Jamkos.
Suatu moment langka yang sangat dielu-elukan oleh sebagian besar manusia berseragam yang disebut siswa. Termasuk Sia, tentunya.
"Dih, Helen kenapa sih? Dari tadi manyun aja kerjanya. Helen sakit?"
Helen terlihat tidak bersemangat hari ini. Entahlah apa yang menimpa gadis ber-gen kaukasoid itu. Yang pasti ia tidak seperti yang sudah-sudah, hari ini bibirnya rata.
"Ini baksonya kenapa nggak dimakan?" Sia mengaduk-aduk mangkuk berkuah milik Helen yang sejak tadi menganggur tak dijamah. "Kalo nggak mau ya bilang, ntar Sia yang habiskan."
"Kalo makan aja lo nomor satu." Akhirnya Helen bersuara. Sia berdecih setelahnya.
"Makan, deh. Ya? Lagian Heken ada masalah apa sih sebenarnya? Ayo cerita ke Sia Tadirana."
"Masa' curhat di kantin."
"Ya nggak papa."
"Ntar ada yang denger."
Sia menghela pendek. "Yaudah, di kelas. Tapi ini habisin dulu."
"Lo aja deh yang makan."
"Beneran?" Tentu saja Sia tak keberatan. Ia pun menggeser mangkuk milik Helen hingga ada dua porsi sekaligus di depannya kini. Namun, air muka Helen masih tak berubah. Bahkan gadis itu semakin terlihat keruh.
"Si, gue tunggu di kelas, ya." Ucap Helen sebelum bangkit dari duduknya.
"Oke oke." Jawab Sia singkat. "Makasih ya Helen, makanannya. You are the best deh!"
"Sama-sama." Balas Helen. "Oh ya, itu belum gue bayar. Lo bayar lah sekalian. Kan, elo yang makan."
Sia tersedak.
- -
"Oh haha jadi karena itu Helen mogok seharian ini?"
Helen baru saja menceritakan alasan kenapa wajahnya tertekuk kepada Sia. Sekarang, mereka berdua sudah di kelas.
"Iya. Jadi udah 2 hari Clamora sakit." Imbuh Helen dengan sorot mata mengandai. Mengandai bahwa Clamora--kucing Persia miliknya itu ada di sini.
"GWS deh buat Clamora." Balas Sia, jujur saja lega karena ia pikir ada masalah serius yang menimpa Helen. Meskipun urusan Clamora adalah hal serius bagi Helen, sih.
"Oh ya, Si. Kemarin, lo yakin Raha beneran bilang gitu?" Helen membuka topik baru.
"Hm. Kayaknya iya. Andai Sia nggak bilang stop, udah pasti deh dia bilang gitu. Haha."
Helen menyeka surai rambutnya ke belakang. "Kayaknya, Raha beneran suka sama lo."
"Gak peduli, sih." Sia mengendikkan bahu.
Helen menghela napas pendek, ia menatap Sia lurus-lurus. "Si," panggilnya lalu.
"Hm?"
"Lo beneran nggak tertarik, sama dia?"
"Dia siapa?"
Helen menahan diri untuk tidak menggetok kepala sahabatnya itu. Lalu Helen berdecak. "Ya Raha. Masa' pak Ojan."
"Dih, Helen jangan kualat. Ntar pak Ojan denger, Helen nggak dijemput lagi, lho."
"Si, apaan sih receh banget tauk. Mendingan lo jawab pertanyaan gue. Lo kenapa nggak tertarik sama Raha?"
"Hm. Kenapa ya?" Sia memicing, telunjuknya bergerak naik mengetuk-ngetuk dagunya yang lancip. "He isn't my type?"
"RIP that type, then." Helen memutar bola mata malas. "Raha tuh ganteng, Si. Blasteran, pula. Udah gitu mapan, baik, berwibawa, manly juga."
"Really? Kenapa Sia nggak mandang dia kek gitu, ya?"
"Ntar gue temenin lo periksa mata." Sela Helen yang mulai BT. "Kalo gitu tipe lo kek gimana, gue mau denger."
"Ya Sia mah nggak muluk-muluk. Yang penting bisa nyaman sama dia."
"Kek gimana dah baru bisa nyaman?"
"Ya harus baik, rajin menabung, disiplin, jujur, mandiri, good looking, top attitude, nggak posesif, nggak pelit, sayang orangtua, selalu ngajakin makan, romantis, mau mengalah, bisa diperca-"
"Katanya nggak muluk-muluk. Bangke." Helen menyetop kalimat-kalimat Sia dengan helaan napasnya.
Sore harinya, mereka singgah di perpustakaan daerah. Sebenarnya Sia ogah, mana mau ia membaca. Tapi Helen yang minta, jadi sebagai sahabat yang baik tentu saja Sia terima. Tapi dengan satu syarat.
"Helen lama banget ih nyari bukunya."
"Bawel lo ah."
"Lapar, nih. Helen jangan lupa ya, tadi katanya mau traktir Sia makan?"
Nah. Itulah syaratnya.
Helen tak menggubris kemudian kembali memilah buku saduran yang tersusun rapih di atas rak. Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari tempat itu dengan Helen yang sudah menemukan novel yang dicarinya tadi.
"Yaudah. Makan dimana nih?" Helen memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Starbuck deh. Oh, bukan, bukan. Kfc Rumah Kopi? Di resto ma-"
"Si, jangan aneh-aneh." Helen melihat isi dompetnya sebentar, lalu meringis melihat hanya ada dua lembar uang di sana. "Ini tuh lagi tanggal tua."
Dan ujung-ujungnya, Helen hanya membawa Sia ke rumahnya, memakan masakan bibi.
Di depan meja makan, sebenarnya Sia tak kerasan. Kalau begini, apa bedanya makan di rumah sendiri? Pupus sudah harapannya ditraktir makan di tempat ternama. "Dasar bule kere,"
"Makan aja Si. Nggak usah nyerocos."
Sia melihat ada seekor kucing yang melintas. "Itu Clamora, kan?"
"Mana?" Helen mengikuti arah pandang Sia. "Oh, iya."
"Katanya sakit?"
"Kayaknya udah sembuh. Hehe."
Sia mengernyit. Ia pun mengendik berusaha tak peduli dan kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya.
Sementara Helen terlihat temaram lagi, wajahnya kembali keruh. Entahlah ada apa dengan gadis itu. Yang pasti Sia mulai ragu kalau Clamora adalah penyebabnya.
Ponsel Sia berdering.
Namun di-reject.
"Angkat aja, Si." Suruh Helen melihat Sia menolak panggilan itu tanpa melihat dulu siapa pemanggilnya. "Kali aja penting."
"Nggak deh. Kan, Sia-nya lagi makan." Sia tetap pada makanannya.
Dan, ponselnya berdering kembali. Namun masih sama, Sia enggan diganggu. Di dering kelima, akhirnya dengan setengah malas Sia pun merogoh saku seragamnya, mengeluarkan ponsel dan membaca dulu itu panggilan dari siapa.
Kemudian matanya membulat, "ASTAGA PANGGILAN DARI BUNDA!"
"Mampus lo udah nge-reject." Helen terkekeh.
"Ha-halo, bunda?"
"KURANG AJAR KAMU, YA? PANGGILAN BUNDA DITOLAK! MAU BUNDA NGGAK KASIH JAJAN KAMU?"
"A-ampun bun. Tadi Sia lagi-"
"JANGAN ALASAN! BUNDA TAHU KAMU SUDAH PULANG SEKOLAH! KELUYURAN DIMANA KAMU, ANAK?"
Sia mengusap-usap daun telinganya, suara bundanya di seberang sana benar-benar memekakkan telinga. "INI KASIAN TEMEN KAMU UDAH DI SINI DARI TADI."
"T-Temen?" Sia mengerjap. "Teman siapa, bun?"
"Namanya Raha."
"APA BUND?!" Sia terkesiap. Mulutnya nyaris terbuka sempurna.
"Iya buruan pulang. Awas kalo kelamaan!"
"I-iya bunda."
Panggilan terputus.
Sia tak tahu lagi apa yang harus keluar dari bibinya setelah ini. Seluruh isi kepalanya beralih pada seorang pria yang katanya sudah menunggu sedari tadi.
"Kenapa, Si?" Tanya Helen.
"Ng? It-itu.."
Persetan! Sia tidak punya waktu bertele-tele. Ia harus segera pulang, menemui si Raha-Raha itu lalu mengusirnya pergi! Buru-buru Sia meneguk habis air di gelasnya lalu berpamitan pada Helen. "Hel, Sia duluan ya?"
"Tapi makanannya belum habis, loh?"
"Emergency!"
"Hah? Ok-oke deh." Jawab Helen setengah heran menyaksikan Sia berlari keluar dari rumahnya.