“Gue cuman salah satu penggiat instagram.”
Mora bergidik saat teringat direct message-nya di Instagram dipenuhi foto-foto dirinya yang dibarengi dengan tulisan-tulisan kasar dan kotor. Dalam waktu dua hari follower-nya menambah berkali-kali lipat yang tentu bukan sesuatu yang patut disyukuri karena tujuan mereka hanya untuk menghujatnya. Saat itu Instagram menjadi area yang sangat mengerikan bagi Mora, yang membuat mental dan fisiknya rapuh. Para fans Nanzo yang kehabisan lahan untuk menghujatnya karena Mora langsung menghapus akun instagramnya sendiri, langsung beralih menerornya secara langsung. Di rumah, sekolah, dan di tempat yang menunjukkan keberadaan Mora. Mereka semua menggila yang menyebabkan Mora nyaris setiap hari berkonsultasi dengan dokter psikolognya.
Denyutan nyeri menyerang kepalanya sejalan dengan napas yang memburu cepat. Mora menghela napas tenang. Cara terbaiknya yaitu sedikit mengangkat dagu sambil menatap balas sorot tajam itu. “Masa kelam nggak akan mampu menghambat masa depan gue. Di tempat ini sendiri gue bisa memperbaiki semuanya.”
“Oh ya?” Bimo mendengus geli. Dia melewati Mora, langkahnya tepat berhenti di depan Devon. “Lo udah memaafkan dia memangnya? Dengan tampang seolah tak berdosa, dia masuk ke sini.”
“Lo siapa sih? Yang mengidolakan Nanzo? Gue nggak mau ribut dengan anak SMA, jadi silahkan pergi, nanti kita refund uangnya ko.”
“Siapa Nanzo? Kenal juga nggak.” Mendadak, mata Bimo terbelalak lebar, menyadari sesuatu. “Oh iya, Nanzo itu yang mati di depan sini kan?”
Devon sekuat tenaga menahan letupan-letupan amarah yang sudah menguasai seluruh tubuhnya. Yang mampu dia lakukan hanya melipat jemarinya serapat mungkin hingga buku-bukunya memutih. Taki merentangkan tangannya sambil memundurkan Devon lalu beralih menatap Bimo.
“Yang kalian perbuat adalah fitnah untuk tempat usaha kami—”
“HAH?!” Cecil yang sedari tadi sibuk memelototi akun Instagram Amore Karaoke memekik keras. Rentetan kalimat cacian menghiasi kolom komentar di setiap foto yang diunggah. Notifikasi terus bermunculan dari sebuah foto ataupun instastory yang menandai akun Instagram Amore Karaoke dengan kalimat ejekan terhadap Amore Karaoke dan mengatakan keprihatinannya karena banyak oknum-oknum yang merusak generasi bangsa. Dalam waktu singkat, Amore Karaoke dibanjiri kalimat kebencian.
Revi memberontak, dihantamnya rahang Bimo dengan kepalam tangannya yang sudah gatal dari tadi. Diangkatnya Bimo yang terjerembab menabrak layar TV lalu hantaman kedua menabrak dengan kekuatan yang kian meningkat.
“Heh bocah! Harusnya pulang sekolah itu istirahat di rumah, kerjain PR, belajar, bantuin orang tua. Bukannya nyebarin hoaks! Lo itu ngehancurin mimpi orang!”
“Apa bedanya dengan lo!” Bimo balas menyentak sambil mendorong bahu Revi hingga menabrak Taki yang ada di belakang.
“Kakak gue nyaris mati gara-gara lo!” Bimo yang masih tertatih-tatih menghampiri Revi penuh nafsu. “Dia emang bodoh. Seperti yang lo bilang ke dia kalau dia nggak punya otak. Tapi dia punya hati! Dia punya perasaan!” Balasan telak menghamtam hidung Revi yang dalam sekali layangan mampu mengucurkan darah segar. Revi mencoba bangkit dan menyerang, namun layangan bertubi-tubi terus menghambatnya. Butuh lebih dua orang harus menarik Bimo dari medan perang. Devon yang gemas melihat empat murid itu menyentaknya untuk membantu mengamankan Bimo. Awalnya mereka takut tapi setelah Ola yang membumbui dengan sentakan yang lebih melengking tinggi, mereka mau mendekati Bimo dan menariknya menjauh dari Revi yang terkapar dengan wajah penuh darah.
“Kak Kely nyaris membunuh dirinya sendiri! Itu gara-gara lo, Rev! Gara-gara lo!”
Revi yang baru setengah berdiri, sontak terduduk kembali. Satu nama yang dianggap angin lalu olehnya menjadi awal mula kerusuhan ini. “Siapa lo?” Tanya Revi dengan bibir bergetar. Sebuah dugaan muncul di benaknya dan harapannya hal yang terpikirkan itu salah bear.
“Gue adiknya Kak Kely.”
Dugaannya benar. Revi bangkit dengan susah payah, menghampiri Bimo yang ditangani empat temannya. Ditepuknya pundak Bimo. Sejenak dia menghela napas lalu di saat bibirnya reda dari perih, senyuman tersungging di ujung bibir. “Gue nggak akan berkata seperti itu kalau dia nggak mulai. Lagian dari awal gue udah bilang risikonya ketika dia memutuskan minta pacaran dengan gue. Dan iitu rasa sakit yang dia rasakan.”
Penuturannya bagai virus yang membuat Bimo kian menggila. Dihempaskannya tangan-tangan yang menahannya lalu tinju kembali melayang tepat saat Revi berhasil menangkasnya. “Tapi lo jangan seenaknya memperlakukan kakak gue seperti itu!”
“Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Gue yakin, lo tahu sendiri gimana sikap kakak lo itu! Jangan buang-buang energi buat membela seseorang yang salah.”
Bimo terkikik. Matanya menatap Revi geli. Dia meniupkan napas kencang seakan dia memenangkan pertandingan sore ini. “Ingat! Di antara kita siapa yang lebih kenal Kely. Gue! Gue berani bertindak seperti ini karena dia benar. Perkataan lo tadi membuat gue semakin giat menghancurkan tempat ini.”
Bimo melenggang keluar sebelum memberikan tabrakan cukup keras di pundak Revi oleh pundaknya yang menegang dan kekar. Lalu empat temannya kompak mengekori.
Cecil melemparkan ponsel ke sofa. Tangannya lelah menerima getaran demi getaran dari notifikasi beruntun itu. “Rev, apa lo bisa minta maaf ke cewek lo itu? Tempat ini bakal dicabut izin operasinya.”
“Kenapa harus gue? Dia yang mulai, dia..” Tatapan Revi berserobok dengan Ambar. Mulanya Revi hendak menelan kata-kata yang telah siap di ujung lidah. Kekuatan untuk melontarkan kalimat itu akhirnya muncul saat hatinya berdesir hangat dan nyaman hanya karena Ambar menatapnya. “Dia menyakiti orang yang gue sayangi.”
Tak perlu penjelasan. Semua pasang mata menatap tertuju pada Ambar, menanti reaksi yang akan ditunjukkan oleh raut datar seorang Ambar. Ambar masih bergeming hingga Revi bingung apakah pernyataan samar itu hinggap ke otak encer Ambar atau memang Ambar kesulitan dalam mengartikan hal-hal berbau cinta.
Perubahan raut datar itu akhirnya terjadi, tapi bukan sesuatu luar biasa yang menggetarkan hati Revi. Mata Ambar terbelalak, mulutnya melebar. Bergantian, dia menatap resah Mora dan Devon. Ola yang berdiri di samping Ambar mencengkram kuat pergelangan tangan Ambar, memintanya untuk menopang tubuhnya saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
“Salsa?” Cecil tersentak kaget, refleks mencetuskan nama yang hingga kini masih memerangi Mora.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1