Tiga kali ketukan pintu sontak seolah mengganggu sebuah fantasi hingga kembali ke dunia nyata, kenyataan, apalagi saat sedang menikmati mager (malas gerak) di atas kasur, ditambah pengurang hawa dingin oleh selimut dan empuknya penyangga kepala bernama bantal. Sebuah suara manusia tidak mengikuti tiga kali ketukan pintu sangat tidak membantu, apalagi seperti mendadak mendapat kunjungan bagi pendengar di balik pintu pada pagi buta.
Hal ini berlaku bagi Michelle. Gadis itu mengurung dirinya di balik selimut, tetap berbaring dan tidak ingin membangkitkan tenaga hanya demi menempatkan kaki ke lantai meninggalkan tempat tidur. Begitu lelah sehabis hari sebelumnya, dia sudah dipermalukan oleh Tiara dan Priscil, apalagi membuat hampir seluruh anggota klub film tertawa terbahak-bahak karena terus melupakan dialog pada naskah saat latihan perdana, menyebabkannya sekali lagi keluar. Dia telah mencoba mengalihkan trauma itu menuju pengerjaan proposal skripsi demi sidang usulan penelitian.
Acuh tak acuh, ketukan pintu sontak tidak mengenal kata lelah, terus mengganggu proses malas gerak Michelle di tempat tidur, tempat dia tengah lambatnya mengumpulkan kembali nyawa melayang. Ujung selimut dia genggam erat dengan kedua tangan, tidak ingin terganggu oleh hawa dingin, apalagi ketukan pintu berkali-kali. Dia seakan-akan memang seperti sang putri yang tidurnya tidak ingin terganggu oleh apapun.
Waktu pun berselang, ketukan itu tetap beraktivitas di balik pintu, frekuensi ketukan juga menambah seiring jeda waktu semakin menipis. Tidak tahan dengan gangguan mencengangkan itu, Michelle akhirnya mendorong selimutnya seraya bangkit.
“Ah! Iya! Iya! Gue bangun!” gerutu Michelle perlahan begitu menempatkan kaki pada lantai.
Perlahan, dia melangkah sedikit demi sedikit, saking malasnya hanya untuk membukakan pintu, berpikir entah itu orang iseng atau teman satu kosan yang mungkin menjahilinya atau bahkan berubah pikiran. Kunci pintu dia putar berujung bunyi keras, setara ledakan gangguan pada benaknya. Gagang pintu dia dorong dan tarik setengah hati.
Seorang pemuda tidak asing bagi Michelle telah tampak di hadapan pintu, sang pelaku pengetuk pintu berkali-kali. Wajah oriental babyface di balik topeng ketidakbersalahannya tentu membuat gadis itu jengkel. Memang … siapa lagi kalau bukan Bayu yang rela sampai ke kamar kosannya.
Hal yang membuat Bayu berbeda karena hawa menggigil pagi hari, jaket hitam berlengan panjang warna hijau, tipikal atribut pengemudi ojek online, dipakainya tanpa terlihat garis-garis kusut. Melihatnya seperti itu, Michelle bahkan rela cancel booking jika dapat sebagai penumpangnya.
“Lo!” bentak Michelle. “Lo ngapain sih ke sini pagi-pagi!”
Bayu menyeringai menempatkan kaki telanjangnya pada lantai kamar Michelle. “Michelle, Michelle, kamu masih tetap aja kayak gini.”
“Heh!” Michelle mengacungkan telunjuk tepat pada wajah Bayu. “Siapa suruh lo masuk? Udah gue bilang ya, jangan datang ke kosan gue. Jangan ngomong sama gue di luar syuting sama latihan.”
“Tapi kan enggak bilang kalau saya enggak boleh menjemput kamu ke kampus, kan?” Bayu mengingatkan.
“Huh! Gue nanti siang kelasnya. Ngapain pagi-pagi lo ke sini sih?”
“Lagian, kamu kemarin ketinggalan sih.” Bayu mengangkat tasnya, menngambil sesuatu dari dalam setelah membuka risleting bagian belakang. “Naskah kamu nih. Udah saya ambil dari Jenni kemarin, Ya, Jenni nge-LINE tadi malam, terus saya ambil dari dia.”
“Ngapain repot-repot ngantar ke gue?” Michelle mendekati meja belajar, apalagi laptopnya yang dia mulai nyalakan begitu duduk di hadapannya. “Udah dibilangin gue keluar, gue enggak mau berurusan sama orang-orang yang udah malu-maluin gue sendiri.”
“Enggak, enggak.” Bayu mendekati Michelle. “Mereka ketawa karena kamu punya potensi, potensi jadi pemeran utama. Mereka boleh ketawa sesuai dengan skenario kehidupan, tapi mereka enggak punya apa yang sebenarnya kamu punya.”
Michelle tetap membuang muka, mempertahankan fokus pandangan pada layar laptopnya. Dibukanya file proposal skripsi melalui Microsoft Word, dia mulai mengendalikan jari pada mouse demi memeriksa setiap detail, termasuk kemungkinan salah ketik.
“Eh, daripada kamu repot-repot mikirin skripsi terus, bikin stress, kan?” Bayu menepuk naskah film milik Michelle pada tumpukan novel di sebelah laptop. “Mending kamu santai aja deh, pagi-pagi gini mending kamu latihan aja bareng saya. Saya pengen lihat potensi kamu sebagai aktris cantik. Ya, kamu juga bilang jangan ngomong di luar latihan, kan? Emang, saya ke sini buat ngajak kamu latihan dialog dari naskah.”
Mengabaikan senyuman tidak bersalah Bayu, Michelle menggelengkan kepala, mengabaikan sebuah ocehan dan mengacuhkan pada lembaran proposal skripsi pada layar laptop. Dia menghela napas sambil berpikir sebuah proposal jika ingin disampaikan pada setiap dosen pennguji harus sempurna tanpa ada kesalahan mendasar.
“Tuh kan!” tunjuk Bayu. “Kelihatan nih! Stres ngerjain skripsi, kan? Santai aja.”
“Lo cuma bisa bilang. Lo emang semester berapa? Lo jurusan apa?” sindir Michelle.
Bayu menyeringai menggelengkan kepala. “Kamu enggak ngeh? Saya sasing (sastra Inggris) semester tiga, ngerjain skripsi juga masih lama. Yang penting, saya enjoy aja momen-momen masa kuliah selagi bisa,”
“Heh, lo ngeremehin gimana repotnya gue ngerjain skripsi kayak gini!”
“Itu soalnya kamu enggak enjoy masa-masa kuliah sih, aku tahu kamu banyak kenangan buruk gara-gara Margin.” Bayu menutup layar laptop Michelle dengan pelan. “Udah deh, daripada mendam terus, apalagi yang negatif, mending kamu buat yang baru deh, kenangan yang bisa kamu at least ceritain ke keluarga, apalagi ke anak-anakmu nanti. Mending latihan aja daripada sok sibuk ngerjain skripsi sama tugas pagi-pagi gini.”
Michelle meludah embusan udara menyadari begitu susah Bayu untuk diberitahu betapa sibuknya dia tengah meninggalkan masa kuliah secepat mungkin menuju dunia kerja. Tangannya dia kencangkan ketika menggenggam naskah yang berada di atas dua buah novel masing-masing bertema bad boy dan dirty CEO sebagai objek penelitian skripsi.
“Uh, iya deh. Gue latihan aja! Tapi … lo ingat ya, gue udah keluar—”
Bayu memotong lagi, “Kamu masih jadi anggota klub film kok. Kamu masih jadi pemeran utamanya.”
“Iya deh, terserah!” Michelle memutarbalikkan halaman pertama naskah itu. “Terus, latihan dari awal aja?”
“Ya iyalah! Baca deh dari awal yang bagian kamu.” Bayu kembali mendekati tas untuk mengenggam naskahnya. “Oke, dari adegan pertama nih.”
Michelle membaca dialog pertamanya sebagai Celia, “Ah! Mampus gue!”
Bayu sekali lagi mengulum senyuman menatap ekspresi Michelle membaca bagian dialog tokoh Celia. Ekspresi kerut di balik ketidakbersalahan gadis itu tetap dia rasakan dan pandangi. Benar, gadis yang berada di hadapannya memiliki potensi besar.
***
Kedua tangan tengah saling bergesekkan di bawah pancuran air keran seraya membersihkan. Dinginnya air keran seraya membuat perasaan Michelle sedikit terobati setelah beberapa gangguan selama latihan perdana hari sebelumnya.
Menunggu hingga dosen datang ke kelas untuk memulai mata kuliah seminar sastra, kesempatan terbaik Michelle manfaatkan dengan pergi ke toilet, menenangkan diri dan membuang sedikit demi sedikit kenangan-kenangan terburuk selama di klub film, ibarat kotoran tersapu bersih oleh pancuran air keran dan gesekan jari.
Begitu memutar keran untuk mematikan air, Michelle menghela napas sejenak, melepaskan sedikit demi sedikit uap hasil dari beberapa kenangan terburuk yang telah terpicu kembali dari benak akibat insiden memalukan pada latihan perdana. Kedua tangannya dia kebaskan seraya membantu mengedepankan fokus lebih penting, meninggalkan dunia kuliah secepat mungkin menuju dunia kerja.
Fokus Michelle terhenti ketika menatap pancaran cermin, beralih dari wastafel. Alih-alih terus menyapu kenangan buruk, justru pandangan pada pancaran cermin memicu kembali munculnya beberapa ingatan yang tidak ingin dia ingat.
Seorang gadis berambut panjang lurus tidak asing bagi Michelle menjadi pelaku terpicunya kembali kenangan buruknya, apalagi ketika dia tampak pada pancaran cermin. Gadis berbaju dan bersyal bulu hitam itu mendekati Michelle yang tengah menggunakan wastafel.
Melihat wajah lebih dekat, Michelle menghela napas ketika dia lagi-lagi harus berurusan dengan sang gadis pembuat dirinya menderita saat di klub film. Benar, Margin, gadis yang dia anggap telah menghancurkan masa kuliah telah kembali di dekatnya.
“Lo bisa enggak pakai toilet lain aja?” sindir Margin menatap cermin, tatapannya tepat mengarah pada Michelle.
Acuh tak acuh, Michelle sama sekali tidak bersuara apalagi menggerakkan bibir. Tidak ada waktu untuk dia kembali berurusan dengan sang gadis yang telah menghancurkan masa kuliahnya. Satu-satunya solusi hanyalah menjauh, meninggalkan kamar mandi itu dan kembali ke kelas.
“Gue ngomong sama lo, tolol!”
Bentakan Margin entah mengapa menghentikan langkah kaki Michelle begitu saja hingga berbalik. Entah karena refleks sebagai respon bentakan, dia akhirnya berbalik menghadapi Margin.
Margin mendekatinya seraya memulai konfrontasi. “Lo emang enggak bisa cuekin gue gitu aja pas gue manggil lo. Emang … siapa lagi kalau bukan lo yang ada di sini sekarang?”
“Margin,” gumam Michelle perlahan.
“Lo … kita punya urusan yang belum selesai. Apalagi habis apa yang lo perbuat sebelum lo keluar dari klub film. Jujur aja, seseorang yang bikin kesalahan yang nyebabin filmnya enggak jadi, banting kamera sampai hancur sama pecah ada di dekat gue sekarang, terus … belum ada ganjarannya yang dia terima sebagai balasannya. Terus … gue harus nerima ganjarannya pas gue enggak salah apa-apa.”
Penjelasan Margin akan sebuah kesalahan fatal sebelum keluar dari klub film membuat setiap kenangan buruk kembali terpicu di benak Michelle. Satu per satu ingatannya saat dia mendapat bentakan Margin kembali mengepung otaknya, membuat tangannya bergetar, ingin meledakkan sebuah amarah yang cepat mendidih.
“Emangnya … orang yang udah ketahuan banget salah, enggak dihukum? Enggak dapat ganjaran kayak gue? Bisa bebas-bebasnya enjoy masa-masa kuliah, meski enggak ikut himpunan apapun lagi, baik gabungan atau fakultas.”
Michelle akhirnya merespon, “Lo jadi kayak gini … lo dapat hukuman … gara-gara lo sendiri. Sorry, gue ada kelas sekarang, penting banget meladeni dosen killer daripada lo.”
Mengabaikan Margin begitu saja, apalagi sudah penuh pikiran yang membuat dirinya bergetar menolak segala kenangan buruk kembali memasuki benaknya. Air matanya kembali keluar dan menetes menuju pipi, saking berat menghadapi beberapa kenangan buruk.
“Heh!” jerit Margin mengikuti Michelle meninggalkan kamar mandi, meraih tangan kiri Michelle dan menggenggamnya keras. “Berhenti!”
Tidak memedulikan berapa banyak air mata Michelle keluar dan beberapa mahasiswa mengalihkan perhatian akibat bentakannya, Margin menarik paksa menggunakan segenap tenaga agar Michelle menghentikan langkah kaki menuju ruangan kelas. Belum selesai dia berbicara, dia akhirnya meluapkan hal-hal terpendamnya melalui sebuah pendapat dan sindiran, melepaskan cengkraman tangan Michelle.
“Heh, lo enggak usah playing victim deh.” Bibir Margin bergerak meluapkan suara tepat pada telinga Michelle dari belakang. “Lo sendiri tahu lo yang nyebabin film gue gagal total, gara-gara lo mecahin kameranya. Lo mau tahu sesuatu? Kamera itu milik gue, lo tahu kan harganya? Enggak setara sama perbuatan lo sendiri. Lo udah bikin kamera gue hancur tahu enggak!”
Michelle berbalik menghadapi Margin sekali lagi. “Udah gue bilang, gue ada kelas, cuma tinggal berapa langkah aja—”
“Heh!” jerit Margin mendorong bahu Michelle dengan keras berkali-kali hingga membuatnya mundur. “Gara-gara lo, gue dikeluarin dari klub film!”
Michelle akhirnya bersandar pada dinding balkon tangga di hadapan pintu kamar mandi, tidak mampu menghindari Margin yang tengah mendorongnya. Cengkraman tangan pada bahunya sontak menghalanginya untuk kembali ke kelas, melarikan diri.
“Gara-gara lo, gue jadi menderita kayak gini, tahu enggak lo!” Margin mengempaskan tenaga mengayunkan tangan kanan menuju tepat pada pipi Michelle, ingin memberikan sebuah ganjaran.
Namun, ayunan tangan kanan Margin sontak tercengkeram oleh tangan salah satu pemuda dari samping, menghentikan tamparan itu sebelum tiba tepat di pipi Michelle. Memutar kepalanya menuju samping kanan, gadis berambut panjang itu sampai kehilangan napas begitu menatap sang pemuda yang menghentikannya tidak kalah familier baginya, apalagi setelah melihat tepat pada wajah.