Ada banyak sekali hal ajaib yang terjadi di dunia ini. Salah satunya, sebuah pertemuan. Pertemuan yang tidak kita sadari, menyimpan begitu banyak makna yang jarang sekali manusia itu sendiri bisa mengerti.
Seperti Cinderella yang tidak akan menyangka bisa bertemu pangeran di pesta dansa. Atau seorang Rapunzel yang ditemukan Flynrider di atas menara penyihir tanpa sengaja. Kisah mereka, selalu dimulai dari sebuah pertemuan.
Tanpa temu dan sebuah perbincangan, satu sama lain akan tetap menjadi asing selama apapun. Tanpa temu dan sebuah tawa, satu sama lain hanya akan saling melewati. Tidak peduli, seberapa banyak mereka pernah saling berpaspasan di suatu tempat yang berbeda.
"Hesa."
Gadis itu langsung menghentikan aktivitas melukisnya, cukup terkejut dengan kehadiran Felin yang tau - tau sudah berdiri saja dihadapanya dengan tangan bersidekap di depan dada.
"Gimana bisa lo leha - leha duduk disini sambil ngelukis sementara nilai lo anjlok berat!"
"LAGI?!" perempuan yang di panggil Hesa itu otomatis berdiri dari duduknya, hampir terjungkal bersama cat - cat air diatas meja kantin yang bertumpahan di lantai.
"OH MY GOD! Jangan bilang lo belom liat pengumumannya di mading?!" wajah seram Felin bertambah dua kali lipat. Membuat Hesa mati kutu ditempat.
"Di-disana banyak orang Fel. Jadi gue pikir, gue bisa melihatnya nanti."
Felin mendengus kasar, sebelum akhirnya menarik kursi untuk duduk dihadapan Hesa. "Sekarang, berakhir sudah kesempatan lo buat satu kelas dengan Farel! Coba aja waktu itu lo bisa lebih serius lagi. Kejadian begini pasti gakbakalan mungkin terjadi!”
Mendengar nama lelaki itu disebut, seketika lutut Hesa melemas. Tanganya yang semula kuat mengenggam kuas, kini mengendur perlahan. Dia sudah sangat berusaha. Bahkan lebih dari apa yang Felin pikirkan.
Sembari memandangi lukisan di kanvas mini nya yang masih setengah jadi, gadis itu tersenyum pahit. Dia memang tidak bisa melakukan apapun selain menggambar. Dia payah dalam urusan pelajaran.
Dan sepertinya untuk kali ini pun, ia harus melupakan mimpi untuk bisa satu kelas dengan Farel. Karena lelaki itu, terlalu jauh dari jangkauanya.
**
"Bungiorno, Hesa." Teriak Chandra terlihat sangat antusias menyambut gadis itu kembali ke XI IPS 5. Sambil tertawa dengan nada penuh penghinaan, cowok berpenampilan semrautan itu mendatangi mejanya. Masih dengan senyum yang tidak kunjung memudar.
“Wahh, Hesa gue keliatan makin sehat aja.” ucapnya seraya memandangi tubuh gadis berambut hitam sebahu itu dari atas sampai bawah. “Lo tahu gak? Efek satu bulan gak ngelihat lo di sekolah? Badan gue jadi sering gatal – gatal lohh.” Kekehnya seperti orang gila.
Hesa bergidik ngeri, omongan lelaki itu sama sekali tidak ada nyambung – nyambungnya. Memangnya ia kira Hesa ini apa? Tungau? Hingga bisa dengan mudahnya membuat tubuh laki – laki itu jadi sering gatal – gatal.
"Gue lagi gak mood bercanda sama lo! Gih, pergi sana!" usirnya yang malah membuat Chandra semakin betah menganggunya.
"Makanya, kalo gue ngomong itu dengerin. Lo itu tuh makhluk terkutuk Hes. Sekalinya tulul, tetap tulul. Gaya - gayaan segala mau masuk XI IPS 1. MIMPI DULU SANA!"
Hesa segera menepis tangan Chandra yang hendak menyentuh bahunya. "Lo yang terkutuk!"
Melihat tanganya yang dihempas seperti itu, Chandra tertawa. Lalu sambil menggaruk bokongnya yang terasa sedikit gatal, ia pergi menuju bangkunya. Terlalu puas hanya dengan melihat wajah cemberut gadis itu di waktu sepagi ini.
Sementara Hesa, gadis itu tak berhenti mengetuk – ketukkan kepalanya ke atas meja. Terlalu frustasi dengan ambisinya yang tidak berjalan sesuai dengan rencana.
“Kalau tahu bakal berakhir begini, mending waktu itu gue gak usah belajar sekalian!”
**
“FAREL ESA WARDANA.” Panggil Bu Ditha sengaja menekan nama itu lebih kuat dari nama – nama yang ia panggil sebelumnya. “Kamu tahu? Ini sudah keberapa kalinya kamu terlambat?”
Lelaki berahang tegas itu menunduk. Memilih untuk berpura – pura bodoh saja ketimbang harus menjawab pertanyaan Bu Ditha barusan. Karena guru selalu benar, maka mau ia jawab ataupun tidak, hasilnya akan tetap sama. Muridlah yang pasti bersalah.
“Ini sudah hampir sembilan kali Farel. SEMBILAN KALI!”
“Maaf.”
Bu Ditha melotot, matanya bahkan sampai mau keluar karena jawaban spontan anak itu. Bisa – bisanya bicara maaf segampang membeli es dawet. Memangnya dia pikir, hanya dengan meminta maaf, masalah bisa selesai begitu saja?!
“Sudah, kamu berdiri saja disana sampai bell istirahat. Yang lain, boleh masuk.”
“Loh loh loh? Kok Bu Ditha jadi gak adil gini sih?! Jelas – jelas mereka juga sama telatnya dengan saya, masa mereka diijinin masuk sementara saya enggak?!”
“Anggap ini sebagai pukulan dari saya untuk membuatmu jera. Karena orang pintar tanpa disiplin, lebih buruk dari orang bodoh yang tahu waktu.”
Farel terpengarah, tidak membantah lagi setelah ucapan menusuk Bu Ditha tadi. Hanya mengambil posisi untuk berdiri menghadap bendera upacara dengan sikap istirahat di tempat. Berteman dengan sinar matahari yang sialnya hari itu terik bukan main.
**
“Apa?! Coba bilang sekali lagi! Kalian bertiga mau gue pukul?!”
Chandra, Angga beserta Jimmy saling mengadu toss. Tertawa tanpa henti di sepanjang perjalanan mereka menuju kantin sangking asiknya menganggu gadis berpenampilan sedikit tomboy, tidak. Bukan sedikit lagi. Tapi sudah sangat tomboy. Chandra bahkan sampai curiga jika wanita itu sebenarnya memang laki – laki yang tersesat di tubuh seorang perempuan.
“Tapi Hes, kita tuh gak bohong. Lo tuh emang tepos. Gak ada bentuk – bentuknya sedikitpun. Jadi, ada baiknya lo dengerin saran dari kita – kita. Kalau mau segera dapat pacar. Ya gak? HAHAHAHA.”
“BRRENG—SEK..” Spontan, bogeman super wonderwomen Hesa yang sudah hampir terlayang ke masing – masing perut lelaki itu terhenti. Saat mata terangnya secara tidak sengaja menangkap sosok itu tengah berdiri di depan tiang bendera upacara. Mendadak, rasa kesal, juga amarah yang tadinya sempat mendidih, berubah lenyap begitu saja. Membuat Chandra beserta temanya Angga dan Jimmy mengerutkan kening karena heran.
“Lihat siapa sih?” tanya cowok itu kepo berat membuat mata Hesa membelalak. Buru – buru, ia memutar kepala Chandra yang sudah hampir mau menoleh ke belakang.
“B—Bu Ditha! Bu Ditha mau razia atribut sekolah tuh!”
“Hah? Bu Ditha?! Serius lu Bu Ditha?! Eh eh buru cabut! Cabut! Kantin belakang!” perintah Chandra segera mengerahkan teman – temanya untuk mencari tempat bersembunyi paling aman.
Sementara melihat ketiga orang itu ngacir seperti orang kebelet pipis, Hesa terpingkal – pingkal sendiri. Sekarang ia tahu alasan kenapa Chandra dan teman – temanya senang sekali menganggunya. Ternyata memang menjahili seseorang itu nikmat. Ada sensasi serunya.
“Ngahaha, mampus tuh bocah. Emang enak gue kerjain.” kekeh Hesa sambil akhirnya kembali memalingkan wajah ke tengah lapangan upacara. Namun, ia tak melihat laki – laki itu ada disana seperti waktu sebelumnya.
“Eh? Kemana dia? Tadi bukanya ada disana—?”
“Farel!”celetuk seorang perempuan berambut ikal dari arah pinggir lapangan membuat Hesa yang mendengarnya menoleh spontan.
“Nih minum dulu.” kata wanita itu seraya menyodorkan sebotol air mineral dingin ke hadapan Farel yang terlihat kelelahan.
“Thanks.”
Pause. Dunia Hesa seakan terjeda. Dengan hati yang mulai luluh lantak karena keropos, Hesa sesegera mungkin memalingkan muka dari pemandangan menyakitkan itu. Ternyata, ungkapan quotes – quotes timeline yang sering memenuhi beranda aplikasi berkirim pesanya itu benar. Bahwa tidak pernah ada yang lebih buruk dari seseorang yang jatuh cinta sendirian.