Melupakan itu tidak sesederhana yang orang katakan.
Mencoba, jatuh lagi. Mencoba, gagal lagi.
Begitu seterusnya sampai hatimu benar-benar sanggup merelakan.
(DF.01 Dee Felicia Chesta)
***
Move on? Mudah disuarakan, sulit dilakukan. Mungkin itulah yang membuat Dee betah berlama-lama dengan perasaannya saat ini. Perasaan suka yang pada akhirnya terkontaminasi dengan benci.
Muhammad Faiz Adyan, dialah yang dalam sekali tepuk mampu membuat remuk perasaan seorang Dee Felicia Chesta. Ucapan itu masih terngiang jelas di telinganya sampai hari ini.
"Sorry, gue gak bisa sama lo Dee. Gue udah punya cewek, namanya Riana. Dia seangkatan sama gue, tapi ikut kelas percepatan. Sekarang dia kuliah, fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Surabaya. Gue sayang banget sama dia. Mulai sekarang berhenti mengharapkan gue, dan cari dunia lo yang baru."
Dee menenggelamkan kepalanya ketika mengingat apa yang tempo hari Faiz katakan. Ia merasa sangat buruk karena kalah telak dari gadis itu. Dia tentulah cantik karena sukses besar memenangkan hati Faiz. Riana terbilang cerdas, pantas jika pada akhirnya disandingkan dengan lelaki itu yang sama cerdasnya. Apalah artinya Dee yang tak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan Riana.
"Sumpah, ya, Dee. Seandainya gue dikasih kewenangan buat kasih rekor sama seseorang, gue pastikan kalau lo dapat satu dari gue. Rekor penyandang galau terlama." Seorang laki-laki berperawakan tinggi, putih, mengambil posisi duduk di samping gadis itu.
Dee melemparkan tatapan tajam pada sahabatnya. Astaga! Dean selalu saja mengacaukan lamunannya dengan suara bass dan cerocosannya. Sekarang lelaki itu bahkan berani mengejeknya, padahal dulu Dean tidak seperti ini. "Suka-suka gue dong. Sirik aja lo."
"Idih, sirik sama orang galau. Gue lebih sirik sama orang bahagia."
Namanya Dean Haidar Argani. Biarpun sedikit gila, tapi dia sahabat terbaik Dee. Mengapa Dee berani mengikrarkan demikian? Karena Dean satu-satunya orang yang rela terpapar ingus gadis itu jika sedang menangis. Tak terhitung berapa kali Dee menangis karena Faiz, dan bisa dipastikan kalau Dean akan selalu ada untuknya.
"Faiz lagi ngapain, ya, De?" tanya gadis itu.
Dean menoleh. "Mana gue tahu. Yang pasti dia lagi bahagia. Dia kan gak jomblo kayak lo."
"Sial!" Dee mendesis kesal.
"Udahlah Dee yang cantiknya ngalahin pantat onta. Jangan mikirin orang yang jelas-jelas gak pernah mikirin lo. Dia udah bahagia," kata Dean lagi, "lo kapan nyusul?"
"Coming soon."
"Bahagia itu gak datang dengan sendirinya. Harus ada usaha untuk meraihnya." Dean kembali bersuara setelah satu toyoran diluncurkan pada sahabat perempuannya itu.
"Sakit banget rasanya, De. 30 September. Gak bakal gue lupain omongan dia waktu itu."
Terdengar helaan napas panjang. Kejadian itu sudah satu tahun yang lalu, tapi Dee masih berenang dalam luka yang sama. "Gue mau tanya sama lo, apa yang sebenarnya buat lo sakit?" Dean bertanya, "apa karena lo tahu dia udah punya cewek dan cewek itu lebih sempurna dari lo? Bukan itu jawabannya, Dee. Satu-satunya alasan kenapa lo selalu merasa sakit adalah karena lo belum bisa berdamai sama diri lo sendiri. Pikirkan baik-baik apa yang gue bilang."
Tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri? Dee membatin, mengulang apa yang terang-terangan dilontarkan sahabatnya barusan. Mungkin benar, rasa marah pada diri sendirilah yang membuat Dee selalu merasa sakit.
"Gue balik dulu, ya, udah sore," pamit Dean. Namun sepersekian detik sebelum benar-benar pergi, Dean kembali berbalik. "Dee, ada yang harus selalu lo ingat, memaafkan adalah bagian penting dari melupakan."
"Hati-hati, De."
Bersambung ...