Read More >>"> Drama untuk Skenario Kehidupan (Take 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Drama untuk Skenario Kehidupan
MENU
About Us  

Take 14

“Baik, segitu saja dari saya, jangan lupa kerjakan tugasnya yang akan dikumpulkan di pertemuan selanjutnya. Selamat siang.” Dosen wanita berambut tebal panjang dan berwajah keriput menutup salah satu mata kuliah umum yang tengah Bayu hadiri bersama mahasiswa sastra Inggris dan sastra Perancis semester tiga.

Mengangkat dirinya dari tempat duduk, Bayu tercengang ketika menggerakkan kepala ke arah kanan, tempat duduk mahasiswa sastra Perancis. Terlihat beberapa mahasiswa beda jurusan itu tengah menunjuk-nunjuk dirinya sambil berbisik-bisik.

Sempat dia mendengar suara dan kata kunci dari bisikan mahasiswa sastra Perancis, memicu salah satu rekaman di dalam benaknya, dia menarik strap tas menggunakan tangan kanan dan mulai mengangkat kaki. Diinjaknya lantai putih ruangan kelas itu seraya meninggalkan kebisingan halus dari bisikan dari mahasiswa sastra Perancis.

Emosinya hampir meledak ketika mendengar kata kunci yang memicu munculnya pikiran. Dia menghela napas seraya menenangkan diri dari ocehan sastra Perancis menuju dirinya. Langkahnya dia percepat, tidak ingin serpihan kesedihannya bermunculan di depan umum.

Menuruni tangga menuju lantai dasar gedung, langkah kakinya sedikit dia keraskan hingga keluar dari gedung fakultas. Begitu kakinya melangkahi halaman depan kampus, dengan cepat dia mengendalikan dirinya menuju tempat parkir, ingin segera mungkin meninggalkan daerah kampus.

Memegang gagang kendali motor dengan jemari mulai berpeluh, napasnya juga mulai terombang-ambing. Keningnya dia sentuh menggunakan tangan kanan seraya menahan pikiran masuk kembali ke dalam otaknya.

“Enggak, enggak,” gumam Bayu, “gue enggak mau ingat, gue enggak mau ingat lagi.”

“Bay,” panggil seseorang yang menepuk pundaknya.

Bayu berbalik ketika pikirannya terbuyarkan. “I-Ivan?”

“Kenapa, Bay? Gue lihat lo … kayak tertekan habis dari kelas,” tanya Ivan.

Bayu menggeleng sambil berbohong, “Ah, enggak kok. Gue … cuma pusing dikit. Gue … tiba-tiba aja jadi enggak enak badan.”

“Oh. Ya udah, lo mending enggak usah narik penumpang dulu deh, daripada repot gara-gara pusing, kasihan juga penumpang yang udah order kalau dapat lo driver-nya.” Ivan menepuk bahu Bayu.

“Gue enggak apa-apa kok.” Bayu membuka jok motornya, mengambil jaket dan menutup kembali. “Gue udah mendingan.”

“Bay, udah, lo mending langsung pulang aja. Apalagi Minggu kan kita syuting perdana, lo juga jadi tokoh cowok utamanya. Mending istirahat aja dulu.”

Bayu mengangguk begitu memakai jaket atribut ojek online-nya. “Iya deh, gue langsung aja balik. Gue juga banyak pikiran kayaknya.”

“Oh ya, Bay, gue ke dekanat dulu bentar ya. Hati-hati.”

“Lo juga.”

Meninggalkan sekitar tempat parkir menuju halaman depan kampus, diambilnya ponsel dari saku celana. Dibukanya juga aplikasi chatting dan juga pesan dari ibunya. Masih saja belum terbalas sebuah pesan, hanya penanda checklist dua kali bernyalakan cahaya biru.

Ivan menghela napas ketika menatap sang ibu sama sekali belum membalas pesannya. “Bu, kenapa sih minta Ivan pulang ke rumah.”

***

Bagi Ivan, datang kembali ke rumahnya merupakan salah satu hal yang tidak sukai, apalagi mengingat hubungan dengan ayahnya yang kini menurun semenjak mengambil jurusan sastra Inggris. Akibatnya, dia hampir tidak pernah kembali ke rumah hanya demi menjauh dari sang ayah. Mau tidak mau, dia harus kembali ke rumahnya setelah sekian lama tinggal di kostan atas permintaan sang ibu.

Dinding batu bata di bawah dan cat putih di bagian atas adalah sesuatu yang tidak disukai Ivan tiap kali menatap rumahnya sendiri, pilar di dekat halaman depan dan pintu rumah juga terasa suram jika di sekitar teras tersisipi oleh dedaunan lebat dan rerumputan. Beberapa pohon juga mengalunkan dedaunan dengan malu menyambut kedatangannya.

Melewati pilar langsung menuju pintu rumah yang tidak tertutup sama sekali, hanya terdengar suara percakapan argumen bernada tingkat tinggi, tidak heran bagi Ivan karena hal ini sering terjadi, apalagi jika mendiskusinya nasib masa depannya.

Begitu menatap ruang tamu dan memasuki rumahnya sendiri, terlihat sang ibu hanya duduk di sofa abu-abu menghadapi sang ayah yang tengah berdiri menantang, hanya terbatasi oleh meja kayu selebar sofa. Lemari berisi dekorasi kaca dan barang antik juga tidak menenangkan rongga api frustrasi di antara kedua orangtua.

“Ivan,” sang ayah yang berambut abu-abu tebal menyambutnya.

“Ayah,” Ivan memanggilnya pelan.

“Van,” ucap sang ibu terdiam.

“Ternyata ibumu juga sama saja denganmu, membiarkanmu seenaknya sendiri memilih masa depanmu yang bakal jadi sengsara, sengsara,” tegur sang ayah, “dari tahun lalu, Ayah udah bilang, kamu enggak usah terima jurusan sastra. Kamu enggak usah nerima jurusan yang bakal ngantar kamu ke kesempitan!”

Sama sekali tidak berubah. Itulah yang Ivan terima dari ucapan sang ayah. Ayahnya tetap saja bersikukuh agar Ivan segera keluar dari kuliah jurusan sastra Inggris dan melakukan ujian masuk kampus lagi dengan jurusan yang setidaknya menjanjikan peluang dan masa depan lebih cerah.

“Gimana sih kamu! Kamu malah menuju kegagalanmu sendiri! Salah sendiri kalau masa depan kamu bakal sempit gara-gara masuk jurusan sastra!” tegur ayahnya lagi, “kamu mau jadi apa habis lulus jurusan sastra?”

“Yah,” Ivan membela diri, “Ayah selalu gitu! Selalu aja ngeluh soal jurusan sastra! Ivan tahu gimana maunya sendiri. Ivan tahu jurusan sastra memang pilihan kedua saat ujian masuk! Ivan juga punya passion-nya!”

“Ah, passion, passion! Kamu masih enggak ngerti juga ya? Harusnya kamu ambil jurusan yang menjanjikan peluang cerah buat kamu sendiri!”

“Tapi sastra juga sama aja peluangnya! Jurusan apapun juga bakal cerah masa depannya!” Ivan kembali berargumen.

“Van, Yah,” sang ibu berusaha menengahi adu mulut itu, “sudah, tenang, lebih baik duduk saja.”

“Mana bisa tenang!” jerit sang ayah menunjuk-nunjuk kepala Ivan. “Ini anak susah dikasih tahu! Padahal Ayah udah kasih nasihat, tapi masih aja memberontak! Tahu kan masa depan anak sastra bakal kayak gimana? Peluang kerjanya juga dikit, lebih dikit daripada hukum apalagi bisnis!”

“Itu cuma pikiran Ayah aja!” Ivan kembali meninggikan nadanya. “Ivan tahu apa yang Ivan pengen! Ivan tahu cita-citanya apa! Kalau Ivan emang enggak mau masuk jurusan yang bakal nawarin masa depan lebih cerah, mending Ivan ikuti sesuai yang Ivan mau! Kalaupun kata Ayah bakal suram peluang masa depannya! Tolong, Yah. Udah, Ivan enggak bisa ngikutin apa yang Ayah mau. Ivan ya Ivan, bukan Ayah. Ayah enggak berhak maksa Ivan keluar dari jurusan terus masuk ke jurusan lain, ya itu bukan Ivan. Ayah enggak berhak buat maksa—”

“Ngelawan aja kamu!” Sang ayah akhirnya meluapkan amarahnya melalui ayunan telapak tangan tepat pada pipi kiri Ivan.

“Ayah!” jerit sang ibu begitu menyaksikan cepatnya tamparan suaminya pada pipi anaknya sendiri.

Rasa sakit terasa memanasi pipi kiri Ivan hingga harus ditahan oleh sentuhan. Luapan emosinya yang terpendam di dalam benaknya semenjak bertemu kembali dengan sang ayah kini meletus. Mukanya mulai memerah menatap sang ayah tetap berada di hadapannya, tetap memasang ekspresi berapi-api.

Ivan menggeleng sambil terengah-engah. “Bu, Ivan enggak akan balik ke rumah.”

“Van ….” Sang ibu menggelengkan kepala mulai meluapkan air mata.

Ivan mempercepat langkah kaki keluar dari rumah itu, terutama lingkungan yang sudah tercemar oleh emosi sang ayah. Daripada bertengkar hanya karena hal sepele, tidak merestui jalan yang tengah Ivan tempuh, kuliah di jurusan sastra, lebih baik Ivan pergi dan tidak kembali lagi menemui kedua orangtuanya.

“Ivan! Sini kamu! Dengarin Ayah dulu!” jerit sang Ayah mengikuti langkah Ivan.

Ivan tetap pura-pura tidak peduli. Dengan cepat, dia pakai helm dan memutar kunci motor seraya menyalakan mesin. Tanpa perlu mendengar teguran sang ayah, dia langsung memelesatkan motornya meninggalkan rumah.

“Ivan! Ivan!” sang ayah kembali membentak.

“Yah, udah.” Sang ibu menarik-narik lengan suaminya sambil meledakkan isak tangisnya, tidak dapat menahan konflik yang tidak berkesudahan antara ayah dan anak.

Begitu meninggalkan komplek menuju jalan raya, Ivan menginjak pedal gas keras, meningkatkan kecepatan laju motornya saking tidak dapat menahan segala luapan emosi dari pertengkaran tadi.

Kini, Ivan akan tetap tinggal di kostannya, kuliah, dan tidak akan pernah repot-repot kembali ke rumahnya sendiri. Keputusan Ivan sudah bulat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Hari Itu
418      295     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
karachi
618      362     0     
Short Story
kisah elo
simbiosis Mutualisme seri 2
7308      1723     2     
Humor
Hari-hari Deni kembali ceria setelah mengetahui bahwa Dokter Meyda belum menikah, tetapi berita pernikahan yang sempat membuat Deni patah hati itu adalah pernikahan adik Dokter Meyda. Hingga Deni berkenalan dengan Kak Fifi, teman Dokter Meyda yang membuat kegiatan Bagi-bagi ilmu gratis di setiap libur panjang bersama ketiga temannya yang masih kuliah. Akhirnya Deni menawarkan diri membantu dalam ...
Acropolis Athens
3512      1577     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Pertualangan Titin dan Opa
2935      1162     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Surat Terakhir untuk Kapten
541      387     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Find Dreams
209      173     0     
Romance
Tak ada waktu bagi Minhyun untuk memikirkan soal cinta dalam kehidupan sehari-harinya. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Dunia hiburan yang mengharuskannya tersenyum dan tertawa untuk ratusan bahkan ribuan orang yang mengaguminya, yang setia menunggu setiap karyanya. Dan ia sudah melakukan hal itu untuk 5 tahun lamanya. Tetapi, bagaimana jika semua itu berubah hanya karena sebuah mimpi yan...
THE LIGHT OF TEARS
18136      3817     61     
Romance
Jika mencintai Sari adalah sebuah Racun, Sari adalah racun termanis yang pernah Adam rasakan. Racun yang tak butuh penawar. Jika merindukan Sari adalah sebuah kesalahan, Sari adalah kesalahan terindah yang pernah Adam lakukan. Kesalahan yang tak perlu pembenaran. Jika menyayangi Sari adalah sebuah kegelapan, Sari adalah kegelapan yang hakiki yang pernah Adam nikmati. Kegelapan yang tak butuh pene...
Sweet Scars
222      185     1     
Romance
Rumah yang Tak Pernah Disinggahi Kembali
402      284     0     
Short Story
Tawil namanya. Dia berjalan hingga ke suatu perkampungan. Namun dia tidak tahu untuk apa dia berada di sana.