Jam dinding sudah menunjukkan pukul empat pagi, tapi Hyun-Shik masih berkutat dengan kertas di hadapannya. Matanya meneliti gambar itu, kemudian mencocokkannya dengan liontin yang diberikan Eun-Hye. Semua tampak persis. Hal ini membuat Hyun-Shik bertanya-tanya apakah liontin ini benar milik Im Jae-Ra? Apa buku catatan itu ditulis dan dikirim olehnya?
Konsentrasi Hyun-Shik terpecah ketika seseorang mengetuk pintu ruangan, lalu masuk sebelum ia mengizinkannya. Hyun-Shik menghela napas begitu sosok itu muncul dengan setelan jas seperti biasa. Ketua Kang–lelaki berusia tiga puluhan yang membimbing ia dan Jung-Im sejak bergabung dengan intelijen negara. Lelaki yang ia hormati, sekaligus murid setia Seo-Jung.
“Kenapa kau ada di sini? Sepagi ini?”
Ketua Kang menoleh ke arah Hyun-Shik. “Memangnya aku tidak boleh menemui anggota timku? Aku hanya memastikan misi ini berjalan sempurna. Kita harus menemukan orang yang mengirimmu catatan itu dan menangkap pelaku di balik ini semua.”
“Apa kau berpikir kalau Lee Kyung-Ju hanya kambing hitam saja?”
“Itu bisa saja mengingat dia adalah agen rahasia yang dinon-aktifkan sejak lima belas tahun yang lalu. Ia juga kehilangan keluarga, jadi mungkin ia ingin membalas dendam atau semacamnya.”
“Bagaimana jika yang mengirimiku catatan adalah Im Jae-Ra sendiri? Dia ingin menantangku untuk menangkapnya dan mengorbankan Lee Kyung-Ju yang telah menjadi anjing pemburu.”
“Bisa saja, tapi ada satu fakta yang membuatnya terbebas dari dugaan itu.”
“Apa?”
“Dia tidak buta, keluarganya juga tidak ada yang buta, jadi tidak mungkin ia mengerti huruf braille semahir itu. Lagipula jika dilihat dari gaya bahasa, penulisnya adalah orang yang memiliki jabatan tinggi dalam bidang intelijen. Yah, sejenis itu,” jelas Ketua Kang. Matanya melirik kertas di hadapan Hyun-Shik dan sontak mendekatkan wajah untuk melihat lebih jelas. Tindakan Ketua Kang membuat Hyun-Shik terkejut dan menjauhkan wajah dari sana.
“Aku seperti mengenal lambang ini.”
“Lambang apa ini?”
Ketua Kang tampak mengingat-ingat, menggali ingatannya, lalu menunjuk liontin itu dengan mulut terbuka. “Ini lambang organisasi gelap, aku lupa namanya. Tapi kalau tidak salah organisasi ini bubar setelah pembunuhan putra presiden. Kalau tidak salah .…” Ketua Kang mengeluarkan ponselnya, membuka dokumen. “Tim Seo-Jung yang dulu mengatasinya.”
“Apa mungkin Im Jae-Ra terlibat dengan organisasi ini?”
“Mungkin saja.”
Hyun-Shik menghela napas. Ia harus mencari informasi lebih banyak lagi untuk memecahkan masalah yang rumit ini. Apa mungkin Im Jae-Ra salah satu anggota organisasi itu? Atau mungkin liontin ini sebenarnya milik putra presiden yang meninggal? Mungkinkah putra presiden mencoba untuk memberi tahu pembunuhnya lewat liontin ini?
Hyun-Shik bangkit dan berjalan menuju kaca bening tempat ia menuliskan semua rencananya. Ia menempelkan foto Im Jae-Ra dan gambar lambang itu di sana beserta menuliskan apa yang ia ketahui saat ini. Ketua Kang membaca semua itu dengan teliti, dari awal bagan hingga akhir. Susunan kalimat Hyun-Shik yang sederhana, tapi sulit dipahami membuatnya tersadar bahwa Hyun-Shik telah berkembang. Agen rahasia yang tidak hanya pandai menipu, meniru, menganalisa, dan bertarung, tapi menjadi agen rahasia yang penuh teka-teki dengan kata-katanya. Senyum Ketua Kang mengembang seraya menepuk bahu Hyun-Shik. “Kau sudah bekerja keras.”
Hyun-Shik terkekeh. “Itu yang dibutuhkan agen rahasia sepertiku. Menipu, menyamar, dan berbohong adalah keahlianku.”
“Termasuk pada perempuan itu?” Ketua Kang tersenyum jail mengundang pukulan ringan dari Hyun-Shik. Ketua Kang tertawa melihat reaksi Hyun-Shik ketika ia menyebut ‘perempuan itu’.
“Itu hal yang berbeda. Tidak ada perasaanku yang palsu padanya.” Hyun-Shik melihat foto Eun-Hye di kaca bening itu. Tangannya menyentuh foto Eun-Hye, mengusapnya dengan lembut. Menarik Ketua Kang hanyut dalam suasana.
“Kau tidak boleh lengah, terutama perempuan itu. Apalagi ini sudah ketiga kali mereka mencoba menyerangnya. Bisa saja mereka memasangkan penyadap mengingat lawan kita kali ini sama seperti Nam-Shik, Seo-Jung, dan dirimu. Jika kau salah mengambil langkah, maka semua akan berakhir sia-sia. Kau mengerti?”
Hyun-Shik mengangguk mantap. “Ya, tentu saja.”
“Baiklah, aku harus pergi. Aku tidak ingin istriku berpikir yang aneh-aneh tentangku. Kau juga harus makan, aku tidak ingin ada tengkorak hidup dalam kelompokku” ujar Ketua Kang sambil berjalan keluar.
Hyun-Shik tersenyum simpul mendengar ucapan Ketua Kang yang terdengar kasar, tapi memiliki makna yang lembut. Lelaki yang selama ini menjadi sosok pengganti Seo-Jung bagi ia dan Jung-Im. Ketua Kang yang berhasil membersihkan nama Hyun-Shik ketika ia difitnah membunuh Seo-Jung, juga memasukkannya ke dalam intelijen negara. Meski kadang merasa kesal dengan sikap Ketua Kang yang terlalu patuh pada aturan, ia tetap menghormatinya, terlebih karena Ketua Kang merupakan junior Seo-Jung dulu.
Pandangannya beralih pada foto-foto Eun-Hye sejak kecil hingga saat ini. Matanya memandang sendu dan jemarinya menyentuh foto-foto itu dengan lembut. “Apa kau akan baik-baik saja? Sejujurnya aku takut jika suatu saat tidak bisa melindungimu dan kau pergi meninggalkanku. Aku takut kau akan menyerah.”
Hyun-Shik melangkahkan kakinya menuju tas besar yang ia letakkan di ambang pintu. Ia berniat pergi tanpa bicara pada Jung-Im. Hyun-Shik tahu lelaki itu terancam jika bersamanya saat ini, namun ketika hendak meletakkan surat untuk Jung-Im, lelaki itu malah muncul dan memandangnya dengan heran, lalu terfokus dengan tas besar yang dibawa Hyun-Shik.
“Kau mau ke mana?” tanya lelaki itu masih dengan pakaian tidur dan rambut berantakkan.
Hyun-Shik terdiam, menahan tawa sekaligus memikirkan jawaban terbaik untuk Jung-Im. Seakan merasa nyawanya berada di ujung jurang ketika lelaki itu meminta penjelasan.
“Kau ingin pergi ke tempat Eun-Hye?” tebak Jung-Im seolah bisa membaca pikirannya.
Baiklah. Hyun-Shik tidak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa mengangguk sebelum lelaki itu menjejalnya dengan banyak pertanyaan. “Ya, aku harus melindungi Eun-Hye. Kemungkinan besar orang-orang kemarin mengincar liontin dan hendak menyandera Eun-Hye lagi. “
“Jangan pergi. Mereka bisa mengenalimu dan rencana kita akan gagal. Identitas aslimu tidak boleh diketahui mereka. Serahkan pada Ketua Kang, aku yakin dia akan memerintahkan pasukan khusus untuk berjaga di sana.”
Hyun-Shik menggeleng. “Mereka tidak bisa diandalkan. Apa kau tidak ingat kejadian Seo-Jung? Lawan kita bukanlah pembunuh bayaran biasa, Jung-Im. Dia setara dengan ayahku dan Seo-Jung. Dia menyembunyikan bukti, melenyapkan para saksi dan orang-orangnya sendiri. Dia bisa melenyapkan Eun-Hye dengan sangat mudah.”
Jung-Im kembali menggeleng. “Dia tidak lema-“
“Dia lemah. Dia terlalu lugu untuk menghadapi semua ini. Dia tidak akan bisa melawan jika pelaku itu hendak membunuhnya,” potong Hyun-Shik cepat.
Jung-Im menghela napas berat. “Bagaimana jika penyamaranmu terbongkar? Kau akan menjadi incaran mereka. Ancaman terbesar yang menyaksikan langsung pembunuhan putra presiden, seorang anak yang akan membalas dendam ayahnya. Itu yang akan mereka pikirkan memperlakukanmu seperti buronan. Apa kau mau? Percayalah padaku kalau Eun-Hye akan baik-baik saja.”
“Aku tahu, tapi aku tidak bisa membiarkan Eun-Hye dalam bahaya.” Hyun-Shik mempertahankan keputusannya. Ia menggendong tas besar itu keluar dari ruangan rahasia dan meninggalkan Jung-Im yang pasrah membiarkan sahabatnya pergi.
“Tidak apa, dia kuat, dia monster, dia bukan manusia,” gumam Jung-Im meyakinkan dirinya sendiri kalau Hyun-Shik akan baik-baik saja.
Detik kemudian Jung-Im menggeleng kuat. “Dia lemah, dia cengeng, dia ceroboh. AKKKHH! Ini gila!”
Jung-Im berlari keluar dari ruang rahasia dan berusaha mengejar Hyun-Shik sebelum lelaki itu menjalankan mobilnya. Jung-Im mengetuk jendela mobil Hyun-Shik berkali-kali.
“Aku akan ikut bersamamu!” ujar Jung-Im ketika Hyun-Shik membuka kaca mobilnya.
Alis Hyun-Shik bertaut. “Apa?”
“AISSHH! Aku akan ikut! Kau itu ceroboh dan bodoh. Mana mungkin aku membiarkanmu pergi sendiri, hah?!” Jung-Im membuka pintu mobil Hyun-Shik dengan paksa, membuat Hyun-Shik tertawa.
“Jangan banyak ketawa kau! Jangan menolak atau aku akan marah padamu! Jalankan saja mobilnya!” gerutu Jung-Im sambil menjitak Hyun-Shik. Seakan tidak peduli, Hyun-Shik tetap tertawa selama perjalanan dan membuat Jung-Im tersenyum samar.
Ia akan melindungi Hyun-Shik seperti Hyun-Shik melindunginya selama ini.
***
Eun-Hye tercengang ketika melihat berbagai berita yang sempat viral di media sosial maupun cetak. Ada beberapa berita tentang pembunuhan putra presiden lima belas tahun yang lalu, serta pembunuhan saksi yang berkaitan dengan peledakkan gedung. Seorang perempuan dan seorang lelaki yang saat itu berjaga di minimarket di depan gedung. Ada juga berita pembunuhan seorang perempuan bernama Hwang Hye-Mi dan anaknya yang kini menghilang. Pembunuhan seorang lelaki yang dilakukan oleh muridnya sendiri dan yang terakhir tentang kemunculannya.
Ia tidak menemukan berita apa pun tentang Ji-Hyun, bahkan jika ia mencarinya seribu kali. Eun-Hye menghela napas, lalu membenamkan tubuh di tempat tidurnya yang empuk. Ia memejamkan mata, mengingat kembali kenangan lima belas tahun yang lalu sesekali menyebut nama ‘Ji-Hyun’. Tapi belum sampai lima belas menit, ketenangannya itu terganggu oleh keributan dari luar. Penasaran, ia pun melangkahkan keluar kamar, lalu turun ke lantai dasar secara perlahan. Ketika sampai di ujung tangga, Eun-Hye berhenti, lalu menengok ke arah ruang tamu. Matanya melihat ada dua lelaki yang duduk berhadapan dengan ibunya. Siapa itu? Rasanya ia seperti mengenal mereka?
“Siapa kalian?” Ia melihat ibunya bertanya dengan ekspresi bingung. Matanya jelas sekali meneliti tiap senti dua sosok dua lelaki di hadapannya.
Seorang lelaki bangkit, lalu membungkukkan tubuhnya. Hampir saja ia tertawa ketika melihat lelaki itu hanya memakai piyama berwarna biru tua dengan rambut yang masih acak-acakkan tampak seperti baru bangun dari tidurnya. “Maaf mengganggu, kami dari kepolisian ditugaskan untuk berjaga di rumah ini.”
“Karena kejadian kemarin?” tanya ibunya.
Kedua lelaki itu mengangguk. “Ya, dikhawatirkan akan ada serangan susulan,” ujar lelaki yang satunya lagi. Ah, ia tahu siapa mereka sekarang. Kim Hyun-Shik dan sahabatnya–Kim Jung-Im. Haruskah Eun-Hye muncul sekarang? Ia menggelengkan kepala berkali-kali dan memutuskan untuk diam di tempat dan kembali menguping pembicaraan mereka.
“Maaf, tapi bisakah kita membicarakan hal ini dengan orang yang bersangkutan?” Hyun-Shik bertanya dengan suara yang lirih, membuat Eun-Hye sulit mendengar pembicaraan. Tanpa ia sadari lelaki itu berdiri dan berjalan ke arahnya. Eun-Hye hendak melarikan diri, tapi gagal. Tangan kekar itu menahan lengannya dan mata tajam Hyun-Shik menatap mata lembut miliknya. Eun-Hye seakan kehilangan kesadaran ketika lelaki itu menariknya dengan lembut dan mendudukkannya di sofa.
“Bagaimana kau tahu aku di sana?” tanya Eun-Hye tak percaya. Padahal ia merasa sangat pintar bersembunyi.
“Itu tidak penting, nyawamu terancam untuk saat ini.”
“Kalian sudah saling mengenal?” tanya Soon-Hee ketika mendapati Hyun-Shik dan Eun-Hye yang terlihat akrab.
Eun-Hye mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya. “Dia yang menyelamatkan beberapa waktu yang lalu.”
“Ah, baiklah, aku akan mendengarkanmu. Putriku percaya padamu, jadi aku akan percaya padamu.”
“Terima kasih. Aku akan menjelaskan masalahnya pada kalian.”
Hyun-Shik memulai penjelasannya tentang kematian putra presiden yang menjabat sebagai direktur utama NSS lima belas tahun lalu. Saat itu adalah masa-masa pencalonan wali kota yang hanya memiliki dua kandidat, yaitu Im Jae-Ra dan Choi Jun-Hyuk yang saat ini menetap di Eropa. Namun ketika mendekati pemilihan, sang putra presiden ditembak di kediamannya. Pemilihan umum menjadi kacau dan diundur hampir setengah tahun. Kasus yang tidak berhasil dipecahkan polisi akhirnya diserahkan pada National Secret Service yang mengerahkan Kim Seo-Jung dan timnya.
Tapi kejadian naas menimpa mereka ketika memasuki bulan ketiga penyelidikan. Im Jae-Ra menggunakan dendam Lee Kyung-Ju pada NSS untuk menghabisi tim Seo-Jung dan mengagalkan misi mereka.
Ia menunjukkan buku catatan itu di hadapan ibu Eun-Hye. “Seseorang memberiku catatan itu dua tahun yang lalu saat aku berada di penjara.”
“Kau pernah dipenjara?”
Hyun-Shik mengangguk. “Mereka tahu bahwa penyelidikan kasus itu masih berlanjut dan berniat melenyapkanku.”
Ibu Eun-Hye terlihat serius membaca catatan itu, lalu menghela napas. “Siapa yang mengirimmu catatan ini dan apa alasannya?”
“Masih belum bisa dipastikan siapa yang mengirimnya, tapi yang pasti ia ingin menggunakanku untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap berbahaya.”
“Jadi apa yang harus kami lakukan saat ini?”
“Tetap lakukan semua seperti alurnya agar tidak mereka tidak curiga. Aku yang akan mengatasinya,” ujar Hyun-Shik. “Percayalah, aku akan melindungi putrimu dan membereskan semua ini secepatnya.”
Soon-Hee mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah, aku akan percaya, tapi ada satu pertanyaan untukmu.”
“Ya?”
“Kenapa kau ingin melakukan semua ini sedangkan nyawamu bisa melayang kapan saja? Apa kaitanmu dengan kasus Seo-Jung dan Nam-Shik?” Soon-Hye bertanya seraya menatap Hyun-Shik dengan tajam seakan berusaha menyudutkan lelaki itu. Tatapan yang tidak biasa dilemparkan masyarakat awam padanya. Hingga membuat Hyun-Shik tidak menjawab, berusaha mencari jawaban terbaik saat ini.
Mana mungkin ia menjawab kalau ia ingin membayar hutang nyawa pada ayah Eun-Hye yang meninggal karena melindunginya? Tidak mungkin juga ia mengatakan karena ia mencintai Eun-Hye. Perasaan perempuan itu hanya untuk Ji-Hyun seorang, tidak ada nama Kim Hyun-Shik dalam hatinya.
Hyun-Shik tersenyum simpul, lalu menjawabnya, “Karena ini tugasku dan aku tidak boleh lari dari kewajibanku. “
Ternyata jawaban itu berhasil membuat Soon-Hee menitikkan air matanya. Raut ketegangan perlahan berubah tenang diiringi senyum tulus perempuan itu. “Jawabanmu itu sama seperti Seo-Jung. Kau membuatku teringat padanya.”
“Dia pasti orang yang hebat. Aku mendengar tentangnya beberapa waktu yang lalu dan aku rasa dia adalah lelaki yang hebat.”
Soon-Hee mengangguk membenarkan ucapan Hyun-Shik. Kemudian ia memerintahkan Yoon-Jung untuk mengantarkan dua lelaki itu ke kamar tamu yang kosong di lantai dua. Lelaki itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih, sedangkan Eun-Hye hanya terdiam di tempatnya dengan mata yang tak henti-hentinya memandang ke arah Hyun-Shik.
Ada hal besar yang disembunyikan Hyun-Shik darinya.
***
Tepat pukul sebelas malam, Eun-Hye terbangun dari tidur. Kedatangan dua lelaki itu membuatnya tersadar akan besar bahaya yang saat ini mengancamnya. Beberapa minggu telah berlalu sejak berita kemunculannya viral, tapi ia belum mendapat petunjuk apa pun tentang Ji-Hyun. Seakan lelaki itu lenyap ditelan bumi. Berita-berita yang selama ini ia baca tidak pernah membahas tentang Han Ji-Hyun atau ibunya. Mungkinkah perkataan Kyung-Ju itu benar?
Eun-Hye menggeleng kuat menyadari bodohnya ia malam ini. Kepalanya yang penat membuat ia berpikir gila. Akhirnya Eun-Hye memutuskan untuk keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur untuk mencari air minum. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Hyun-Shik sedang duduk di sofa ruang tengah dengan mata tertutup. Penerangan utama sudah dimatikan, hanya ada lampu meja yang menyala redup. Penasaran, ia menghampiri Hyun-Shik dan duduk di sampingnya. Senyum Eun-Hye mengembang ketika memerhatikan wajah tampan Hyun-Shik yang tertidur. Sangat manis.
“Kenapa kau bisa tertidur seperti ini? Apa kau merasa nyaman?” tanyanya lirih meski tahu Hyun-Shik tidak akan menjawabnya. Eun-Hye menyandarkan kepalanya pada Hyun-Shik dan perlahan memejamkan mata. Seakan mendapatkan kehangatan yang selama ini ia inginkan. Bahkan ia tidak mengerti apa alasannya. Selama ini ia selalu berharap bahwa Hyun-Shik adalah Ji-Hyun. Ketika lelaki ini tersenyum, tertawa, dan semuanya. Seakan melihat Ji-Hyun berada di sampingnya. Meski kadang beberapa fakta yang menunjukkan keduanya adalah pribadi yang berbeda.
Perlahan Hyun-Shik membuka mata dan menoleh ke arah Eun-Hye yang sudah tertidur pulas. Ia menggerakkan tangan di depan wajah Eun-Hye, memastikan bahwa perempuan itu benar-benar sudah tertidur. Perlahan Hyun-Shik merangkul perempuan itu, mengusap-usap kepalanya dengan lembut dan sesekali mendaratkan bibirnya di pucuk kepala Eun-Hye, menghirup aroma shampoo yang dipakai perempuan itu.
Hyun-Shik sengaja tidak tidur malam ini untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Senyumnya mengembang ketika mendengar suara dengkuran lembut Eun-Hye. “Hanya kau yang aku miliki saat ini, jadi aku tidak akan membiarkan mereka mengambilmu.” Hyun-Shik bergumam lirih seraya menarik Eun-Hye dalam pelukannya. “Aku akan melindungimu meski nyawa taruhannya. Meski suatu saat aku jauh darimu, aku akan melindungimu.”
Tanpa Hyun-Shik sadari, Jung-Im memerhatikan keduanya dari ambang pintu kamar tamu. Matanya menangkap sisi lain dari Hyun-Shik yang selama ini terlihat dingin dan kaku. Hatinya meringis setiap mengingat pengorbanan yang dilakukan Hyun-Shik untuk bersama Eun-Hye sampai sekarang.
Meski samar, ia bisa mendengar Hyun-Shik membisikkan perasaannya pada Eun-Hye. Kalimat yang membuat perasaan Jung-Im runtuh membayangkan saat di mana Han Ji-Hyun kembali pada Eun-Hye.
“Aku mencintaimu, Kim Eun-Hye.”
***
Keesokannya Hyun-Shik dibuat bingung dengan kelakuan Eun-Hye yang selalu menghindari tatapannya. Setiap kali Hyun-Shik mendekatinya, perempuan itu pasti menjauh, berpura-pura melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Menarik mereka dalam suasana canggung dan di sinilah mereka sekarang, di mobil Hyun-Shik yang melaju mengantarkan Eun-Hye ke tempat kedua kakaknya berada–rumah abu.
“Bukankah kau pengawal Im Chae-Yeong? Kenapa kau ada di sini sekarang?” tanya Eun-Hye dengan menatap intens lelaki di sampingnya.
“Itu hanya penyamaranku saja. Hanya sebatas status pekerjaan,” jawabnya singkat. “Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan wajahku?” Lelaki itu menoleh pada Eun-Hye yang menatapnya terus-menerus.
Sontak perempuan itu mengalihkan wajah dengan semburat merah karena malu. “Tidak ada. Apa menurutmu Ji-Hyun itu tampan?”
“Mana kutahu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya. Lagipula kau tidak pernah melihat wajahnya, tapi kau mencintainya. Aku ragu apa kau masih mencintainya ketika tahu ia tidak setampan yang kau bayangkan.”
Eun-Hye berpikir sejenak, lalu menjawab, “Ah, benar juga. Bisa saja hidungnya pesek atau giginya berantakan.” Eun-Hye menggeleng. “Bahkan jika dia memiliki banyak kekurangan fisik, aku akan tetap mencintainya.”
“Ji-Hyun yang menjadi temanku, melindungi, dan yang terpenting … Ji-Hyun mengubah seluruh hidupku. Mungkin jika dia tidak hadir dalam hidupku, aku akan tetap buta dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan ibuku. Kesempurnaan fisik hanya poin tambahan bagiku,” ujar Eun-Hye dengan senyum andalannya.
Jawaban Eun-Hye seakan bersarang di hati Hyun-Shik, mendorongnya untuk mendekati wajah Eun-Hye dan mengecup pelan pipi perempuan itu. “Pesan manismu itu akan didengar Ji-Hyun suatu saat nanti.”
Perempuan itu tercengang. Wajahnya memerah dan jantungnya berdetak semakin cepat ketika wajah lelaki itu perlahan menjauh darinya. Ia bergegas memalingkan wajah ke arah lain. Apa-apaan ini? Sepertinya lelaki itu senang membuatnya olahraga jantung di pagi hari.
Tapi berkat kejutan itu, perjalanan mereka tidak terasa. Hanya butuh dua puluh menit untuk sampai di rumah abu kakaknya. Keduanya memasuki rumah abu dan disambut penjaga yang mengarahkan ke tempat abu yang dijenguk. Eun-Hye mengikuti arahan penjaga, sedangkan Hyun-Shik melangkah ke suatu lorong yang lain. Setelah menemukan guci abu tujuan, sang penjaga pamit dan melangkah keluar.
Eun-Hye berdiri menghadap foto kakaknya yang berdampingan. Jemarinya bergerak menyentuh foto yang terletak di samping guci. Foto kedua kakaknya yang masih kecil. Saat peledakkan gedung itu terjadi, pemadam kebakaran datang dengan cepat sehingga mereka masih bisa menyelamatkan jasad kedua kakaknya meski dengan kondisi yang mengenaskan. Hari ini peringatan kejadian tragis itu. Hari di mana orangtuanya bertengkar, hari di mana ia kehilangan pengelihatan, sekaligus hari di mana ia membenci semua takdirnya.
“Lama tidak jumpa dengan kalian. Aku selalu membayangkan bagaimana hari ini jika kalian masih bersamaku,” ujar Eun-Hye. “Kau tahu? Aku selalu merindukan semua kekonyolan yang biasa kalian tunjukkan padaku. Aku selalu membayangkan kalau kita akan berkumpul lagi di ruangan itu dengan rambut yang memutih juga anak-anak kecil di gendongan kalian,” lanjutnya dengan air mata yang mulai mengalir.
“Kalian tidak perlu khawatir lagi denganku dan ibu. Aku sudah dewasa, jadi aku bisa melindunginya. Ada Hyun-Shik yang menjagaku dan aku janji aku akan menemukan ayah dan juga Ji-Hyun secepatnya.” Eun-Hye mendekatkan wajah, lalu tersenyum pada foto kedua kakaknya. “Aku janji akan sering mengunjungi kalian.”
Perempuan itu menarik napas berulang kali, berusaha menenangkan diri sebelum menemui Hyun-Shik yang mungkin menunggu di luar. Tapi ternyata dugaannya salah. Ketika keluar dari tempat kedua kakaknya, ia melihat Hyun-Shik sedang mematung di hadapan tempat abu seorang perempuan. Perlahan ia melangkah menghampiri Hyun-Shik yang memandang foto itu dengan tatapan sendu.
“Kau belum selesai?”
Hyun-Shik tampak terkejut. Ia menoleh dan mendapati Eun-Hye berdiri di belakangnya. “Kau sudah selesai?”
Eun-Hye mengangguk. “Aku akan menunggu di luar.”
“Tidak, aku sudah selesai,” potong Hyun-Shik seraya menahan Eun-Hye yang hendak beranjak. Ia menggenggam jemari perempuan itu, lalu menariknya keluar dari rumah abu dan memasuki mobil mereka.
“Siapa yang kau temui? Kekasihmu?” tebak Eun-Hye penasaran.
“Bukan. Dia teman lama,” jawab Hyun-Shik sembari menyalakan mesin mobilnya, sedangkan Eun-Hye hanya meng-oh kan jawaban Hyun-Shik.
Eun-Hye bisa melihat bekas air mata di Hyun-Shik yang sama sepertinya. Hal itu membuatnya penasaran dengan teman yang dimaksud oleh Hyun-Shik. Apa dia juga agen rahasia sama sepertinya? Entahlah, ia tidak ingin memusingkan hal itu karena tampaknya mereka butuh hiburan saat ini. Ia merasa tidak nyaman dengan raut wajah Hyun-Shik yang tampak sendu.
“Bagaimana kalau kita ke pantai hari ini? Aku ingin menghilangkan penat beberapa hari ini.”
Hyun-Shik mengangguk. “Baiklah, aku rasa aku tahu pantai yang bagus.”
***
Mereka sampai di pantai terdekat dalam waktu setengah jam. Pantai yang terletak di dekat Seoul cukup populer dengan pemandangan yang indah dan pasir putih yang bersih. Airnya dangkal, jadi aman untuk mereka yang bermain-main di bibir pantai. Tapi saat ini pantai cukup sepi mengingat saat ini adalah musim dingin. Orang-orang banyak menghabiskan waktu untuk meluncur di es daripada menelusuri bibir pantai.
“Kau sering ke tempat ini?” tanya Eun-Hye. Matanya tak lepas dari ombak laut yang sesekali menyapu bibir pantai dengan lembut.
“Ya, aku sering ke tempat ini bersama guruku.”
“Guru?”
“Dia yang mengajariku bertarung dan bertahan hidup.”
“Ah, apa saja yang kalian bicarakan?” tanyanya lagi.
“Latihan, taktik, misi, dan anak perempuan satu-satunya.”
“Apa dia perempuan yang kau temui tadi?” tanya Eun-Hye ragu-ragu. Mereka memutuskan untuk berhenti diikuti oleh Hyun-Shik.
“Ya,” jawab Hyun-Shik singkat.
“Kau mencintainya?” Perempuan itu bertanya lagi. Kini mereka berhadapan dan tampak jelas ekspresi lelaki itu tidak suka membicarakan hal ini.
“Ya.”
Hyun-Shik berjalan menjauh Eun-Hye. “Kemarilah. Air lautnya tidak terlalu dingin. Jika kau ke sini aku akan memberitahumu sesuatu yang menarik,” ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya.
Perempuan itu menggeleng. “Aku tahu kau berbohong. Lihatlah bibirmu yang pucat karena dingin.”
“Ini tidak dingin. Coba lihat wajah cemberutmu itu, ayolah, kau harus tersenyum agar aku bisa mendapatkan foto yang bagus.” Lelaki itu mengeluarkan ponsel, lalu memotret Eun-Hye tanpa henti. Membuat Eun-Hye terus menerus menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya!! Berhenti memotretku!” seru Eun-Hye kesal. Ia menghampiri Hyun-Shik dan berusaha mengambil ponselnya, tapi lelaki itu malah meninggikan ponselnya, memainkan Eun-Hye dengan perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh. Sekitar 20cm.
“Aku akan menyebarnya di internet,” ledek Hyun-Shik membuat perempuan itu semakin gencar berusaha mendapatkan ponsel itu.
Hyun-Shik memasukkan ponsel ke saku, lalu dengan satu gerakan ia mengangkat tubuh Eun-Hye dan berputar-putar di bibir pantai.
“Kyaa!! Turunkan aku!!” pekik Eun-Hye. Ia berpegangan erat pada bahu Hyun-Shik yang berlari semakin jauh dari bibir pantai sambil tertawa puas. Tindakan berani Hyun-Shik membuat Eun-Hye menaikkan posisi kaki agar tidak cipratan air laut.
“Kau sangat pintar berbohong.”
“Aku tidak sedang berbohong sekarang.”
“Benarkah? Bagaimana aku bisa percaya padamu?”
Hyun-Shik menaikkan sebelah alisnya, lalu mengangkat Eun-Hye tinggi-tinggi, memutar-mutarkan tubuh perempuan itu. Eun-Hye semakin mengeratkan pegangannya pada Hyun-Shik.
“Turunkan aku!!!” pekik Eun-Hye.
“HAHAHA!” tawa Hyun-Shik pecah ketika melihat wajah panik perempuan itu.
Hyun-Shik menghentikan keusilannya pada Eun-Hye dan menurunkan perempuan itu di bibir pantai. Kini mereka berdiri berhadapan. Hyun-Shik menatap dalam iris merah anggur Eun-Hye dan sebaliknya. Tangan Hyun-Shik bergerak menyentuh wajah perempuan itu.
“Aku tahu Ji-Hyun akan membunuhku jika dia tahu hal ini, tapi …. ” Hyun-Shik mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya pada kening perempuan itu. “Kau bisa menganggapku sebagai Ji-Hyun hari ini,” lanjutnya.
Eun-Hye tercengang ketika lelaki itu melakukan hal yang tidak terduga, membuatnya terpaku di tempat. Matanya terpaku pada lelaki yang menghampiri barang-barang mereka. Detik berikutnya, ia memberanikan diri untuk menahan pergelangan tangan Hyun-Shik, menarik, lalu mendaratkan bibir pada pipi lelaki itu dan memeluknya.
“Terima kasih, Ji-Hyun.”
Hyun-Shik tersenyum dan membalas pelukan Eun-Hye. “Hanya untuk hari ini saja.”
Eun-Hye mengangguk dalam pelukan Hyun-Shik. Ia memeluknya erat-erat, seakan tidak ingin melepasnya lagi.
“Kita masih punya waktu satu jam sebelum pulang. Aku tidak ingin ibumu memarahiku karena membawamu pergi terlalu lama. Kita mau ke mana setelah ini?” tanya Hyun-Shik.
“Hmm, itu artinya aku punya waktu bersama dengan Ji-Hyun satu jam lagi? Ah, aku ingin membawamu ke suatu tempat.”
***
Saat mereka sampai di tempat tujuan, waktu telah menunjukkan pukul lima lewat lima belas sore. Hanya membutuhkan sepuluh menit perjalanan dari pantai yang mereka kunjungi ke bukit yang cukup tinggi hingga mereka bisa menyaksikan pemandangan kota Seoul dari atas bukit. Perempuan itu mempercepat langkahnya mendahuilui Hyun-Shik yang tampak santai menikmati deretan pepohonan yang daunnya meranggas.
“Sini cepat!” Perempuan itu berseru riang seperti anak kecil yang berlibur ke tempat kesukaannya. Ia berhenti di bawah pohon yang cukup besar dengan tumpukkan salju di pinggrinya. Salju yang cukup tebal menutupi permukaan sepatu yang ia kenakan.
Hyun-Shik tersenyum, lalu menurutinya. Ia mempercepat langkah menyusul Eun-Hye yang mengedarkan pandangan ke tanah lapang yang dipenuhi salju itu.
“Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?”
“Aku memang buta, tapi aku bisa merasakan semua keadaan yang terjadi di sini. Aku ingat semuanya meski memang benar kalau ingatanku itu lemah. Aku ingat ketika Ji-Hyun membawaku ke tempat ini, di mana posisi kami berdiri dan apa yang kami katakan saat itu. Hebat, ‘kan?”
“Whoaa, kau punya ingatan yang kuat tapi lemah? Itu membuatku tidak mengerti.”
“Begini, aku hanya akan mengingat hal-hal yang menurutku penting dan melupakan apa yang menurutku tidak penting.”
“Kau tidak mengingatku saat kita bertemu, apa artinya aku tidak penting?”
“Memang. Kupikir kita tidak akan bertemu lagi, jadi aku melupakanmu. Siapa sangka kita akan jadi sedekat ini, hn?”
“Kenapa kau mengajakku ke tempat ini? Bukankah harusnya yang tahu tempat ini hanya kau dan Ji-Hyun?”
“Karena kau adalah Ji-Hyun.” Perempuan itu berkata tanpa menatap Hyun-Shik. “Untuk saat ini,” lanjutnya seraya berbalik menghadap Hyun-Shik yang terpaku dan menatapnya lurus seakan menyelami pikirannya saat ini. Eun-Hye juga tidak ingin kalah. Ia menatap lelaki itu seraya tersenyum dan mengulurkan tangannya dengan jari-jari yang terbuka.
“Aku akan menemukanmu. Sejauh apa pun kau pergi, aku pasti akan menemukanmu. Bahkan jika suatu saat aku meninggal, aku akan mencarimu. Aku akan mencintaimu lagi dan terus mencintaimu, Han Ji-Hyun.”
Detik itu Hyun-Shik tersadar bahwa perempuan ini hanya untuk Ji-Hyun seorang. Meski sebesar apa pun ia berusaha, perempuan ini hanya tetap mencintai Ji-Hyun seorang.
Ia mengangguk, lalu tersenyum. “Aku akan kembali, Eun-Hye.”
***
Jam sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi Eun-Hye belum ingin mengakhiri harinya. Malam ini tepat ketika Yoon-Jung memberitahukan informasi yang tak terduga membuatnya tidak ingin terlelap. Akhirnya Eun-Hye memilih untuk melangkah keluar kamar untuk mencari udara segar atau setidaknya melihat Hyun-Shik. Ia penasaran apa lelaki itu tidur dengan posisi yang sama seperti semalam atau tidak.
“Kau masih belum tidur?”
Sontak Eun-Hye menoleh dengan ekspresi terkejut. Hyun-Shik-dengan kemeja putih seperti pegawai kantoran biasanya. Rambut lelaki tu sedikit berantakan dan jangan lupakan lingkaran hitam di area matanya.
“Kau sendiri belum tidur?” Eun-Hye balik bertanya.
Hyun-Shik menggeleng. “Aku tidak bisa tidur.”
“Kenapa? Kau masih membayangkan kejadian hari ini?” goda Eun-Hye sambil terkekeh pelan.
“Ya. Apa kau juga?”
“Kenapa kau selalu tahu apa yang aku pikirkan? Kau bisa masuk ke dalam pikiranku, ya?”
Hyun-Shik terkekeh. “Perempuan memang mudah ditebak. Wajahmu itu menunjukkan jawabannya.”
Spontan Eun-Hye langsung menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Benarkah? Apa aku tidak pandai berbohong?”
Hyun-Shik mengangguk. “Ya, kau sangat payah dalam berbohong. Wajahmu akan merona dan kau akan terlihat panik.”
Eun-Hye memanyunkan bibir kesal mendengar jawaban Hyun-Shik. Ia berjalan mengikuti Hyun-Shik menuju ruang tamu dan duduk di sana. Karena semuanya sudah tidur, maka lampu ruangan tamu ini digelapkan. Meski begitu ada lampu kecil di dekat tempat duduk yang menerangi ruangan itu. Ruang tamu yang cukup luas dengan jendela besar yang menghadap taman buatan. Serta sepasang sofa dengan meja kecil bernuansa coklat yang menengahinya. Lantai berwarna krem muda seakan menambah suasana klasik dalam ruangan.
“Ngomong-ngomong, apa yang akan kau lakukan setelah menangkap pelaku? Apa kau akan membunuhnya?”
Hyun-Shik menggeleng. “Aku tidak ingin menjadi seorang monster yang sama sepertinya. Aku sudah berjanji pada guruku agar tidak membunuh siapa pun. Aku akan memberikan mereka hukum agar semuanya mendapat keadilan.”
Jawaban itu berhasil membuat perempuan itu tersenyum, lalu memberanikan dirinya menggenggam jemari Hyun-Shik. “Kau tidak sendirian. Aku akan bersamamu hingga akhir.”
“Bagaimana jika Ji-Hyun kembali? Apa kau akan meninggalkanku dan berlari padanya?”
“Entahlah. Aku merasa Ji-Hyun tidak akan kembali lagi padaku,” jawab Eun-Hye dengan senyuman pahit di wajah cantiknya.
“Percayalah dia akan kembali.”
“Bagaimana jika ia tidak kembali hingga akhir?”
“Bukankah kau bilang akan menunggunya seumur hidup? Kenapa kau malah ragu sekarang? Aku yakin Ji-Hyun pasti sedang berjuang untuk kembali padamu,” ujar Hyun-Shik dengan lembut seakan menyentuh perasaan Eun-Hye dengan sempurna.
Perempuan itu mengangguk. “Terima kasih telah mengatakan itu padaku,” ujarnya.
Hyun-Shik melepaskan sebuah cincin perak dari jemarinya, lalu memberikannya pada Eun-Hye. “Kau harus menjaganya.”
“Eh?”
“Sewaktu kecil, aku sering menghilang dari hadapan guruku, jadi dia memberikanku cincin ini agar bisa menemukanku lagi. Hari ini aku ingin memberikannya padamu agar aku bisa menemukanmu setiap kau butuh bantuanku.”
Eun-Hye terdiam, matanya memandang lurus cincin berwarna perak itu dengan seksama. Ada yang aneh dengan perasaannya saat ini. Semua perlakuan Hyun-Shik membuatnya terbuai, seakan menarik Eun-Hye dalam pesona yang dimiliki lelaki itu. Juga cincin ini. Ia seperti terikat sesuatu dengannya.
“Apa kau akan pergi jauh?”
Lelaki itu malah tertawa. “Kau menyimpulkannya karena ucapanku barusan? Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak bisa terus berada di sisimu. Suatu hari nanti aku harus pergi jauh karena misiku. Anggap saja cincin ini sebagai penanda keberadaanmu.”
Perempuan itu tidak membalas lagi. Ia memberikannya lagi pada Hyun-Shik dan membuat lelaki itu memandangnya heran. “Pakaikan ini padaku,” pinta Eun-Hye.
Permintaan itu berhasil membuat Hyun-Shik tersenyum. Ia memakaikan cincin itu pada jari manis Eun-Hye layaknya cincin pernikahan. “Kau tidak boleh melepas dan menghilangkannya. Kau harus jaga baik-baik cincin itu apa pun yang terjadi agar aku bisa menemukanmu.”
Perempuan itu mengangguk. “Aku akan menjaganya dengan baik.”
Kereen
Comment on chapter Prolog