Loading...
Logo TinLit
Read Story - Untuk Reina
MENU
About Us  

Lama ya nunggu cerita ini up! ini dia buat yang masih penasaran sama si jaket merah!

Jangan lupa, like dan reviewnya.

 

Abdi menyusuri sebuah perkampungan di Bandung selatan. Di tangan kanannya ada secarik kertas bertuliskan sebuah alamat. Berharap alamat yang pernah diberikan oleh ibunya beberapa tahun lalu itu bisa memberikan titik terang tentang keberadaan ayah kandung Reina. Secarik kertas itu sempat dia lupa menyimpannya. Abdi sudah mengacak-acak seisi kamarnya untuk menemukan kertas itu. Akhirnya kertas usang itu dia temukan di gudang rumahnya bersama barang-barang mendiang ibunya.

Langkah Abdi terhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi yang tingginya hanya sebatas perut orang dewasa. Rumah bergaya kolonial belanda yang cukup besar. Halaman rumahnya luas di hiasi rumput-rumput hijau dan batu-batu yang di susun rapi sebagai pijakan untuk berjalan.

Sekali lagi Abdi memastikan, mencocokan nomor rumah tersebut dengan nomor yang tertulis pada secarik kertas di tanganya. “Jalan Kenanga, nomor sepuluh. Bener ini rumahnya.”

Punten kang cari siapa?” tanya seorang gadis tiba-tiba saja datang mendekati Abdi.

Sesaat Abdi memperhatikan gadis itu. Gadis manis dengan lesung pipi, mengingatkannya pada seseorang. “Maaf, apa benar ini kediamannya keluarga Laksana Putra?” tanya Abdi pada gadis dengan rambut bergelombang itu.

“Iya, saya putrinya. Ayo masuk,” gadis itu membuka pagar rumahnya mempersilahkan Abdi masuk. “Kamu siapanya papi?”

Abdi tersenyum mendengar penuturan gadis itu. Dugaannya tak salah kalau dia pasti saudara perempuan Reina. “Saya anaknya teman papi kamu, kebetulan saya mendapatkan amanat untuk menemui papi kamu.”

Gadis itu mengangguk mengerti. Dia melepaskan sepatunya begitu sampai di depan rumah, begitu juga dengan Abdi. Kemudian gadis itu mengambil dua pasang sandal. Satu untuk dirinya satu lagi untuk Abdi.

“Dipakai, disini dingin,” Ucap gadis itu membawa Abdi masuk. Dia mempersilahkan Abdi duduk di ruang tamu. “Tunggu sebentar ya.”

Kemudian gadis itu menghilang di balik pintu. Abdi mengamati interior rumah tersebut. Bercat putih dengan sofa-sofa empuk didalamnya. Ada satu perapian yang nampaknya hanya dijadikan hiasan. Foto-foto keluarga terpasang rapi pada dinding. Abdi duduk dan menyimpan ranselnya di samping.

Tak lama kemudian gadis itu kembali dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring mochi. “Papi belum pulang,” tutur gadis itu seraya meletakan cangkir teh dan piring Mochinya di depan Abdi. “Besok pagi baru papi pulang.”

Gadis itu duduk di dekat Abdi, di sofa yang berbeda. “Oh, kalau gitu saya pulang dulu.”

“Jangan, ini sudah sore. Di luar juga turun hujan. Kamu gak bawa kendaraan kan?”

Benar Abdi memang tidak membawa kendaraan. Dia datang ke Bandung menggunakan angkutan umum. Pandangannya tertuju pada jendela memperlihatkan tetesan-tetesan air hujan yang jatuh mencium bumi. Namun, pikirannya juga berkecamuk tak tenang. Rasa canggung menyelimuti dirinya. Haruskan menginap di rumah ini? Abdi bahkan tak mengenal siapapun di sini.

Seorang wanita datang menghampiri mereka. Wanita itu tersenyum anggun pada Abdi. Sedangkan Abdi langsung berdiri menyalami wanita itu dengan sopan. Wanita dengan daster biru muda itu kembali mempersilahkan Abdi duduk.

“Kamu dari mana?” tanyanya kemudian.

“Dari Jakarta tante. Saya ada perlu dengan pak Laksana.”

Wanita itu tersenyum. “Dia suami saya. Oh ya, nama kamu siapa?”

“Saya Abdi, tante.”

“Kalau nama tante Hulya, ini putri tante namanya Kiana Andara. Ngomong kamu kenal suami saya dari siapa?”

Abdi diam beberapa saat, mencari jawaban yang tepat. Dirinya tidak mengenal dan tidak pernah bertemu sekalipun dengan ayah kandung Reina. Dia datang ke rumah ini pun berdasarkan cerita dan alamat rumah yang ibunya berikan sebelum kematiannya.

“Em... sebelumnya saya tidak pernah bertemu dengan suami tante, tapi saya hanya mendengar ceritanya dari mendiang ibu saya.”

Hulya menatap Abdi dengan seksama. Selama ini dia sudah menduga-duga bahwa suatu saat nanti akan ada seseorang yang mencari suaminya itu. Dia tahu masa lalu suaminya dengan perempuan lain. Hulya melirik putrinya.

“Sayang, tolong buatkan mama teh hangat ya, jangan pakai gula.” Pintanya pada Kiana.

“Iya, mih.”

Kiana beranjak memberikan waktu berdua untuk Hulya dan Abdi. Hulya kembali memperhatikan Abdi. Namun, tak satupun dari wajah cowok itu yang mirip dengan suaminya. Suami yang sampai sekarang tidak bisa melupakan mantan kekasihnya yang selalu membuat suaminya merasa bersalah.

“Kamu anaknya Andara?”

“Bukan, bukan saya tante tapi...”

“Tapi, siapa?”

“Sepupu saya. Reina.”

Hulya menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Akhirnya seseorang yang selama ini dicari akan segera ditemukan. Hulya tak pernah marah dengan masa lalu suaminya. Dia juga tak marah ketika nama belakang putrinya sama seperti nama mantan kekasih suaminya itu.

Hulya tahu betul bahwa hidup suaminya selama ini dipenuhi dengan rasa bersalah kerena telah menelantarkan Andara yang ketika itu sedang hamil. Ada perasaan lega dalam diri Hulya, setidaknya semoga setelah ini tidak akan ada lagi suaminya yang gelis karena merasa begitu berdosa.

***

Suara langkah kaki Reina menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Sepatunya mengadu begitu kuat dengan lantai putih itu hingga beberapa kali terdengar decitan nyaring. Rambutnya yang tergerai sempurna terombang-ambing seiring dengan langkah kakinya yang cepat. Airmatanya sudah tidak bisa dibendung lagi.

Sejak dia mendengar kabar bahwa Riga kecelakaan, sejak saat itu pula Reina menangis. Benar bahwa ancaman itu nyata, bukan hanya dalam mimpinya. Kenapa harus orang-orang yang disayanginya? Kenapa harus karena dirinya? Salah apa dia selama ini? Siapa orang yang begitu tega melakukan kejatahan hingga merenggut nyawa seseorang yang berharga?

Alexa dan Djorgi langsung menatap ke arah Reina yang berlari mendekati mereka. Alexa menghampiri Reina, langsung memeluk gadis itu erat. Mengusap rambutnya yang panjang berusaha menenangkan Reina.

“Riga, Riga gimana tante?” tanya Reina sambil terisak di dalam pelukan Alexa.

Alexa mengecup puncak kelapa Reina lembut sebelum berkata. “Kita yang berdo’a yang terbaik ya. Dokter masih berusaha.”

Haruskan Reina katakan bahwa sekarang dia benci mendengar kata berdo’a. Kata yang sama yang dulu pernah orang-orang ucapkan untuknya ketika ayah angkatnya berada dalam keadaan kritis, ketika ibunya Abdi juga mengalami hal yang sama, ketika Aresh tak pernah ditemukan dan ketika Shaka koma.

Dia berdo’a, namun akhirnya apa? Tak satupun dari do’a-do’anya yang didengar. Tuhan justru mengambil mereka semua. Membuat Shaka bertahun-tahun tak sadarkan diri. Membuat dirinya semakin merasa bersalah.

Reina tak lagi berkata. Dia hanya diam sampai Alexa mengurai pelukan mereka dan membawanya duduk. Sesaat Reina memandang pada Djorgi yang tangannya masih dibalut perbah akibat kecelakaan beberapa hari yang lalu dan itu juga karena dirinya.

Ponselnya bergetar, Reina membuka pesan yang masuk.

Bagaimana kalau aku dorong Sheila ke sungai? Sama seperti Aresh. Pasti menyenangkan, bukan?”

Lagi-lagi pesan yang sama, tapi dari nomor yang berbeda. Meski begitu setiap pesan yang dikirim selalu berkaitan dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Reina tak bisa menghubungi nomor-nomor tersebut, karena begitu pesannya dibaca nomor itu sudah tidak aktif. Digenggamnnya kuat-kuat ponsel miliknya itu untuk meredam rasa yang berkecamuk di hatinya.

Sakit.

Sedih.

Marah.

Terluka.

Mungkin setelah ini Reina harus menjauh dari semua orang. Dia hanya perlu sendiri agar orang-orang di sekitarnya baik-baik saja. Setidaknya itulah yang Reina pikirkan. Tak ada yang saling bicara diantara mereka bertiga. Cukup lama menunggu, hingga akhirnya dokter keluar dari ruangan itu.

Ketiganya langsung menghampiri dokter yang masih menggunakan pakaian operasi. Dokter itu tersenyum menjelaskan pada mereka tentang keadaan Riga. Beruntung karena nyawa Riga masih bisa diselamatkan. Raut lega nampak di wajah Alexa dan Djorgi, namun tidak dengan Reina.

“Kalian boleh menjenguknya, tapi satu-satu ya. Setelah kondisinya stabil barulah Riga akan kami pindahkan ke kamar rawat.” Jelas dokter berkacamata itu.

“Iya, dok terimakasih.”

Alexa lebih dulu masuk setelah menggunakan pakaian steril yang diberikan oleh seorang perwat. Sedangkan dari luar Reina dan Djorgi menunggu. Djorgi menatap Reina dengan sendu. Tangan kirinya mengusap puncak kepala kekasih putranya itu.

“Jangan khawatir, Riga itu anak yang kuat. Dia pasti baik-baik saja.”

“Iya om.” Lirih Reina tersenyum untuk menutupi kegundahan hatinya.

Alexa keluar, dia mempersilahkan Reina masuk. Dengan langkah yang gemetar Reina masuk ke dalam ruangan itu. Menutup pintu ruangan serba putih itu perlahan dan menyandarkan dirinya di sana. Reina berdiam diri memandangi Riga yang terpejam dengan kepalanya yang diperban, juga kakinya.

Reina tak berani mendekat. Dia hanya menangis di ambang pintu memandangi Riga. Tak ingin berlama-lama melihat kekasihnya itu, Reina segera menghapus airmatanya dan segera keluar dari ruangan itu. Melepaskan pakaian steril dengan tergesa dan berlari menjauh meninggalkan Alexa dan Djorgi yang bingung melihatnya.

Teriakan Alexa bahkan tak lagi Reina dengar. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • yurriansan

    Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
    dan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • yellowfliesonly

    @lanacobalt tidak ada Adit di sini, adanya abdi. haha....

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • lanacobalt

    Saya menebak pria berjaket merah itu bukan Aresh, tapi Adit. hahaha
    Saya suka tokoh Reina, terkadang orang yang ceria belum tentu tidak punya masalah.
    Ditunggu kelanjutannya, semangat nulisnya.
    Jangan lupa mampir ke ceritaku, ya.

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • Ahnafz

    Duh Reina bikin gemes aja :)

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • Awaliya_rama

    Duh, Riga dipacarin doang tp, gak dicintai

    Comment on chapter Permintaan Maaf
  • Kitkat

    Next kak hehe

    Comment on chapter Riga Si Anak Rumahan
Similar Tags
A Ghost Diary
5389      1756     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Phased
6092      1809     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
Surat untuk Tahun 2001
5148      2143     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
KATAK : The Legend of Frog
426      343     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Praha
302      184     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Cinta Pertama Bikin Dilema
5010      1382     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Garden
5394      1680     5     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Cinta yang Berteduh di Balik Senja
1093      710     2     
Fantasy
Di balik kabut emas Lembah Fengliu tempat senja selalu datang lebih pelan dari tempat lain dua orang duduk bersisian, seolah dunia lupa bahwa mereka berasal dari dua keluarga yang saling membenci sejak tujuh generasi silam. Aurelia Virelle, putri dari Klan Angin Selatan, dikenal lembut dan berkelas. Kecuali saat dia lapar. Di saat-saat seperti itu, semua aura anggun luntur jadi suara perut ker...
Story Of Chayra
12825      3138     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...