Butuh persiapan yang cukup matang sebelum memulai proses syuting proyek film pendek klub film. Naskah yang diadaptasi dari novel Wattpad milik Jenni itu belum sepenuhnya selesai, masih membutuhkan polesan pada bagian kasar untuk menjadikan lebih bercahaya. Meskipun begitu, naskah yang belum final digunakan untuk table read dan latihan perdana.
Ditambah, Ivan, sebagai seorang ketua, juga menyiapkan proposal yang dia berikan pada dekan untuk memakai gedung fakultas sebagai tempat syuting film. Dia kerjakan sekuat tenaga saat sela-sela mengerjakan tugas kuliah pada malam hari di kostan setelah pengumuman casting, setiap detail, keformalan, dan kebakuan berbahasa dalam mengetik dia teliti secara jeli, memastikan semuanya sudah tertulis dengan benar.
Ketika seluruh kegiatan akademik di kampus telah berakhir pada keesokan harinya, seluruh anggota klub film akhirnya berkumpul duduk membentuk lingkaran di dalam ruangan klub untuk mengadakan table read, yakni sesi baca naskah sebelum syuting benar-benar dimulai. Seluruh pemeran, termasuk Michelle dan Bayu sebagai pemeran utama, telah memegang beberapa lembar naskah yang cukup padat, karena rencananya proyek film pendek ini akan berdurasi selama kurang lebih dua puluh menit.
Seluruh pemeran membacakan dialog masing-masing dari dalam naskah dalam acara table read, sebuah kesempatan untuk mempelajari dan mendalami masing-masing karakter melalui tulisan. Selain itu, beberapa pemeran dan kru dapat mengajukan pendapat demi memperbaiki naskah.
Dalam sesi tanya jawab dan pemberian pendapat, begitu seluruh pemeran selesai membacakan naskah, beberapa anggota berbisik-bisik mengomentari performa setiap pemeran, terutama Michelle yang baru saja kembali dan langsung mendapat peran wanita utama tanpa harus menjalani casting. Performa Michelle memang menjadi sorotan dalam hal buruk bagi hampir seluruh anggota wanita yang sama sekali tidak mendapat peran, terutama Tiara dan Priscil.
Acara table read berlangsung dari sore hingga malam hari, saat lingkungan kampus menjadi kehilangan keramaian dengan kegiatan himpunan. Michelle menghela napas menyaksikan latihan perdananya sebelum syuting film telah berakhir untuk sekarang.
“Baiklah, makasih buat yang udah ngasih masukan ke naskahnya, nanti kira-kira bakal selesai dibetulin satu atau dua minggu depan, tergantung Jenni juga. Buat pemeran, jangan lupa hapalin dialog adegan awal sebelum latihan Minggu ini, terutama buat Michelle sama Bayu. Kalau gitu, kita udahin aja table read-nya.”
Tiara mulai berpendapat pada Priscil secara perlahan saat satu per satu anggota mulai bangkit untuk meninggalkan ruang klub film, “Tuh kan, udah dibilangin. Michelle enggak tahu malu banget, udah ngancurin kamera, malah balik, terus dapat peran utama lagi!”
“Emang enggak adil banget, langsung dapat peran utama enggak pakai casting, pantas dia dibilang enggak punya bakat sama Margin. Penghayatannya nol banget. Kalau kita yang dapat, pasti bakal lebih bagus daripada dia,” tanggap Priscil setuju saat keluar dari ruang klub film.
“Itu Ivan udah kasihan banget sama itu cewek? Habis dia enggak diberi kesempatan buat nongol di depan kamera gitu. Payah banget sih yang jadi sutradara sama ketuanya, pakai nasihatin kita-kita segala lagi! Kalau Margin masih ada, semua ini enggak bakal terjadi.”
“Udah deh, nanti semuanya bakal tahu itu cewek sama sekali enggak pantas buat jadi pemeran utama. Emang dia enggak punya bakat.” Priscil mengangguk sambil berbelok memandangi Michelle tengah melangkah dan berbicara pada Ivan dan Jenni di hadapan mereka.
***
Laptop dan naskah berlembar-lembar menjadi hal utama di atas meja belajar kostan Michelle. Namun, fokus Michelle masihlah layar laptop, saat dia berfokus mengerjakan proposal skripsi alih-alih menghapal setiap dialog dalam naskah.
Proposal skripsi yang tengah dia buat memang lebih penting ketimbang menghapal dialog naskah film pendek, apalagi sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tatapannya tidak sedikit pun teralihkan pada padatnya lembar naskah film pendek.
Alasan klise menjadi mindset bagi Michelle pada malam itu, tugas-tugas kuliah dan proposal skripsi jauh lebih penting daripada naskah film. Dia bisa menghapal dialog kapan saja, bahkan jika harus mendadak, mendekati waktu latihan perdana pada Minggu mendatang.
Ponselnya berdering menunjukkan notifikasi pesan LINE telah masuk di sebelah kiri laptop. Layar ponsel secara otomatis menunjukkan pesan yang baru masuk. Teralihkan sejenak, Michelle mencibir bibirnya begitu mengetahui pengirim pesan itu.
Jangan lupa hapalin ya! Saya juga lagi hapalin!
***
Minggu, hari yang telah ditunggu-tunggu. Tidak banyak orang yang rela pergi ke kampus, apalagi ke gedung fakultas masing-masing, kecuali hanya demi pertemuan himpunan masing-masing, baik mendadak atau telah dijadwalkan. Lingkungan kampus memang begitu sunyi, hampir tidak ada lalu lalang kendaraan bermotor di jalan aspal dalam universitas.
Hampir seluruh anggota klub film telah berkumpul di halaman depan lingkungan fakultas sastra universitas, kampus mereka, tepatnya mendekati tiang portal hitam putih penanda gerbang kampus, bersiap untuk melakukan latihan perdana mereka sebelum memasuki proses syuting. Tanpa ada kamera, tanpa ada peralatan syuting apapun.
Setiap anggota yang mendapat peran dalam proyek film pendek itu memegang naskah, kembali membaca, menghapal, dan mencoba mempraktikkannya, menguji diri agar lebih siap saat giliran berdialog dalam adegan. Latihan perdana tidak akan memakai bantuan naskah sama sekali, seakan-akan sudah mulai dalam proses syuting.
Ketika jam telah menunjukkan pukul 10:19, dua anggota terakhir telah tiba, benar-benar terlambat. Ivan sampai melipat tangan di dada menyaksikan kedatangan kedua anggota itu, seperti yang dia duga, Tiara adalah salah satu dari mereka.
“Lo telat. Udah kelewat dua puluh menit,” sambut Ivan.
Michelle hanya duduk menjauhi beberapa anggota lainnya, lebih tepatnya tidak ada yang mau duduk atau berdiri di dekat Michelle, kecuali Bayu yang dia suruh menjauh ketika ingin mendekatinya. Naskah tetap berada di genggaman, memutarbalikkan setiap halaman, terutama pada beberapa adegan pertama. Setiap kata, kalimat, dan frasa dalam dialog bagiannya dia rekam dari kertas menuju benaknya, jika perlu, mengulang kalimat sambil menutup mata, memastikan sudah mulai hapal.
Jenni tengah menjentikkan jari pada keyboard laptop di dekat setiap anggota, memperbaiki naskah adaptasi novel Wattpad-nya sendiri. Setiap masukan dari sesama anggota dia pertimbangkan dengan teliti asalkan dapat mendekatkan konflik dan setiap adegan cerita dengan realita. Sudah biasa jika Jenni kerap menghadap layar laptop hanya demi mengetik cerita, apalagi sambil menunggu dosen datang saat kelas.
“Oke, semuanya, bisa minta perhatian dulu enggak?” pinta Ivan menghadap seluruh anggota klub film yang tengah sibuk menghapal, mengobrol, atau memberi pendapat.
Seluruh anggota mengalihkan perhatian pada sang ketua yang telah berdiri di hadapan mereka, terutama setelah Tiara duduk di trotoar dekat Priscil dan Ryan. Michelle juga tercengang ketika Ivan menyuruh semuanya untuk memperhatikan, naskahnya dia tempatkan pada lutut.
“Lo usahain jangan pada telat ya, apalagi pas mau syuting nanti. Waktu buat latihan kita udah kebuang dua puluh menitan. Gue pengen lo pada datang tepat waktu, biar semuanya lancar sama cepat dimulai, enggak perlu ngaret,” pesan Ivan.
“Iya, iya,” gumam Priscil memalingkan wajah.
“Ya udah, mending kita langsung aja daripada buang-buang waktu lagi. Michelle.”
“I-Iya?” Michelle bangkit memegang selembaran naskah.
“Kita coba adegan pertama banget, pas Celia telat, terus ketemu Aldo yang diperanin Bayu. Siap?”
“I-Iya, gue siap.”
Setelah menaruh naskahnya di tepi trotoar, Michelle mengambil langkah menuju hadapan portal untuk melakukan adegan pertama. Dia pastikan beberapa dialog pertama, terutama saat bertemu tokoh Aldo yang diperankan oleh Bayu sebagai Celia, semuanya berada di dalam kepala. Dia menarik napas dalam-dalam demi mengurangi ketegangan dalam berakting sebagai peran utama.
Sudah lama Michelle tidak berakting di depan kamera semenjak Margin ikut campur dan tidak membiarkannya mengambil peran. Kali ini, dia mengambil sebuah kesempatan berakting sebagai tokoh utama demi membuat kenangan baru sebelum meninggalkan dunia kuliah.
“Oke, first scene, pas Celia tiba telat, take one, and ACTION!” seru Ivan.
Michelle mulai berlari melewati portal gerbang masuk halaman depan kampus sebagian bagian dari akting. Tetapi … pikirannya kosong, tidak tahu apa kata-kata yang harus dia katakan dalam dialog di naskah. Dia terhenti sambil menggelengkan kepala.
“Cut!” seru Ivan menyadari Michelle berlari tanpa berkata apapun.
“So-sorry, gue … enggak kepikiran—”
“Enggak apa-apa,” bujuk Ivan menemuinya, “kita pelan-pelan aja, ini baru latihan. Mau lihat naskah lagi?”
“Enggak, enggak apa-apa,” jawab Michelle mengulum senyuman.
Beberapa anggota klub film yang duduk di ujung trotoar memandang Michelle dan Ivan justru berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk, terutama tentang Michelle. Cekikikan melalui bisikan dan desahan sedikit terdengar jelas bagi masing-masing anggota yang saling berdekatan.
“Palsu,” bisik Priscil, “udah kelihatan dia emang enggak hapal.”
“Dia juga sering lupa naskah waktu itu kan? Pas dia dapat peran pas syuting, ha ha,” Tiara tidak dapat menahan cekikikannya.
“Oke, kita mulai lagi!” seru Ivan. “First scene, take two, and … ACTION!”
“AAAH! Mampus gue!” Michelle mengatakan dialog pertama sambil berlari mendekati portal, kebalikan dari saat dia lakukan selama take pertama.
“Bayu!” panggil Ivan.
Bayu dengan cepat mendekati Michelle begitu mendekati portal. “Telat?”
“I-iya.” Michelle tidak dapat menghilangkan ekspresi kecut ketika menatap Bayu berada di dekatnya, apalagi saat latihan adegan pertama. Dia membuang muka sejenak, kembali memanaskan emosi mempertanyakan mengapa Bayu harus menjadi lawan mainnya. “Ka-kamu … uh ….” Michelle menggelengkan kepala sekali lagi kosong, semua ketegangan dan kemarahan menghilangkan hapalannya.
“Cut!” Ivan sekali mendekati Michelle. “Bay, lo innocent-nya pas ketemu Michelle udah kelihatan, lo udah bagus ekspresinya. Michelle kurang penghayatannya nih pas ketemu Bayu, kagetnya kurang kerasa.”
Tiara sekali lagi menunjuk Michelle. “Tuh kan, dia enggak punya penghayatan. Kayaknya bakal repot kalau dia jadi pemeran utama.”
“Kita mending ulang lagi dari awal deh.” Ivan menghela napas memikirkan Michelle telah melakukan kesalahan dua kali selama latihan adegan pertama. “Enggak usah pakai lari, mending langsung bilang, terus Bayu bakal ketemu lo.”
“Van, kayaknya butuh naskah nh, atau semacam cue card,” usul Jenni bangkit
“Enggak, enggak apa-apa.” Michelle memaksakan senyuman pada semua orang di sekitar gerbang.
“Oke, kita coba lagi, take three! ACTION!” Ivan kembali berseru sebagai sang sutradara.
Michelle berlari pelan menjauhi portal, mendalami karakternya. “AAAH! Mampus gue!”
Bayu telah berdiri di hadapannya menunggu untuk menemui Michelle. Dia mengambil satu langkah agar dapat mendekatinya demi mendalami peran sedikit. Senyuman dan cekikikan sedikit dia angkat begitu Michelle telah di hadapan dirinya.
“I-iya,” Michelle mengangguk. “Ka-kamu … uh ….” Sekali lagi, pikirannya kosong ketika mengingat kembali kalimat dalam dialog. Kepalanya seperti berputar-putar dan tersesat mencari kepingan puzzle yang telah hilang hingga berantakan.
“Cut!” seru Ivan.
Menonton beberapa kali take yang gagal dalam latihan menjadi sebuah penyiksaan bagi mayoritas dari anggota klub film, waktu pun tertelan oleh kesalahan Michelle berkali-kali. Padahal, baru saja berlatih adegan pertama dan belum berpindah menuju adegan-adegan berikutnya, Michelle tetap lupa dialognya ketika menemui Bayu dalam adegan terlambat tiba di kampus.
Hampir seluruh anggota telah muak dengan kesalahan yang telah Michelle perbuat berkali-kali, melupakan dialog. Mereka bahkan membuat diskusi sendiri-sendiri tanpa perlu memperhatikan setiap take latihan adegan pertama, terlalu cepat menyimpulkan dan membahas setiap kesalahan.
Meskipun begitu, belum ada kata menyerah bagi Michelle, bahkan rela tidak melihat naskah atau memakai cue card sebagai bantuan. Meski sudah diberi semacam petunjuk dialog oleh Ivan, sang aktris utama tetap terpotong karena lupa inti dari dialog yang seharusnya diucapkan.
Ivan mengucapkan sebelum memulai kembali take adegan pertama. “Oke, enggak apa-apa, udah take ke duabelas nih.”
“HA! Lihat sendiri kan lo!” jerit Tiara memotong ucapan Ivan. “Udah dibilangin dia enggak punya bakat!”
“Butuh take seratus aja sekalian! Sampai malam!” ejek Priscil.
“Emang enggak cocok dia jadi aktris, jadi pohon aja sekalian!”
Beberapa anggota akhirnya tidak tahan menahan cekikikan mengikuti ejekan Priscil dan Tiara seraya setuju. Ledekan dan bisikan yang terdengar dan terlihat memicu kembali sebuah ingatan buruk pada Michelle, semangatnya benar-benar robek di dalam pikirannya, tidak dapat menampung lagi hujan ledekan dan ejekan terhadapnya, apalagi badai kenangan buruk mulai melanda.
Terpikir kembali bahwa dia tidak punya bakat apapun untuk di depan kamera, ditambah ejekan dan gelak tawa dari setiap anggota, Michelle akhirnya tidak dapat menahan karakternya lagi. Dia berbalik dan mulai bergegas mempercepat larinya, meninggalkan halaman depan gedung kampus dengan air mata tidak dapat terbendung lagi hingga mengalir pada dinding pipi.
“EAA! Mau ke mana lo!” Tiara melanjutkan ledekannya.
“Nangis! Nangis! Emang cuma bisa ganggu aja lo di sini!” lanjut Priscil dengan gelak tawa.
Tertegun dengan reaksi Michelle akan ledekan dan gelak tawa oleh mayoritas dari anggota klub film, Ivan dengan cepat berbalik dan mengejar Michelle menuju trotoar dekat jalan aspal kampus. Bayu dan Jenni bahkan tidak bisa bereaksi apapun ketika sebuah reaksi berantai terjadi begitu saja di tengah-tengah latihan perdana sebelum proses syuting dimulai.
“Michelle! Tunggu!” seru Ivan menemuinya setelah Michelle dapat terkejar di depan sebuah halte. “Lo udah bagus, lo udah usaha keras sampai rela enggak pakai naskah atau cue card—”
“Ivan, gue udah duga ginian kalau gabung lagi sama klub film!” Michelle mengungkapkan saat mengentakkan kaki kanan dan berbalik menghadapi Ivan. “Gue emang enggak cocok jadi pemeran utama! Gue bakal ngancurin project film lo! Gue—”
“Hei, enggak apa-apa, mending jangan dengarin apalagi dipikirin.”
“Terus? Gue ingat pas Margin bilang gue enggak bakat gitu! Priscil sama Tiara juga sama aja! Pantas mereka juga paling dekat sama Margin, kan!”
“Chelle, mereka ngejek karena iri sama kamu.” Bayu juga ikut mendekati mereka. “Kamu emang cocok jadi pemeran utama, Michelle. Prosesnya emang lama sih, saya ngelihat ada permata di balik pikiranmu. Permata yang belum terasah.”
“Lo enggak usah pada sok hibur gue!” bentak Michelle. “Gue emang udah enggak tahan lagi sama mereka, cuma gara-gara gue enggak berbakat jadi pemeran utama. Gue enggak mau gabung lagi sama klub film.”
Michelle lebih memilih meninggalkan Ivan dan Bayu tanpa perlu membiarkan mereka berbicara kembali sambil menggendong seluruh kenangan buruk. Dadanya terlalu sesak untuk berada di klub film, apalagi menghadapi seluruh anggota yang tidak menginginkannya kembali dari dulu.
Saat Michelle menghilang dari pandangan, Ivan berbicara pada Bayu, “Bay, kita udahin aja latihan perdananya.”
***
Menyaksikan Michelle pergi begitu saja, semakin banyak omongan dan bisikan di antara setiap anggota klub film mengenai dirinya. Mereka bahkan tidak membiarkan diri untuk bangkit atau berjalan mengikuti Ivan dan Bayu demi membantu meyakinkan.
Seolah-olah, mereka tidak peduli. Mereka hanya menyelipkan gelak tawa di balik perbincangan seperti sedang menyebarkan gosip palsu demi mendiskreditkan sebuah usaha keras.
“Tuh kan, emang playing victim sih, pantas attitude-nya sama pas dia ngancurin kamera waktu itu,” Priscil menyindir di dekat tiga anggota perempuan, termasuk Tiara, “dia emang cengeng itu cewek, udah fake lagi.”
Tiara bahkan sampai meniru omongan Michelle sambil menyipitkan mata. “Ah … gue muak ah dibilang kayak enggak berbakat. Gue keluar aja ah.”
“HA HA HA!” Priscil dan kedua teman itu memaksakan gelak tawa demi mengolok-olok Michelle.
“Lo udah pada keterlaluan! Lo semua bisa DIAM ENGGAK!” Ivan tiba kembali membentak seluruh anggota klub film yang tengah duduk di trotoar lingkungan gedung fakultas.
Bentakan Ivan sontak menghentikan seluruh kegiatan anggota klub film, terutama bagi yang tengah bergosip dan berbisik-bisik demi mengolok-olok Michelle. Semuanya tertegun mengalihkan perhatian pada Ivan yang baru saja kembali di hadapan mereka.
“Lo enggak respect banget sih!” Ivan benar-benar meledakkan kesabarannya hingga berkeping-keping. “Lo pada ngomong apa sih! Lo pada ngapain!”
Tidak ada yang menyangka sang ketua sekaligus sutradara dapat melewati batas toleransi kesabaran. Semuanya tidak bisa bereaksi terhadap bentakan kemarahan Ivan yang sampai menunjuk-nunjuk menggunakan tangan.
“Lo semua anggota klub film! Lo semua ke sini buat latihan perdana! Apalagi buat yang telat, kita sampai buang-buang waktu cuma buat nunggu sampai semuanya datang! Terus … lo malah ngejek sama ngehina Michelle! Lo pada bisik-bisik sama ngetawain! Lo semuanya ngapain!”
Tiara langsung memotong, “Emang benar Michelle udah ngelambatin kita semua, Van! Benar kata gua! Michelle cuma bisa ngacauin! Lo ingat kan dia ngancurin kamera—”
“Enggak! Jangan ngomong gitu!” tolak Ivan mengacungkan telunjuk pada Tiara.
“—jadi project yang waktu itu enggak jadi! Dia juga udah nyebabin—”
“Diam, Tiara! Diam lo!” jerit Ivan mengentakkan kaki kanan, melampiaskan seluruh ledakan emosi yang tidak bisa dia hindarkan dari pikirannya.
Tiara melongo menghentikan ucapannya, kaget akan entakkan kaki Ivan tidak kalah meledak dengan emosinya. Semuanya juga tertegun dengan kejatuhan kesabaran ketua mereka sendiri, merenungi akan sebuah kesalahan penyebab hal itu.
“Gue selama kuliah sampai semester lima enggak pernah marah kayak gini!” Ivan melanjutkan bentakannya, “Kalau emang mau cari masalah, terus buat kita semua dibubarin paksa sama BEM gitu aja, mending keluar aja!”
Ivan menarik napas dalam-dalam demi meredakan amarahnya, lelah telah membentak seluruh anggotanya sendiri sebagai sang ketua. Dia mengambil langkah kecil meratapi seluruh anggota yang masih duduk atau berdiri di atas trotoar.
Ivan akhirnya melanjutkan tegurannya, “Serius, ini klub film. Lo tahu kan apa ketua BEM bilang waktu itu? Satu lagi masalah besar, terus ketahuan BEM atau dosen, atau bahkan dekan sekalipun, udah, kita bubar, that’s it. Lo tahu kan, mahasiswa, lo ini mahasiswa, bukan lagi anak SMA, apalagi anak SMP, apalagi anak SD, apalagi TK. Tapi lo kali ini kekanak-kanakan, udah kelewatan, lo malah ngejek sama ketawain Michelle. Lo enggak respect sama usaha Michelle. Lo bilang Michelle sama sekali enggak punya bakat.
“Gue ngomong kayak gini, gue marah kayak gini soalnya lo udah kelewatan, kelewatan banget. Satu kesalahan dari tiap anggota, ketuanya juga harus tanggung jawab. Lo mau cari masalah, ya udah, gue enggak mau tahu kalau klub film sampai dibubarin beneran sama BEM, cuma gara-gara satu kesalahan gede dari lo sendiri.
“Lo pikir … gue jadi ketua atau sutradara cuma bisa ngatur doang? Ngatur casting semau gue sendiri? Terus ngatur pas syuting semau gue sendiri? Enggak lah. Jadi sutradara itu lebih keras daripada yang lo bayangin. Udah harus sesuaiin sama skenario, terus bimbing lo semua, pemeran sama kru, sama realisasiin kreativitas dari skenarionya. Lo cuma bisa komplain soal ini-itu, hal yang itu-itu lagi.
“Kita ini satu himpunan, satu tim, klub film. Gue yakin tiap himpunan harus nunjukin kerja sama buat at least nambah prestasi buat kampus, fakultas sama universitas. Ini klub film, salah satu himpunan di fakultas sastra, di universitas ini! Ini bukan soal pengen eksis atau enggak, ini soal gimana lo ngembangin potensi lo di luar akademik! Kalau lo nyebabin satu masalah gede sampai klub film bubar sama pihak BEM, ya udah, the end.”
Teguran Ivan seakan-akan seperti sebuah pidato bagi seluruh anggota klub film. Hampir semuanya bahkan merenungkan segala perbuatan mereka terhadap Michelle dengan menundukkan kepala, tidak ada yang berani memotong ucapannya sama sekali, tidak ada.
“Ingat ya. Attitude mahasiswa harus beda, beda pas lo jadi anak SMA. Apalagi pas berhadapan sama dosen, apalagi dekan, apalagi pas udah kerja. Attitude lo harus baik-baik. Satu attitude buruk, ya udah, apalagi pas lo udah masuk dunia kerja. Attitude emang enggak bisa bohong, enggak peduli sesulit lo nyembunyiin. Attitude itu segalanya, apalagi pas lo benaran jadi sutradara atau pemeran film besar sekalipun. Attitude lo buruk, ya udah, lo udah dijamin fail.
“Kita klub film, salah satu himpunan di fakultas sastra, salah satu himpunan universitas ini. Kita anak universitas ini. Otomatis tiap attitude kita bakal mengharumkan atau mencemarkan nama baik klub film, apalagi fakultas sastra, apalagi universitas ini.”
Ryan mengangkat tangan menyetujui. “Kita ngerti, attitude is important, more than anything.”
“Gue pengen lo renungin apa yang gue bilang. Latihan perdana kita udahin buat hari ini. Pas pertemuan selanjutnya di ruang klub film, gue pengen lo pada grow up. Gue pengen lihat attitude lo pada baik, apalagi pas masuk proses syuting. Ngerti, kan?” Ivan akhirnya pamit sebelum meninggalkan halaman gedung fakultas, melangkah mendekati tempat parkir motor.
“Ba-baik,” ucap mayoritas dari seluruh anggota klub film.
Masih tercengang terhadap teguran emosi dari Ivan, sang ketua, beberapa anggota klub film satu per satu bangkit dari trotoar dan mulai mengangkat kaki dari halaman depan kampus. Mereka tidak pernah menyangka Ivan akan begitu marah hanya karena semuanya mengacaukan salah satu kesempatan, memperlakukan segalanya, termasuk menerima Michelle sebagai anggota kembali, sebagai lelucon.
Jenni menutup laptop setelah mematikannya begitu bangkit dari trotoar, memikirkan Ivan pantas untuk meledakkan emosinya sebagai sang sutradara, apalagi dirinya bukan salah satu dari mayoritas anggota yang mengejek Michelle melalui kata-kata atau gelak tawa. Langkahnya begitu lambat sambil menundukkan kepala, merenungi nasib klub film jika ada masalah lebih besar yang sampai di telinga pihak BEM.
“Apaan lah si Ivan,” gerutu Tiara begitu bangkit, “emang si Michelle udah bikin kacau semuanya. Dia udah bikin kacau pas semester lalu, dia mecahin itu kamera. Dia bikin Margin dikeluarin.”
Priscil menambah, “Michelle emang pengen kita kelihatan jahat. Pantas kita semua enggak mau dia balik buat bikin masalah.”
“Dia pakai playing victim segala lagi.”
Mungkin saja mayoritas dari anggota klub film, terutama Tiara dan Priscil, jelas, tidak menginginkan Michelle kembali, apalagi merebut peran utama dalam sebuah proyek film semester itu, tanpa perlu melalui casting. Mungkinkah mereka iri dengan potensi bakat Michelle yang cocok menjadi peran utama? Mungkinkah pengaruh insiden pemecahan kamera itu juga menetapkan pikiran mereka?
Dalam perjalanan pulang, hampir seluruh anggota klub film yang telah mengolok-olok Michelle, baik dalam bentuk omongan, bisikan, dan gelak tawa, merenungi akan sikap kekanak-kanakan mereka. Mereka mengerti satu kesalahan dalam bersikap saja akan menyebabkan klub film dibubarkan paksa oleh pihak BEM. Mereka harus berubah.