Semakin besar rasa cinta seseorang terhadap lawan jenisnya, maka semakin besar pula rasa cemburunya. Bukan karena tidak percaya, melainkan tidak suka jika ada yang dekat dengan kekasihnya. Rasanya ingin sekali memonopoli kekasihnya itu hanya untuk sendiri.
Riga baru merasakan hal itu akhir-akhir ini. Ruang ujian mereka di lantai yang sama. Reina yang memang mudah bergual itu terlihat dekat dengan teman-temannya. Cewek itu sedang duduk di bangku yang berjajar di sepanjang lorong sekolah. Dan Riga sedang berdiri memperhatikannya tak jauh dari tempat Reina berada.
“Terus rencana liburannya jadi?” tanya Reina pada teman-temannya.
“Jadi dong, kan gue koordinatornya!” jawab Andre bangga.
“Di mana?”
Andre menggeser duduknya lebih mendekat dengan Reina. “Ada dua opsi, yang pertama ke bandung, yang kedu ke Bromo.”
“Bromo aja, gue belum pernah ke sana.”
“Penentuannya nanti lewat voting, habis ujian kelar.”
“Padahal gue lebih suka ke pantai, ini kan musim panas. Apalagi kalau ke Bali, beeh... bisa liat cewek-cewek berbikini.” tutur Yasha.
“Yey dasar otak mesum!” Mia memukul kepala Yasha dengan gulungan kertas.
“Itu obat paling ampun setelah ujian.”
“Justru itu ujian bege. Ujian iman.”
Yasha berdiri dari duduknya. “Nanti yang cewek-cewek suruh pada bawa bikini, terus joget hula-hula.” Yasha memeragakan gerakan tarian hula-hula dengan lues. Menarik lengan Reina untuk bergabung bersamanya, tetapi sebelum Reina melakukan gerakan seperti Yasha, cewek itu mematung melihat Riga yang sudah berdiri di hadapannya.
“Lepasin tangan cewek gue.” titah Riga dingin. Seketika ucapannya itu langsung membuat Yasha terintimidasi.
“Sorry bro, gue gak ada maksud kok. Hehe.”
Tanpa basa-basi lagi Riga menarik Reina menjauh dari teman-temannya. Cowok itu membawa Reina ke sudut ruangan. Baru sekali ini Reina melihat sorot mata Riga yang tajam seperti predator yang mengawasi mangsanya. Reina menelan ludahnya susah payah.
Riga memojokan Reina ke dinding, mengungkung cewek itu dengan kedua tangan kekarnya. Keduanya bisa saling merasakan hebusan nafas masing-masing. Berada di jarak sedekat ini membuat Reina semakin gugup.
“Kemarin aja nangis, sekarang udah ketawa-ketawa lagi. Pake pegang-pegang tangan segala lagi.” ucap Riga dingin.
“Jangan ngelihatin gue kayak gitu, nanti mata lo bisa copot, kan serem.”
“Bisa gak buat gak deket-deket lagi sama temen-temen cowok lo?” meski kalimat yang keluar tanpa unsur bentakan, tapi itu berhasil membuat Reina merungkut ketakutan. Apalagi setiap katanya penuh dengan penekanan.
“Enggak, mereka temen gue.”
“Ternyata ujiannya lebih berat dari soal Fisika, atau Kimia.” Riga menjauh dirinya dari Reina.
“Ujian apa yang lebih berat dari Fisika dan Kimia?”
“Ujian mencintai lo.”
Reina diam menunduk. Tangan kanannya memenekan dada kirinya. “Riga, detak jantung gue sama kayak punya lo.” ucap Reina ketika merasakan detak jantungnya yang bertalu sangat cepat seperti ketika dia merasakan detak jantung Riga waktu itu.
“Lo udah cinta sama gue?”
“Bukan, tapi ini karena gue tadi sempet takut sama lo.”
“Bilang ya kalu udah cinta.” Riga mengusap kepala Reina dan pergi begitu saja.
“Dih? Udah buat gue kena serangan jantung, dia malah pergi seenaknya. Riga!! Nyebelin lo!” Reina berlari menyamai langkah Riga yang lebar-lebar itu. “Kantin yuk, Ga. Gue laper.”
“Di tas gue ada makanan, mau?”
“Apa dulu?”
“Udah ikut aja.” Riga membawa Reina ke kelasnya. Cowok itu mengeluarkan kotak bekal miliknya dan memberikannya pada Reina. Dengan mata berbinar Reina membuka kotak makan itu.
“Ini buatan tante cantik?”
“Gue sendiri yang buat.”
“Dari wanginya sih enak, tapi gak tahu deh rasanya.”
“Lo meragukan kemampuan masak gue?”
Reina mengangguk, satu suapan nasi goreng seafood masuk ke mulutnya. Lalu cewek itu memotong telur dadar dan menyuapkannya. “Ihni sieuh bhuathan thante chantuik.” kata Reina dengan mulut penuh.
“Gue yang bikin, bukan mama.”
“Gak percaya!”
“Mau gue tunjukin?”
“Boleh, pulang sekolah ya. Gue mau spagheti aglio olio sama Rosemarie chicken steak. Gimana sanggup gak?”
“Lo kira restoran?”
“Itu artinya lo emang gak bisa masak.”
Riga menjitak kepala Reina. “Kalau ternyata gue bisa, lo harus mengabulkan permintaan gue.”
“Boleh aja, tapi jangan yang aneh-aneh.”
“Enggak.”
“Terus apa permintaan lo?”
“Nanti aja, kalau lo udah nyobain masakan gue.”
***
Ujian semester hari ini sudah usai. Sekolah pulang lebih awal dari biasanya. Murid-murid SMA Cendrawasih berbondong-bondong keluar dari gerbang utama sekolah. Raut-raut lelah terlihat dari wajah mereka. Ada yang mengeluh dengan susahnya soal ujian yang diberikan. Ada juga tenang-tenang saja.
Reina mungkin salah satunya. Tenang bukan karena dia bisa mengerjakan soal dengan baik, tapi tenang karena memang tak mau ambil pusing. Hal terpenting adalah semua soal sudah dia jawab, meski dari hasil menghitung kancing seragam. Urusan nila gimana nanti saja.
Cewek itu sedang duduk-duduk di bangku taman dekat tempat parkir. Ada dua buah pohon mangga, dan bungu-bung yang ditanam di tepi pagar dinding sekolah. Reina tidak sendiri, tapi ada dua orang cowok yang menemaninya. Satu duduk di sebelah Reina, yang satu bersandar di dahan pohon mangga.
“Gue sih, gak mikirin nilai. Paling juga kayak yang udah-udah, dapet tujuh. Ngepas.” tutur Reina pada dua cowok yang menemaninya.
“Gue gak yakin kalau lo sepupunya Abdi, secara dia kan pinter banget.” kata cowok yang duduk di sebelah Reina. Mata sipitnya dibingkai oleh kacamata bulat.
“Abdi kok gak ngambil program IPA? Dia kan pinter?” kali ini cowok satunya yang bicara. Namanya Wira teman sekelas Reina. Sedangkan cowok yang berkacamata itu namanya Dio anak IPS Satu.
“Aslinya Abdi masuk program IPA, tapi dia minta sama pihak yayasan biar satu kelas sama gue. Terus diturutin deh, kalau enggak bisa ngamuk si Abdi, kalau Abdi ngamuk bisa dicabut pendanaan buat sekolah ini.”
Mereka bertiga terlibat obrolan tak tentu arah. Membicarakan banyak hal. Tertawa ketika membicarakan sesuatu yang lucu, salah satunya adalah kumis tebal guru olahraga mereka. Dari kejauhan Riga memperhatikan ketiganya. Lagi-lagi Reina bersama lelaki selain dirinya.
Lalu ada seorang cowok lagi mendekati Reina. Tentu hal itu tak lepas dari pengamatan Riga. Cowok itu berdiri dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Sangat serius mengamati objek di depan matanya.
“Hai Rein!” sapa cowok yang baru saja bergabung.
“Hai juga, Andra!”
“Gue punya sesuatu buat lo,” cowok bernama Andra itu membuka tasnya mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. “Ini buat lo, dimakan ya jangan dibuang.”
“Thanks,” balas Reina senang sambil menerima sebatang cokelat bar pemberian Andra. “Kok lo tahu kalau gue suka cokelat kismis.”
“Dapet tanya-tanya dari Abdi.”
“Owh, ada mudusnya pasti.”
Andra menggaruk tengkuknya karena apa yang Reina katakan itu benar. Tanpa bisa mengelak akhirnya Andra memilih terus terang. “Gue sebenernya....”
“Ayo pulang!” ajak Riga yang sudah berdiri di dekat Reina. Tatapan tajam cowok itu tertuju pada Andra yang berdiri kikuk karena gugup dan malu.
“Yah, nanti aja pulangnya. Gue masih pengen ngobrol sama mereka. Kapan lagi coba, habis ujian semesterkan libur.”
“Pulang.”
“Iya deh,” Reina berdiri. “Gue balik duluan ya.”
Riga menggandeng tangan Reina seakan menunjukan pada khalayak kalau Reina adalah miliknya tak seorangpun berhak mendekatinya. Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya, apalagi Andra.
“Cokelat tadi mana?” tanya Riga menghentikan langkahnya.
“Cokelat dari Andra?”
“Mana?”
“Nih,”
Riga langsung mengambil cokelat itu dari tangan Reina, lalu tindakan berikutnya membuat Reina tercengang. “Kok dibuang! Ga, itukan cokelat kesukaan gue.”
“Gue bisa beliin berapapun lo mau.”
“Tapi, kan gak enak sama Andra yang udah ngasihnya,” raut wajah Reina begitu memelas. “Riga tega.”
“Lo sayang sama cokelatnya apa sama Andranya?” pertanyaan dingin itu terasa menusuk. Reina langsung gelagapan.
“Eh? Bukan..bukan itu maksud gue,” mengatur nafasnya Reina berusaha bicara dengan tenang. “Maksud gue kalau ada yang ngasih itu jangan ditolak apalagi dibuang, itukan sama aja kayak kita menyia-nyiakan rezeki yang udah Allah kasih. Kata ayah sih, gitu.”
“Terus?”
“Cokelatnya, Ga.” Reina merengek meratapi nasib cokelatnya yang berakhir di tempat sampah.
Riga kembali menarik tangan Reina menuntun cewek itu untuk segera masuk ke mobilnya. Reina masih nampak kesal, dia memalingkan muka ketika duduk bahkan ketika Riga menunduk untuk memasangkan seatbelt-nya. Barulah setelah terdengar bunyi klik Riga langsung menutup pintu mobilnya.
Kemudian cowok itu mengitari satu sisi mobilnya, membuka pintunya dan duduk di balik kemudi. Sesaat Riga memperhatikan Reina yang masih cemberut karena ulahnya. Cowok itu tersenyum seraya mengucap puncak kepala Reina.
“Jangan pegang-pegang!” bentak Reina tak suka.
“Kalau cium boleh?”
“Eh? Itukan dialog gue sebelumnya? Gimana sih, ngikutin aja.”
Riga tertawa. Tawa yang jarang sekali Reina lihat. Tawa yang kini membuat jantungnya berdegup tak menentu. Sampai Reina memegangi dadanya sendiri karena tawa itu. “Riga ganteng banget kalau ketawa.” ucap Reina tulus setelah berhasil menormalkan kembali detak jantungnya.
“Tahu.”
“Gantiin cokelat yang tadi lo buang, ya?”
“Hmmm,”
“Yang banyak.”
“Udah gak marah?”
Reina menggeleng. “Gue gak bisa marah sama lo lama-lama.”
Perlahan mobil itu melaju meninggalkan sekolah. Riga membawa mobilnya dengan tenang dan pelan. Seperti biasa disepanjang perjalanan suasana di dalam mobil itu didominasi oleh suara Reina. Riga hanya sesekali menimpali obrolan cewek cerewet satu itu.
Meski begitu harus Riga akui bahwa Reina mampu menghidupkan satu seluruh bagian hatinya. Membuatnya hangat setelah sekian lama menyendiri, menjaga dari orang-orang yang berusaha masuk kedalam hatinya.
Dan Reina, mungkin karena sudah terbiasa bersama Riga, cewek itu selalu merasa sepi setiap kali tak ada Riga di sisinya. Reina bahkan mulai merasakan debaran-debaran aneh di hatinya. Mungkin benar bahwa waktu yang dihabiskan bersama Riga membuatnya perlahan mengerti arti hadirnya Riga dalam hidupnya.
Duh, Riga segitu cintanya ya sama Reina? wkwk..
kalian gimana?
Jangan lupa tekan jempolnya ya, dan kasih review buat cerita aku ini.
Terimaksih banyak, pake buangeet.
Regrads dari si amatiran.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa