” cowok itu memanggil sambil melongok ke arah dapur. “Kenapa jerit-jerit?”
Lyra mengibaskan tangan. “Nggak apa-apa, Kak.”
Cowok itu mendecakkan lidah, sebelum pergi sambil menggerutu, “Kirain ada apa…”
“Kamu abis ngapain? Kok baru pulang jam segini?” Lyra bertanya. Kay merasakan sedikit rasa penasaran, tapi sebagian besar emosi yang tertuju padanya adalah rasa marah dan kesal. Seperti yang terasa kalau melihat boneka yang jelek, atau melihat tumpukan sampah yang dibuang sembarangan di pinggir jalan, atau didatangi kucing buduk liar yang ngotot meminta diberi makanan. Boneka buduk yang dibuang sembarangan… Kay depresi oleh pemikirannya sendiri.
“Ada perlu dulu,” jawab Kay, sambil berharap Lyra tidak mengorek-ngorek lebih jauh. Dia tidak bisa menangani rasa penasaran dengan baik. Rasanya gatal, seperti ada belatung-belatung merayap di bawah lapisan kulitnya, akan terus menganggunya sampai dia mengeluarkannya. Tapi, meskipun si mungil masih curiga, dia tidak berkata apa-apa lagi.
“Pel yang bersih ya. Licin nanti,” pesannya, sebelum dia pun berlalu ke lantai dua.
Kay mengantar gadis itu dengan pandangannya sejenak, sebelum menggosokkan pel ke lantai yang becek.
Papa dan Mama memiliki tiga orang anak. Yang pertama adalah Kak Erhu, 25 tahun, berprofesi sebagai guru Seni Musik di SMA Ensembel—dialah yang memaksa Kay masuk ke SMA tersebut. Menikah dua bulan yang lalu.
Anak kedua adalah Kak Biwa, cowok yang tadi melongok dari tangga. Dia juga bersekolah di Ensembel, kelas XII. Dia sangat jarang keluar kamar. Kalau bukan karena sadar diri, Kay akan menyebut Kak Biwa ansos.
Yang bungsu, Lyra, hanya sehari lebih muda dari Kay, sehingga Papa dan Mama selalu merayakan ulang tahun mereka bersama-sama. Dia juga masuk Ensembel. Di antara ketiga saudara, Lyra yang paling tidak menyukainya. Setiap kali Lyra melihatnya, seperti ada sesuatu yang terbakar dalam dirinya.
Awalnya tidak begitu.
Bahkan, waktu Kay baru tiba di rumah mereka, Lyra sering mengajaknya main atau menonton film bersama. Namun, menginjak usia remaja, Lyra pun menjaga jarak dengannya, dan sekarang selalu kesal kalau melihat Kay. Kak Erhu selalu berkata bahwa Lyra hanya canggung saja, tidak bisa mengekspresikan dirinya dengan baik.
Tapi Kay lebih tahu, bahkan mungkin lebih paham daripada Lyra sendiri.
Papa dan Mama tergabung dalam Live Sound Philharmonic, sebuah grup orkestra yang berbasis di Eropa. Mereka meninggalkan urusan rumah tangga di tangan putri tertua mereka, membuat Kak Erhu terasa lebih seperti seorang ibu daripada seorang kakak. Sampai dua bulan yang lalu, Kak Erhu selalu membangunkan mereka, memasak untuk mereka, juga mencucikan pakaian.
Kak Erhu juga satu-satunya orang yang tahu soal keadaan Kay.
Kay tidak berniat merahasiakannya, tapi rasanya tidak pernah ada kesempatan yang pas untuk menceritakan pada orang lain, apalagi kalau orang lain itu tidak peduli. Meski dia punya alasan yang valid untuk sering sakit-sakitan sehingga harus diurusi, mengetahuinya tidak akan mengubah pandangan Lyra tentangnya.
Memang tak jarang Kay merasa sesak jika berada di rumah. Tapi dia juga tidak tahu mau pergi kemana. Beraktivitas pasti membutuhkan biaya, dan dia sungkan menggunakan uang saku yang diberikan Papa dan Mama kalau tidak benar-benar butuh. Lagipula, dia merasa kurang bertanggung jawab kalau banyak main. Teman saja dia tak punya. Kepalanya selalu dipenuhi dengan ide-ide untuk membalas budi Papa dan Mama. Mereka selalu berkata Kay tidak perlu melakukan apa-apa… tapi tetap saja dia ingin berbuat sesuatu.
Pertanyaannya: bagaimana? Dia tidak punya keahlian, dan meskipun hari-harinya lebih banyak diisi dengan belajar, rapornya tetap tidak hebat-hebat amat.
Kay baru selesai mengepel ketika didengarnya bunyi-bunyi aneh. Dia berdiri diam, mendengarkan. Bunyi itu datang dari kamarnya.
Mampus!
Itu kan bunyi getaran ponselnya. Dan seumur-umur, yang menghubunginya langsung ke ponsel cuma Kak Erhu.
Keringat dingin langsung mengaliri tengkuknya.
Kak Erhu itu punya imajinasi yang berlebihan, dan kalau teleponnya tidak diangkat, entah hal merepotkan apa yang akan dilakukannya!
Kay cepat-cepat pergi ke kamar dan mengeluarkan ponsel dari tas. Dengan tegang Kay mengecek notifikasi.
Dua belas pesan dan dua puluh panggilan tak terjawab.
Waduh… pasti Kak Erhu akan mengamuk. Dia harus segera menghubungi balik.
Tapi, belum sempat dia menekan tombol telepon, ponselnya sudah bergetar lagi. Wajah Kak Erhu muncul di layar.
“H-halo?”
“Heh, boncel!” suara Kak Erhu yang bernada tinggi langsung menusuk telinga Kay. “Kenapa telepon sama chat-ku nggak ada yang dijawab? Aku kira kamu diculik, tau!”
Tuh kan.
“Saya baru nyampe rumah, Kak. Tadi ketemu Ra dulu.”
Kay bisa merasakan—bahkan dari jarak jauh begini—kalau Kak Erhu ingin menyemprotnya dengan berbagai omelan. Tetapi begitu Ra disebut, segala kata-kata yang ingin dilontarkannya seperti menguap ke ketiadaan.
“Oh. Udah ketemu toh?”
“Iya, udah Kak.”
“Kirain kamu bakal mangkir.”
Gak sopan!
Hening lagi.
Lalu,
“Eh, bentar, kok kamu manggil dia pake nama doang? Tiba-tiba udah akrab aja, kalian!”
“Dia yang minta kok. Katanya kalo dipanggil ‘Kak’, dia ngerasa jadi seumur sama Kak Erhu.”
“Sialan, maksudnya aku tua, gitu?!”
“Bukan saya yang bilang gitu ya.”
“Cih. Liat aja, kalian juga sepuluh tahun lagi bakal seumuran aku!”
“Nggak mungkin, Kak. Sepuluh tahun lagi, Kak Erhu bakal tetep sepuluh tahun lebih tua dari kita.”
“Kamu… mentang-mentang ngomong di telepon ya, berani!”
Kay tertawa kecil. Meledek Kak Erhu adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan lewat telepon. “Kalo ngomong face-to-face, saya bisa digetok.”
“Sembarangan!”
“Oh iya, Kakak sih paling nabok ya?”
“Liat aja ya nanti, ya!”
Kay tertawa lagi.
Dia berbaring di tempat tidur.
Langit-langit kamarnya agak rendah, karena tadinya ruangan ini adalah gudang. Tidak ada jendela. Saat cuaca kurang bersahabat, kamar ini bisa jadi pengap, gerah, atau berbau lumut, tetapi selama dia punya privasi, Kay tidak akan mengeluh.
Orang tuanya—dan sekarang, Kak Erhu juga—membolehkan dia menghuni kamar tidur mereka. Tapi, lagi-lagi, sungkan. Apalagi kamar Kak Erhu; letaknya sebelahan dengan kamar Lyra. Tidak bisa dibayangkan betapa canggungnya kalau dia mondok di sana.
“Terus? Gimana first impression-mu soal dia?”
Kay langsung teringat terkena hantaman pintu dan ditarik paksa ke dalam ruangan.
“Ngg… yah… orangnya… agak… aneh…”
Kak Erhu tergelak. “Cuma agak?”
“Banget,” ralat Kay cepat-cepat.
“Terus, kalian udah ngobrol apa aja? Kok lama banget, baru pulang jam segini.”
“Tadi ketemu klien dulu.”
“Oh?” Kak Erhu terdengar sangat terkejut. “Klien live?”
“Yep.”
“Wow. Aku nggak nyangka bakal secepat ini. Siapa yang dateng?”
Kay mengerucutkan bibir. “Itu bukan informasi yang bisa saya bagi seenaknya kan?”
“Idih, sok pengacara kamu! Asal tahu aja ya, yang ngusulin supaya Curhatroom punya live session itu aku, tau!”
Bisa ditebak. “Kakak tau risikonya kalau orang seperti Ra bikin jasa konseling kan?”
“Yah… kan ada kamu.”
Kay yang awalnya mau ngedumel, jadi urung karena Kak Erhu memujinya seperti itu. Lagipula ada yang lebih penting daripada mengeluhkan nasi yang sudah jadi bubur.
“Sejak kapan Kakak ngerencanain ini?”
Dia bisa merasakan Kak Erhu tersenyum bangga. “Udah lima bulanan lah.”
“Selama itu? Kalau ternyata saya nggak masuk Ensembel gimana?”
“Aku pastiin kamu masuk kok.”
Kay mencelat bangun. “Tolong jangan bilang Kakak malsuin hasil ujian saya!”
Kak Erhu tertawa, membuat Kay semakin ngeri.
“Enggak lah. Kamu nggak sepayah itu kok. Malah nilaimu lebih bagus daripada Biwa dulu, apalagi Lyra. Anak itu sebentar lagi pasti harus les. Pede sedikit dong.”
Kak Erhu senang sekali menyulut suspens sih. Bikin sport jantung saja.
“Tapi aku memang udah siap-siap melakukan itu kalau ternyata hasil ujianmu jelek.”
“Kak!”
“Iya, iya, enggak kok. Kamu parno amat sih.”
Masalahnya Kak Erhu itu chaotic good. Antihero. Kay yakin dia bisa melanggar aturan untuk tujuan yang menurutnya baik. Bahkan sambil tersenyum tanpa dosa.
“Kay, menurutmu gimana?”
“Gimana apa lagi nih?”
“Proyek ini bakal berhasil nggak?”
Kay tidak tahu. Meskipun omongan dan kelakuan Ra sudah membuatnya naik pitam lebih banyak daripada yang dialaminya sampai sebelum hari ini, Kay tidak bisa menyangkal bahwa kondisi psikis Ra, kalau memang itu sebuah kondisi, membuatnya lebih nyaman. Aneh, asing, tapi nyaman.
Hanya saja Kay juga tidak tahu dia bisa tahan dengan karakter Ra sampai berapa lama. Ra orang pertama yang memiliki begitu banyak keberbedaan.
Satu hal yang pasti: dia ingin mengusahakan agar proyek ini berhasil. Sesuatu dalam dirinya—sebut saja insting, atau firasat—seperti mengatakan bahwa dia harus berhasil.
“Diusahakan, Kak.”
Sepertinya Kak Erhu cukup puas dengan jawaban itu.
“Kak.”
“Hm?”
“Gimana sih awalnya Curhatroom ini? Kenapa Kakak bisa punya ide nyuruh Ra melakukan itu?”
Kak Erhu tiba-tiba tergelak. “Ide awalnya justru bukan dari aku. Tapi dari Ra sendiri.”
Oke, itu agak mengejutkan. Rasanya sulit membayangkan orang seperti Ra berinisiatif menjadikan dirinya tempat curhat orang.
“Meskipun dia seperti itu, sebenarnya dia sadar kalau dia dihindari, dan dia harus berubah.”
“Wah?”
“Yap. Secara ajaib, dia sampai pada kesimpulan bahwa dia harus bisa mengerti orang lain untuk bisa berubah.”
Kay terbelalak. “Serius?! Dan menurut dia, Curhatroom adalah cara yang tepat buat memahami orang lain?”
“Yes. Seratus poin.”
Mengejutkan, tapi logis. Dan kalau logika mutlak adalah kelebihan yang dimiliki Ra, maka sebetulnya jalan pikirannya bisa dimengerti.
Jadi bagaimana ya… sebenarnya dia itu pintar atau bodoh? Kalau dia bisa lolos seleksi Klub Literasi, mestinya sih pintar. Mungkin masalah keseimbangan ya. Biasanya yang terlalu pintar itu agak-agak menjurus ke arah sinting. Mereka tidak sanggup menanggung beban kepintaran mereka sendiri. Lagian pasti tidak adil kan kalau orang itu sudah pintar, cantik, baik hati pula. Harus ada kelemahannya.
…
Kay baru saja menggunakan kata cantik. Lagi.
Dia kembali tiduran.
Tapi malah jadi gelisah. Akhirnya dia mondar-mandir di samping kasur.
“Tapi awalnya dia cuma aktif di medsos,” Kak Erhu melanjutkan. “Lalu dia nge-hack admin forum siswa buat menambahkan fitur chat-nya. Sempat rame dulu, sampe hampir lapor ke polisi lho. Tapi terus beberapa orang menganggap ini masalah yang terlalu remeh untuk dilaporkan ke yang berwajib. Selain itu Dolce sendiri bikin pernyataan kalau dia nggak bakal mencuri data milik sekolah, walaupun dia bisa mengakses semua data itu.”
Itu… sarap sekaligus keren.
“Tapi siapa yang bisa jamin kalau Ra bakal menepati janjinya?” tanya Kay. “Maksudnya, dia nggak muncul secara fisik di depan pihak sekolah kan? Rasanya susah ngebayangin dia diizinin ngejalanin proyek itu kalau mereka tau itu Ra. Dan lebih nggak bisa dipercaya lagi pihak sekolah mau ngizinin orang nggak dikenal ngobrak-ngabrik website.”
“Tebakan kamu benar. Ra hanya muncul sebagai Dolce. Di seantero sekolah, cuma kita berdua yang tahu soal ini. Tapi menurutku, yang bikin pihak sekolah membiarkan bukan karena mereka percaya Dolce, tapi karena Dolce bilang dia bisa mengakses database sekolah. Ngerti maksudnya?”
Perlahan, implikasi kata-kata Kak Erhu terbentuk di benaknya.
“Ra nge-blackmail sekolah dengan database sebagai sandera?!”
“Entah yaa… tapi yang jelas sih aku nggak mau nyari tau.”
“Sarappp!!!”
“Hei, jangan teriak-teriak, sakit di kuping tau!”
“Tapi itu bener-bener sarap! Bentar… berarti sekolah memang punya data rahasia yang bisa berbahaya kalau dilaporkan ke yang berwajib?”
“Makanya, aku bilang aku nggak tau. Dan aku nggak mau nyari tau.”
“Sinting… gila…”
“Kay, aku juga tau kalau sarap itu bersinonim dengan sinting dan gila. Kamu nggak usah sok pamer vocab gitu.”
Pantas Kak Erhu begitu peduli dengan Ra. Soalnya mereka punya kemiripan: sama-sama menyebalkan.
“Kasian Ra itu. Dia dijauhin temen-temennya. Guru-guru juga banyak yang nggak suka sama dia. Dia begitu putus asa sampe nekat ngebobol website sekolah. Semua demi mencoba memahami orang lain.”
“Tapi setelah denger cerita barusan, rasanya saya nggak bisa berempati sama dia.” Selain karena memang nggak bisa, tambah Kay dalam hati.
“Sebenernya nggak apa-apa kalo kita nggak suka orang karena sifatnya atau kelakuannya,” lanjut Kak Erhu. “Cuman, kalau kita ngejauhin tanpa ngasih feedback, bukannya itu jahat ya? Ibarat orang kejebak di dalem sumur, terus kita biarin aja walaupun kita punya tali buat narik dia keluar.”
Kay membayangkan dirinya menimba air di sumur dan menemukan Ra di dalamnya. Wajahnya kebiruan, rambutnya lepek, matanya tidak bercahaya dan pipinya cekung. Kay merinding, buru-buru menghilangkan imajinasi itu dari kepalanya.
“Mungkin karena nggak semua orang bisa plas-plos kayak dia. Jadi nggak ada yang mau ngasih tahu. Lebih gampang ninggalin sesuatu yang nyebelin daripada membuat perubahan. Nggak capek.”
Kak Erhu menghela napas lagi, lebih berat.
“Itulah. Sebenernya aku sempet ngobrol soal itu sama dia. Tapi yaah… kamu lihat sendiri hasilnya.”
“Jadi yang bikin dia pengen jadi tempat curhat itu sebenernya Kakak juga?”
“Aku cuma bilang kalau dia harus lebih hati-hati saat ngobrol sama orang, bukan ngobrak-ngabrik website sekolah dan forum siswa tanpa izin.”
“Kalau nasihat kayak gitu aja implementasinya sampai repot begitu, kenapa Kakak masih ngusulin supaya dia ngadain curhat live?”
“Yaaa aku pikir terlanjur basah, nyemplung aja sekalian. Kenapa harus setengah-setengah dengan nanggapin curhatan lewat chat? Orang itu cenderung punya kepribadian yang beda di medsos dan di dunia nyata.”
“Enggak juga ah,” Kay menyanggah, just because.
“Intinya, Ra bisa aja berhasil jadi psikolog di dunia maya, tapi semua itu nggak ada gunanya kalau dia tetep nyebelin di dunia nyata.”
“Kakak frontal banget. Ngaca dulu, Kak.”
“Kamu rese ya. Liat aja nanti di sekolah.”
Kay buru-buru minta maaf.
“Makanya… kamu bantuin Ra ya?”
Jeda.
“Jadi tali yang aku lempar.”
“Untuk narik dia dari dasar sumur?”
“Yes.”
Rasanya ada sesuatu yang terusik di hati Kay, ketika menyadari seluruh kejadian yang menimpanya baru-baru ini dirancang Kak Erhu demi membantu Ra. Ra sudah berbuat sejauh itu demi bisa berubah, dan Kak Erhu bertaruh dengan melibatkan Kay. Apakah dia akan sanggup mengemban tugas ini?
“Gimana kalo tali itu putus, dan malah ngejatohin dia lebih dalam lagi?”
“Tenang. Nanti aku lipet kamu jadi dua terus aku lemparin lagi. Kalo putus lagi, aku lipet lagi.”
“Kenapa kedengarannya kayak saya bakal dihajar?”
“Lha iya dong!” sahut Kak Erhu, terdengar nada jenaka dalam suaranya. “Nggak tau gimana caranya, kamu harus berhasil!”
“EEEEHHH!!!”
“Nah, selamat bertugas ya. Hati-hati sama dinding bukunya, kalo ketimpa, kamu pasti benyek kayak ikan tongkol. Aku nggak tahu gimana ngabarin Papa sama Mama kalau anak cowok kesayangan mereka tewas ketimpa kertas bulukan. Bilang-bilang aku kalo ada apa-apa. Dah…”
Kemudian Kak Erhu memutus sambungan dengan seenaknya.