Lukisan Kabut
Semburat warna oranye mengusir kekelaman malam. Lambat laun mentari pagi mulai memperlihatkan kekuasaannya. Sedangkan di sisi lain, sang rembulan pun mulai pergi seakan tahu waktunya telah habis. Embun yang sedari tadi berdiam diri pun mengikuti jejak sang penguasa malam. Ia turut pergi dan hanya meninggalkan udara dingin yang mampu menembus masuk ke dalam pori-pori tubuh ini.
Di sinilah aku. Di sebuah halte sederhana di pinggir jalan. Entah sudah berapa lama aku di sini. Melihat beberapa kendaraan yang lalu lalang di jalan yang tak terlalu luas ini. Beberapa orang melewatiku dengan tatapan iba. Tak sedikit orang yang berbisik kepada seorang yang lain kala melihatku. Aku hanya bisa tertunduk tanpa bisa membalas mereka. Bukan salah mereka jika sekarang aku terlihat mengenaskan. Hari telah berganti dan aku masih tetap sendiri di sini menunggu sesuatu yang tak pasti.
"Sudah semalaman kau di sini. Aku melihatmu kemarin, dan sekarang aku juga melihatmu dengan posisi yang tak jauh berbeda," kata seseorang yang menyadarkan lamunanku.
"Kau siapa?" tanyaku lirih tanpa menatapnya.
Tak banyak yang ku dengar sesaat setelah aku menanyakan siapa dia. Bahkan jawaban dia pun tak terdengar. Tiba-tiba saja semua suara yang ku dengar sesaat yang lalu menjadi hilang tertelan bumi.
***
Udara dingin masuk ke dalam tubuhku. Aku tersadar dari tidurku. Tubuhku terkulai lemas, bahkan untuk menggerakkan kedua tanganku pun butuh tenaga yang tak sedikit. Aku mencoba mengajak kedua mataku untuk menyusuri setiap inci ruangan ini. Gradasi warna yang tertera di dinding ruangan ini tampak harmonis ditambah dengan hiasan lukisan klasik di samping sebuah lemari kuno. Warna kuning gading yang melekat mendominasi gradasi warna indah itu. Kurasa setiap sudut ruangan asing ini tak luput dari jangkauan kedua mata sayuku. Tanpa ku sadari, seorang laki-laki sudah berdiri di sebelah kananku sembari membawa nampan yang tampaknya berisi segelas susu dan beberapa iris roti di sampingnya. Laki-laki itu menatapku penasaran, kemudian dia duduk di kursi yang berada tak jauh dari temoat tidur ini sambil terus memandangku.
Mata kami bertautan cukup lama, entah tatapan apa yang saling kami lontarkan, yang aku pikir sedikit tidak nyaman sehingga dia mulai membuka pembicaraan.
"Namaku Nathan. Kau tadi pingsan. Jangan berpikir macam-macam. Makanlah ini dulu. Kau terlihat lemas," katanya sembari menyodorkan nampan yang ia bawa tadi.
"Apa maumu?" jawabku dengan perasaan takut sembari memposisikan diri untuk duduk bersandar di sebuah dinding kokoh di belakangku.
"Aku bilang jangan berpikir macam-macam. Sudahlah, jangan takut. Makanlah!" perintahnya sembari melangkah pergi meninggalkan aku sendiri di ruangan ini.
Aku memakan seiris roti dan beberapa teguk susu yang ia berikan kepadaku. Tak terpikir ada racun atau tidak di dalamnya, karena aku sudah terlalu lapar untuk memikirkan itu. Tak lama setelah aku menyelesaikan makananku, lelaki itu kembali dan duduk di tempat yang sama.
"Siapa namamu? Dimana rumahmu?" tanya lelaki bernama Nathan itu.
"Jangan modus peduli orang lain kalau ujung-ujungnya minta ganti rugi!" jawabku ketus.
"Jawab atau kau tidak akan kembali ke rumahmu!"
***
"Adik takut, Bu," kata adikku di sela-sela tangisnya.
"Mengapa kau tak bisa diatur, huh!? Ayah sudah melarangmu, bukan?" tanya ayah yang membuat air mataku tak bisa ku bendung lagi.
"Aku sudah melakukan sebisaku. Kenapa Ayah tidak percaya?" kataku membela diri.
"Apa kau bilang? Kau sudah melakukan sebisamu? Tak salah selama ini Ayah menganggapmu tak bisa apa-apa!" bentak ayahku tepat di depan wajahku.
"Masuk kamar, Kak!" kata ibu dari sudut ruangan.
"Tidak, Bu. Biarkan Ayah menyelesaikan tuduhannya dulu," jawabku membalas perintah ibu.
"Apa kau bilang!?" bentak ayah sekali lagi disertai tamparan ayah yang sukses mendarat di pipiku.
"Ayah tak punya bukti atas tuduhan Ayah. Aku sudah mengatakannya dan Ayah.." aku sengaja menggantung kalimatku.
"Masuk! Atau Ayah akan melemparkan benda ini ke arahmu!" kata ayah sembari mengangkat tongkat bisbol yang sedari tadi berada di dekatnya.
"Sel.." kataku yang belum sempat ku lanjutkan.
"Masuk, Kak!" perintah ibu yang kali ini dengan nada sedikit ditinggikan.
Aku berjalan cepat ke kamarku dengan kaki yang masih bergetar hebat. Ingin pingsan rasanya. Aku terus meyakinkan diri untuk segera bisa masuk ke dalam kamar, dan menutup pintunya rapat-rapat. Setelah beberapa detik, aku sampai di kamar dan melakukan apa yang ku pikirkan tadi. Aku membuang tubuhku ke spring bed mungilku dan memejamkan mata lelahku ini dan berharap semua hanya adegan drama yang aku perankan.
***
Cahaya lampu berwarna kuning redup menyadarkanku dari tidur panjang ini. Aku mengusap kedua kelopak mataku dan berharap pandanganku tak kabur lagi. Benar. Semua tampak lebih jelas sekarang. Aku memposisikan diri berhadapan dengan cermin yang tadinya berada di samping kiriku. Aku menatap tubuh ini. Wajah yang lesu dihiasi dengan warna cokelat kehitaman di bawah kedua mata ini. Aku mengajak otakku untuk memutar memory beberapa jam lalu.
Air mataku kembali mengalir menyusuri pipi merahku. Segera aku mengambil tas biru mudaku dan memasukkan beberapa barang di dalamnya. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah, entah kemana. Tak seorang pun di rumah. Mungkin mereka sedang mendinginkan pikiran mereka masing-masing. Kaki ini melangkah sedikit lebih cepat dari biasanya sebelum sebuah angkutan umum berhenti tepat di sampingku. Aku memutuskan untuk pergi tanpa memberi tahu kedua orang tuaku.
"Adik mau kemana?" tanya seseorang yang berdiri di sampingku. Aku rasa angkutan ini akan segera kembali ke tempat asalnya, sehingga orang itu bertanya padaku.
"Oh.. Hmm.. Berhenti di halte dekat sini saja Pak," kataku setelah menyadari bahwa orang itu adalah seorang kernet bus ini.
Bus ini berhenti, itu artinya aku harus segera turun. Aku tak tahu harus kemana. Saat ini sudah pukul 10 malam dan tak ada penginapan di sekitar sini. Akhirnya aku memutuskan untuk diam di halte kecil ini dan bergumul dengan udara dingin malam ini.
***
Air mata ini kembali tercurah saat mengingat kejadian kemarin. Nathan menatapku iba sesaat setelah cerita itu ku sampaikan padanya. Aku berusaha menahan diri untuk tidak melanjutkan tangisku.
"Bersabarlah, Mer. Semua akan berlalu dengan cepat," kata Nathan mencoba menenangkanku.
"Ini bukan kali pertama Ayah berbuat seperti ini. Namun, kali ini aku benar-benar tidak tahan. Aku berusaha untuk memaafkannya, namun Ayah selalu mengulanginya," jawabku dengan terisak dan tetap mencoba untuk berhenti menangis.
"Doakan saja. Mungkin kamu atau ibumu tak bisa merubah sikap ayahmu. Tapi Tuhan bisa. Berdoa saja Mer. Kamu juga ngga boleh berlarut-larut dalam kebencian. Kau harus memaafkan dan menyayangi kedua orang tuamu selagi mereka masih ada di dunia ini. Anggap saja itu cara ayahmu menunjukkan rasa sayangnya padamu. Bersabarlah Merry. Aku rasa kamu harus pulang sekarang, hari semakin gelap, sekarang sudah pukul 7 malam," kata Nathan yang berhasil membuatku terdiam.
Ya, dia benar. Aku harus pulang sekarang. Entah mengapa belaian lembut sang angin menambah rasa kerinduanku untuk pulang. Aku tidak mau mengambil langkah yang salah, aku memutuskan untuk diam beberapa saat dan mencoba berbicara pada 'Yang di Atas' supaya mempermudah pekerjaanku saat ini. Aku terus diam dan memejamkan mataku untuk srkedar mencari petunjuk apa yang harus aku lakukan setelah ini. Banyak kemungkinan yang terlukis di benakku. Aku mencoba membuang semua hal yang justru membuatku lebih membenci ayahku. Aku sedang bertarung dengan diriku sendiri, aku berusaha untuk mengasihi tanpa meminta balasan. Akan tetapi, di balik itu aku tahu, bahwa sebenarnya aku sudah mendapatkan balasan itu, hanya saja dalam ungkapan yang berbeda. Ya, aku menciba untuk meyakini itu. Langkah yang aku jejakkan meninggalkan seberkas harapan yang kian mencuat.