“Van, serius lo? Kenapa enggak casting pemeran wanitanya aja sekalian?” Salah satu anggota wanita klub film keberatan ketika mendengar sebuah pernyataan dari sang ketua. “Michelle udah keluar, kan? Terus … dia juga yang bikin film kita enggak jadi semester lalu!”
Seluruh anggota klub film kini berkumpul begitu seluruh kegiatan kuliah berakhir di ruang klub. Ivan hanya berdiri di samping papan tulis dekat pintu menghadap seluruh anggota lainnya yang hanya duduk di karpet abu-abu dan matras hitam, tengah mendiskusikan proyek film pada semester ini.
Sudah biasa kalau ruang klub atau biasanya dikatakan sebagai himpunan di kampus kurang lebih sederhana daripada ruangan kelas di gedung fakultas. Ruangan klub film bukan berarti pengecualian, dinding cat berwarna merah, biru, kuning, dan hitam pada setiap sudut ruangan, kabinet kecil berisi hanya satu piala dan properti berkaitan dengan film di dekat papan tulis, dan beberapa poster film lokal terpampang pada dinding sebagai inspirasi.
Kegiatan klub atau himpunan di kampus bisa dikatakan sebagai ekstrakurikuler dalam tingkatan perguruan tinggi, terutama sarjana. Tujuannya agar mahasiswa dapat mengembangkan potensi, pola pikir, dan kepribadian agar siap terjun ke masyarakat, terutama dunia kerja. Dalam klub film juga demikian, demi mengembangkan diri untuk mendekatkan impian menjadi sutradara, aktor atau aktris, dan penulis naskah.
Ivan mengungkapkan alasannya pada seluruh anggota klub film, “Tahun lalu, kita enggak pernah dengar Michelle dapat bagian di depan kamera, gue mikir itu enggak adil, apalagi pas Margin ngambil alih jadi ketua. Kita tahu setiap anggotanya harus ganti-gantian setiap proyek, di belakang atau di depan kamera, sesuai dengan visi-misi klub film. Enggak adil kan kalau Margin dulu—”
“Itu kan masa lalu! Masa lalu ya biarin aja! Apalagi Michelle udah nyebabin masalah sama kita-kita tahun lalu, udah film kita enggak jadi gara-gara dia, terus dia juga udah keluar, dia juga udah nyebabin Margin—” Anggota wanita yang sama membalas pernyataan Ivan lagi.
Salah satu anggota wanita bertubuh gempal yang duduk di dekat Bayu mengangkat tangan, “Margin lah yang udah nyebabin ini semua. Kalau aja dia enggak cari masalah sama Michelle, kita enggak bakal dapat masalah dari BEM lah! Terus dua-duanya bakal stay terus. Habisnya sih dia nyalahgunain jabatan ketua.”
“Oke, udah! Kita enggak bakal bahas masalah masa lalu lagi, kita bahas aja gimana masa depan klub kita. Kita juga enggak mau kena masalah lagi, kan? Apalagi sampai klub ini bubar cuma gara-gara masalah kayak sebelumnya,” ujar Ivan, “kita bakal pakai novel Wattpad-nya Jenni yang temanya bad boy good girl lah, masih tren juga, kan?”
Jenni, anggota wanita bertubuh gempal mengangkat tangan, “Iya dong, romance bad boy kan selalu tren. Gue juga lagi nyelesaiin bab terakhir. Tapi sayang banget … enggak banyak yang baca, capai seribu kali baca juga susah.”
“Jenni, lo lanjutin aja dulu adaptasi novel lo ke naskah, kalau ada kesulitan buat milih adegan penting, nanti gue bantuin. Oke, buat besok, kita casting masing-masing pemain, pemeran utama pria, dan setiap pemeran pembantunya. Dari gue gitu aja dulu, ada yang mau ditanyain atau nambah?”
Ryan mengangkat tangan untuk bertanya, “Sebenernya ada benernya juga sih tadi, kenapa enggak casting pemeran wanitanya aja sekalian? Kan Michelle udah keluar, apalagi belum tentu dia juga mau balik, kan?”
Bayu angkat bicara, “Gue yakin Michelle pasti mau kok. Cuma … dia belum jawab apa-apa.”
“Kalau Michelle-nya enggak mau, berarti harus casting pemeran utama wanitanya juga dong,” jawab salah satu anggota pria.
“Oke, gue paham. Tapi … gue ngerasa Michelle bakal cocok jadi pemeran utama film ini,” Ivan sekali lagi mengutarakan pendapatnya, “oke, begitu pemainnya udah pada kepilih semua, seminggu dua minggu, kita langsung syuting aja. Kamera gue juga udah siapin di kosan nanti. Paling gitu aja ya. Kita kumpul lagi besok sore di sini buat casting.”
Seluruh anggota bangkit dari duduk dan mulai menggenggam tas untuk bersiap pulang. Begitu menatap Bayu, Ivan dengan cepat mendekatikan sambil menepuk pundak.
“Bay, gimana si Michelle?” bujuk Ivan.
Bayu menggeleng, “Belum dapat jawaban. Udah ditanya malah dicuekin tadi. Terus … lo enggak nge-LINE dia?”
“Udah coba lagi, dibaca enggak, apalagi dijawab. Dari masalah yang waktu itu, Michelle emang selalu enggak jawab LINE dari kita-kita. Ya udah, Bay, besok lo coba lagi tanya Michelle, kalau masih susah juga, gue bantu. Lo bisa gue andalin, sekalian lo juga bakal casting besok.”
“Iya, mumpung enggak ada kelas juga besok, haha. Siap, Bro,” ucap Bayu, “gue duluan deh, harus sekalian kerja.”
“Sip deh, hati-hati, Bay!”
Begitu Bayu meninggalkan ruangan klub film, Ivan kini seorang diri di dalam klub film. Perkataan dari salah satu anggota bahkan mengingatkan dirinya kembali pada salah satu kejadian yang mengubah total klub film di fakultas. Dia seperti terhenti, hanya berdiri, memainkan kembali ingatan itu menatap papan tulis di dekat pintu.
***
Sehari setelah insiden pemecahan kamera oleh Michelle yang mengakibatkan syuting terakhir gagal, seluruh anggota klub film akhirnya berkumpul kembali di dalam ruang klub film. Namun, alih-alih menjalani kegiatan klub seperti biasa, mereka kini mendapat sebuah masalah akibat insiden itu.
Benar, mereka dipanggil untuk berkumpul ketika jadwal kuliah telah berakhir oleh ketua BEM untuk membahas masalah insiden itu. Seluruh anggota klub film telah duduk di atas karpet atau matras menghadap sang ketua BEM yang berdiri membelakangi papan tulis, termenung, penuh beban merenungi setiap kejadian yang berujung pada insiden pemecahan kamera dan keluarnya Michelle dari klub.
Pemuda berambut hitam tipis dan berkacamata itu akhirnya membuka suara pada seluruh anggota klub film, “Kenapa lo pada dikumpulin di sini? Lo sendiri pada tahu kenapa, kan? Hah?”
Nada tingkat tinggi dari ketua BEM itu membuat seluruh anggota klub film tidak dapat menjawab apapun. Sama sekali tidak ada yang menyangka bahwa masalah itu telah sampai di telinga ketua BEM sekalipun, entah karena Michelle melaporkan segalanya atau tidak, yang jelas … BEM harus turun tangan menghadapi sebuah masalah dari klub film.
“Gue dapat keluhan tadi pagi … lo pada ribut-ribut terus cari masalah di depan kampus kemarin, pas dosen enggak ada. Kalau kemarin bukan hari libur, lo pasti bakal dapat masalah lebih gede daripada ginian.
“Gue pengen tahu. Ceritain tiap kejadiannya dan kenapa masalah gitu aja bisa terjadi. Jawab dengan jujur.”
Margin, sebagai ketua klub film, mematahkan kebungkamannya, “Ya … waktu itu kita lagi syuting terakhir sih. Gue juga enggak nyangka kalau kita bakal dapat masalah pas akhir-akhir gini—”
“Gue nanya sekali lagi, kenapa bisa terjadi kayak gitu?” Ketua BEM tidak sabar ingin mendengar inti dari permasalahan.
“Iya, gue jawab. Michelle, dia yang ngacauin syuting akhir kita. Dia yang bikin masalahnya, dia jadi inti masalahnya. Dia komplain tentang kamera, terus gue negur dia, tapi dia malah marah-marah, terus keluar. Gitu aja.”
Ivan mengangkat tangan. “Yang terjadi sebenarnya lebih dari itu. Gue udah bilang ke Michelle kalau memori kameranya udah penuh, terus … Margin, ketua, malah nuduh kita komplain.”
Margin menggelengkan kepala seraya membantah, “Enggak, enggak kayak gitu, Michelle pengen perlambat kita, buktinya dia komplain terus pas tiap kali kita mau syuting—”
“Margin, buktinya lo malah manfaatin jabatan lo sebagai ketua biar enggak beri kesempatan sama Michelle, kan? Buat enggak di depan kamera?”
“Udah, udah,” ucap Jenni melerai adu mulut, “Ivan ada benarnya juga sih, lo malah maksa buat syuting, terus lo marah tanpa alasan ke Michelle. Lagian, lo enggak pernah nempatin Michelle sebagai pemeran sama sekali.”
“Ya, gue tahu dia belum siap buat jadi pemeran gitu, Jenni. Tapi dia malah ngeluh, ngeluh, dan ngeluh, udah ditempatin posisi terbaik di belakang kamera,” balas Margin.
“Margin, ini bukan soal siap atau enggak, Michelle udah pengen tapi lo ngehalangin,” balas salah satu anggota wanita.
“Gue enggak halangin dia kok. Dia yang belum siap,” Margin menggeleng lagi.
“Udah deh, Margin. Lo tahu? Lo malah nyalahgunain posisi lo sendiri sebagai ketua. Lo emang bener-bener keterlaluan jadi—”
Margin mengayunkan kepalan tangan pada karpet dengan keras, mengagetkan seluruh anggota klub film ketika meledakkan jeritan penuh amarah, “Lo pikir gue nyalahgunain posisi gue! Gue enggak gitu! Lo pada tahu gue berbakat! Lo pikir gue bodoh banget jadi ketua!”
Ivan mengingatkan, “Itu kenyataan, Margin. Buktinya kemarin.”
“Udah! Gue berbakat! Gue yang bikin filmnya! Gara-gara Michelle, film kita enggak bisa jadi, terus … kita dapat masalah kayak gini!” jerit Margin lagi.
Ketua BEM akhirnya memukul dinding pintu dengan keras, mengagetkan seluruh anggota klub film. “Ini masalahnya! Margin, lo baru aja ngebuktiin lo emang nyalahgunain posisi lo sebagai ketua. Jujur aja, gue udah muak ngedengar lo makin ngelebarin masalah kayak gini.”
“Maksud lo apa?”
“Gue udah ambil keputusan gitu udah dengar inti masalahnya.” Ketua BEM itu membuang napas sejenak sebelum mengungkapkan, “Lo pada nentuin gimana nasib Margin di klub film, pertimbangin keputusan lo pas gue nanya …. Lo pada mau kan pertahanin Margin di sini? Sebagai ketua lo? Bagi yang ingin pertahanin, angkat tangan lo.”
Margin memutar kepalanya memandang semuanya terdiam begitu ketua BEM mengajukan sebuah pertanyaan, matanya kembali sayu menunjukan belas kasihan agar dia dipertahankan sebagai anggota klub sekaligus ketua. Naas, dua orang anggota wanita yang berada di belakangnya mengangkat tangan, mengetahui mereka adalah teman terdekatnya di klub.
“Cuma dua orang?”
Seluruh anggota yang lain terdiam, tidak perlu mengatakan sepatah kata pun atau mengangkat tangan sama sekali. Ivan hanya mengangkat bahu, tidak perlu untuk berkomentar apapun untuk menganggapi.
“Sorry, Margin, lo lihat sendiri, lo udah dikeluarin dari klub.” Perkataan ketua BEM telah memecahkan ekspektasi Margin.
“Serius? Cuma dua doang?” Margin menggeleng. “Ryan?”
Lawan mainnya, Ryan, bahkan membuang muka pada Margin, setuju pada mayoritas dari sebuah keputusan. Baginya, keputusan terbaik adalah untuk mengikuti mayoritas yang tidak mengangkat tangan.
Margin menyeringai, “Gue ketuanya! Lo pada tahu gue berbakat, kan?”
“Sebaiknya lo keluar aja, Margin,” suruh ketua BEM.
Margin bangkit meratapi seluruh anggota klub film yang tidak mengangkat. “Lo pada tolol semua ya.”
Begitu Margin telah mengangkat kaki, ketua BEM akhirnya membuka suara lagi, “Oke, dengar ya. Gue enggak mau dengar ada masalah lagi dari lo. Kalau sekali lagi gue dengar lo pada bikin masalah lagi di sekitar kampus, gue enggak punya pilihan lagi selain ngebubarin klub ini. Ngerti enggak?”
Ancaman dari ketua BEM terdengar seperti mengiris hati perlahan bagi seluruh anggota klub film yang tersisa. Mereka seperti mendapat strike dalam permainan baseball, bedanya langsung mendapat dua sekaligus. Jika mendapat strike lagi, hilang sudah impian untuk membuat film, apalagi mempertahankan klub.
“Gue harap lo benar-benar serius tentang ginian, gue enggak mau lo ada masalah lagi, entah sepele atau kagak. Udah, bubar.”
Ketua BEM akhirnya berbalik mengangkat kaki dari ruangan klub. Sementara … seluruh anggota klub … masih terpukul akan ancamannya, merenungi seluruh kesalahan dan setiap detil insiden pada hari sebelumnya, tidak ada yang menyangka akan menjadi begini.
***
Kilasan balik itu telah berakhir ketika Ivan mengunci pintu ruang klub film rapat. Tidak ada lagi kesalahan mulai sekarang, apalagi jika berujung pada sebuah masalah besar lagi. Sebagai seorang ketua baru, tanggung jawabnya menjadi bertambah berat demi mengurus klub, apalagi menjalankan proyek film pendek baru sebagai sutradara.
Ivan menarik strap ranselnya begitu angkat kaki dari lingkungan gedung himpunan di halaman belakang gedung fakultas. Dia akan memulai kegiatan klub kembali dengan a fresh start, demi menghindari ancaman pembubaran dari BEM fakultas. Dia tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti Margin, yakni menyalahgunakan jabatan sebagai ketua.
Menjadi ketua merupakan tingkatan menengah dari growing up bagi semua orang, terutama mahasiswa. Setidaknya, Ivan bertekad untuk belajar untuk bertanggung jawab, apalagi untuk diri sendiri.