Sejak melihat jasad ibuku tergantung dari langit-langit kamar, aku bisa merasakan emosi orang lain. Aku bisa merasakannya dengan seluruh indera-inderaku. Aku seperti terbakar ketika berhadapan dengan kemarahan, dan menggigil dalam kubangan kesedihan. Kebahagiaan membutakan mataku, ketakutan memekakkan telingaku, dan kebencian membuat mulutku masam. Rasa bersalah membuatku mual, dan rasa penasaran membuat kulitku gatal.
Terkadang semua itu begitu natural, seolah-olah milikku.
Barangkali, yang lebih buruk daripada tidak empatif adalah tidak bisa merasakan perasaanmu sendiri. Dalam hari-hari terburukku, aku tak yakin apakah jiwaku masih hidup.
Tidak setelah hari itu.
#
Kak Erhu berdiri dengan lengan berlipat di depanku, bibirnya tertarik ke samping dalam sebuah senyuman lebar yang lebih pantas disebut seringai. Gingsulnya menimbulkan efek vampir yang pas dengan momen bulan purnama seperti saat ini. Dengan posturnya yang agak gempal, dari posisiku yang sedang tiarap dia nampak bagaikan pejuang wanita dari Sparta. Gagah dan mengintimidasi.
“Nggak ada keberatan kan? Nih, aku kasih nomornya. Aku bakal kroscek sama dia, jadi jangan pikir kamu bisa kabur ya!”
Ponselku bergetar di dalam saku. Pasti chat darinya, berisi informasi kontak yang dijanjikannya barusan.
Aku merutuki diri. Tidak diragukan lagi, Kak Erhu telah memanipulasi keadaanku sehingga jadi menyetujui taruhan begonya, dan kalah. Aku yakin dia cukup cerdik untuk melakukan itu padaku. Cerdik dan tega. Sempat-sempatnya aku menganggap kakak angkatku itu seorang jelmaan Florence Nightingale. Florence Nightmare lebih cocok kayaknya.
“Nggak usah nelangsa gitu,” Kak Erhu meneruskan. “Dia orangnya baik kok. Rame, supel, suka membantu. Kamu pasti seneng temenan sama dia. Aku juga yakin kamu bisa belajar banyak dari dia.”
“Belajar jadi orang yang nggak mikir sebelum bertindak?”
Sesuatu dalam pandangan Kak Erhu membuatku tak nyaman. Rasa kasihan dan khawatirnya terasa seperti selimut yang membelit tubuhku, pengap dan menyesakkan. Udara bagaikan tertahan di dalam paru-paruku, tak menemukan jalan keluar. Aku tidak pernah bisa terbiasa akan sensasi seperti ini.
Kemudian dia mengangkat bahu. “Coba deh temenan dulu sama dia. Kalo kamu tetep ngerasa nggak ada gunanya, baru kita anulir hasil taruhan kita.”
…
“Apa gunanya dianulir kalo saya harus menderita dulu?!”
Kak Erhu tergelak.