Read More >>"> Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa (Bab 1. Rencana Gila) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 1. RENCANA GILA

 

Sore itu, sambil bercengkerama santai di halaman asrama kampus, aku mengajak keempat sahabat karibku berdiskusi tentang rencana rihlah. Sesuai permintaanku, mereka juga diberi tiket gratis dan dimasukkan dalam daftar peserta ekspedisi, meski belakangan aku tahu bahwa Zhen memilih mereka dengan pertimbangan tertentu, karena kebetulan mereka memenuhi kualifikasi sebagai tim liputan. Selain itu, kami juga wajib ikut seminar dan serangkaian pelatihan demi kelancaran ekspedisi nanti. Persiapan yang kami lakukan harus benar-benar matang mengingat pentingnya keselamatan kami selama perjalanan.

“Kira-kira nanti aku kebagian tugas jadi apa ya?” kata Harto.

“Kalau menurutku sih, cocoknya kamu jadi kameramen deh,” kataku. “Kalau soal mengambil gambar atau merekam video, keahlianmu nggak diragukan lagi, bahkan bisa diadu dengan para profesional dari BBC atau National Geographic. Percaya deh.”

“Ah, masa sih?” Harto nyengir lebar mendengar pujianku. Sejak kemarin, si penggila fotografi ini mengelap kamera DSLR-nya, bersiap mengoleksi foto sepanjang perjalanan.

Kawanku yang bernama lengkap Harto Sunarto Saipudin ini adalah pemuda berambut jabrik, bermata lebar, dan seperti sidekick bagiku, menempel ke manapun aku pergi seperti Batman dan Robin. Wajahnya selalu berbinar ceria dan entah mengapa energi positifnya selalu menular padaku. Cuma satu kebiasaan buruknya, yaitu gemar berbuat usil. Jika kulihat tasku penuh dedaunan, atau sepatu Igo tiba-tiba tersangkut di pohon mangga, atau saat Nasuti mendapati wajahnya penuh coretan sehabis tidur di kelas, atau Torik yang tersandung karena tali sepatunya ada yang menyilangkan, itu pasti perbuatan Harto. Dia biasanya hanya tertawa melihat korbannya marah-marah.

Ia selalu bersemangat dan optimis, meskipun ia harus merasakan pedihnya menjadi yatim piatu sejak kecil dan tinggal di panti asuhan. Sikapnya yang selalu lapang dada itu membuatku kagum. Hanya kami sahabat karibnya, yang tak peduli seperti apapun latar belakangnya. Ia tetaplah istimewa bagi kami.

“Keliling Indonesia... kira-kira total biayanya berapa tuh?” kata Igo, seraya melihat peta dan foto-foto lokasi wisata yang dikumpulkannya dari internet. “Perusahaannya Zhen nggak tanggung-tanggung ya, bikin event sebesar itu. Ah, aku jadi nggak sabar nih, rasanya pengen cepat-cepat hari-H aja.”

Wahid Ghozali atau lebih suka dipanggil Igo, adalah pemuda berpostur kurus tinggi, berwajah cuek, bermata sayu, berambut acak-acakan, dan sikapnya paling dewasa di antara kami. Meski begitu, Igo jarang tersenyum dan kata-katanya selalu ketus. Jika ada orang yang masuk ke kamar kostnya, maka orang itu akan menemukan toko rongsokan. Betapa tidak, buku-buku bertebaran di lantai, baju-baju kusut menumpuk di kasur, debu menebal di lantai karena jarang disapu, plastik bungkus makanan berdesakan di sudut. Pokoknya berantakan seperti gudang habis kebanjiran. Namun di balik sikapnya yang masa bodoh, Igo ternyata rela berkorban dan sangat peduli terhadap teman-temannya.

Awalnya kukira dia tak mau ikut ekspedisi ini, karena dia tipe orang yang senang berdiam diri di rumah, berbeda sekali denganku yang berjiwa adventurer. Jangankan diajak keluar kota, kuajak berolahraga di Gor Satria yang dekat saja dia ogah-ogahan. Namun kini agak berbeda. Tak kusangka dia setuju ikut dengan ekspedisi ini karena katanya ingin mempelajari dan mendalami berbagai budaya unik di Nusantara.

“Nah gitu dong, jangan di rumah aja,” kataku, menepuk bahunya.

Beda halnya dengan Nasuti. Pemuda bernama lengkap Dhira Agni Nasution ini kurang tertarik dengan tawaran ini karena ia bermasalah dengan kendaraan. Awalnya ia menolak habis-habisan, mengingat ia selalu mabuk dan mual-mual saat naik kendaraan apapun. Tapi setelah diimingi informasi berharga akhirnya ia menurut juga.

“Di perjalanan nanti, kau bisa sekalian mencari ayahmu lho,” bisik Harto hati-hati.

Mendengar itu Nasuti langsung bersemangat. Betapa tidak, dia ditinggalkan ayahnya sejak kecil dan tinggal berdua dengan ibunya. Namun baru satu bulan setelah ayahnya pergi, ibunya depresi dan hingga kini masih direhabilitasi di rumah sakit jiwa. Ia tak ingat apa-apa tentang ayahnya. Tak ada satupun benda yang ia warisi dari sang ayah selain sehelai sorban putih yang selalu dikenakannya. Petunjuk yang dia punya mengenai keberadaan sang ayah hanya selembar foto. Hingga kini, dia terus bertekad untuk mencari ayahnya.

Jika dilihat dari penampilannya, Nasuti terkesan agak sangar dengan wajah galak dan matanya yang besar dan meruncing. Julukan yang hampir tepat, karena dulunya dia memang terkenal berjiwa pemberontak dan sering berbuat onar di sekolahnya. Tapi itu dulu. Sejak bergabung di Rohis, dia berubah total dan berjanji tak akan badung lagi. Dan aku tahu, di balik semua tindakan liarnya, dia memiliki rasa setia kawan yang luar biasa. Bahkan mungkin kesetiaannya paling besar di antara kami. Baginya, kami sudah seperti keluarganya sendiri.

Nasuti sangat menyukai film action Barat dan anime Jepang. Puluhan karya mangaka terkenal seperti Eiichiro Oda, Masashi Kishimoto, Tite Kubo, dan Hiro Mashima berderet rapi di lemarinya. Koleksinya sangat lengkap dari jilid awal hingga yang terbaru. Aku hanya bisa menggeleng melihat uang beasiswa yang diperolehnya dibelanjakan untuk buku-buku seperti itu. Nasuti sangat mengidolakan para komikus itu dan menganggap mereka maestro.

“Ke mana pun tujuannya, yang penting kulinernya enak,” kata Torik, belum apa-apa sudah ngiler duluan membayangkan kuliner apa saja yang akan dicicipinya nanti.

“Ah, kamu sih makan melulu mikirnya,” aku tertawa.

Torik adalah pemuda paling kalem di antara kami. Fisiknya tinggi gagah dan berotot, rambutnya gondrong dan alisnya tebal. Ia juga jago masak dan pecinta kuliner. Sendok dan garpu adalah senjata andalan yang selalu dibawanya ke mana-mana. Jika mentraktir makan, ia selalu mengingatkan kami untuk berdoa sebelum makan, dan piringnya selalu paling bersih. Selain mengikuti organisasi Rohis UKMI (Unit Kegiatan Mahasiswa Islam), Torik juga menekuni eskul Bio-Explorer, kelompok mahasiswa pecinta alam. Beberapa kali ia mengikuti ekspedisi ke alam liar dan membawa oleh-oleh yang unik, seperti serpihan tanduk rusa dan kulit serangga yang terlepas saat proses eksdisis (pengelupasan kulit pada serangga). Torik tahu banyak tentang seluk beluk hutan dan segala macam hewan liar di dalamnya, mungkin ia cocok bekerja di Perhutani atau penangkaran. Pokoknya kalau di perjalanan nanti kami bertemu hewan buas, Torik-lah sosok yang paling bisa diandalkan. Betapa tidak, harimau dan beruang madu di kebun binatang saja dielus-elusnya. Setahuku, dia bahkan memelihara armadillo, burung hantu dan biawak di rumahnya.

“Jadi gimana, untuk ekspedisi nanti, kalian setuju tidak dengan rute yang kubuat ini?” kataku, memperlihatkan kopian peta Indonesia yang sudah kucoret-coret. Kuberi tanda silang kecil di beberapa kota, dan kutarik garis membentuk rute dari ujung Sumatera, melewati Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan berakhir di Papua. Teman-temanku mendekat melihat rute yang kutentukan, mengangguk-angguk, artinya tak masalah. Setidaknya ada lebih dari dua puluh kota yang akan kami lewati nantinya.

“Terserah kau saja, Kapten, aku sih oke saja,” kata Harto, disusul anggukan yang lain. “Yang penting lokasinya kekinian dan instagrammable, bisa dijadikan referensi bagus buat teman-teman netizen yang nonton video dokumenter kita nantinya.”

Seharian itu kami menghabiskan waktu berdiskusi di halaman asrama, memikirkan berbagai rencana menarik untuk ekspedisi nanti, mencatat perlengkapan apa saja yang harus dibawa, mengkalkulasi biaya makan dan ongkos selama beberapa bulan, serta memprediksi rintangan apa saja yang akan kami temui di perjalanan nanti.

Kami juga mempertimbangkan perjalanan ala bacpacker, yang lebih murah. Mungkin nanti kami harus mengirit biaya makan dan hidup seperti gelandangan, atau melakukan survival dengan mendirikan kemah di hutan belantara yang penuh binatang buas. Mengingat rencana-rencana gila kami, pikiranku langsung melayang-layang, tak sabar ingin segera berangkat ekspedisi. Kami berlima anggota Rohis, tapi punya pengalaman sebagai anggota Pramuka dan sering mendaki gunung, jadi tak bermasalah jika harus tidur di mana pun.

Saat sedang asyik berdiskusi, kulihat Zhen, Muqodas dan Hana, teman sekelas kami yang juga pentolan organisasi Bio-Explorer, tengah berjalan ke arah kami. Tampaknya ada urusan penting yang hendak mereka bicarakan, sampai mau repot-repot datang ke asrama kami. Melihat siapa yang datang, Harto langsung kegirangan menyambut mereka.

“Eh itu dia orangnya, si Bos Besar. Oi, Zhen, sini sini, duduk, mau minum jus? Eh, makasih banyak ya, aku nggak tahu harus ngapain lagi buat balas budi kamu. Kayaknya kerja puluhan tahun pun kami nggak bisa ganti tiket pemberianmu itu.”

“Iya nih, apa yang harus kami lakukan sebagai gantinya?” Nasuti ikut-ikutan heboh, menyodorkan tiga kursi plastik. “Nanti titip salam buat kakakmu yang baik itu, ya, Zhen.”

“Udah, nggak usah sungkan, kalian kan teman dekatku,” Zhen tersenyum, meluruskan kacamatanya yang ber-frame tebal. “Lagipula program ini dibuat demi kepentingan promosi perusahaan kami, jadi kita sama-sama untung. Seperti sudah kujelaskan sebelumnya, semua biaya transportasi, konsumsi dan kebutuhan kalian selama perjalanan ditanggung perusahaan keluargaku, Shen Travel. Tapi itu bukan apa-apa, biaya segitu sih kecil buat kakakku. Lagipula kalian orang yang tepat dan tak perlu diseleksi lagi. Untuk tugas pembuatan film dokumenter nantinya kuserahkan padamu, Harto. Kau sering menang lomba fotografi kan?”

“Ah, tahu aja kamu,” Harto tersipu. “Tenang, aku bukan amatir kok. Kujamin hasilnya pasti memuaskan. Aku yakin perusahaan kakakmu tambah sukses nantinya.”

Zhen mengangguk, tersenyum. “Oya, aku ke sini mau memberitahu syarat tambahan buat kalian. Pertama, selain kalian berlima, ada tiga orang lain yang beruntung dapat tiket jalan-jalan gratis, yaitu Hana, Muqodas, dan aku sendiri. Tapi rute yang kami tempuh tidak sama dengan kalian. Yang kedua, tujuan akhir kita adalah Puncak Cartenz di Pegunungan Jayawijaya. Rencananya kita akan mendaki tanggal tujuh Agustus nanti. Kalian siap-siap ya.”

“Serius nih, apa nggak terlalu berat, Zhen?” kata Nasuti. “Meski sering naik gunung, kami kan cuma amatir, bukan anak Pecinta Alam kayak kalian bertiga. Lagian, jangankan kita, pendaki pro aja banyak yang nggak sanggup ke Carstenz. Tempat seekstrem itu, ngurus izinnya repot, belum lagi biayanya puluhan juta sekali naik.”

“Soal perizinan itu mudah saja, bisa diurus, dan perusahaanku juga sudah menyediakan budget-nya,” kata Zhen. “Yang penting kalian rajin ikut latihan. Meski kalian nggak ada basic panjat tebing, asalkan niat, kalian pasti bisa menjalaninya. Kan masih ada waktu enam bulan sampai kelulusan—waktu keberangkatan kita. Coba kalian ikut Muqodas, dia juga anak Mapala tapi masih harus ikut simulasi panjat tebing, aklimatisasi di Gunung Slamet dan latihan berat lainnya. Hana aja ikut ke Carstenz, masa kalian kalah sama cewek.”

Di belakang mereka, Hana tersenyum manis. Nama lengkapnya Raihana Dewi, gadis tercantik di kampus, idola kaum pria. Wajahnya menawan, kulitnya putih bersih dan rambut panjangnya dibiarkan terurai. Tubuhnya ramping namun juga berisi, postur ideal yang seringkali menarik mata para pemuda. Rambut yang dibelah tengah, mata sipit, senyum lebar, sikap yang ramah dan elegan, serta suaranya yang lembut mengingatkanku pada YUI, penyanyi pop terkenal asal Jepang. Kebetulan dia memang fans berat YUI dan hafal semua lagunya. Yang membuatku kagum, Hana selalu bersikap lembut, beda sekali dengan teman-teman gaulnya yang jutek dan berisik. Dia juga sama sekali tak takut pada ular.

“Aku juga ikut lho,” katanya ceria, menyisir rambutnya yang harum.

Aku belum sempat menjawab ketika Muqodas merangkul bahuku, membuatku kaget. Mahasiswa berambut agak pirang dan bertampang babyface ini seperti frenemy bagiku. Kadang dia menyebalkan karena otaknya agak ngeres dan suka jelalatan melihat cewek, tapi dia juga baik dan tak sungkan membantu saat aku kerepotan.

“Ikut aja Bro, hitung-hitung mengharumkan nama kampus. Pendakian ke puncak Carstenz ini juga dalam rangka merayakan Dies Natalis (peringatan ulang tahun) Unsoed ke-60. Kalau nggak mau, tiketnya bisa batal lho. Entar kita cari orang lain yang mau, buat gantiin kalian.”

“Wah, jangan dong,” kataku. “Oke deh kami ikut, siapa takut.”

Muqodas menyeringai. Meski di kelas tampak damai-damai saja, sebetulnya ada perang dingin yang berkecamuk sengit antara aku dan dia, semacam persaingan untuk saling mengunggulkan diri. Benar saja, saat dia bicara, ucapan yang keluar langsung memancing naluri bersaingku.

“Nah, bagus kalau gitu. Biar lebih menarik, gimana kalau perjalanan ini kita selesaikan dalam delapan puluh hari? Ke manapun lokasi tujuan kalian, usahakan agar jarak tempuhnya sama dengan tim kami. Coba kita lihat tim mana yang duluan sampai di Carstenz.”

“Wah, kami berlima ditantang nih? Hmm, oke, aku setuju,” kataku tegas, tanpa pikir panjang. Teman-temanku kaget mendengar persetujuanku yang sepihak itu.

“Baiklah, kalau begitu kita bahas lagi rencana kita. Kalian sudah ada gambaran mau pergi ke mana?” tanya Muqodas.

Aku mengangguk, menunjukkan kertas bergambar peta Indonesia yang sudah kutandai tadi. Muqodas mengamatinya sejenak, mengangguk-angguk.

“Eh, lokasinya beneran bebas kan, Zhen?” tanya Harto.

“Ya, bebas. Silakan kalian tentukan lokasi mana saja yang akan dikunjungi, asalkan start-nya di Aceh dan finish di Carstenz. Sebelum tanggal tujuh Agustus harus sudah tiba di Nabire. Berapapun budget-nya akan kami tanggung, jadi tenang saja.” Zhen merogoh tas, menyerahkan beberapa lembar kertas padaku. “Ini formulir pendaftaran yang harus ditandatangani orangtua kalian, tolong diisi ya. Jangan lupa siapkan juga fotokopi KTP, surat keterangan sehat, foto 4x6 dan berkas lainnya.”

Aku membaca kertas yang diberikan Zhen, mengambil selembar, lalu mengangsurkan sisanya ke yang lain. Zhen melihat jam tangannya, beranjak berdiri.

“Ah, sekarang sudah pukul tiga sore,” katanya. “Maaf ya kami tak bisa lama-lama. Aku harus pulang untuk mengurus izin mendaki ke Carstenz.”

Muqodas dan Hana ikut berdiri.

“Nah, kami pamit dulu,” kata Zhen seraya menyalami kami. “Kalau kalian sudah dapat restu orangtua, segera hubungi aku ya. Jangan lupa, mulai besok kalian harus ikut latihan. Ekspedisi ini agenda serius dan mempertaruhkan nyawa, bukan sekadar hura-hura saja, jadi kalian jangan sampai bolos latihan ya.”

“Iya, kami mengerti,” kataku.

“Daah, sampai ketemu besok,” Hana tersenyum, ikut pamit. Muqodas mengacungkan tinju sambil nyengir, lalu menyusul kedua rekannya ke tempat parkir.

“Ingat janjimu ya, Lutfi, delapan puluh hari!” teriaknya.

Kami mengamati mereka menjauh. Saat sosok mereka sudah tak terlihat, Nasuti, Igo, Harto, dan Torik memprotesku habis-habisan.

“Kenapa kauterima tantangannya begitu saja? Persaingan konyol macam apa itu?” kata Igo, tidak terima. “Bakal nggak nyaman nih liburan kita kalau ada syarat begituan.”

“Coba kaupikir-pikir dulu, Lutfi,” Nasuti menimpali. “Delapan puluh hari nonstop tanpa istirahat, pasti capek banget. Memangnya kita kuat?”

“Pikirkan lagi, Kapten,” Harto menepuk bahuku.

Namun aku tak peduli. Percuma saja mereka menceramahiku, karena tak ada yang bisa mengubah pendirianku jika aku telah mengambil keputusan. Pakai batas waktu atau tidak, bagiku tak ada bedanya. Malah lebih menarik jika aku bisa mencapai target itu. Akhirnya mereka menyerah, maklum pada sifatku yang ambisius dan gila tantangan. Aku tersenyum girang sementara kawananku cemberut. Lihat saja, aku pasti bisa memenuhi tantangan itu.

*****

Enam bulan akhirnya berlalu. Hari itu aula Graha Widyatama dipenuhi euforia kemenangan. Seluruh mahasiswa semester akhir Universitas Jenderal Soedirman berkumpul, tampak bergairah dan bersukacita. Hari itu sangat penting: hari wisuda. Kami saling bertukar tawa, melempar toga, dan berfoto bersama di depan patung Jenderal Soedirman. Ratusan orang berbaris menyalami kami, mulai dari rektor, dekan, dosen, adik kelas, kawan-kawan anggota Rohis, hingga office boy. Aku, Harto, Igo, Nasuti dan Torik lulus dengan prestasi yang memuaskan. Hari-hari penuh perjuangan dan latihan fisik yang berat pun telah kami tuntaskan demi suksesnya perjalanan nanti. Kini tibalah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada kota Purwokerto.

“Igoo, selamat yaa!”

Igo terlonjak dan menyemburkan jus yang baru diminumnya ketika tiba-tiba seorang gadis berambut panjang memeluknya dari belakang. Kami yang saat itu sedang duduk-duduk di taman, terkejut. Gadis itu Nelly Odelia, teman sekelas kami yang berambut pirang dan bermuka bule. Sifatnya periang dan seperti anak kecil. Ayahnya berkebangsaan Spanyol sedangkan ibunya asli Sunda. Gadis itu merangkul dan mengguncang Igo sampai pemuda itu tak bisa bernapas. Kami menatap mereka dengan ngeri.

“Lepasin, geli tahu!” Igo berontak. “Hei, kita bukan muhrim!”

"Auww!"

Nelly mengaduh ketika seorang gadis berkerudung hitam memukul kepalanya dengan lembaran kertas makalah. Ternyata Ruqoyah, adik kelas kami di Rohis. Dia juga masih terbilang adik sepupuku, teman main sejak kecil. Ruqoyah bertubuh pendek, wajahnya manis namun dingin, sifatnya kalem dan agak ketus kalau bicara. Kukira dia datang ke sini untuk memberi kami ucapan selamat. Ternyata ada maunya.

“Kak Igo, nanti kita latihan ruqyah lagi ya,” katanya to the point, tak memedulikan Igo yang terengah dan memegangi lehernya setelah terbebas dari cengkeraman Nelly. “Giliran antum (kamu) yang mengajar. Jangan lupa. Jam empat sore. Di sekretariat Rohis UKMI.”

“Eh, bicaranya jangan sambil jongkok, berdiri saja,” kata Harto.

“Apa sih maksud Kak Harto? Ini sudah berdiri kok,” Ruqoyah mengernyit.

“Oh iya ya,” Harto langsung meralat, berbisik padaku. “Kukira dia sedang jongkok. Aku lupa, tingginya kan memang cuma se....”

“Sembarangan, jangan mencela sepupuku!” aku menjitaknya.

Ruqoyah melempar pandang jengkel ke arah Harto, lalu berbalik menghadapi Igo, ekspresinya tegas. “Nah, jangan lupa ya Kak, jam empat sore!”

“Jangan terlalu keras pada Igo, dia kan baru saja lulus,” Nelly memprotes. “Harusnya dia dibebaskan dari tugas organisasi kan? Mentang-mentang kau sudah jadi ketua umum.”

“Nggak ada pilihan lain, Mbak Nelly,” kata Ruqoyah. “Dia yang paling jago meruqyah. Susah nyari penggantinya. Lagian masih banyak yang harus dipelajari adik kelas kita.”

Igo seorang praktisi ruqyah syar’iyyah, atau istilah kerennya pengusir setan. Selama aktif menjadi anggota Rohis, kami diwajibkan mengikuti latihan ruqyah di bawah bimbingan Mas Faizar, seorang ustad muda lulusan Al-Azhar, Mesir.

“Iya iya, jam empat sore kan?” kata Igo malas-malasan. “Tenang saja, aku pasti datang. Jangan memaksa begitu. Merepotkan saja kau ini. Lagian kenapa bukan kau saja sih yang melatih mereka? Kan cocok sekali dengan namamu, Ruqyah.”

“Ru-qo-yah!” tukas gadis itu jengkel. “Kak Igo kan lebih ahli.”

“Oya Nelly, katanya kamu mau S2 di Jepang ya?” celetuk Nasuti, mengalihkan obrolan. Bisa gawat kalau Igo dan Ruqoyah dibiarkan bertengkar di sini.

“Ya, sebenarnya itu kemauan Papa,” kata Nelly, mengipas-ngipaskan toganya. “Tapi aku nggak keberatan kok. Kayaknya tinggal di Negeri Sakura asyik juga.”

“Wah, beruntung ya,” Nasuti tampak iri. Pergi ke Jepang adalah impiannya.

“Kalian lihat Mbak Hana nggak?” tanya Ruqoyah. “Kemarin dia meminjam kitab fiqihku, katanya mau dikembalikan sekarang.”

“Barusan dia pergi diantar ibunya,” jawabku. “Mereka sudah pulang naik mobil. Coba kau telepon dia, mungkin belum jauh.”

“Bagus lho kalau dia ada niat belajar agama,” komentar Harto. “Ajari dia pakai jilbab sekalian, biar tambah cantik dan sholehah.”

Ruqoyah mengangguk, lalu melenggang pergi. Nelly mengikutinya setelah melambai pada Igo, yang berjengit.

Dalam diam, kami menatap gedung kampus untuk terakhir kali. Inilah Kampus Biru tempat kami menuntut ilmu. Kami selalu tertawa jika mengingat kesulitan masa kuliah dulu, saat kami harus bersusah payah mengerjakan laporan sampai begadang, berlari-lari agar tak terlambat di sela waktu kuliah yang sempit, menghafal buku-buku biologi yang supertebal demi menghadapi tes yang diadakan hampir setiap hari. Semua itu tinggal kenangan. Perjuangan berat kami setelah empat tahun berakhir sudah. Sekarang saatnya kami pulang.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Melihat Mimpi Awan Biru
3125      1076     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Koma
15873      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
802      451     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6670      1628     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1912      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2374      833     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5097      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?