Hampir dua puluh jam berlalu, tapi Hyun-Shik belum sadarkan diri. Dengan kemeja putih yang kancingnya terbuka, menampilkan tubuh atletis Hyun-Shik. Aroma antiseptik dan obat-obat lain mendominasi ruangan berwarna putih tanpa jendela. Kamar yang sangat minimalis, hanya berisi tempat tidur susun berukuran kecil dan meja di sudut kamar. Penerangan yang tidak terlalu terang atau gelap. Semua keadaan itu membuat Eun-Hye bertanya-tanya siapa dua lelaki ini sebenarnya.
Sejak mereka tiba, Eun-Hye terus duduk di kursi sebelah Hyun-Shik terbaring. Tidak mengindahkan rasa kantuk yang menyerang, ia hanya memerhatikan gerak Jung-Im yang mengecek keadaan Hyun-Shik. Matanya menangkap beberapa luka sayatan di area perut Hyun-Shik yang kekar, dan sebagian lain berada di area bahu. Bekas luka yang menjadi saksi betapa kerasnya kehidupan yang dijalani lelaki ini.
Aneh. Kenapa ia khawatir? Apakah ia merasa bersalah atas kejadian kemarin?
“Apa dia baik-baik saja?” Tanpa Eun-Hye sadari, jemarinya bergerak menyentuh salah satu bekas di dekat perut Hyun-Shik.
“Tenang saja. Dia bukan lelaki yang lemah.”
“Apa dia sering terluka?” Kini ia duduk di tepi tempat tidur Hyun-Shik dan memerhatikan wajah itu dengan teliti. Ia akui bahwa memerhatikan seseorang seperti ini adalah tindakan yang tidak sopan, tapi entah kenapa melihat wajah Hyun-Shik membuatnya tenang.
Jung-Im mengangguk. “Sejak kecil dia selalu seperti ini.”
“Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa hubungan kalian dengan kasus peledakkan gedung lima belas tahun yang lalu? Bukankah kasus itu telah ditutup sejak lama?”
Lelaki itu tidak menjawabnya, ia hanya terdiam dan menatap sahabatnya yang masih terbaring. Entah kenapa setiap mendengar pertanyaan itu membuatnya teringat pada kesalahan mereka berdua beberapa tahun yang lalu. Kesalahan yang membuat mereka terikat pada perempuan ini.
“Maaf, tapi aku tidak bisa menjawabnya.”
“Kenapa?”
“Misi kami adalah misi rahasia.”
“Tapi aku terlibat di dalamnya.” Eun-Hye tak mau kalah. Ia berdiri dan menatap Jung-Im.
“Itu benar, tapi nyawamu bisa terancam jika misi ini diketahui olehmu.”
“Aku tidak mengerti. Apa ini artinya kalian memanfaatkanku untuk memenuhi misi kalian?” tanya perempuan itu lagi.
“Maaf.”
Eun-Hye menghela napas. Ia semakin tidak mengerti semua kondisi ini. Di sisi lain ia ingin bekerja sama dengan mereka untuk mengungkap kebenaran lima belas tahun yang lalu, tapi di sisi lain Eun-Hye takut untuk mengetahui kenyataannya. Kenyataan tentang Ji-Hyun, ayahnya, dan lelaki yang berada di dalam gedung waktu itu.
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Tidak perlu melakukan apa pun sekarang.”
Mereka berdua menoleh bersamaan ketika suara Hyun-Shik terdengar. Lelaki itu berusaha duduk dengan bertumpu pada salah satu sikunya. Wajahnya sedikit pucat, tapi tidak separah beberapa jam yang lalu. Matanya menatap Eun-Hye dan Jung-Im secara bergantian.
Eun-Hye ternganga. Perasaan takutnya perlahan memudar ketika lelaki itu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, seolah menuntun jemari Hyun-Shik untuk menyeka air mata Eun-Hye.
Hyun-Shik mengangguk lemah, lalu tersenyum tipis. “Ya, aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Aku pikir kau akan pergi karena melindungiku. Aku tidak ingin melihat kematian orang-orang yang melindungiku. Tidak untuk kesekian kalinya.” Eun-Hye terisak.
Jung-Im hanya terdiam mendengar semuanya, sedangkan Hyun-Shik memilih untuk menarik perempuan itu ke dalam pelukan, lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Memberikan sensasi yang telah lama Eun-Hye rindukan. Perempuan itu bisa merasakan aroma mint yang selalu mengingatkannya pada Ji-Hyun, juga kehangatan yang sama seperti saat Ji-Hyun memeluknya.
“Apa Ji-Hyun sudah meninggal? Apa yang dikatakan lelaki itu benar? Aku mohon jangan sembunyikan sesuatu dariku. Aku akan memberimu segala informasi yang aku punya, aku akan memberikan bukti itu padamu. Tapi aku mohon … beritahu aku Ji-Hyun ada di mana.” Perempuan itu semakin terisak dan terdengar putus asa.
“Aku memang tidak berhak bicara seperti ini,” ucap Hyun-Shik dengan hati-hati. “Aku juga tidak tahu apa-apa tentang masalahmu.” Ah, lagi-lagi ia merasa seperti penipu ulung mengingat ia tahu setiap detail masalah perempuan ini. Hyun-Shik tidak henti-hentinya mengusap punggung Eun-Hye dan diam-diam menyuruh Jung-Im untuk keluar. Ia khawatir Jung-Im akan kelepasan dan mengatakan rahasia sekaligus dosanya pada perempuan ini.
“Aku yakin Ji-Hyun masih hidup dan ia akan kembali padamu,” ujar Hyun-Shik dengan lembut. Ia memang mencintai perempuan ini, tapi tidak akan bisa menggantikan sosok Ji-Hyun dalam hatinya. Hyun-Shik sangat sadar akan hal itu, tapi ia tidak peduli dan harus menebus dosanya.
Eun-Hye memejamkan mata, menunjukkan betapa rindunya ia pada Ji-Hyun. Ia menenggelamkan wajah dalam pelukan Hyun-Shik. Menarik napas berat dengan dadanya yang terasa sesak. Bayang-bayang tentang ayah dan Ji-Hyun kembali berkumpul di kepalanya. Andai saja jika lelaki itu tidak mengatakan hal seperti itu, maka ia masih bisa menahan rindu dan kenyataan bahwa Ji-Hyun itu tidak kunjung datang seolah memperkuat ucapan lelaki itu. Bahwa Ji-Hyun sudah meninggal. Haruskah Eun-Hye percaya?
“Aku tidak tahu kehidupan apa yang dijalani mereka, juga beban yang mereka rasakan, tapi mereka terus melindungiku.” Pada akhirnya perempuan itu mengangkat kepala untuk menatap Hyun-Shik dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi mulusnya. “Aku tidak tahu seperti apa dirimu sebelumnya, tapi melihatmu seperti ini membuatku terluka. Maaf jika permintaanku membuat nyawamu terancam.”
“Siapa bilang? Aku baik-baik saja, aku masih hidup, jadi jangan menyalahkan dirimu sendiri. Meski kau memintaku untuk pergi menjauh, aku akan tetap di sampingmu dan melindungimu.” Hyun-Shik yang menarik perempuan itu ke pelukannya, memeluk seerat mungkin. Ia bisa merasakan tubuh Eun-Hye yang gemetar. “Menangislah, aku bersamamu. Tidak apa-apa,” bisiknya sembari mengusap punggung Eun-Hye dengan lembut.
Mereka terlarut dalam waktu-waktu kepedihan. Sebenarnya Hyun-Shik ingin mengatakan semua kenyataan pada perempuan ini, ia tidak mampu. Dirinya terlalu pengecut untuk mengatakan tentang dosanya pada Eun-Hye. Ketika Eun-Hye meremas ujung kemeja yang ia kenakan, ia semakin merasa bersalah. Perempuan ini sudah terlalu banyak menderita.
Menit-menit kembali berlalu tanpa suara selain tangisan Eun-Hye. Pada menit yang sudah berlalu cukup lama, perempuan itu memberanikan dirinya untuk melepaskan dirinya dari pelukan Hyun-Shik disusul usapan lembut jemari Hyun-Shik di wajahnya.
“Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menemukan Ji-Hyun secepatnya dan aku akan tetap melindungimu. Tak akan kubiarkan mereka menyentuhmu sedikit pun.” Hyun-Shik seolah memberi ketenangan bagi Eun-Hye. Perempuan itu kembali tersenyum diikuti bunyi perut yang membuat keduanya tertawa.
“Mau makan?” tanya Hyun-Shik. “Aku lapar.”
Perempuan itu terkekeh, lalu mengangguk pelan. “Bahkan menangis juga butuh tenaga.”
“Baiklah, tunggu di sini. Aku akan membuatkanmu ramyeon.” Hyun-Shik bangkit dan keluar dari kamarnya.
Perempuan itu mengedarkan pandangan pada foto yang terpasang di meja-meja dan dinding. Ia melangkah mendekat dan memerhatikan foto yang paling besar di antara yang lain. Foto Hyun-Shik bersama Jung-Im dan lelaki paruh baya. Tanpa ia sadari jemarinya bergerak menyentuh foto sambil tersenyum. Ia merasa nyaman ketika melihat senyuman mereka.
Eun-Hye kembali menjelajah. Harus ia akui tempat tinggal mereka sangat tertutup. Semua barang-barang mereka ditata rapih di ruangan rahasia yang hanya dimasuki orang-orang tertentu. Terlihat rumah kosong tak berpenghuni jika dilihat dari luar. Hanya ada kain-kain putih yang menutupi barang dan juga lantai kotor yang jarang dibersihkan.
Sepuluh menit kemudian Hyun-Shik muncul dari balik pintu sambil membawa ramyeon yang terlihat lezat, lalu meletakkannya di atas meja.
“Sini,” ujarnya sambil menunjuk tempat duduk di hadapannya.
“Bagaimana dengan Jung-Im? Dia tidak ikut makan bersama kita?” Perempuan itu menurut. Ia duduk di hadapan Hyun-Shik dan memerhatikan tiap gerakan lelaki itu.
“Dia sedang keluar. Mungkin atasan kami memanggilnya.”
“Atasan? Maksudmu Chae-Yeong?”
“Ya,”jawabnya bohong. Mana mungkin ia jujur kalau Jung-Im menemui Ketua Kang? Ah, itu akan membuat semuanya jadi rumit.
Eun-Hye hendak mencoba ramyeon buatan Hyun-Shik, tapi tangannya terhenti ketika melihat makanan yang mencuri perhatiannya. Biasanya, orang Korea akan menikmati ramyeon yang pedas berwarna merah dengan campuran bawang putih agar menguatkan rasa kaldu ramyeon, tapi lelaki ini tidak menggunakannya.
Ia merasa ada yang aneh.
“Ada apa? Apa tidak enak?” tanya Hyun-Shik ketika menyadari Eun-Hye hanya mematung dengan memegang sumpit.
Eun-Hye menggeleng. Tidak. Ia tidak boleh begini. Mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin lelaki ini sama sepertinya. Mungkin …. Tapi apa ini tidak aneh?
“Menurutmu, apa Ji-Hyun makan teratur selama ini?” Pertanyaan itu terlontar ketika melihat lelaki itu makan dengan lahap.
Lelaki itu mengangguk. “Ya, dia pasti makan teratur,” jawabnya di sela-sela menyantap ramyeon.
“Apa dia punya pacar?” Perempuan itu bertanya lagi.
“Kurasa tidak, karena ada perempuan setia yang menunggunya.”
Eun-Hye tertawa dengan tatapan yang tak lepas dari setiap gerik lelaki itu. Senyum Eun-Hye mengembang, lalu mendekatkan wajahnya pada Hyun-Shik. “Apa kau gay?”
Hampir saja seluruh ramyeon yang sedang ia proses keluar begitu mendengar pertanyaan yang mengejutkan itu. Ia segera mengambil meminum air putih dan mengatur napasnya kembali. Setelah merasa tenang, ia menatap Eun-Hye, meminta penjelasan dari perempuan yang menertawainya. “Apa itu pertanyaan yang tepat di saat seperti ini?”
Perempuan itu semakin terbahak mendengar reaksi dari Hyun-Shik. Ia menggeleng. “Maaf, tapi aku sedikit terkejut melihatmu seperti ini.” Kini perempuan itu mulai menikmati ramyeon yang aroma dan rasanya sama seperti yang dibuat ibunya atau Yoon-Jung. Tetap lezat tanpa bawang.
“Kau tidak suka bawang?” tanya perempuan itu iseng.
“Tidak. Apa kau ingin tambahan bawang? Aku akan membuatnya lagi jika kau mau.”
Perempuan itu menggeleng. “Aku juga tidak suka bawang, makanya ramyeon ini terasa sangat lezat,” ujarnya sambil melahap ramyeon itu dengan lahap.
Eun-Hye sesekali mencuri pandang dengan senyum yang mengembang. “Kau terlihat seperti ahjussi sekarang.”
Alis Hyun-Shik bertaut, lalu menatap Eun-Hye kesal. “Apa? Apa aku terlihat setua itu?”
Perempuan itu mengangguk. “Ya, sangaaatttt tuaaaa!”
“Ya! Kau ini!”
Eun-Hye tertawa lepas. Hatinya perlahan menghangat ketika senyum lelaki itu mengembang. Seperti ada sensasi aneh yang mengalir deras di tubuhnya. Tanpa ia sadari, lelaki ini telah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
***
Dua orang itu terhenti di depan gerbang rumah yang tampak seperti rumah kosong. Terletak agak jauh dari rumah-rumah lain. Hanya cahaya lampu jalan yang menerangi mereka di malam hari, serta salju yang masih menyelimuti kota saat itu, menimbulkan tumpukkan salju di pekarangan rumah dan tanah yang kosong. Pepohonan yang tadinya rindang kini meranggas.
“Kau benar-benar pulang sendiri? Ini sudah jam delapan malam, lho. Aku akan mengan-“
“Aku akan baik-baik saja,” potong Eun-Hye cepat membuat lelaki itu mengangguk.
“Baiklah. Kau harus menghubungiku jika terjadi sesuatu.”
Senyum Eun-Hye mengembang ketika mendengar kalimat barusan, hatinya menghangat ketika lelaki itu mengatakannya. Ia mengangguk pelan. “Ya, jangan khawatir.”
“Kau tidak memanggil pengawalmu? Pulang sendirian di malam hari sangat berbahaya bagi seorang perempuan.”
Eun-Hye menggeleng. “Jangan khawatir kubilang. Kau yang harusnya dikhawatirkan.”
Hyun-Shik tersenyum. Matanya tak lepas dari gerakan jemari Eun-Hye yang memainkan rambut. Terlihat jelas kalau perempuan itu salah tingkah dan ia menyukainya. Dia terlihat imut, membuat Hyun-Shik tidak tahan untuk menyentuh jemari perempuan itu dan membuat Eun-Hye mendongak. Mata mereka bertemu dan tampaklah semburat merah dari wajah cantik Eun-Hye.
“Maaf, rambutmu ….”
“Ah, ini?” Perempuan itu mengucapkannya sambil menghindari tatapan Hyun-Shik. “Tidak apa, aku menyukainya kok. Besok aku akan meminta Yoon-Jung untuk merapihkannya.”
“A–Ah, aku pulang dulu,” pamit perempuan itu. Lelaki itu mengangguk, kemudian perempuan itu berbalik dan mulai melangkah, begitu juga dirinya yang berbalik hendak memasuki rumahnya.
Tanpa ia sadari, perempuan itu berbalik dan melangkah memeluknya cukup erat hingga membuatnya terdorong ke depan beberapa langkah. Ia hendak berbalik, tapi perempuan itu menggeleng. “Tetap seperti ini sebentar saja,” pinta Eun-Hye.
Hyun-Shik menurut. Ia membiarkan perempuan itu memeluknya erat meski tidak tahu kenapa Eun-Hye melakukan ini.
“Terima kasih karena telah bertahan hidup,” lirih perempuan itu membuatnya semakin bingung. Apa perempuan itu sangat khawatir padanya?
Di menit kedua, perempuan itu melepas pelukan, lalu berlari meninggalkan Hyun-Shik tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya bisa melihat punggung kecil itu perlahan menjauh dan pemandangan ini yang membuat hatinya terluka. Perempuan itu menderita akibat kesalahannya.
“Eun-Hye, apa yang dialami ayahmu juga dialami oleh ayahku, karena itu aku akan melindungimu dan membuatmu bahagia,” lirihnya, lalu masuk ke rumah.
***
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Yoon-Jung khawatir ketika Eun-Hye pulang dengan rambut yang dipotong berantakan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, membuat Yoon-Jung serta yang lain khawatir, termasuk ibu Eun-Hye yang sedari tadi sibuk menghubungi orang-orang yang bisa diandalkannya.
Eun-Hye tersenyum lebar. Ia melepas heels, lalu masuk ke rumahnya. “Eonni, bisa tolong rapikan rambutku? Kurasa aku ingin ganti gaya rambut.”
Sesuai dugaannya, Yoon-Jung hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Yoon-Jung menyuruh Eun-Hye untuk duduk di sebuah kursi dan memakai apron pangkas rambut, sedangkan pelayan lain sibuk menyiapkan makan malam untuk nona muda mereka. Eun-Hye bisa melihat ibunya keluar dari ruang kerja dan menghampirinya.
“Kau baru pulang? Sejak kemarin aku tidak bisa menghubungimu.”
Eun-Hye mengangguk. “Ya, maaf. Aku bertemu dengan pembunuh itu kemarin.”
Yoon-Jung dan Soon-Hee berseru bersamaan. “Apa? Tu-tunggu, bagaimana bisa?”
Perempuan itu tersenyum kecil. “Kalian tidak perlu khawatir. Hyun-Shik datang menyelamatkanku.”
“Hyun-Shik? Ah, aku bingung. Kau harus jelaskan ini nanti. Ada apa dengan rambutmu?”
“Ahh …. Aku ingin mencoba gaya rambut yang baru. Kurasa gaya ini sudah terlalu kuno,” jawabnya sambil tersenyum pada sang ibu. Ibunya hanya mengangguk meski jauh di lubuk hatinya ia merasa khawatir.
Yoon-Jung mulai memotong rambut hitamnya yang indah menjadi sebahu. Ia juga menyisakan beberapa rambut tipis di area wajahnya. Ah, rasanya putri mereka yang manja berubah dalam satu malam saja. Rambut panjang Eun-Hye yang membuat kesan imut kini menjadi rambut sebahu yang membuatnya menjadi perempuan yang anggun.
“Apa aku cantik?” tanya Eun-Hye sambil memainkan rambut barunya.
“Tentu saja, kau cantik memakai gaya rambut apa pun.”
“Ah, apa aku mirip ayahku?” Eun-Hye bertanya lagi.
Ibunya mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Ya, sangat mirip. Bahkan kurasa kau adalah tiruannya.”
“Eomma. Boleh aku lihat fotonya?” pinta Eun-Hye sambil mengedipkan matanya.
“Tentu saja. Itu ayahmu, mana mungkin aku melarang seorang anak melihat foto ayahnya,” ujar ibunya menyanggupi. Ia kembali ke ruang kerja di lantai dua dan beberapa menit kemudian kembali dengan membawa buku album berwarna biru tua yang sudah usang. Terlihat sangat jelas bahwa itu album tua dengan beberapa lem perekatnya sudah terlepas.
“Apa sebaiknya albumnya diganti?”
“Aku tidak bisa menggantinya. Itu album pilihan ayahmu.”
Eun-Hye tersenyum menanggapinya. Ia merasa ayahnya memang kuno ketika melihat model album pilihannya. Bersampul biru tua dengan garis-garis perak. Jemari lentik Eun-Hye mulai bergerak membuka halaman demi halaman album itu. Senyumnya mengembang lebar ketika kenangan-kenangan itu kembali berkumpul dalam benak layaknya sebuah film.
Ayahnya seorang lelaki yang tampan dengan wajah tirus dan mata yang tajam. Hanya melihat fotonya saja membuat Eun-Hye yakin kalau ayahnya adalah lelaki jenius dengan aura misterius. Ah, rasanya ia mengerti kenapa ibunya sangat mencintai sang ayah meski telah lama bercerai. Ia kembali membuka halaman berikutnya, halaman yang membuatnya terkejut bukan main. Jemarinya menyentuh permukaan foto itu dengan tatapan tak percaya. Foto ayahnya dengan seorang lelaki sebaya dengan anak kecil di gendongannya. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya saat ini.
Air mata Eun-Hye mulai mengalir, menetes ke permukaan foto itu, sedangkan Yoon-Jung dan ibunya mengerti alasan Eun-Hye menangis. Lelaki itu adalah lelaki yang meninggal lima belas tahun di dalam gedung. Sahabat ayahnya, Han Nam-Shik, sekaligus ayah dari lelaki yang ia cintai, Han Ji-Hyun. Semua ini seakan memperkuat pemikiran-pemikiran yang ia susun saat ini.
****
[Bahasa Korea] Ramyeon = Mi Korea
[Bahasa Korea] Ahjussi = Paman / panggilan untuk lelaki paruh baya di Korea
Keren banget ceritanya.
Comment on chapter Prolog