Seoul, Korea Selatan.
Dua orang yang duduk berhadapan itu adalah orang-orang dengan jabatan yang tinggi, serta kekuasaan penuh dalam bidang ekonomi maupun keamanan negara. Raut wajah yang tegang menjelaskan tentang pembicaraan mereka kali ini.
“Kim Hyun-Shik, pengawal yang menyelamatkan Kim Eun-Hye dan Chae-Yeong.” Lelaki bertubuh besar dengan pakaian formal melemparkan beberapa lembar kertas dan foto ke atas meja.
Im Jae-Ra mengambil dan mulai membacanya, lalu tertawa ketika membaca suatu fakta yang mengejutkan tentang Hyun-Shik. Ia melempar kembali kertas itu ke atas meja, lalu terbahak. “Tak kusangka dia masih hidup, padahal kukira dia sudah mati menyusul orangtuanya.”
“Aku juga sempat tidak menyadarinya. Dia dan Seo-Jung benar-benar pandai menyembunyikan semuanya dariku. Bahkan aku membutuhkan dua tahun untuk mendapat informasi seperti ini. Dia adalah musuh yang paling berbahaya saat ini.”
“Kau benar. Aku bisa melenyapkan perempuan itu kapan saja, tapi yang menjadi masalah adalah lelaki itu. Kehebatan Seo-Jung dalam bertarung pasti menurun padanya.”
“Lalu bagaimana dengan Lee Kyung-Ju? Kau tahu sendiri jika dia tahu kalau kau bekerja sama denganku, maka ia tak segan membunuhmu. Dia itu benar-benar benci padaku.”
“Dia begitu karena tahu bahwa kau yang membunuh keluarganya.” Im Jae-Ra menyeringai, lalu meneguk wine miliknya. “Menyingkirkan Lee Kyung-Ju lebih mudah dibanding menyingkirkan Kim Hyun-Shik.”
***
Rumah itu tampak sepi sejak jam dinding menunjuk angka tujuh. Beberapa pelayan sudah terlelap di ruangan masing-masing. Beberapa lampu ruangan sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di ruangan tamu lantai dua–tempat dua lelaki itu berkutat dengan kesibukkan masing-masing dan tempat kerja Soon-Hee.
Jung-Im dengan pandangannya pada layar laptop yang kini menampilkan beberapa profil para petinggi negara, sedangkan Hyun-Shik sibuk dengan analisis gilanya. Meski telah mendapatkan Eun-Hye sebagai kartu As, mereka sedikit bingung dengan pendapat Ketua Kang yang mengatakan si penulis catatan adalah bagian dari intelijen.
Bagaimana bisa orang yang mengalami kebutaan menjadi bagian intelijen? Hanya ada satu jawaban yang mendukung pemikiran itu.
Pemalsuan identitas. Hal yang dilakukan Hyun-Shik–lelaki dengan latar belakang misterius. Mungkin bisa dibilang lelaki itu hidup dengan kepalsuan tentang surat-surat resmi. Bahkan database tentangnya juga terkunci rapat dan hanya dapat diakses olehnya. Hal itu disebut dengan Black Code.
“Jadi kau memberikan cincin pelacak itu padanya?” Jung-Im bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Hyun-Shik mengangguk. “Aku tidak bisa selalu di dekat Eun-Hye, sedangkan mereka bisa menyerangnya kapan saja. Aku harus memakaikan Eun-Hye pelacak agar bisa memantau pergerakannya,”
Jung-Im meliriknya sekilas, lalu kembali bicara. “Bagaimana jika pembunuh itu tahu kau meletakkan alat pelacak di cincin dan melepaskan cincin itu darinya?”
“Jangan khawatir. Aku akan menyerahkan seluruh uangku jika ada orang yang bisa melepaskan cincin itu dari jarinya selain aku dan Seo-Jung.”
“Ahh, baiklah. Sekarang kenapa kau tidak menemaninya dan malah mengangguku di sini.”
“Dia pergi dengan kolega bisnisnya yang baru dan sebenarnya itu membuatku curiga.”
“Kenapa?”
“Ahn Woo-Hyun. Dia yang bekerja sama dengan Chae-Yeong juga bekerja sama dengan Eun-Hye. Ditambah dia menjemput Eun-Hye pagi tadi dan sekarang mereka belum kembali,” jawab Hyun-Shik dengan nada kesal.
“Kau cemburu?”
“Ya, tapi bukan hanya itu alasannya. Aku curiga kalau Ahn Woo-Hyun adalah bawahan Im Jae-Ra dan berusaha mendekati Eun-Hye.”
“Kalau khawatir, kenapa kau tidak menemaninya tadi?”
“Karena Eun-Hye bilang ia percaya pada lelaki itu.”
Sesaat kemudian Jung-Im tertawa keras mendengar jawaban Hyun-Shik yang tampak putus asa. Pemandangan pertama seorang Hyun-Shik yang tangguh dan jenius dalam memecahkan kasus malah putus asa karena seorang perempuan. Jung-Im menghentikan kegiatan mencari informasi dan menghampiri sahabatnya itu.
“Katakan sebelum terlambat, kawan,” ujarnya.
“Aku selalu ingin mengatakan hal itu padanya, tapi aku takut dia akan kecewa padaku. Terlebih aku merahasiakan sesuatu yang berharga baginya.”
“Tapi dia akan mengerti jika kau menjelaskan hal itu padanya. Tentang kebenaran.”
Hyun-Shik tidak menjawab lagi dan di saat yang bersamaan, ia menerima pesan singkat dari nomor yang tidak diketahui. Ia membuka pesan itu dan membacanya.
Gyeonggi-do, Yangju-si, Baekseok-eup, Osan-ri, 582. Aku tunggu kau di sana sampai matahari tenggelam, jika kau tidak datang aku akan membunuh Kim Eun-Hye.
Ahn Woo-Hyun
“Apa-apaan ini?” Jung-Im yang duduk di samping Hyun-Shik langsung ternganga ketika membaca pesan singkat dari lelaki yang baru saja mereka bicarakan.
Hyun-Shik tak menjawab. Ia segera bangkit dan memakai coat hitam. “Kau tetaplah di sini dan berjaga,” ujarnya pada Jung-Im kemudian langsung melesat keluar dari kamar menuju tempat mobilnya terparkir. Ia mengabaikan para pelayan yang menyapa dan langsung mengendarai mobilnya ke tempat yang tertulis di pesan.
Hyun-Shik memukul stirnya berkali-kali ketika dugaannya memang benar. Sejak Ahn Woo-Hyun bekerja sama dengan Im Jae-Ra, ia mulai curiga bahwa Woo-Hyun adalah musuh dan berusaha mendapatkan informasi tentang Chae-Yeong dan Hyun-Shik. Pemikiran bahwa lelaki itu yang mengirimnya catatan juga masuk akal. Entah apa pun masalahnya, ia yakin lelaki itu punya alasan kuat untuk melakukan semua ini.
Hyun-Shik mempercepat laju mobilnya, membelah jalanan Seoul yang lumayan padat saat ini. Bahkan ia mengabaikan lampu merah dan terus menerobos, menimbulkan suara klakson yang bersahut-sahutan, serta umpatan beberapa pengendara. Tapi ia tidak peduli. Dengan pikiran kacau, Hyun-Shik meraih ponselnya, lalu mencoba menghubungi nomor itu berkali-kali. Gagal.
Kekhawatiran Hyun-Shik memuncak ketika ingatan tentang masa kecilnya berkumpul dalam ingatan dan berputar layaknya sebuah film. Di tempat itulah ia kehilangan ibunya dan sekarang ia tidak akan kehilangan Eun-Hye di tempat itu. Hyun-Shik ingat jelas bagaimana Lee Kyung-Ju dan orang-orang itu menyiksa ibunya, menusuknya dengan pisau berkali-kali hingga akhirnya meninggal. Ia ingat jelas bagaimana ibunya berusaha untuk menyelamatkan nyawanya.
Ingatan itu berhasil mendorongnya untuk melajukan mobilnya semakin cepat hingga sepuluh menit kemudian ia sampai di sana. Matanya menatap rumah yang memberikan banyak kenangan padanya sejak ia lahir, tempat ia tumbuh, sekaligus menderita. Dengan tangan yang gemetaran, ia memasuki rumah itu dan ingatan itu semakin terasa jelas ketika melihat beberapa foto keluarganya di ruang tamu. Ia berusaha melawan rasa takutnya dan terus melangkah. Ia berusaha mencari keberadaan Eun-Hye secepatnya di rumah yang cukup besar ini. Dindingnya yang retak, serta beberapa kaca rumah yang pecah membuat rumah kebanggaan keluarganya terlihat menyedihkan.
Ia melangkah menuju tempat yang paling ia benci. Kamarnya. Ia membuka pintu kamar itu perlahan. Gelap, ia tidak bisa melihat apa pun di sana dan tetap mengandalkan indra pendengar sekaligus perasanya. Ia melangkah, lalu mendapati seseorang berdiri membelakanginya di dekat jendela kamar. Ia memicingkan kedua matanya, mencoba untuk menangkap sosok tersebut.
Sedetik kemudian lampu ruangan menyala, membuat Hyun-Shik memejamkan mata karena silau. Orang itu berbalik dan membuatnya terkejut setengah mati hingga ia hanya bisa mematung di tempat, menatap tak percaya. Perempuan berambut hitam sebahu dengan pakaian formal itu berdiri di sana sambil melipat kedua tangan.
“Kau yang mengirimiku pesan itu?” Hyun-Shik memastikan.
Eun-Hye mengangguk, lalu menggerakkan jemarinya menyentuh permukaan meja kecil di sampingnya. Terdapat bekas sayatan yang bertulis nama ‘Han Ji-Hyun’ di atas meja “Sesuai dugaanku, kau memang lelaki yang penuh rahasia, Han Ji-Hyun.”
“Kau sudah tahu?”
Eun-Hye mengangguk lagi. “Tempat ini adalah tempat yang paling menyakitkan untukmu, kan? Perempuan yang kau temui di rumah abu kemarin adalah ibumu. Apa aku benar?” Perempuan itu mengatakannya tanpa memandang Hyun-Shik.
Hyun-Shik tidak menjawab. Ia menghampiri perempuan itu. “Bagaimana kau tahu?”
“Sembilan tahun yang lalu aku pernah menyentuh wajahmu dan aku mengingat setiap detail dari wajahmu meski aku tidak bisa melihat. Dan ada satu hal lagi yang membuatku yakin bahwa kau adalah Ji-Hyun.” Eun-Hye menghentikan kalimatnya, ia berdiri menghadap Hyun-Shik yang kini menatapnya dengan sendu. Perempuan itu mengembangkan senyum, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Tidak ada orang yang mengetahui kalau aku tidak suka bawang selain Ji-Hyun, ibuku, dan Yoon-Jung.”
Eun-Hye menghela napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah berkas dari tasnya, lalu memberikannya pada Hyun-Shik. Berkas tentang kasus kematian ibu Ji-Hyun. “Aku meminta Yoon-Jung untuk mencari perempuan bernama Hwang Hye-Mi dan ternyata ia meninggal sembilan yang lalu di rumahnya. Kasus pembunuhan ini disamarkan sebagai kasus bunuh diri, sedangkan anaknya menghilang entah kemana. Banyak yang mengira kalau anaknya sudah meninggal, ada juga yang mengira bahwa anak itu yang membunuh ibunya,” ujar Eun-Hye seakan bisa membaca pikiran Hyun-Shik.
Eun-Hye berjalan melalui tubuh Hyun-Shik yang mematung. Ia bergerak menuju foto keluarga Ji-Hyun, lalu menggesernya perlahan hingga tampak sebuah proyektor yang menampilkan beberapa foto-foto dan tulisan di dinding yang berhadapan. Foto ayahnya, ibunya, kedua kakaknya, dan juga dirinya sejak kecil hingga sekarang. Bahkan ada beberapa foto Im Jae-Ra, Lee Kyung-Ju, dan Im Chae-Yeong.
“Aku akan bertanya padamu …. ” Eun-Hye menatap Hyun-Shik dengan serius. “Apa kau adalah Han Ji-Hyun? Apa alasanmu bersembunyi di balik nama Kim Hyun-Shik?”
Hyun-Shik terdiam, kemudian mengeluarkan sebuah catatan dari saku mantelnya dan memberikan catatan itu pada Eun-Hye. “Ya. Aku memang Han Ji-Hyun. Sembilan tahun yang lalu, ketika aku pergi dari rumahmu, Lee Kyung-Ju membunuh ibuku di sini, di depan mataku. Orang yang memerintahkan pembunuhan itu, sekaligus orang yang membunuh putra presiden, peledakkan gedung, adalah Im Jae-Ra, ayah dari Im Chae-Yeong yang saat ini bekerja sama dengan perusahaanmu.”
“Apa?”
“Juga kematian ayahku dan ayahmu adalah perintahnya. Saat kelulusanku, kami dijebak dan ayahmu dibunuh.”
Seketika air mata yang sedari tadi ia tahan mulai mengalir membasahi pipinya yang mulus. Eun-Hye mundur perlahan ketika kalimat itu terlontar dari lelaki di hadapannya. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, ia merasa akal sehatnya tak berfungsi. Air matanya terus mengalir seiring tubuhnya merosot ke lantai.
“Ulangi lagi. Katakan apa yang terjadi pada ayahku?” Eun-Hye mengumpulkan seluruh tenaganya untuk bangkit dan mendekati Hyun-Shik. Ia mencengkeram kerah mantel lelaki itu dan menatapnya tajam.
Hyun-Shik terdiam. Ia hanya menerima pukulan Eun-Hye dengan pasrah, merasakan betapa hancurnya perempuan itu saat ini.
“Katakan!” Suara Eun-Hye meninggi. Ia berhenti, lalu melepaskan cengkeramannya. Ia tidak tahan lagi dan memutuskan untuk keluar dari rumah itu sambil menangis. Lelaki itu juga sama. Rasa khawatir membuatnya melangkahkan kaki menyusul Eun-Hye yang berjalan menuju taman yang tertutup salju.
Eun-Hye duduk di kursi taman dan duduk seraya menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan, Hyun-Shik mengawasi dari belakang. Tubuh perempuan itu gemetar hebat menandakan kesedihan yang tak lagi dapat terbendung. Ia menghempaskan tangan Hyun-Shik yang menyentuh bahunya, lalu beranjak menjauhi. Air mata Eun-Hye mengalir deras seiring kenangan tentang ayahnya yang menguasai pikiran. Eun-Hye tidak menyangka ayahnya telah pergi ketika ia sedang berjuang untuk menemukan sang ayah dan Ji-Hyun, bahwa semua pengorbanan Eun-Hye untuk menemukan Ji-Hyun dan ayahnya berakhir sia-sia.
Bunyi dering ponsel membuat Eun-Hye tersentak. Ia berusaha menghentikan tangis dan mengeluarkan ponsel dari saku mantel. Beberapa pesan singkat dari ibunya yang menanyakan keberadaan Eun-Hye saat ini. Eun-Hye tidak membalas dan memilih untuk menenangkan dirinya. Ia menarik napas berkali-kali dan mengusap air mata. Setelah merasa cukup tenang, Eun-Hye menekan tombol panggilan ke nomor ibunya.
“Eomma.” panggilnya ketika terdengar nada sambung.
“Eun-Hye? Kau di mana? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kau bersama Hyun-Shik?”
Rentetan pertanyaan itu menyapa telinganya dengan lembut. Terdengar jelas sekali rasa khawatir sang ibu padanya. Ia mencoba menarik sudut bibirnya meski tahu hal itu tidak terlihat ibunya. “Aku tidak pulang malam ini. Ada yang harus kubereskan, Eomma. Aku bersama Hyun-Shik, jadi kau tidak perlu khawatir. Jangan lupa mengunci gerbang dan tidurlah,” ujarnya dengan lembut.
“Jinjja? Bisa aku bicara pada Hyun-Shik? Aku tidak akan percaya sebelum mendengar suaranya.”
“Aku mengerti, akan kuhubungkan dengan Hyun-Shik,” ujarnya sembari memberikan ponselnya pada Hyun-Shik yang berdiri di sebelahnya. Lelaki itu menerima ponsel Eun-Hye, lalu mundur beberapa langkah. Sesekali, Hyun-Shik melirik Eun-Hye yang masih terisak, seakan mengerti alasan perempuan itu tidak ingin pulang malam ini.
Eun-Hye melirik Hyun-Shik dari ekor matanya. Hatinya masih tak menyangka kalau lelaki yang selama ini ia cari ada di dekatnya, melindunginya secara diam-diam. Mengingat itu semua membuat Eun-Hye merasa bersalah telah berteriak pada Hyun-Shik.
Lelaki itu berjalan mendekati, mengembalikan ponsel itu pada Eun-Hye dan duduk di sebelah perempuan itu. Eun-Hye tidak menolak dan menyandarkan kepalanya pada pundak Hyun-Shik. Matanya menatap langit dengan tatapan kosong dan tangannya masih gemetar. Hyun-Shik memberanikan diri untuk menggenggam jemari Eun-Hye dan memasukkannya ke saku mantel yang ia pakai.
“Maaf telah menyembunyikan semuanya darimu.”
“Kenapa? Kenapa kau melakukannya? Kau tahu kalau aku mencarimu, kau tahu kalau aku tidak bisa melupakanmu sedetik pun.”
“Aku tidak ingin kau terluka karena terlibat denganku.”
“Bukankah seperti ini membuatku semakin terluka?”
“Maafkan aku.” Hanya kalimat itu yang terucap darinya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi karena ia sadar perempuan itu sangat terluka karena tindakannya.
“Ji-Hyun,” panggil Eun-Hye. Kali ini perempuan itu memanggilnya dengan nama dan juga nada yang sama seperti sembilan tahun yang lalu. Eun-Hye duduk tegak dan memandang ke arah Hyun-Shik dengan mata yang memerah. “Apa kau mencintaiku?”
Hyun-Shik tidak menjawab dan menghindari tatapan Eun-Hye. Ia tidak bisa menjawabnya bukan karena ia tidak mencintai perempuan itu. Ingin sekali lelaki itu mengatakan ‘ya’, tapi lidahnya seperti terkunci dan sulit untuk berkata.
Perempuan itu menghela napas panjang setelah menyimpulkan reaksi Hyun-Shik. Ia tertawa ringan, lalu berdiri dan melangkah meninggalkan Hyun-Shik. Hyun-Shik melihat perempuan itu dari belakang. Terlihat rapuh dan kacau. Akhirnya Hyun-Shik tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia berlari menahan lengan Eun-Hye dan menarik perempuan itu dalam pelukan.
“Aku mencintaimu, Kim Eun-Hye.” Hyun-Shik membisikkan kalimat itu tepat di telinga perempuan itu.
Tangis Eun-Hye kembali pecah. Ia membalas pelukan Hyun-Shik dan menangis dalam pelukan lelaki yang selama ini ia rindukan. Kenangan tentang mereka kembali berputar dalam benaknya. Bermula pada pertemuan mereka di rumah sakit dan berlanjut hingga saat ini. Semua peristiwa yang tidak ia sangka menjadi penghubungnya dengan Ji-Hyun.
Saat lelaki itu datang menyelamatkannya pertama kali.
Saat mereka berkencan di Myeondong.
Juga Hyun-Shik yang tahu tentang kebenaran kasus lima belas tahun yang lalu.
Lelaki ini kehilangan seluruh keluarganya, bahkan ia tidak tahu di mana saudara kembarnya berada. Hyun-Shik hanya memiliki Jung-Im sebagai sahabat dan itu membuat Eun-Hye terluka. Bukan karena Hyun-Shik menghilang, tapi karena lelaki ini memilih untuk melindunginya secara diam-diam dan menderita sendirian.
Hyun-Shik tak henti-hentinya mengusap punggung Eun-Hye sambil mengecup pucuk kepala perempuan itu dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh Eun-Hye yang bergetar hebat dalam dekapannya dengan suara tangis yang menyayat.
“Maafkan aku, Eun-Hye,” bisiknya berulang-ulang kali hingga akhirnya perempuan itu menggeleng, lalu melepaskan diri dari pelukan Hyun-Shik. Eun-Hye mengusap air mata, lalu memberanikan diri untuk menatap wajah lelaki itu. Senyumnya mengembang seperti biasa, lalu menggerakkan jemarinya menyentuh wajah Hyun-Shik.
“Aku harusnya yang minta maaf padamu. Aku terlalu marah padamu, aku terlalu kecewa padamu yang melindungiku dan menanggung semuanya sendirian.”
“Maaf, akulah penyebab ayahmu meninggal dan aku memang tidak pantas untuk berdiri di sampingmu seperti ini.”
Eun-Hye kembali menggeleng, perlahan ia kembali teringat pada berita yang dibaca oleh ibunya tentang pembunuhan lelaki yang dilakukan oleh anak asuhnya. Sekarang Eun-Hye mengerti siapa lelaki dan anak asuh yang dimaksud berita itu. Ia yakin sekali kalau Im Jae-Ra adalah dalang di balik itu semua.
“Itu bukan salahmu, jadi kumohon jangan berpikir seperti itu. Berjanjilah padaku kau tidak akan pergi lagi dariku dan berjanjilah untuk tidak menanggung semuanya sendirian.” Eun-Hye mengacungkan jari kelingkingnya dan disambut oleh Hyun-Shik.
Lelaki itu melepas mantel dan memakaikannya pada Eun-Hye yang mulai pucat karena kedinginan. Tangannya menggenggam jemari mungil Eun-Hye dan kaki mereka melangkah berdampingan menuju rumah masa kecil Hyun-Shik. Rumah yang terletak di dekat taman itu memang terlihat usang dengan dinding-dinding yang sedikit retak serta cat yang memudar. Hanya lampu berdaya rendah yang menerangi rumah yang awalnya dipenuhi oleh tawa keluarga kecilnya.
“Maaf jika rumah ini membuatmu tidak nyaman.” Hyun-Shik membukakan pintu rumah, lalu menuntun Eun-Hye masuk.
Lantai kayu yang berderit setiap kali mereka menginjaknya membuat Eun-Hye tertawa. “Tidak kok, aku nyaman. Ini pertama kalinya kau membawaku ke rumahmu, ‘kan?”
Kini mereka berada di depan kamarnya sekaligus tempat yang paling ia benci. Tempat ia melihat ibunya dibunuh. Eun-Hye menyadari bahwa lelaki itu gemetar ketika hendak membuka pintu kamarnya, membuat perempuan itu memberanikan diri menggenggam tangan Hyun-Shik. “Jangan dipaksakan. Jangan diingat jika itu membuatmu menderita.”
Hyun-Shik menggeleng, lalu membuka pintu kamarnya. Layar proyektor itu masih menyala, menampilkan dengan jelas semua informasi yang ia sembunyikan selama ini, bahkan dari Jung-Im. Eun-Hye menggeser kembali foto keluarga hingga akhirnya proyektor itu mati. Ia juga menyalakan lampu ruangan yang redup, membuat lelaki itu menoleh ke arahnya.
“Maaf, aku terlihat kekanakan,” ujar Hyun-Shik. Ia melangkahkan kakinya menuju lemari dan mengambil dua kasur lipat, lalu merentangkannya di lantai.
“Keluargaku juga miskin, jadi kami hanya bisa membeli ini,” ujar Hyun-Shik. “Tidurlah, kau pasti lelah seharian.”
Eun-Hye menurut. Ia melepas sepatu dan berbaring membelakangi Hyun-Shik yang juga berbaring di kasur sebelahnya. “Sekarang aku harus memanggilmu apa? Hyun-Shik? Ji-Hyun?”
“Hyun-Shik, setidaknya sampai kasus ini berakhir.”
“Baiklah, Hyun-Shik. Bolehkah aku bertanya padamu satu hal lagi?”
“Tanyakan saja.”
“Seperti apa ayahku sewaktu ia masih hidup?”
“Dia agen rahasia yang hebat dan tangguh. Dia bisa memecahkan semua kasus dan mendapatkan informasi dengan cepat. Dia juga sosok ayah yang perhatian pada anak-anaknya, dia sering menceritakan tentangmu padaku.”.
Tanpa lelaki itu sadari, Eun-Hye berbalik menghadap punggung Hyun-Shik. Matanya memandang punggung kokoh Hyun-Shik, lalu menyentuhnya dengan lembut membuat lelaki itu tersentak.
“Untuk malam ini saja,” ujar Eun-Hye. Ia menyandarkan keningnya pada punggung Hyun-Shik, lalu memeluk lelaki itu dari belakang. “Jangan bersembunyi lagi dariku, Ji-Hyun,” ujarnya lirih.
Lelaki itu tidak menjawab dan membiarkan perempuan itu terlelap. Meski semuanya telah terbongkar malam ini, ia tetap tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Perempuan ini begitu menderita ketika tahu ayah yang selama ini dinantikan telah meninggal karena kesalahannya. Jika saja hari itu ia mengikuti Seo-Jung, maka lelaki itu masih bisa bertemu dengan anaknya sekarang. Mungkin saja perempuan itu tidak akan menangis seperti tadi.
Setelah merasa cukup lama, Hyun-Shik melepaskan tangan Eun-Hye yang memeluknya, lalu duduk. Perempuan itu tampak tertidur sangat lelap membuatnya ingin menggerakkan jemarinya untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi dahinya sambil tersenyum simpul.
“Hal yang tidak ingin kuberitahu padamu akhirnya terungkap dan membuatmu sangat menderita. Kau bahkan tidak pernah menyakitiku, tapi aku selalu menyakitimu. Mungkin aku tidak bisa memenuhi permintaan agar tetap bersamamu, Kim Eun-Hye,” lirihnya dengan lembut.
***
Black Code = Situs rahasia yang berisi data-data detail tentang agen rahasia dari generasi pertama
Keren banget ceritanya.
Comment on chapter Prolog