“Aku tidak mengira berita itu mengalahkan kepopuleran berita pencalonan wali kota saat ini,” ujar ibu Eun-Hye ketika anaknya masuk ke ruangan kerjanya untuk memberikan dokumen yang akan ditanda-tangani. TV di sudut ruangan menyala, menampilkan wajah Eun-Hye saat diwawancarai pagi tadi. Ada banyak media asing yang terlibat dalam penyebaran berita ini.
Eun-Hye terkekeh. “Itu tandanya kita berhasil.”
Ibunya mengangguk. “Awalnya aku terkejut ketika kau ingin melakukan operasi dan sudah kuduga ini menjadi berita yang besar.”
Eun-Hye tertawa. Ia mengerti betapa ibunya khawatir tentang keputusan ini. Ibunya takut penyerangan sembilan tahun yang lalu kembali terulang lagi. Tapi sekarang ia sudah dewasa dan tahu bagaiamana ia melindungi dirinya sendiri. Meski sebenarnya ia masih trauma dengan kilatan cahaya yang mengenai wajahnya saat lima belas tahun lalu. Selalu menganggap media mengingatkan Eun-Hye pada kejadian tragis dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak sanggup dijawabnya.
‘Benarkah kedua kakakmu sudah meninggal?’
‘Apa yang terjadi sebenarnya?’
‘Apa anda menyaksikan kejadiannya?’
Tiga pertanyaan serupa yang selalu ia hindari selama ini. Semuanya terasa sangat nyata ketika pertanyaan-pertanyaan itu menguak sisi kelam hidupnya. Setelah kematian kakaknya, orangtuanya bertengkar mengakibatkan kebutaan Eun-Hye. Ayahnya menghilang dan ia tidak tahu kenapa nyawanya selalu terancam. Kondisi yang memaksa ibunya untuk melindungi dengan cara yang terdengar kejam.
Memalsukan kematian Eun-Hye.
Ia merasakan dingin dan kesepian selama lima tahun sampai seorang anak laki-laki jenius masuk ke hidup mereka. Han Ji-Hyun yang memberikan semangat untuk bertahan hidup. Sosok yang menjadi alasan Eun-Hye untuk menghadapi trauma.
Eun-Hye melangkah memasuki kafe yang baru dibangun tahun lalu. Denting halus piano menyapa telinganya begitu memasuki kafe bernuansa coklat yang memanjakkan penciumannya dengan aroma makanan dan kopi yang khas. Membuat perutnya semakin lapar dan tidak sabar menyantap menu terbaik kafe ini.
Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kafe mungil yang terlihat sangat nyaman. Dengan beberapa meja yang diletakkan rapi sepadan dengan kursi yang disusun berhadapan. Bodohnya, ia malah menabrak seseorang ketika hendak menduduki kursi di pojok kafe. Membuat gadis itu terdorong ke belakang dan menabrak salah satu kursi.
“Apa kau baik-baik saja?”
Eun-Hye meringis, lalu mengangguk. Ia mengumpulkan kekuatan untuk mengangkat wajah dan melihat pemuda yang sedikit membungkuk sembari menahan lengannya. Gadis itu terdiam sejenak ketika merasa wajah itu terasa familiar dengannya. Seperti mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Ah, aku baik-baik saja. Maaf telah menabrakmu.” Eun-Hye tersadar dan keduanya berdiri tegak.
Lelaki itu balas tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Im Chae-Yeong.”
“Kim Eun-Hye.” Gadis itu tersenyum tipis seraya menyambut uluran tangan Chae-Yeong.
Tak lama seseorang lelaki dengan pakaian formal berambut hitam berlari menghampiri mereka. Mata Eun-Hye menyipit ketika melihat wajah lelaki itu. Eun-Hye merasa kenal dengan lelaki ini, tapi siapa?
“Dia pengawal pribadiku, Kim Hyun-Shik.” Chae-Yeong menunjuk pemuda itu.
“Kim Hyun-Shik.” Lelaki itu membungkukkan tubuhnya.
“Kim Eun-Hye.”
Akhirnya, gadis itu malah terjebak dalam kecanggungan. Entah bagaimana caranya ia bisa berada di tengah dua lelaki itu. Membicarakan tentang bisnis, percintaan, bahkan politik di Seoul saat ini. Membuat gadis itu merasakan sensasi berbeda ketika Hyun-Shik tertawa. Seakan merasa dekat dan nyaman dengan lelaki itu.
***
Embusan angin malam di musim dingin seakan menyusup di mantel tebal yang dikenakan Eun-Hye. Matanya menatap lekat butiran salju pertama yang turun, menarik ingatan Eun-Hye dalam nostalgia kebersamaannya dengan Ji-Hyun. Ia teringat ketika mereka menghabiskan musim dingin dan menyaksikan kembang api bersama-sama. Kenangan yang membuat dadanya sesak.
Ia mengedarkan pandangan berkali-kali, berharap ada bus atau taksi yang melintas sambil menyesali kebodohannya yang lupa membawa charger ponsel dan menolak pengawalan dari Goo-Ju.
Dingin.
Keadaan yang terus menekan Eun-Hye pada ingatan masa lalu yang kelam tentang kematian kedua kakaknya dan pria dalam gedung. Kadang ia bertanya-tanya di mana ayahnya sekarang. Apakah ayahnya masih hidup? Jika iya, kenapa tidak menemuinya hingga sekarang?
Merasa lelah, Eun-Hye menyandarkan punggungnya ke dinding toko yang sudah tutup sejak tadi. Tubuhnya semakin lemah dan membeku serta pandangan yang mulai memudar. Dingin seakan menambah sakit yang kerap menyerang kepalanya akhir-akhir ini. Mungkin karena melawan trauma terhadap kilatan cahaya kamera.
“Apa kau membutuhkan tumpangan?”
Sontak Eun-Hye menoleh ketika suara yang terdengar familiar itu menyapa telinganya. Lelaki berambut hitam dengan tangan kanan memegang payung, sedangkan tangan satunya masuk ke saku jaket.
“Ayo, aku akan mengantarmu pulang.” Lelaki itu menarik pelan lengannya sebelum Eun-Hye menjawab.
Mata Eun-Hye melebar, perasaannya meledak-ledak. Untuk pertama kali setelah sekian lama, Eun-Hye merasa nyaman dengan seorang lelaki. Sejak dua mata indah itu menatapnya, menarik Eun-Hye masuk ke mobil. Mengingatkan Eun-Hye pada sosok yang selama ini dirindukannya. Jemari itu seolah tidak asing. Seolah jemari itu yang menggenggam dan menjaganya selama ini.
“Apa kau baik-baik saja?” Lelaki itu menoleh sambil menyalakan mesin mobil.
Eun-Hye tersentak ketika suara parau pemuda itu menyapa telinganya. Ia menoleh. “Ya, aku baik-baik saja.”
“Apa kau tidak nyaman bersamaku?” Kali ini nadanya sedikit sendu dan membuat Eun-Hye terdiam. Bukan itu yang ia rasakan. Ia hanya tidak bisa mengutarakan perasaannya saat ini.
“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin menolongmu.”
“Bukan seperti itu!” bantah Eun-Hye, kini ia menatap lurus mata yang membuatnya kembali teringat pada Ji-Hyun. “Tapi karena kau mengingatkanku pada seseorang,” lanjutnya.
Lelaki itu menghela napas. “Kalau boleh tahu, aku mengingatkanmu pada siapa?”
Eun-Hye terdiam. Mulutnya seakan terkunci. Ia menggenggam erat ujung mantel dan menatap lurus ke bawah. “Dia orang yang berharga bagiku.”
“Kekasihmu?” Lelaki itu menebak.
Gadis itu menggeleng. “Bukan seperti itu .... Dia teman masa kecilku, sekaligus penyelamatku.”
“Kau menunggunya karena merasa berhutang budi padanya?”
“Kurang lebih seperti itu, tapi ada alasan yang lebih kuat. Dia satu-satunya yang mau menerimaku dan tahu keberadaanku saat itu.”
“Wah, kau gadis yang luar biasa. Jujur saja, jika aku jadi kau, aku pasti sudah lama melupakan janji itu. Bukan aku meledek, tapi siapa yang percaya pada janji masa kecil?”
Ucapan lelaki itu seakan melesat tepat di jantungnya. Sebuah ucapan yang benar, tapi entah kenapa ia tidak bisa menerimanya. Apakah ia terlalu bodoh? Siapa yang percaya pada janji masa kecil yang diucapkan ketika mereka masih labil?
Akhirnya mereka terdiam satu sama lain seiring mobil sedan hitam itu melaju cukup kencang di jalanan Seoul. Sepuluh menit kemudian, mereka telah tiba di kawasan Nonhyeon. Berbagai macam jenis rumah minimalis yang mewah berjajar rapi, dan sepi. Hanya beberapa orang bermantel tebal yang keluar dari rumah.
“Di sebelah sana.” Eun-Hye menunjuk sebuah jalan lumayan lebar yang diapit pepohonan yang hendak meranggas. Di ujung jalan tersebut, berdiri sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna cokelat. Rumah itu tampak mewah dengan cat putih dengan garis coklat tua.
Lelaki itu menghentikan mobilnya dan memandang lekat pada rumah yang terasa familiar. Perasaan aneh itu muncul ketika kenangan demi kenangan kembali berkelebat samar dalam pikirannya, seakan memandu langkahnya untuk kembali. Seakan hubungannya dengan rumah ini sangat lekat.
“Masuklah dulu, di luar sangat dingin. Izinkan aku berterima kasih padamu.”
Lelaki itu menggeleng pelan. “Aku harus segera pulang,” tolaknya pelan. “Mungkin lain kali saja.”
“Ah, baiklah. Terima kasih telah mengantarku pulang,” ujar gadis itu sambil membungkukkan tubuhnya, kemudian hendak membuka gerbang bercat coklat dengan ornamen berwarna emas.
“Tunggu.” Tangan lelaki itu bergerak cepat menahan lengan Eun-Hye, membuat gadis itu kembali memutar tubuhnya.
“Kau benar-benar lupa padaku?” tanya lelaki itu dengan ekspresi kecewa.
Gadis itu terdiam sejenak, mencoba menggali ingatannya yang payah. “Kim Hyun Shik?” tebaknya ragu-ragu.
“Bingo!” Lelaki itu berseru riang. “Ya ampun …. Aku pikir kau benar-benar lupa padaku, Kim Eun-Hye ssi.” Hyun-Shik menghela napas lega, lalu tersenyum.
“Panggil Eun-Hye saja, tidak perlu terlalu formal padaku. Kau membuatku seperti berada di kantor.”
“Baiklah. Senang berkenalan denganmu, Eun-Hye.” Hyun-Shik membungkuk mengucap salam, lalu berbalik memasuki mobilnya.
Sedetik setelah mobil itu melaju, Eun-Hye masih mematung di tempat. Ia tidak tahu kenapa hatinya menghangat ketika lelaki itu memanggil namanya dengan nada yang sama seperti Ji-Hyun. Suara parau yang bersahabat dengan telinganya. Seakan hati mengatakan bahwa dia adalah lelaki baik-baik yang mampu mengisi kekosongan hatinya selama ini. Cara Hyun-Shik bicara, memanggil namanya, dan menggenggam tangannya membekas jelas dalam ingatan Eun-Hye yang rapuh. Sama seperti kehadiran Ji-Hyun dalam hidupnya.
Eun-Hye menggeleng kuat ketika pemikiran itu berusaha menguasainya. Sekuat mungkin ia menentang pikiran untuk melupakan Ji-Hyun dan membuka hati pada Hyun-Shik. Dia mencintai lJi-Hyun dan berharap bisa bersamanya. Eun-Hye tidak bisa membohongi perasaannya. Ketika ia bersama Hyun-Shik, bayangan Ji-Hyun selalu menghantui. Selalu berharap Hyun-Shik adalah Ji-Hyun. Menentang sebuah fakta bahwa mereka adalah dua sosok yang berbeda.
***
“Aku dengar perusahaan kita akan bekerja sama dengan perusahaan J&R,” ujar Eun-Hye ketika makan siang di restoran makanan Korea dekat kantor bersama Yoon-Jung yang kini menjadi sekretaris pribadinya. Ini permintaan Eun-Hye yang merasa karyawan kantor masih meremehkannya yang tidak berpendidikan.
“Ah, benar. Mereka tertarik dengan proyek kita.”
“Sepertinya malam ini aku akan menggantikan Ibu untuk pertemuan.” Eun-Hye bicara tanpa menatap lawan bicara. Jemari lentiknya tampak gigih menyingkirkan irisan bawang putih ke piring kecil di sampingnya dengan sendok.
Hal kecil ini membuat Yoon-Jung tersenyum. Rasanya seperti melihat Eun-Hye kecil yang memasang wajah cemberut sambil menyingkirkan bawang-bawang itu. “Kau benar-benar tidak berubah, ya,” katanya sambil membantu Eun-Hye.
Eun-Hye tertawa kecil. “Andai aku makan di rumah, mungkin aku akan mengomel jika ada bawang di piringku.”
Yoon-Jung mengangguk. “Aku bingung jika memasak untukmu. Kau tidak suka sayuran. Benar-benar seperti ayahmu. Ibumu juga mengomel padaku ketika melihat anaknya menyingkirkan bawang, wortel, atau sayuran dari piringmu.”
Eun-Hye tertawa lagi mengingat kejadian-kejadian di mana ibunya mengomel dan ayahnya tertawa senang melihat anaknya mewarisi banyak kebiasaan dari sang ayah. Ia juga mengingat kejadian ketika Ji-Hyun menyuapinya paksa hingga ia mulai terbiasa makan sayuran, tapi tidak dengan bawang.
“Tidak semuanya kok. Aku hanya tidak suka sayuran yang baunya menyengat seperti bawang.”
“Itu berkat Ji-Hyun yang memaksamu mencoba sayuran. Kalau tidak, mungkin kau akan membenci mereka sampai sekarang.” Eun-Hye mulai menyantap makanan dengan porsi kecil itu. Hanya ada
Eun-Hye tersenyum tipis. Entah kenapa ingatannya tentang masa kecil memang tidak akan ia lupakan meski memang benar ingatannya melemah. Ia akan mengingat kenangan bersama kedua kakanya, ayah, dan Ji-Hyun. Mungkin bisa dibilang ia mengorbankan ingatan lain untuk mengingat tentang mereka.
Satu ingatan yang tidak pernah bisa dilupakannya meski ia ingin.
Ingatan tentang kematian kedua kakaknya.
“Yoon-Jung,” panggilnya. Ia melahap potongan terakhir sebelum menatap Yoon-Jung yang juga sudah selesai.
“Ya?”
“Jika ingatan ini mulai pudar, tolong ingatkan lagi padaku, ya? Sebisa mungkin aku tidak ingin melupakan semua ini. Tentang ayah, kakak, dan Ji-Hyun. Aku tidak ingin melupakan semua itu.”
Selama hampir lima belas tahun sejak tragedi, Eun-Hye selalu mengulang-ulang kenangan itu dalam benaknya. Ingatannya melemah karena benturan yang membuatnya buta. Dokter mengatakan bahwa ingatan Eun-Hye tidak akan bertahan lama, sehingga memaksa gadis itu menuliskan semuanya di dalam buku dengan bantuan Yoon-Jung. Wanita itu juga yang menceritakan pada Eun-Hye ketika hendak tidur. Seperti sebuah dongeng yang mengantarnya ke alam mimpi.
Dering ponsel Yoon-Jung membuat wanita itu beranjak dari tempat duduk dan pergi menjauh beberapa langkah. Eun-Hye sendiri mengeluarkan kalung yang bersembunyi di balik kemejanya. Kalung yang bertuliskan nama Ji-Hyun. Ia tersenyum, lalu mengusap nama itu dengan lembut.
Dua puluh tahun. Itulah usianya saat ini. Sembilan tahun usia ia dihabiskan untuk menunggu lelaki itu kembali dan ia tidak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.
“Sepertinya kita harus kembali!” Yoon-Jung menghampiri Eun-Hye dengan wajah panik, membuat Eun-Hye mengerutkan dahi. Membuat Eun-Hye bertanya-tanya siapa yang menghubungi sekretarisnya tadi.
***
Kim Eun-Hye dalam balutan gaun berwarna merah muda selutut lengkap yang dipadukan dengan blazer putih sesekali melirik arloji yang melingkar di tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 19.20, tapi dan belum ada tanda kedatangan orang yang ditunggu olehnya. Ia mengedarkan pandangannya sekali lagi dan hanya mendapati pasangan yang bergandengan tangan. Pemandangan yang membuatnya teringat masa kecil bersama Ji-Hyun ketika berjalan di Deoksugung Doldam-Gil.
Kenangan tentang lelaki itu kembali muncul seakan melihat ia dan Ji-Hyun dalam pasangan itu. Seandainya lelaki yang malam ini mengajaknya bertemu adalah Ji-Hyun, ia pasti gembira sekali. Bisa saja kalau direktur itu adalah Ji-Hyun, ‘kan? Sembilan tahun lelaki itu pergi dan menjadi pengusaha sukses. Mungkin saja dan Eun-Hye berharap itu benar.
“Kau menunggu lama?” Suara parau seorang lelaki tiba-tiba menyapa telinganya dan membuat Eun-Hye bangun dari lamunan. Ia menoleh dan mendapati Hyun-Shik sedang berdiri di sampingnya dengan pakaian formal. Lelaki itu tampak sedikit berbeda, mungkin karena perbedaan suasana, tapi kenapa lelaki itu ada di sini?
“Masuklah, aku diperintahkan untuk menjemputmu.” Lelaki itu membukakan pintu mobil untuknya.
“Tu-tunggu! Apa kau tidak salah orang?” Alis Eun-Hye bertaut dan ia melangkah mundur menjauh dari Hyun-Shik.
Hyun-Shik menatapnya heran. Ia memiringkan kepala, lalu menunjukkan pesan dari atasannya pada Eun-Hye. “Bukankah malam ini kau ada pertemuan dengan direktur perusahaan kami? Aku datang untuk menjemputmu.”
“Apa? Maksudku, memang benar tentang pertemuan itu, tapi jangan bilang direktur itu adalah atasanmu waktu itu? Lelaki yang bertemu denganku di kafe?”
Lelaki itu mengangguk. “Ya. Im Chae-Young adalah direktur utama kami. Apa ada masalah?”
“AHHH! YA TUHAAANN! Sepertinya aku terlalu banyak berharap!” Eun-Hye mengerang kesal seraya memasuki mobil diikuti kekehan pelan dari lelaki itu.
“Memangnya kau berharap apa?” Hyun-Shik melirik Eun-Hye yang mengerucutkan bibirnya dari spion tengah. Ia mengulas senyum tipis, lalu menyalakan mesin mobil.
Eun-Hye merotasikan bola matanya kesal. “Kau tahu? Sejak tadi aku berharap direktur yang kutemui itu adalah orang yang kutunggu selama ini. Sekarang kau menghancurkan semua ekspetasiku barusan. Terima kasih telah menghancurkannya.”
Lelaki itu terkekeh. “Sama-sama.”
Berkat sifat akrab Hyun-Shik, Eun-Hye berhasil menikmati perjalanan ini. Bahkan Hyun-Shik tak segan untuk menggoda Eun-Hye habis-habisan. Ia meledek Eun-Hye dan sesekali mengusilinya. Hingga perjalanan mereka berakhir. Lelaki itu menghentikan mobilnya di depan restoran, lalu keluar untuk membukakan pintu Eun-Hye. Ia mengulurkan tangan dan menuntun Eun-Hye masuk ke restoran mewah itu dengan lembut.
“Terima kasih.” Senyum Eun-Hye mengembang ketika mendapat perlakuan manis dari Hyun-Shik, sedangkan lelaki itu hanya mengangguk pelan.
Restoran bernuansa eropa itu tampak sepi, mengingat harga menunya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya. Hanya ada beberapa bangku yang terisi. Lelaki itu mengantarkan Eun-Hye ke dalam ruangan khusus di mana Chae-Young telah menunggu. Gadis itu membungkukkan tubuh ketika mereka bertemu, lalu duduk berhadapan. Lain dengan Hyun-Shik yang berdiri di ambang pintu.
“Ini pertemuan kedua kita, benar, ‘kan?” Chae-Young mulai membuka pembicaraan.
“Ya. Aku sempat terkejut begitu tahu perusahaan kami akan menjalin kerja sama dengan perusahaanmu,” ujar Eun-Hye sambil menuangkan teh pada gelas Chae-Young. Sepertinya lelaki itu tahu kalau ia tidak bisa meminum soju dan menggantinya dengan teh herbal. Pilihan yang bijak.
“Yah, karena kita sudah pernah bertemu sebelumnya, aku tidak ingin menyita waktumu terlalu lama. Sebenarnya aku agak terkejut ketika tahu kau yang datang malam ini, bukan ibumu. Tapi baguslah, jadi aku bisa mengatakan langsung padamu,” ujar Chae-Young sambil meminta bawahannya mengeluarkan selembar kertas dan kotak kecil.
“Menikahlah denganku.” Lelaki itu menyodorkan kotak merah kecil bersama dengan kertas itu.
Mata Eun-Hye membulat. “Apa?”
Apa-apaan ini? Kenapa pertemuan formal ini malah menjadi acara lamaran? Ia tahu kalau mereka pernah bertemu, tapi kenapa lelaki itu tiba-tiba melamarnya? Tidakkah lelaki itu merasa aneh?
“Tunggu, kenapa kau tiba-tiba melamarku? Bukankah harusnya kita membicarakan masalah kerjasama?”
“Sepertinya kau masih belum paham dunia bisnis. Ini adalah hal yang biasa terjadi. Kau tahu bahwa perusahaan kita memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis Korea dan bayangkan jika dua perusahaan ini bergabung.” Lelaki itu menghentikan ucapannya dan mendekatkan wajah pada Eun-Hye sambil memamerkan seringainya. “Kita tidak akan dikalahkan oleh perusahaan lain.”
“Aku menolak,” tolak Eun-Hye dengan mantap. Ia menatap Chae-Young dengan serius. “Aku tahu perusahaan kita memiliki pengaruh besar di Korea, tapi pernikahan hanya terjadi satu kali dalam hidupku. Aku tidak bisa menghabiskan sisa waktuku bersama pria yang tidak aku cintai.”
Lelaki itu terbahak. “Kau lugu sekali. Memangnya kenapa jika tidak saling mencintai? Bisnis bukan ajang cinta, tapi ajang bertahan hidup. Aku tidak akan memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Kau bisa pikirkan hal ini dan tentu saja ini tidak akan mempengaruhi kerja sama kita. Ini hanya sebuah penawaran dan aku harap kau memberikan jawaban yang aku inginkan.”
“Aku tetap pada pendirianku.” Gadis itu berdiri. “Aku tidak bisa menerima lamaran ini. Aku hanya menikah dengan pria yang aku cintai. Terima kasih atas penawarannya. Selamat malam.” Eun-Hye kemudian melangkah keluar, meninggalkan Chae-Young yang menertawakannya.
Eun-Hye berjalan tanpa tujuan dan berhenti di tempat ini. Bukit masa kecil tempat ia dan Ji-Hyun sering bermain sekaligus tempat Ji-Hyun berjanji akan kembali. Ia mengeluarkan kalung dari tas, lalu mengusap nama 'Han Ji-Hyun' dengan lembut sambil tersenyum. Ingatan-ingatan itu kembali berulang dalam benaknya. Seperti sedang melihat seorang anak laki-laki menuntun gadis buta menuju tempat ini.
Eun-Hye mendongak ke langit yang tertutup awan mendung, merenung, lalu melirik arlojinya. Pukul setengah sembilan malam. Tepat ketika ia hendak berbalik, seseorang menyekapnya dari belakang. Ia sempat memberontak, tapi sayang penyekapnya memukul tengkuk Eun-Hye. Perlahan kesadaran Eun-Hye menghilang.
***
[Bahasa Korea] Deoksugung = Jalan dinding batu Deoksugung yang ada di Korea Selatan
[Bahasa Korea] Soju = Minuman keras khas Korea yang dibuat dari beras atau tepung-tepungan.
Keren banget ceritanya.
Comment on chapter Prolog