“Kenapa ayah lama sekali, sih?” Go-Eun, seorang perempuan kecil berambut coklat menggerutu kesal. Merasa lapar, ia mengajak kedua adiknya, Nam-Gil dan Eun-Hye menuju minimarket yang terletak agak jauh dari sekolah mereka.
Ketika melintasi sebuah halaman gedung terlantar sebelum minimarket, terdengar agak samar suara tembakan dari dalam. Mereka saling memandang, lalu berjalan pelan-pelan menuju pintu gedung. Perlahan, Go-Eun membuka pintu gedung yang tak terkunci, lalu masuk diikuti kedua adiknya. Penerangan gedung itu remang-remang, bau tanah menjalar ke seluruh sisi gedung.
Samar-samar, mereka mendengar suara percakapan dari lantai dua. Ketika menaiki tangga, Nam-Gil merasa menginjak sesuatu. Ia berhenti, lalu melihat ke bawah dan menemukan liontin dengan bentuk busur panah dan jam di tengahnya. “Ini terlihat sangat mahal.” Nam-Gil melirih seraya meneliti liontin itu, lalu memasukkannya ke saku. Ia mulai berjalan mengikuti dua saudarinya itu.
“Apa ini tidak berbahaya?” tanya Nam-Gil dengan suara lirih.
Go-Eun mengangguk. “Yaaa …. Tenang saja, kita akan pergi setelah memastikan semuanya.”
Ketika hendak melewati ruangan yang pintunya tertutup, suara tembakan kembali terdengar. Sontak Go-Eun menyuruh Nam-Gil dan Eun-Hye mundur, sedangkan ia membuka pintu itu sedikit. Tampaklah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapan lelaki berusia tiga pul`uhan berpakaian formal yang diikat pada kursi.
“Di mana liontinnya?” Tatapan tajam lelaki itu memancarkan niat siap membunuh. Ia menempelkan ujung pistol ke dahi lelaki berpakaian formal.
“Kau pikir aku akan menyerahkan barang buktinya padamu? Jangan harap!”
“Sialan! Enyah saja kau ke neraka!” Lelaki berpakaian hitam menembakkan pistolnya ke perut kanan lelaki berpakaian formal. Darah menyembur, lalu tak lama lelaki itu terkulai lemas. Ketiga anak itu menahan napas, matanya membulat dengan jantung yang berdetak cepat. Mereka berjalan mundur beberapa langkah ketika lelaki berpakaian hitam mulai bergerak menggeledah, lalu menghubungi seseorang.
“Aku tidak mendapatkan liontin itu. Mungkin liontinnya dipegang oleh K-1. Hnn, baiklah, aku akan ke sana setelah ini, tapi ada yang harus aku selesaikan.” Lelaki itu memutus panggilan, lalu berjalan menuju tempat persembunyian mereka sambil mengarahkan pistol. “Kalian tahu? Tidak baik anak kecil menguping pembicaraan orang dewasa.”
Tepat ketika lelaki itu berdiri di hadapan mereka, Nam-Gil memberikan liontin pada Eun-Hye. “Lari! Kau harus lari!” Nam-Gil mendorong Eun-Hye ke arah tangga, begitu pula Go-Eun.
“Ta-tapi!!” Tubuh Eun-Hye gemetar ketakutan seraya melirik lelaki yang mengulas seringai.
“Pergilah! Cari ayah!”
Eun-Hye tidak punya pilihan lain. Bertahan di tempat ini bersama mereka juga tidak akan membantu. Ia mengumpulkan kekuatan dan menghapus air mata yang menggenang di pelupuknya, lalu berlari berlari secepat mungkin menuju pintu keluar. Eun-Hye sempat menoleh ketika mendengar pekikan Go-Eun dan Nam-Gil. Mendorongnya untuk berlari lebih cepat dan menemukan ayahnya.
“Eun-Hye!”
Eun-Hye berhenti berlari ketika melihat ayahnya berlari menghampirinya dengan raut wajah khawatir. “Ayah!” Eun-Hye berlari menuju ayahnya, menarik lengan ayahnya untuk masuk ke dalam gedung. “Kakak ada di dalam! Mereka ingin dibunuh!”
Seketika ayahnya langsung berlari menuju gedung dengan Eun-Hye dalam pelukannya. Tapi belum sempat mereka menginjakkan kaki di gedung, timbul ledakan dari dalam. Kobaran api dengan cepat meluas, membuat mereka terpaku di tempat. Seakan tidak percaya atas apa yang mereka saksikan saat ini.
Sontak Eun-Hye membuka matanya ketika ingatan itu kembali berputar dalam benaknya. Napasnya menderu, dan jantungnya berdetak cepat ketika bayangan ibunya melemparkan barang pada ayah dengan amarah yang tak terbendung. Pertengkaran yang membuat Eun-Hye terjatuh dari balkon kamar dan menghantam lantai kolam yang dingin. Orangtuanya bercerai dan hak asuh diberikan pada ibunya.
Eun-Hye mencoba menggerakkan kedua tangannya, tapi keduanya terikat. Ia didudukkan di sebuah kursi kayu. Pendengarannya mendengar suara pintu besi terbuka yang disusul suara langkah beberapa orang yang berjalan mendekat. Cahaya masuk membuat Eun-Hye memicingkan mata dan sadar lokasinya saat ini. Sebuah gudang swasta yang tidak terpakai. Terlihat dari cat-cat dinding yang mengelupas, lantai-lantai yang kotor, dan bau tak sedap yang menjalar ke seluruh ruangan.
“Aku tidak menyangka kau sudah dewasa.” Lelaki itu mulai bersuara, membuat Eun-Hye terbelalak. Suara yang sama dengan lelaki yang membunuh Nam-Gil dan Go-Eun, juga lelaki yang menyerang ia dan Ji-Hyun sembilan tahun lalu.
“Kau masih mengingatku?” Lelaki itu menyeringai ketika menyadari perubahan eskpresi Eun-Hye. Perempuan itu menatapnya tajam, seakan ingin membunuh lelaki itu sekarang juga.
“Apa kau sudah berubah sekarang? Wahhh, luar biasa. Apa aku harus memaksamu untuk memberikan liontin itu padaku?” Lelaki itu bertepuk tangan heboh, lalu menarik pistol dari dalam jaketnya, menempelkan ujung pistol ke dahi Eun-Hye.
Eun-Hye menyeringai. “Sampai mati aku tidak akan menyerahkannya padamu!”
“Masalahnya kau akan mati sekarang kalau tidak menyerahkan liontin itu padaku.”
Tepat ketika lelaki itu hendak menarik pelatuk pistol, sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang merobohkan pintu besi gudang dan berhenti di tengah. Kim Hyun-Shik, lelaki itu muncul seorang diri, tanpa senjata apa pun.
“Ah, maaf mengganggu, tapi bisakah kalian melepaskan perempuan itu?” Lelaki itu mulai bicara serius dengan wajah datar.
“Apa urusanmu? Siapa kau dan kenapa aku harus patuh padamu?” Lelaki itu terbahak sembari memerintahkan dua bawahannya untuk mengepung Hyun-Shik.
Hyun-Shik melirik Eun-Hye sekilas, terkekeh ketika perempuan itu heran menatapnya.
“Tunggu-tunggu. Aku tidak ingin pakaianku rusak oleh kalian,” ujar Hyun-Shik sambil membuka jasnya dan memasukkannya ke mobil.
Lelaki itu tertawa lagi, lalu memerintahkan dua bawahannya menyerang Hyun-Shik. “Apa urusanku?”
Dua lelaki itu cukup hebat dan cepat, membuat Hyun-Shik sedikit berusaha menghindari tembakan sekaligus pukulan jarak dekat dari mereka yang menyerang bersamaan. Ia berlari menuju lelaki yang menyandera Eun-Hye, menyerangnya dengan beberapa pukulan dan berhasil membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. Ia dengan cepat melepaskan ikatan Eun-Hye dan menyuruhnya tetap di belakang Hyun-Shik.
“Kenapa kau ada di sini?” bisik Eun-Hye.
Hyun-Shik melirik dari ekor matanya. “Itu bukan hal yang pantas dibicarakan sekarang.”
Salah satu lelaki melemparkan pistol ke sembarang arah, lalu menyerang Hyun-Shik dengan pukulan-pukulan yang cukup kuat, tapi Hyun-Shik mampu mengunci gerakan dan menjatuhkannya ke lantai.
Lelaki yang satunya melepaskan tembakan sambil berlari ke arah Hyun-Shik. Seakan dengan niat membunuh yang amat jelas, lelaki itu menjadikan dinding sebagai pijakan kakinya dan melayangkan tinju pada Hyun-Shik. Hyun-Shik menahan serangan itu dengan tangan kanan, membuat tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
Dilanjutkan dengan tendangan ke perut kiri Hyun-Shik yang kosong, tapi lagi-lagi ia berhasil menahan serangan dan menjatuhkannya, tapi digagalkan oleh ayunan kaki yang membuat Hyun-Shik mundur ke belakang. Ia melirik dua lawan yang siap mengincar Eun-Hye.
Dengan cepat Hyun-Shik berlari menuju pistol yang tergeletak di lantai dan menembak kaki dua orang yang hendak memukul Eun-Hye dari belakang. Perempuan itu memekik seraya menutup kedua telinganya dan berjongkok. Kini Hyun-Shik kembali berhadapan pada lelaki yang siap dengan pisaunya. Hyun-Shik berlari dengan pistol yang ia jadikan seperti pisau dan berhasil menembak perut kanan lelaki itu ketika lengah.
Mereka kembali mundur dengan napas yang terengah-engah. Menatap tajam satu sama lain dengan niat membunuh yang semakin menguat.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya lelaki itu sembari memegangi perutnya yang terluka.
Hyun-Shik mengendikkan bahunya seraya menyeringai. “Entahlah, aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
“Tapi aku merasa kita pernah bertemu.”
Tepat ketika Hyun-Shik hendak menyerang, seorang bawahan lelaki itu menembak paha kanannya. Hyun-Shik terjatuh diiringi pekikan Eun-Hye yang bergegas menghampirinya. Lelaki itu meringis, tangan kanannya berusaha menahan darah yang mengalir.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya, jangan khawatir.” Lelaki itu tersenyum tipis, lalu kembali berdiri dibantu Eun-Hye.
Tak lama kemudian, beberapa mobil polisi menerobos masuk gedung itu. Sekitar lima polisi keluar dari mobil masing-masing dan langsung mengarahkan pistol pada mereka pada dua bawahan yang mengangkat tangan, sedangkan lelaki itu malah terbahak. Ia melempar pistolnya ke sembarang arah, lalu berdiri menghadap Hyun-Shik.
“Rupanya bapak tua itu masih mencari mangsa baru, heh? Aku ingatkan saja kalau mereka tidak akan membelamu. Mereka akan membuangmu ketika kau tidak berguna bagi mereka.”
“Kau salah!” Hyun-Shik membantah dengan lantang. “Aku melakukan semua ini bukan hanya demi negara, tapi demi keadilan. Ada banyak penderitaan dari keluarga orang-orang yang kau bunuh. Tapi aku tahu menangkapmu tidaklah mudah mengingat sudah dua agen rahasia yang kau lenyapkan.”
“Kau benar, tapi walau kau mematahkan kaki atau tanganku, kau tidak akan bisa menangkapku.” Lelaki itu mengulas senyum licik, lalu melemparkan bom asap ke tengah-tengah ruangan dan menimbulkan kepanikkan. Para polisi itu langsung berpencar dan berusaha mencari lelaki itu, tapi nihil. Lelaki dan komplotannya menghilang seiring asap itu memudar.
Pandangan Hyun-Shik beralih pada perempuan yang juga terkejut melihat kejadian barusan. Sudut bibirnya tersenyum melihat perempuan itu baik-baik saja dan sadar bahwa perasaan itu mulai muncul. Mungkin saja ini gila, tapi ini yang ia rasakan. Perasaannya pada Eun-Hye telah tumbuh dengan pesat tanpa seizinnya.
Seorang lelaki seusia Hyun-Shik berjalan menghampiri mereka dan membantu Eun-Hye memapah Hyun-Shik ke salah satu mobil mereka. Lelaki itu sempat terkekeh melihat keadaan Hyun-Shik dan membuat perempuan itu bertanya-tanya apa hubungan dua lelaki ini.
“Kukira kau bisa mengatasinya dengan baik. Ternyata indera pendengaranmu bisa salah juga, ya,” ledek lelaki itu sambil menjalankan mobilnya keluar dari gudang tua itu.
Hyun-Shik terdiam. Ia mengeluarkan beberapa obat yang tidak dimengerti orang awam dari sebuah tas hitam dan meminumnya. Mungkin sejenis penetralisir rasa sakit. “Berisik. Fokuslah menyetir saja sana!”
“Wahhh …. Baiklah-baiklah. Aku tidak ingin kepalaku hilang karena ucapanku sendiri. Tapi kau berhasil membuat perempuan itu bingung, lho,” ujar lelaki itu sambil melirik Eun-Hye yang kebingungan dari spion tengah.
“Sebenarnya kalian ini siapa?” tanya Eun-Hye sambil menatap Hyun-Shik. “Bagaimana kau tahu aku di mana? Dan lagi-“ Ucapan Eun-Hye terhenti ketika Hyun-Shik menempelkan telunjuknya di bibir mungil perempuan itu.
Lelaki itu tidak langsung menjawab pertanyaan Eun-Hye. Ia membuka tas itu lagi dan mengeluarkan ponsel. “Aku bisa melacakmu dari sini.” Hyun-Shik menjawabnya sambil menunjukkan layar ponsel yang menampilkan peta canggih dengan titik merah yang bergerak mengikuti jalur lalu-lintas Seoul yang mereka lintasi saat ini.
Alis Eun-Hye bertaut, lalu memandang Hyun-Shik heran. “Apa? Bagaimana bisa?”
Kini tangan lelaki itu bergerak menyentuh pundak Eun-Hye dan melepaskan sebuah tombol kecil dari pakaian perempuan itu. “Kau sudah mengerti sekarang?” Lelaki itu tersenyum sembari menunjukkannya pada Eun-Hye.
“Ah …. Aku mulai mengerti, tapi kenapa? Apa kau sudah memperkirakan kejadian ini sebelumnya?”
Lelaki itu mengangguk. “Ya. Aku tahu bahwa kau diincar sejak pertama kita bertemu.”
“Karena itu kau selalu muncul di dekatku? Untuk melindungiku?”
“Ya.”
“Kenapa? Apa karena kejadian lima belas tahun yang lalu?” tanya Eun-Hye sekali lagi.
Hyun-Shik mengangguk lagi. Perempuan itu hendak bertanya lebih banyak lagi, tapi sayangnya mereka sudah tiba di rumahnya. Ia melihat ibunya, Yoon-Jung, dan para pelayan lain yang menanti kepulangannya dengan raut khawatir.
Eun-Hye menarik napas dalam, menyadari semua kejadian ini adalah resiko yang harus ia tanggung demi bertemu lagi dengan Ji-Hyun. Ia kembali menatap Hyun-Shik. “Aku tidak tahu siapa kalian, tapi aku punya tujuan yang sama denganmu. Aku ingin mengungkap kebenaran lima belas tahun lalu, karena itu bisakah kalian membantuku?”
“Tentu saja. Kau adalah bagian terpenting dalam misi ini.”
Eun-Hye menarik sudut bibir dan mengulurkan tangannya. “Kau harus melindungiku, ya.”
“Tentu saja.” Lelaki itu tersenyum, lalu menyambut uluran tangan Eun-Hye. “Jangan lupakan ini.” Hyun-Shik mengeluarkan kalung bertulisan nama ‘Han Ji-Hyun’ dari sakunya.
Dahi Eun-Hye mengerut. Astaga, bodoh sekali ia tidak sadar kehilangan benda penting ini?
Eun-Hye mengambil kembali kalung itu dan memakainya. “Ah, terima kasih telah menyimpannya. Kupikir aku akan kehilangan benda ini.”
Eun-Hye merasa bisa percaya pada Hyun-Shik. Meski sebenarnya ada banyak yang ingin ia tanyakan, ia harus memilih waktu yang tepat untuk menanyakannya. Tentang Ji-Hyun, ayahnya, kasus peledakkan gedung itu, dan penyerangan sembilan tahun yang lalu. Ia buta dan harus berubah.
Lelaki ini adalah jalan untuk membuka semuanya.
***
“Kau baik-baik saja?” Jung-Im masuk seraya membawakan obat penghilang rasa sakit dan perban, lalu membereskan barang yang berantakan di meja kerja Hyun-Shik. Bola matanya berotasi kesal melihat kamar bernuansa putih itu tampak seperti kapal pecah. Ingin sekali rasanya ia mengoceh, tapi hal itu tidak akan memengaruhi kebiasaan Hyun-Shik.
“Ya. Ini bukan apa-apa. Lagipula lelaki itu akan membayarnya nanti,” ujar Hyun-Shik sembari memakaikan perban dibantu Jung-Im, rekan tim sekaligus sahabat sejak kecil. Setelah perban itu terpasang sempurna, Hyun-Shik berdiri dan melangkahkan menuju salah lukisan dan menggesernya ke kanan. Tampaklah sebuah proyektor yang mengarah pada dinding di hadapannya. Perlahan tampak foto Eun-Hye, Im Jae-Ra serta Lee Kyung-Ju dengan tulisan serta orang-orang terdekat mereka. Hyun-Shik menyentuh foto Eun-Hye dengan lembut.
“Kau masih merasa bersalah dengannya?” Jung-Im melangkah, lalu berdiri di samping Hyun-Shik.
Hyun-Shik mengangguk. “Ya, aku yang menyebabkan ayahnya meninggal dan aku tidak berani mengatakan kebenaran tentang Ji-Hyun.”
“Kau mencintainya?” Jung-Im menoleh pada Hyun-Shik.
Hyun-Shik diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Ya, aku selalu memerhatikannya sejak dulu. Sebenarnya aku berharap Eun-Hye tidak pernah muncul di hadapan publik karena itu akan berbahaya. Tapi ketika melihat keberanian Eun-Hye hari ini membuatku sadar bahwa dia sudah dewasa dan tugasku hanya melindunginya.”
“Kau sudah tahu siapa penyerang Eun-Hye kemarin?”
Hyun-Shik menggeleng. “Aku tidak tahu.”
Jung-Im menghela napas panjang, lalu memerhatikan semua yang ada di hadapannya ini. “Rencanamu ini … kau susun sejak kapan? Kenapa aku baru tahu ada tempat seperti ini di sini?”
“Sejak Seo-Jung meninggal, berkat catatan yang dikirimkan padaku.”
“Kau berniat balas dendam? Apa kau tahu siapa Kau tahu sekarang lelaki bernama Im Jae-Ra sedang mencalonkan dirinya sebagai wali kota Seoul dan kita tidak tahu Lee Kyung-Ju ada di mana. Kita juga tidak tahu tujuan pengirim catatan itu, ‘kan? Bagaimana kalau ini hanya jebakan?”
Hyun-Shik terkekeh mendengar pemikiran yang disampaikan Jung-Im “Kau benar. Kita memang tidak bisa bergerak mencolok saat ini, tapi ini adalah saat yang tepat untuk menghancurkan Im Jae-Ra. Tapi aku merasa ada yang aneh tentang Lee Kyung-Ju .”
“Apa?”
“Entah kenapa aku merasa dia seakan ingin mengatakan sesuatu padaku. Dia tidak pernah berniat membunuh Eun-Hye dan aku sejak dulu.”
“Mwo? Kalau begitu, kenapa dia membunuh Seo-Jung? Jika memang dia orang yang baik, dia tidak akan membunuh seseorang, ‘kan?”
Hyun-Shik mengangkat bahunya. “Mana kutahu. Kalau tahu, orang-orang itu sudah hancur di tanganku. Yang terpenting saat ini hanya saksi dan bukti untuk mengungkap kejahatan mereka.”
“Kim Eun-Hye?” tebak Jung-Im.
Hyun-Shik mengangguk. “Kau benar, tapi kita punya satu kartu as lagi.”
“Siapa?”
Hyun-Shik tidak menjawab sampai sebuah foto muncul di tempat yang kosong. Jung-Im menoleh pada Hyun-Shik ketika mengerti maksudnya. Ah, rasanya sahabatnya ini selalu penuh dengan misteri yang tidak pernah terpikir olehnya. Benar-benar memiliki kemampuan analisis Seo-Jung yang hebat, serta ketelitian yang luar biasa.
“Im Chae-Yeong yang akan menjadi jembatanku dengan Im Jae-Ra.”
***
“Kau merasa ada yang aneh?” Yoon-Jung nampak penasaran ketika Eun-Hye yang sedang duduk di balkon itu menyampaikan pemikiran yang mengganjal Eun-Hye semalaman.
Eun-Hye yang tadinya berdiri menghadap ke luar kini berbalik dan mendekati Yoon-Jung yang duduk di pinggiran tempat tidur. Ia mengangguk. “Ya. Bagaimana bisa Hyun-Shik tahu tentangku, tentang kejadian lima belas tahun lalu, dan apa kaitannya dengan lelaki itu? Menurutmu, aku harus seperti apa?”
“Bagaimana kalau dia polisi atau sejenisnya. Biasanya banyak detektif polisi yang menyamar untuk mendapat informasi tentang kasus-kasus yang rumit seperti tragedi itu.”
“Maksudmu seorang detektif biasa menyelidiki kasus yang ditutup selama lima belas tahun? Ayolah, ini tidak masuk akal. Aku seperti merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku,” ujar Eun-Hye sambil memandangi kalung namanya.
“Yoon-Jung,” panggilnya. Tatapannya beralih pada Yoon-Jung.
“Ya?”
“Cari tahu tentang ayahku.”
***
[Bahasa Korea] Mwo = Apa
Duh gila. Keren banget ini mahhh
Comment on chapter Prolog