Mereka masih menunggu dengan sabar. Setiap terdengar derap langkah kaki, mereka kompak membalikkan badan menghadap pintu kaca itu. Namun, yang datang hanyalah embusan angin yang muncul melalui sela-sela kaca. Mora cs dan Devon cs duduk berpencar di ruang tunggu. Revi yang menyandar ke meja pendaftaran menarik punggungnya lalu menuju pintu kaca. Dia melongokkan kepala ke luar. Lalu Lalang orang di luar sana tak ada yang melirik Amore Karaoke sedikit pun. Malah beberapa orang memilih berbelok ke tempat karaoke di ujung sana.
Revi menggeram kesal lalu kembali berbalik. “Malah pergi ke tempat karaoke sebelah.”
Setelah tiga hari melakukan renovasi dan Cecil giat promosi di semua media sosial, di hari ketiga Amore Karaoke buka belum ada pelanggan yang tertarik.
“Lo kan kuliah jurusan bisnis, Von. Pasti tahu kan strateginya gimana.” Ucap Revi
Devon mengangkat bahu. “Gue masuk kuliah kalau lagi ingat jadwal doang.” Jawabnya santai.
“Kalau kita kasih tambahan diskon dalam seminggu ini untuk makanan, gimana?” Usul Ola.
“Mereka ke sini mau nyanyi bukan makan.” Balas Devon.
Taki berdiri dari kursi besi lalu ikut duduk di samping Ola yang pandangannya fokus ke layar laptop, di sofa biru. “Dari rekapan keuangan sih, nggak masalah kita mencoba kasih diskon buat makanan dan minuman.”
“Itu nggak akan berpengaruh besar sih.” Cecil menanggapi. “Tapi kita coba dulu aja, karena kalau lagi nyanyi suka haus atau lapar.”
“Satu lagi.” Serempak, semuanya menatap Mora kecuali Devon yang agak belakangan menatap malas cewek itu. “Seminggu ini atau mungkin dua minggu kita sama ratakan harga dari small room, medium room dan large room.”
“Bangkrut! Lo nggak bisa—”
Ambar berdiri sambil menaikkan batang kacamatanya. “Kita kasih selisih lima ribu untuk setiap room. Nggak terlalu kemurahan dan kemahalan.” Tangan kanan Ambar terangkat membuat mereka langsung terdiam. “Nggak perlu ribut. Gue bosan—”
Semburat jingga memanjang menyinari ruang tunggu. Pintu kaca terbuka pelan yang semakin memunculkan lima cowok berseragam putih abu-abu. Mereka mengernyit heran karena penghuni di dalam karaoke ini hanya bergeming dan beberapa menganga lebar seolah syok berat melihat hantu.
“Hmm..permisi.” Ucap si cowok berkacamata.
Devon yang pertama kali tersadar langsung bertepuk tangan pelan, menyadarkan teman-temannya. “Pelanggan..pelanggan.”
“Oh ya, selamat datang. Silahkan..silahkan.” Cecil langsung mendekat, membuka pintu kaca lebih lebar. Sedangkan yang lain bersiap di tugasnya masing-masing. Ola dan Devon menyiapkan diri di meja pendaftaran. Revi dan Taki bertugas mengecek setiap room, sedangkan Ambar yang dibantu Mora bergegas menuju dapur, menunggu pesanan yang akan dikirimkan Ola melalui ponsel pintar mereka.
“Kayak pernah dengar tentang karaoke ini.” Si cowok berambut shaggy acak-acakan yang seragamnya tak jauh berbeda dengan keadaan rambutnya, menatap Ola lekat sambil memajukan punggungnya.
Ola yang sedikit tak nyaman mencoba tersenyum lebar. “Kami buka kembali.”
“Emang dulu sempat tutup? Kenapa?” Bola mata cowok itu yang hitam pekat menatap Ola tajam. Rautnya sangat jauh berbeda dengan empat temannya yang berpakaian rapih dan tampak seperti murid-murid lucu dan menggemaskan. Terutama si cowok kacamata tadi yang kian menenggelamkan kepala, seakan malu dengan tingkah temannya.
Ola kian melebarkan senyum, bibirnya siap melontarkan jawaban, namun di detik kemudian jawaban itu ditelannya bulat-bulat saat mengingat kejadian naas itu yang mengawali tutupnya Amore Karaoke. Devon yang tahu jelas kondisi Ola langsung menarik cewek itu lalu menggantikannya menatap si cowok acak-acakan yang dari badge namanya bernama Bimo. Bukan berarti Devon kuat untuk menjawab pertanyaan itu. Dia sama rapuhnya dengan Ola, bahkan lebih. Dia sama kakunya untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, melihat kedua bahu Ola yang berguncang dan sikap pelanggannya yang jelalatan membuat Devon tak nyaman.
“Room satu dan dua untuk 5 orang. Room 3 dan 4 maksimal untuk 10 orang. Silahkan sekalian pilih makanan dan minumannya, kita tambahkan diskon.” Cecil menyerobot. Dipamerkan senyuman termanisnya sambil menyodorkan selebaran yang berisi list harga setiap room, makanan dan minuman.
“Gue mau nanya dulu, kenapa dulu tempat ini tutup?”
“Karena ada pengalihan kepemilikan.”
Bimo mendegus lalu terkikik geli. “Kalian salah waktu dan tempat. Di ujung sana, berdiri tempat karaoke yang bangunannya aja tiga atau empat kali lebih besar.”
Senyuman Cecil tak memudar. Dia bertahan untuk bersikap ramah. “Walaupun begitu sasaran pelanggan kita yaitu para pelajar. Karena di Amore Karaoke, dalam hal suasana, makanan, minuman, pelayanan, terutama harga disesuaikan dengan selera para pelajar.”
“Justru sasaran kalian malah bikin resah para orang tua pelajar. Gimana kalau tempat ini dijadikan kesempatan buat melakukan sesuatu?”
Cecil terenyak. Ucapan itu sungguh mencoreng nama Amore Karaoke. Senyum yang sebelumnya kian melebar kini mengedur. Cecil balas menatap tatapan menantang dari remaja menyebalkan itu. “Kami jamin hal itu tidak akan terjadi. Ada beberapa peraturan di sini, seperti dilarang berduaan dengan lawan jenis, selalu mengumpulkan kartu pelajar, tidak melayani di jam sekolah, dan peraturan lainya yang bisa anda baca di setiap postingan kami di media sosial.”
“Ini tempat hiburan apa penjara sih. Aturan ya aturan. Tapi kalian nggak tahu apa yang dilakukan para pelajar nanti di balik ruangan itu.”
“Kami—”
“Ya kalau pelajarnya jenis berandalan kayak lo, bisa aja lo melakukan sesuatu di sana. Gue sebagai pemilik tempat ini kayaknya harus bikin satu peraturan lagi.” Devon menyela. “Siswa berandalan dilarang masuk. Karena di sini tempatnya pelajar-pelajar normal yang ingin refreshing lewat musik setelah seharian sekolah.” Telunjuk Devon bergera-gerak nyaris menyentuh hidung besar Bimo. “Kalau lo merasa tempat ini pengap dan kecil, silahkan sekarang pergi ke tempat karaoke di ujung sana. Orang datang ke tempat karaoke itu buat menghilangkan penat, bukan buat cari masalah. Lagian jangan selalu memandang negatif tempat karaoke. Jangan sama ratakan sesuatu yang nggak lo ketahui kebenarannya.”
Bimo mengetuk-ngetukan jarinya ke meja pendaftaran. Adu tatapan kerap terjadi beberapa detik membuat Devon mulai menyingkirkan aturan bersikap sopan terhadap pelanggan. Dia balas menatap lebih dalam dan tajam, mencoba membaca raut Bimo yang seakan dipenuhi kebencian. Devon mencoba mengingat cowok berumur 17 tahun itu, tapi sel otaknya tak menangkap ingatan tentang Bimo. Devon yakin ini adalah kali pertama bertemu Bimo.
“Gue pegang omongan lo! Jangan sampai menjilati ludah sendiri ya.” Bimo menegakkan tubuhnya, memutuskan adu saling sorot itu. Dia menggerakan tangannya, meminta si cowok berkacamata untuk menggantikan posisinya, sedangkan dia memilih duduk di salah satu kursi. Tanpa mengelak, si cowok berkacamata mengangguk patuh.
“Room 1 aja.” Ucapnya.
Devon tak lantas melayani. Dia menatap lekat murid itu lalu menggerakan dagunya, bermaksud menunjuk Bimo . “Itu beneran teman lo?”
“Eh?” Tanya si cowok berkacamata kaget.
“Kalau dia teman, dia nggak akan seenaknya nyuruh lo seperti itu. Jangan mau jadi budak yang disamarkan dalam sebutan teman.” Ujung bibir Devon tertarik ke atas tatkala melihat raut cowok berkacamata itu pucat pasi. Sisa ketiga murid yang Devon yakini satu komplotan dengan si cowok berkacamata langsung menyodorkan uang lima puluh ribuan beserta kartu pelajar yang telah dikumpulkan sebelumnya. Dia cepat menarik si cowok berkacamata untuk menghampiri Bimo dan memberinya jalan duluan.
Devon mengernyit melihat pemandangan raja dan budak-budaknya itu. Dia mendengus miris, masih ada praktik kekuasaan seperti itu di antara para pelajar.
“Siapa tuh bocah? Ngeliat gue kayak nafsu banget mau ngebunuh gue deh.” Revi muncul dari lorong, kepalanya terus melongok ke belakang hingga lima pelanggan itu menghilang ke room 1.
“Hajar dia, Rev! Dia ngejelek-jelekin Amore Karaoke.”
“Kenapa mesti gue?”
“Karena tonjokan lo bikin gue pingsan berkali-kali.”
“Aaaahh…Itu sih lo yang loyo.”
Cecil terkikik pelan yang langsung mendapatkan delikan dari Devon. Tak takut, Cecil malah terbahak dan mengacungkan jempol, setuju dengan perkataan Revi.
“Kira-kira bakal aman nggak ya?” Pertanyaan Ola menarik perhatian mereka bertiga, tawa Cecil pun langsung reda. Wajah yang sebelumnya memucat, kini tampak segar. “Emang mereka berempat bakal have fun nyanyi? Bocah itu sama empat temannya kayak nggak akrab.”
Revi mengangkat bahu. “Setiap orang punya cara berteman berbeda-beda. Mungkin kayak gitu cara mereka berteman.”
“Kalau gue lihat, mereka berempat kayak kacungnya tuh bocah.” Bantah Cecil. “Lihat pas mereka masuk nggak? Cowok berempat itu memberi jalan dulu buat bocah itu.”
“Kenapa pelanggan pertama kita sejenis bocah kayak gitu ya. Kalau empat—”
“Apa yang kalian lakukan?!” Sentakan Mora yang melengking tinggi memotong keluhan Cecil. Mereka saling berpandangan, memunculkan sinyal berbahaya yang berasal dari lima murid mencurigakan itu. Mereka berempat beringsut berdiri dan bergegas menuju sumber suara.
Taki yang baru muncul dari room 2 langsung ikut menghampiri dan berbarengan dengan mereka sampai di ambang pintu.
Ambar menyimpan sembarang nampan berisi empat gelas jus buah ke meja, menghampiri cowok berkacamata yang merekam setiap sudut kamera. Live instagram yang sudah berlangsung lima menit itu telah ditonton oleh puluhan orang dengan berbagai komentar yang terus bermunculan.
Foto-foto wanita berbikini seksi terpajang di setiap sudut ruangan. Coretan-coretan berbahasa kasar mengotori dinding wallpaper yang baru terpasang beberapa hari ini. Di meja berserakan botol-botol minuman beralkohol dengan berbagai merk terkenal.
Revi mendorong Devon yang menghalanginya lalu menerjang Bimo yang duduk santai di sofa sambil memainkan ponsel.
“Wow..Kalau mau terkenal caranya seperti ini.” Bimo menunjukkan layar ponsel yang menampilkan official akun Instagram Amore Karaoke yang bertambah sepuluh kali lipat pengikutnya.
Revi berdesis. Kepalan tangannya sudah terangkat, hendak menerjang bibir yang tersenyum menang saat cekalan Mora menghambat layangan tinju itu.
“Jangan, bakal tambah runyam masalahnya.” Ditariknya Revi menjauhi Bimo lalu ditatapnya lima murid itu bergantian. “Jadi, masalah kalian apa?”
Bimo beridiri. Kedua tangannya terselip di celana seragam abu. Tubuhnya yang lebih tinggi dan tatapannya yang tajam mampu membuat Mora terasa terintimidasi. Bimo mengerutkan kening. Matanya menelusuri setiap detail wajah Mora, berusaha menarik ingatannya tentang orang tak asing ini.
“Lo itu…?” Bimo membungkukkan badannya. “Lo yang beberap tahun lalu ramai di instagram karena ngebunuh orang kan? Gila…bakal makin ramai nih tempat karaoke.”
Mora tersentak. Kakinya berusaha menjauh dari tubuh jangkung itu, tapi energinya terkuras habis oleh ketakutan yang disebabkan oleh tatapan menusuk itu. “Siapa lo?” Tanyanya bergetar.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1