Hai.. aku baru saja bergabung, selamat membaca. semoga suka, dan jangan lupa like-nya.
salam dari aku si penulis amatiran.
1.Pertemuan Yang Buruk
Namanya Reina Fillosa, gadis cantik nan manis dengan lesung pipinya. Rambutnya yang hitam dan panjang selalu tergerai sempurna. Bulu mata lentik dari lahir, bibir tipis yang selalu tersenyum manis dan sorot mata yang selalu hangat.
Sayangnya wajah cantik itu tidak didukung dengan kemampuan otak yang memadai. Reina sangat lemah dihampir semua mata pelajaran. Gadis itu tidak suka menghitung, tidak suka teori yang panjang seperti Sejarah dan bahas Indonesia. Tidak juga suka dengan olahraga, apalagi gurunya yang berkumis tebal.
Seperti pagi hari ini, seluruh siswa kelas dua belas IPS dua diminta untuk berlari mengelilingi lapangan basket sebanyak dua kali sebelum melakukan lempar cakram. Diantara mereka, Reina berada diurutan paling belakang. Bisa dikatakan gadis itu tidak berlari, sebab langkahnya nyaris seperti berjalan santai.
Priiiiiit
“Reina! Lari!” seru pak Darma dari pinggir lapangan. Laki-laki berkumis tebal itu bercak pinggang menatap lurus pada Reina.
Bukannya berlari gadis itu justru mendengus kesal. “Bapak tahu sendiri kalau saya gak berbakat di bidang olahraga.” tutur Reina yang kini berjalan di tepi lapangan. Bulir-bulir keringat nampak diwajahnya. Reina mengusap pelipisnya yang berkeringat dengan punggung tangannya.
“Emangnya kamu mau nilai olahraga kamu dapat enam lagi?”
“Yaelah pak, tiap semester juga nilai olahraga saya selalu enam.” ucap Reina pasrah.
“Ahahahaha.” Teman-teman sekelas Reina langsung tertawa mendengar penuturan gadis itu. Mereka semua tahu baimana Reina yang tidak menyukai olahraga.
Setelah mereka selesai memutari lapangan basket, kini mereka beristirahat sejenak sambil menunggu pak Darma mengabsen satu persatu sebelum maju untuk melakukan lempar cakram.
“Abdi Arjuna Laksana.” panggil pak Darma mengabsen siswa pertama untuk melakukan praktek lempar cakram. Siswa bertubuh tinggi tegap itu segera berdiri mengambil benda bundar terbuat dari besi. cowok itu berdiri di garis putih sebagai tanda start untuk melempar cakram.
Lengan kaos olahraga yang pendek digulung sampai ke pundak menampakan otot-otot kekar cowok itu. Rambutnya yang hitam pekat terlihat sedikit mengkilap karena sorotan matahari.
Siapapun akan terpesona melihat sosok Abdi, apalagi saat ini dalam kondisi berkeringat. Itu membuatnya tambah seksi. “Rein, Abdi udah punya pacar belum?” tanya Mia teman sekelas Reina. Cewek cantik bermata sipit itu memang menggemari cowok-cowok ganteng.
“Mana gue tahu.” jawab Reina acuh tak acuh.
“Ih, lo kan sepupunya.”
“Iya, tapi gue gak kepo. Gak suka gue ikut campur urusan tuh anak, urusan hidup gue aja banyak dan bikin gue mupeng. Mana sempet gue ngurusin si Abdi.”
“Jadi curcol deh.”
Mereka kembali fokus pada Abdi yang melakukan lemparan sempurna. Semua siswa bersorak untuk cowok itu. Reina mulai merasakan sesuatu mulai mendesak untuk segera dikeluarkan. Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Pak, ke toilet dulu ya, kebelet nih.”
“Iya, jangan lama-lama.”
Langsung saja Reina bergegas menuju kamar mandi. Dia berlari terburu-buru karena takut celananya basah. Sangat memalukan jika dirinya harus mengompol disaat usianya sudah menginjak remaja.
Rambutnya dikuncir kuda bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti hentakan langkah kaki Reina.
Begitu sampai di pintu toilet gadis itu langsung saja masuk tanpa melihat tanda yang terpasang di depan pintu masuk. Reina kemudian masuk ke salah satu bilik di dalam kamar mandi tersebut. Duduk dengan tenang di atas closet. Sesaat kemudian raut lega terlihat di wajahnya.
“Untung aja gue gak sampai ngompol,” ucap Reina lirih. Setelah selesai Reina membuka pintu bilik, namun dia langsung terkejut begitu melihat seorang siswa sedang berdiri menghadap tembok. “Arrrgghhh!!!”
Sontak saja teriakan gadis itu membuat siswa itu buru-buru membenahi dirinya. Sama seperti Reina siswa itupun terkejut bukan main. “Gue gak lihat, gue gak lihat.” ucap Reina sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
“Lihat apaan?” tanya siswa laki-laki itu dingin. Matanya yang hitam menatap Reina tajam. Membuat siapun merasa terintimidasi olehnya.
“Punya lo, eh.. enggak..enggak gue gak lihat.”
Kegugupan Reina itu justru membuat siswa laki-laki itu semakin yakin kalau Reina melihat sesuatu. Perlahan siswa itu mendekati Reina, lalu menarik lengan gadis itu dengan kasar sampai dia bisa melihat dengan jelas wajah Reina.
“REINA! RIGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” teriak bu Kumala Sari dari ambang pintu masuk. Sontak saja hal itu membuat Reina segera melepaskan tangannya dari Riga. Cewek itu mendekati guru dengan sanggul yang selalu menghiasi belakang kepalanya.
“Sa-saya tadi lihat punya dia, eh.. enggak maksud saya tadi saya sama dia pipis, eh... bukan, bukan itu. Saya...”
“Ikut ibu ke kantor SE-KA-RANG!” bu Kumala Sari melenglang pergi. Tubunya yang terlihat montok itu seakan bergerak dibalik pakiannya.
Reina merutuiki dirinya sendiri yang mudah sekali gugup. Dia sangat kesal dengan kebodohannya sendiri ditambah lagi sepertinya cowok bernama Riga itu tak berniat sedikitpun untuk menjelaskan sesuatu pada guru tersayang mereka yang terkenal seperti pembunuh berdarah dingin.
***
“Lo kenapa sih gak jelasin apa-apa sama bu Kumsar?” tanya Reina kesal sambil terus mendorong alat pel-nya maju mundur. “Bilang kalau itu kecelakaan, kan setidaknya kita gak bakal berakhir berdua di toliet ditemenin sama alat pel dan ember ini,”
Reina memasukan alat pel ke dalam embernya secara asal, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Cewek itu benar-benar kesal dengan kejadian yang menimpanya hari ini. Dia menghentikan kegiatannya, tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Reina mengambil ikat rambut dari kantong seragamanya lalu mengingat rambutnya secara asal.
Sedangkan cowok bernama Riga itu hanya diam saja seolah pasrah dengan hukuman yang diberikan oleh guru mereka. Meski sebenarnya dia kesal bukan main pada Reina yang tak berhenti bersuara itu. Cowok satu itu tetap dengan alat pelnya, fokus dengan hukumannya.
“Lo kenapa sih diem aja? Bisu?” Reina kembali bersuara dan Riga sama seperti sebelumnya tak menanggapi ucapan Reina. “Kayaknya lo beneran bisu deh, masa dari tadi gue terus yang ngoceh sih, kan gue capek,”
Siapa juga yang nyuruh lo ngoceh
Riga membantin. sesaat cowok itu memperhatikan Reina yang nampak tak pernah lelah. Cowok itu yakin Reina pasti punya baterai cadangan dipungungnya agar tidak kehabisan daya untuk bicara.
“Harusnya tuh ya gue udah di rumah, lagi makan masakan bunda yang super enak. Bukannya terdampar di kamar mandi kayak gini. Ih, sumpah baru kali ini gue sial,” Reina menjeda kalimatnya. Dia mengehentikan kegiatannya seperti sedang memikirkan sesuatu. “Eh? Kalau nilai jelek itu termasuk sial gak ya? Kalau iya, berarti hidup gue sial terus dong.” ucapnya pada diri sendiri.
Sedangkan Riga mulai jengah dengan setiap celotehan yang keluar dari mulut Reina. Cowok itu ingin sekali membekap mulut gadis itu dengan alat pelnya. “Lo bisa diem gak?” tanya Riga menodongkan alat pelnya ke wajah Reina.
Reina mendorong alat pel itu menjauh darinya. “Eh, lo bisa ngomong?” Reina mendekati Riga, cewek itu terlihat sangat antusias. “Coba ngomong sekeali lagi, gue mau denger.” pintanya seakan-akan dia baru menemukan benda asing yang bisa bicara.
Riga menepis tangan Reina yang berusaha menyentuhnya. “Jangan pegang-pegang.”
“Ih iya, beneran lo bisa ngomong! Yeey!” setelah bersorak kegirangan cewek itu kembali mengerjakan hukumannya. “Lo bawa kendaraan gak? Kalau bawa gue nebeng ya. Kalau udah sore biasanya jarang ada angkutan umum lewat sini. Rumah gue gak jauh kok dari sini, di komplek Permata Clusters, lo tahu kan?”
“Hmm,”
“Hmm itu artinya lo mau nganterin gue atau lo tahu rumah gue?” tanya Reina membungkukan badannya untuk mengapai celah di bawah washtafel.
Riga menghela nafas. Jengkel dengan cewek di dekatnya itu. Banyak bicara dan terkesan sangat bodoh. Ah, Reina memang bodoh. Reina berhenti bicara ketika mendapatkan tatapan tajam dari Riga.
Sepuluh menit terakhir mereka lalui dengan saling diam. Sebenarnya mulut Reina sudah gatal ingin mengucapkan sesuatu, tapi setiap kali dia ingin bicara Riga selalu menatapnya dengan tatapan yang mengancam. Reina tentu saja takut dengan cowok itu, jika Riga nekat memutilasinya bagaimana nasib keluarga Reina yang kehilangannya. Itu sangat tidak dia inginkan.
Hukuman mereka selesai begitu petugas kebersihan sekolah datang. Laki-laki berseragam cleaning service itu memberitahu mereka kalau bu Kumala Sari menyudahi hukuman kedunya.
“Terimakasih ya, tugas bapak jadi berkurang,” ucap Pak Mus bahagia. “Kalau setiap hari ada yang dihukum kayak gini kan, bapak jadi bahagia.”
“Kalau kita yang bersihin terus itu artinya bapak makan gaji buta. Rugi dong kita yang sekolah disini, kan bayarnya mahal. Uang bulanan yang kita kasih ke sekolah pasti sebagian buat gaji bapak juga,” Celetoh Reina apa adanya.
Pak Mus hanya tersenyum menanggapi ucapan Reina. Pak Mus tahu kalau Reina itu hanya bercanda sama seperti dirinya. Laki-laki paruh baya itu cukup mengenal Reina, mengingat cewek itu sering sekali keluar masuk toilet.
“Pulang dulu ya, pak. Udah laper.” ucap Reina kemudian sebelum dia berlalu dari hadapan pak Mus.
Cewek itu berjalan dengan riangnya. Rambutnya yang tergerai bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti setiap gerakan langkahnya. Bibir mungilnya tak berhenti bersenandung menyanyikan lagu anak-anak.
“Pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka, ku duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, eh... di sini kan udah gak ada delman. Berarti naik kopaja aja kali ya.” celoteh Reina tanpa mempedulikan beberapa siswa yang masih berada di sekolah. Sebagian ada siswa yang sedang mengikuti ekstrakulikuler dan sebagian lagi pengurus OSIS.
Reina mengehentikan langkahnya di depan gerbang. Melirik pada jam tangannya yang menunjukan pukul empat sore, sudah bisa di pastikan tidak ada angkutan umum lewat karena memang bukan jalan utama. Reina mengambil ponselnya untuk memesan ojek online, tapi sayangnya ponselnya mati kehabisan daya.
“Oh iya, tadi kan pas jam pelajaran bu Astri gue pake buat main candy crush.” Reina kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia melirik ke kiri dan ke kanan berharap ada kendaraan yang lewat.
“Ayo naik,” ajak Riga dari atas motornya.
“Enggak, gue bisa pulang sendiri.”
“Katanya tadi mau nebeng.” Riga mengingatkan cewek super berisik itu. Meskipun sebenarnya dia enggan berurusan lagi dengan Reina, tapi melihat cewek itu sendirian menunggu angkutan umum rasanya dia tidak tega.
“Emang gue pernah bilang mau nebeng gitu? Kapan?”
Riga menghela nafas baru kali ini dia bertemu dengan makhluk aneh seperti Reina. Cowok itu heran mengapa Reina bisa di terima di SMA Cendrawasih yang merupakan sekolah favorit.
“Di toilet.”
“Oh, gue cuma bercanda.”
“Mau naik enggak?!” tanya Riga dengan sedikit membentak. Cowok itu menyodorkan helm untuk Reina, helm yang dipinjamnya dari penjaga sekolah.
“Eh, iya. Galak banget deh.” Reina memilih untuk ikut pulang bersama Riga dari pada harus menunggu angkutan umum yang tak pasti. Selain karena itu juga uang saku Reina tetap aman. Kalau bisa sering-sering.
Riga memacu motornya menuju alamat rumah yang Reina sebutkan. Sebenarnya dia tinggal di komplek yang sama dengan Reina, hanya berbeda blok saja. Motor besar itu berhenti di pos penjaga sebelum memasuki kawasan perumahan elit itu.
Seorang satpam keluar dari posnya untuk membukakan tiang penghalang yang menutupi jalan masuk. “Wah, mas Riga pulangnya gak sendiri nih. Pacarnya mas?”
Reina membuka kaca helmnya. “Bukan pak!”
“Eh, neng Reina. Bapak kira siapa, hehe.”
“Buruan buka pak, mau lewat nih.”
“Iya, iya.” satpam tersebut menekan tombol merah yang berubah menjadi hijau ketika tiang penghalang itu terbuka. Ada akan tertutup secara otomatis begitu si pengendara sudah melaluinya.
Riga mengikuti arahan Reina menuju blok sepuluh. Laju motornya melambat begitu mendekati rumah cewek cerewet itu. Riga menghentikan motornya di depan gerbang rumah dengan nomor sembilan belas.
“Lo kok tadi kenal sama satpam komplek sih? Lo tinggal di sini juga?” tanya Reina begitu turun dari motor Riga dan tangannya sibuk melepas kaitan helmnya.
“Hmm.”
“Di blok berapa?”
“Dua belas.”
“Wah, deketan dong. Nomor rumah lo berapa kapan-kapan gue mau main.”
“Gak usah.”
Melihat Riga yang datar-datar saja menanggapi setiap ucapannya membuat Reina gemas sendiri. Ingin sekali rasanya cewek itu menarik pipi Riga sampai memekik kesakitan. Alih-alih mencubit pipi Riga, Reina justru menciumnya.
Cup
“Lo gila!” bentak Riga membuat Reina tersentak kaget, bahkan satpam rumahnya pun keluar mendengar suara Riga. Melongo menyaksikan kedua remaja itu.
“Enggak, gue gak gila. Itu cuma bentuk terimakasih karena lo udah nganterin gue.”
“Setres lo!” tak ingin lagi berdebat dengan Reina, Riga langsung menjalankan motornya meninggalkan kediam cewek yang menurutnya gila itu. Seumur hidup baru kali ini di cium oleh orang selain orang tuanya. Dari kecil Riga selalu menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya. Dulu bahkan dia akan menangis atau berlari jika ada teman mamanya ingin mencium dirinya.
Tapi, Reina dengan mudahnya mencium pipinya tanpa permisi. Riga benar-benar merasa menyesal telah berbaik hati mengantar Reina pulang. Mulai detik itu juga dia akan menjauhkan dirinya dari Reina. Tidak akan lagi berhubungan dengan cewek itu dalam bentuk apapun.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa