Putra melangkah lebar menuruni tangga dengan amarah yang telah menyelimuti dirinya. Gulungan kertas di tangan kanannya semakin tak berbentuk ketika melihat anak tunggalnya tidur santai di sofa ruang tamu, seolah tak ada masalah dengan IPK semester enam yang bobrok.
Devon melirik malas saat Papa berdiri di sampingnya. Dari raut mengerikan itu tak perlu menjadi cenayang untuk menebak arti di balik wajah wibawa itu. Tangannya kembali terulur ke depan, memencet-mencet tombol remot, berlari dari channel ke channel. Tak ada yang seru di layar TV 65 inchi itu, tak ada yang menarik selama tiga tahun berlalu, tak ada yang berbeda. Masih sama penuh dengan kesedihan.
Berdebat dengan Papa menjadi salah satu pelampiasan atas kesedihannya selama ini.
Ini bakal seru!Batinnya.
Senyuman yang tersungging di ujung bibir anaknya semakin mengundang Putra memaki Devon.“Berhenti main-main atau Papa rusak semua gitar kamu!” Gertak Putra nyaris menggetarkan kaca rumah
“Silahkan aja kalau bisa!”Dan kalau tahu tempat gue sembunyiin semua gitar-gitar itu. Imbuhnya dalam batin.
Putra mengeluarkan ponsel dari saku kemajanya lalu menghubungi seseorang. Beberapa detik kemudian, Mang Marno datang tergopoh-gopoh membawa banyak kantong gitar lalu menyimpan di depan majikannya.
Kerja otaknya yang begitu tanggap melihat kantong-kantong gitar yang familiar itu memancing Devon melompat dari posisi tidur
Sial si Revi!
Tanpa memberi kesempatan bagi Devon melihat alat musik itu keluar dari kantongnya, Putra menendang, menginjak, meremukkan benda di baliknya hingga bunyi retakan tak dapat dihindari. Satu gitar tidak menimbulkan respon dari anaknya, dia melakukan hal yang sama dengan kantung gitar selanjutnya. Melihat Devon hanya bergeming di balik wajahnya yang menegang, Putra mengeluarkan isi kantung gitar yang lain lalu menghantamkannya pada meja kayu jati.
Amarah semakin bergemuruh di dada Devon tatkala melihat badan gitar telah terbelah dengan senarnya mencuat-cuat. Hanya menunggu beberapa detik lagi energi dari ujung kaki hingga ujung kepala menghentikan semua aksi kejam Putra. Tepat saat Putra meraih kantong gitar berwarna abu yang membangkitkan kenangan Devon bersama Nanzo, tangan cowok itu terulur, mencekam keras lengan Putra hingga kukunya tertancap kuat ke kulit keriput itu.
Putra menoleh. Sorot mata penuh amarah dan kebencian itu menyambut Devon, namun seberapa marah pun Devon kepadanya, Putra membalasnya dengan tatapan lembut dan hangat. Devon tertegun menyadari amarah itu hanya sedikit sekali terselip dalam diri Papa. Dan yang terpampang di depannya adalah tatapan yang memancarkan kasih sayang.
Devon menggeleng seraya meregangkan cengkramannya.“Jangan yang itu Pa, itu dari Nanzo.” Ucapnya lirih berbanding terbalik dengan sorot kemarahan beberapa detik yang lalu.
Keheningan mengambil alih rumah tingkat 3 itu untuk sesaat, hingga akhirnya tiba-tiba ketegangan kembali meluruhkan keheningan….
BRUKKK!!!
Putra menghancurkan gitar itu dalam sekali hentakan ke meja jati lalu menendangnya ke pojok ruangan nyaris menghantam guci besar. Dalam sepersekian detik cengkraman di kulitnya semakin sakit namun itu tidak sebanding dengan rasa sakit melihat masa depan anaknya yang nyaris hancur. Ini bukan tentang IPK yang hancur tapi tentang Devon yang menghancurkan dirinya sendiri.
“Papa!” Sentak Devon.
Menangisi seseorang yang telah pergi, mengenang terlalu dalam orang yang telah berbeda dunia, mematikan diri sendiri hingga tidak menyadari banyak orang yang menggantungkan hidup kepadanya adalah rentetan tindakan paling sukses untuk menghancurkan diri. Putra melangkah mendekat, menepuk pelan rahang Devon yang mengeras. Kokohnya rahang itu menyadarkannya bahwa anaknya telah tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah namun penuh luka di dalam.
Sentuhan lembut di pipi itu tidak menarik Devon untuk melihat kasih sayang yang dialirkan Putra. Telapak tangannya yang telah bebas mencengkram lengan Putra, mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Benda di balik kantung abu itu teronggok tak berdaya, walaupun dia yakin tidak ada bunyi retakan di badan alat musik itu namun gesekan kecil pasti akan terpampang jelas. Usahanya menjaga benda itu tiga tahun ini, membersihkannya nyaris setiap minggu, menempatkannya di bagian tempat paling aman, hanya sia-sia.
“Karena Nanzo kamu seperti ini. Sudahi, Nak. Papa tidak mau kamu terus-menerus menerima amarah Papa.”
Devon yang mengeras tidak sedikipun tersihir oleh rangkaian kata bernada lembut itu.“Kenapa Papa memaksa aku memasuki dunia yang tidak aku sukai sama sekali?”Tanya Devon datar.
“Kamu yang menawarkan pada Papa.”
Devon memundurkan badannya hingga sentuhan Putra terlepas. “Itu dulu sebelum..” Devon menggantungkan ucapannya, mulutnya semati hidupnya setiap mencetuskan nama itu.
“Sebelum Nanzo meninggal? Hidup di dunia karena Nanzo?” Putra menciptakan jeda sejenak, mengatur napasnya yang member. “Jika Nanzo mati kamu ikut mati juga?” Nada Papa semakin meninggi seiring dengan rasa perih dalam hati Devon setiap menyadari sepupunya telah berpisah dunia dengannya.
“Pa, aku ingin hidup sesuai dengan jalanku sendiri.”
“Tapi jalan yang kamu pilih salah. Tidak selalu yang kamu pilih itu benar.”
“Pa...aku punya kehidupan sendiri. Tidak harus selalu bergantung pada keluarga ini!”
Raut lembut seorang Ayah itu pudar, ditutupi oleh aura wibawa seorang Putranto. Putra menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertengger di saku celana.“Oke, kamu urus hidup kamu sendiri. Jangan pernah meminta apapun kepada keluarga ini!” Tutup Putra sebelum hengkang meninggalkan Devon.
***
“Mora!”
Suara cempreng itu tidak asing di telinga Mora sehingga memaksanya semakin melangkah lebar menjauhi sumber suara. Tepat hendak melangkah memasuki lift, si sumber suara sudah berdiri di sampingnya sambil menahan tombol yang berkedip merah di samping lift.
Mora termangu. Tidak ada pilihan selain melangkah ke ruangan kubus itu bersama Cecil yang nyaris seminggu ini menunggu dan mengejarnya setiap selesai kuliah dan dia mati-matian menghindari cewek berambut lurus seperti spaghetti itu.
“Kita harus bicara.” Bisik Cecil setelah lift bergerak ke bawah. Mora hanya bergeming menatap angka berwarna merah di layar kecil, berharap lift dapat begerak cepat menuju lantai 1. Dipeluknya erat buku tebal di dadanya, mengusir getaran hebat yang kecepatannya semakin meninggi dalam hitungan detik. Otaknya terus berputar mencari cara untuk pergi secepat mungkin dari jangkaun Cecil. Saat layar kecil menunjukkan angka 2, Mora memajukan tubuhnya semakin mendekati pintu lift.
TING!
Pintu lift terbuka, memberi jalan bagi Mora yang siap melangkah keluar. Namun, baru setengah langkah, gerombolan orang yang berdiri tepat di depan lift menariknya menuju lorong kamar mandi. Lalu menguncinya sendiri di kamar mandi.
“Apaan nih?Buka woy!”Bentak Mora sambil mengedor-ngedor pintu.
“Thanks ya. Nanti gue susul kalian.” Suara khas itu menghentikan aksi berontak Mora.
“Kita tunggu traktirannya ya.”Sahut salah seorang komplotan asing itu.
Mendengar langkah kaki serempak yang semakin menjauh, Mora ikut memundurkan langkahnya hingga menabrak bilik pintu WC. Dia hendak berbalik dan membuka bilik itu namun Cecil sudah berdiri di ambang pintu dan langsung menggapai tangannya.
“Mora, tolong berhenti.” Cecil menatap Mora yang semakin menenggelamkan wajahnya. Rambut keriting yang entah kapan terakhir kali dipotong itu diikat asal-asalan. Meskipun Mora sangat cuek dalam urusan penampilan, dia tidak akan membiarkan rambut keriting kesayangannya memanjang dan jauh dari kata rapih seperti sekarang. Bola mata Cecil bergerak ke atas lalu ke bawah. Sosok di depannya nyaris persis seperti cowok-cowok teknik di pinggir taman yang tadi menggodanya. Di balik kemeja hijau kotak-kotak yang seluruh kancingnya sengaja tidak dikaitkan itu, sebuah kaos hitam polos membungkus tubuh kurus Mora.
“Mor…” Cecil tidak mampu meneruskan kalimatnya mendapati tubuh di depannya nyaris kehilangan lemak. Cecil selalu ingat keluhan yang kerap dilontarkan Mora. “Cil..paha gue makin besar.”
Kalimat curhatan itu yang langsung terlintas di benaknya ketika melihat paha yang dibaluti jeans biru tua itu semakin menonjolkan tulang.
“Ada apa lagi, Cil?” Tanya Mora berusaha memuka mulutnya yang bergetar. Sorot mata yang penuh kelemahan itu dipaksakan penuh penegasan.
Cecil sangat gatal merengkuh sosok tak berdaya di depannya. Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya menyoroti detail wajah yang kini didominasi oleh tulang pipi yang semakin menonjolkan bentuknya.
“Gue sibuk Cil.”
Cecil menggeleng. Punggung tangannya menekan mata yang mulai diselimuti selaput bening. “Gue kangen lo.”Ucapnya serak.
Hentakan besar menyerang dadanya. Tekanan kuku pada buku tebal di tangan kanannya nyaris merobek cover buku itu. Perutnya terasa dihantam palu yang beratnya ribuan ton.Tiga kata itu mengalirkan kehangatan yang menjalarinya tubuhnya yang tiga tahun terakhir ini sudah mendingin, sedingin mayat hidup. “Ada apa?” Tanya Mora lagi di balik usahanya menahan bendung air mata yang berusaha menyerobos pinggir matanya.
Cecil meniupkan napas. Nada pertanyaan yang super datar sedatar wajah empunya itu menampar Cecil, menimbulkan luka yang semakin mengangga. Tapi luka yang dideritanya jauh dari kata sakit dari luka yang diidap sahabatnya itu. “Gue pengen kita kumpul bareng lagi.”
Mora menggeleng tegas. “Nggak Cil. Nggak ada lagi lo, nggak ada lagi Ola, nggak ada lagi Ambar.”
“Mor, kita harus perbaiki ini. Kita bertahun-tahun udah sahabatan.”
Mora tersenyum kecut.“Bertahun-tahun?Hanya empat tahun Cil, setelahnya kalian musuhin gue.”
“Empat tahun mungkin terasa singkat buat lo.Tapi asal lo tahu rasa persahabatannya nggak sesingkat itu.”
Kedua kalinya hentakan itu menyerangnya, namun dengan kekuatan yang lebih besar. Yang diserang bukan hanya dadanya, sekujur tubuhnya pula merasakan kekuatan hentakan itu. Apa benar? Pikirnya. Mora menggeleng tegas, mengusir segala kemungkinan yang membangkitkan kenangan masa lalu. “Itu buat lo aja, Cil. Nggak buat gue. Dan pasti nggak buat Ambar terutama Ola.”
“Gue yakin lo nggak pernah yakin dengan apa yang lo katakan barusan.” Cecil menelan ludah, mendengar kalimat itu keluar dari sahabat yang paling dirindukannya itu sangat menyesakkan dada. “Ola sama Ambar mau ketemu sama lo.”
Gemuruh menepuk-nepuk dada Mora, memberikan sinyal pada sel-sel otaknya untuk menangis saat ini juga. “Gue nggak mau.”Tandasnya setelah berhasil menepis keinginan terkuatnya itu.
Cecil terlihat menenangkan dirinya sendiri. Berkali-kali dia menghela napas sebelum mulai berbicara. “Oke, gue ngerti lo belum siap. Tapi kalau lo berubah pikiran datang ke kafé ini.” Tangan Cecil merogoh sesuatu di dalam tas jinjingnya. Sebuah kertas berisi alamat sebuah café disodorkan ke hadapan Mora. Mengusir kemungkinan kertas kecil itu akan ditolak mentah-mentah, diselipkannya kertas itu di saku kemeja Mora. Tanpa memberikan kesempatan bagi Mora membuka mulutnya, Cecil melangkah mundur sambil melambaikan tangannya.
Getaran ponsel di saku jeans mengalihkan pandangannya dari Cecil yang semakin mengecil di ujung sana. Panggilan dari Mami tercetak jelas di layar sentuh benda kotak itu. “Halo, Mi..Mora bentar lagi pu—“
Isak tangis Mami di ujung telepon membekukkan sekujur tubuh Mora. Ucapan Mami yang terbata-bata semakin jelas. Dalam hitungan detik, bumi yang ditapakinya akan ambruk, menguburnya dalam, menutup semua jalur pernapasan.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1