Devon terbangun dengan denyutan nyeri di rahang dan pelipisnya. Masih dengan mata tertutup dia berusaha mengangkat kepalanya namun punggung lehernya juga berteriak nyeri. Terpaksa dia kembali menenggelamkan kepalanya ke bantal. Suara obrolan yang semakin jelas terdengar memaksa matanya terbuka lebar, mencari tahu si sumber suara. Setelah berusaha menolehkan kepala di tengah rasa sakit, terlihat Revi dan Taki sedang duduk berhadapan dengan tampang serius. Devon mengalihkan pandangannya pada benda yang tergeletak di antara dua cowok itu. Matanya terbelalak mengenali map biru yang telah terbuka itu lalu dalam waktu sepersekian detik tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Devon melompat, menyambar map biru itu.
“Telat lo!”Revi bangkit lalu berkacak pinggang di hadapan Devon.“Buang tenaga aja. Nyeri kan tuh lutut.” Diulurkannya tangannya yang langsung ditepis Devon.
Setelah bersusah payah bangkit, Devon langsung memasukkan kembali map itu ke ranselnya.
“Sekarang, itu harta lo satu-satunya.”Cetus Taki menghadang Devon yang berbalik.
“Kalian ngapain buka-buka tas gue?”Tanya Devon tidak mengacuhkan perkataan Taki.
Revi berjalan mendekat lalu menepuk pundak Devon.“Semalam lo nggak sadarkan diri terus baju lo kotor banget. Terpaksa kita gantiin baju lo.”
Devon merunduk, kaosnya telah berganti menjadi kaos abu polos. Otaknya mencoba menelusuri apa yang terjadi malam itu di kafe, tapi yang terbayang adalah wajah merah padam cewek itu.
“Terus kita lihat map itu.” Lanjut Taki.
“Sebelumnya sorry gue bikin lo pingsan.Tangan gue gatal banget pengen nonjok lo yang nafsu banget mojokin tuh cewek.” Revi meniupkan kepalan tangannya seolah meniup ujung pistol yang telah meluncurkan peluru. “Tambah gatal ketika lo nggak balas tonjokkan gue.”
Devon menoleh, melihat pantulan dirinya di kaca yang begitu mengenaskan.Wajahnya dipenuhi lecet dan lebam biru tercetak jelas di pinggir bibirnya.
“Gue salut, lo baik-baik aja. Rupanya nggak cuman hati lo yang mati rasa, fisik lo juga. Lo—“.embur Revi yang semakin berhasrat melayangkan tonjokkan ke wajah datar cowok itu.
Taki berdeham keras. Menginterupsi Revi yang sudah siap mengeluarkan kata-kata makian.“Warisan itu--.”
“Gue nggak mau bahas itu. “ Potong Devon.
“Itu bukan sekedar warisan, itu juga amanah kakek lo.” Balas Taki
“Bukan sekarang gue menjalankan amanah itu.” Tandas Devon
Revi menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Dia sangat penasaran bagaimana Taki bisa bertahan menahan emosi menghadapi cowok keras kepala itu.“Kapan? Saat lo mati nanti dan lo bikin surat wasiat buat kita untuk ngejalanin karaoke itu?”
“Ada surat wasiat dari Kakek Hasan di map itu.”
Devon melirik Taki lalu buru-buru dibukanya kembali ransel itu. Dia memang belum sepenuhnya membuka isi map itu dan kini saat tangannya menyentuh lembar surat warisan lalu berganti melihat tulisan tangan sang kakek di surat wasiat itu, sekujur tubuhnya merinding.
Dalam surat wasiat itu, kakek meminta Devon untuk tetap meneruskan karaoke itu dalam keadaan apapun dan melarang untuk menjualnya. Ketika Devon berumur 20 tahun, dia harus terjun langung dalam usaha tempat karaoke itu bersama anak dari teman kakeknya yang berperan juga dalam pendirian Amore Karaoke.
“Itu permintaan terakhir kakek lo. Lo nggak bisa melepas gitu aja. Hilangnya Nanzo nggak bisa dijadikan alasan karena sampai kapanpun tempat itu nggak akan terlepas dari kematian Nanzo. “
Devon menjatuhkan dirinya. Kedua tangannya bergantung di kedua lututnya yang tertekuk lalu ditenggelamkan wajahnya di sana. Keheningan mengambil alih keadaan, memberi kesempatan bagi tiga penghuni kamar itu menyelami pikiran masing-masing.
“Tempat itu titik terlemah gue.”Suara bergetar itu menghapus keheningan yang tercipta hampir sepuluh menit lamanya.
Revi yang sudah menyandarkan punggungnya ke samping ranjang, melirik Devon.“Bukannya tiga tahun ini hidup lo dipenuhi titik terlemah. Gue nggak pernah lihat titik terkuat lo. Nyatanya titik terlemah itu adalah diri lo sendiri.”
Devon tersentak. Dia mengangkat wajahnya, menatap lekat Revi.“Gue nggak pernah sanggup berdiri di sana.”
“Lo akan merasa selalu nggak sanggup kalau nggak mencoba.”
“Berdiri di sana sama halnya gue melupakan Nanzo. Dan itu adalah hal yang paling menakutkan.”
Taki menepuk pelan pipi Devon. “Lo kehilangan dia, tapi hidup lo belum berakhir. Jadikan sumber ketakutan itu menjadi sumber kekuatan lo.”Kedua tangannya beralih menekan kuat-kuat pundak Devon. “Kakek lo seperti memberi tanda agar lo mulai bangkit dan berdamai dengan tempat itu. Dan gue yakin Nanzo sedang menunggu saat-saat itu.”
Devon menegang. Apa ini benar? Hal yang berhubungan dengan kematian Nanzo menyerbunya berbarengan dalam waktu yang sama. Warisan Amore Karaoke dan pertemuan dengan cewek itu.
“Bumi ini nggak bekerja atas kemauan lo. Seperti kata cewek itu, bumi nggak mau ditapaki terus oleh lo kalau lo terus mengelak apa yang terjadi di bumi ini. Karena akhirnya nanti--.”
“Lo bakal mati sia-sia.” Potong Revi.
***
Kaki Devon bergetar hebat menapaki jalanan yang dalam bayangannya selalu dipenuhi genangan darah. Hawa pagi ini cukup menyegarkan, tapi tidak dengan tubuhnya yang tibat-tiba memproduksi keringat yang mengaliri nyaris dari ujung kepala hingga kaki ketika hanya menatap bangunan kusam dua lantai itu. Setelah menelpon keluarga teman kakeknya yang beralamat di Yogyakarta, si pemilik rumah memberikan alamat salah satu anak teman kakeknya itu yang tinggal di Bandung. Dan sebelum dia menemui orang yang akan bekerja sama dengannya, Devon memutuskan membiarkan seluruh organ tubuhnya mengubah rasa takut itu menjadi kekuatan.
“Lihat gue, Nan. Gue bakal mencoba menghadapi realita ini dan bila akhrinya gue malah gagal, mungkin itu saatnya gue harus ikut dengan lo.” Ucapnya lalu melangkah menjauh dari jalanan itu menuju alamat yang tertulis di kertas yang terus digenggamnya di balik saku jaket.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1