It’s based from my experience few years ago.
Pembuka April tahun itu hingga larut malam aku berusaha menyusun sebuah teks untuk kelengkapan syarat beasiswa. Hanya ditemani sebuah kamus kecil usang serta handphone untuk sekedar mendengarkan music. Ku hirup dalam-dalam udara malam hari itu,ku coba untuk merangkai sebuah susunan kalimat yang indah. Suara musik yang semakin berdentum keras, serta semakin heningnya suasana hari itu membuatku semakin mencoba keras untuk terus memutar otak.
Aku harus melewati semua ini hanya untuk mendapat kesempatan disebuah program beasiswa di kotaku. Nantinya kami yang terpilih akan tinggal di asrama serta menghabiskan waktu kami di tempat tersebut. Kedengarannya memang menarik bukan ?
Jam berdentang sekali,itu tandanya waktu pukul 01.00 wib. Kantuk tak tertahankan,ku coba untuk terus menyelesaikannya namun apa daya aku tak kuasa menahan beratnya beban kelopak mata ini. Saat aku terbangun nampaknya aku sudah terlalu lama beristirahat,segera aku merapikan semua pekerjaanku. Bergegas aku mandi,tanpa mengisi ruang kosong diperutku aku segera mengambil sepeda ku,ku kayuh dengan cepat agar aku tak terkunci didepan gerbang lagi. Bersyukur jam les pagi belum dimulai. Setiap istirahat aku mencoba menyendiri,berusaha merampungkan tugas yang menurutku amat penting bagiku. Impianku untuk menempuh pendidikan di London seakan semakin mendekat padaku.
Aku tulis namaku di depan amplop coklat besar itu,aku tersenyum karena akhirnya semua persyaratan bisa ku selesaikan tepat waktu. Tinggal menunggu hari pengumuman. Bersyukur aku lolos ,namun semuanya seakan berubah.
Entah apa yang telah merubah pola berfikirku. Seakan aku tapi bukan aku,apa yang ku mau sebelumnya sirna sejenak. Aku merasa terhipnotis keadaan,aku merasa keputusanku adalah yang terbaik. Namun aku merasa inikah perasaan ketika aku melangkah menuju puncak kebahagiaan atau ini pertanda aku akan jatuh dalam jurang yang menyedihkan? Hari itu,aku memutuskan untuk meninggalkan beasiswa yang telah aku perjuangkan. Aku memilih jalan lain yang menurutku akan membawa kebahagiaan padaku.
Ada pepatah mengatakan “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”,bukan kita dituntut untuk pergi ke Cina,namun sebenarnya kita dituntut untuk menuntut ilmu sejauh-jauhnya,sebanyak mungkin selagi kita mampu. Keputusan yang ku buat hari itu adalah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Aku membujuk orangtua ku untuk mengantarkan ku ke tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam diamku aku selalu membayangkan apa yang kan terjadi disana,kebahagiaan apa yang ku bisa petik disana. Keinginan ku semakin kuat,akhirnya semua terwujud adanya.
Teriknya matahari di dibulan suci tahun itu mengiringi langkahku menuju gerbang yang menjulang tinggi yang mengawali semua bangunan kokoh nan luas di dalamnya.
“Kamu harus beradaptasi disini,kamu akan jauh dari rumah,Ibu sebagai orangtua cuma bisa membantu mewujudkan keinginan mu” kata Ibu yang duduk disebelahku selama dalam perjalanan dari Malang menuju Ngawi,sebuah kota kecil diujung barat Provinsi Jawa Timur.
Pondok Pesantren bukanlah tempat pengasingan anak-anak yang nakal,disana adalah tempat orang-orang kuat yang belajar serta berjalan dijalan Allah yang harus hidup mandiri serta jauh dari kemewahan dunia.
Bukan hal mudah untuk masuk tempat ini,aku harus menjalani beberapa tes yang rumit. Hari itu sungguh melelahkan,dan nampaknya matahari pun mulai kembali ke peraduannya,hingga akhirnya hari itu pun berakhir,namun bukan berarti semuanya telah usai. Tes yang kedua akan dimulai lagi setelah hari raya Idul Fitri. Dan akhirnya aku memutuskan untuk kembali terlebih dahulu ke Malang.
Lantunan takbir kota dilereng gunung ini terdengar sangat merdu, malam itu aku meminta supaya perjuanganku tak berujung sia-sia. Hari raya tahun itu terasa amat berat bagiku,aku merasa akan menjadi tokoh utama baru akan merangkai cerita baru. Hatiku seakan berat untuk kembali ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang jauh.
Hari itu tiba juga,aku sibuk mengemas barang yang akan kubutuhkan nantinya disana. Hatiku seakan mati rasa,tak ada kebahagiaan,namun tak juga kurasa sedih. Aku hanya bisa berdoa ini adalah awal yang baik.
Udara malam kota ini mengantarkan ku masuk ke dalam bis di tengah terminal. Kali ini aku hanya ditemani Ibu dan nenek. Pernah ku dengar seseorang berkata “Pernahkah kau merasa sendiri dalam keramaian ?“ Air mata tak hentinya mengalir mencoba menghapuskan keresahan yang ada di hati.
Kami menutup perjalanan sekitar tengah malam. Jalanan nampak sepi,lampu bis juga semakin menjauh. Aku mencoba membendung air mataku,hingga akhirnya kami bermalam di depan suatu gedung di luar Pondok Pesantren. Nampaknya bukan hanya kami,tapi ribuan orang juga datang dengan maksud yang sama. Ini pertama kalinya aku tidur layaknya tuna wisma. Angin malam rasanya menusuk ke tulang,gerombolan nyamuk mulai berpesta ria memuaskan rasa laparnya. Ini memang sulit,tapi harus dijalani. Belum sempat aku merasakan indahnya bermimpi,semuanya sudah harus berakhir ketika adzan Subuh kota itu terdengar.
Ku ingat lembut udara paginya,aroma embunnya,terasa menyentuhku kembali. Gerbang kokohnya telah terbuka,aku pun berjalan ke dalam Pondok menuju kamar yang nantinya akan ku tempati. Hati ini terasa semakin resah,aku merasa sangat jauh entah dimana. Aku pun tak kuasa menahan air mataku,setiap langkahku terasa amat menyakitkan.
“Hai,baru datang ya?” sapa seseorang berparas cantik di sebelahku. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman palsu. Bersyukurlah jika sekarang kita masih merasakan mudahnya menjalani kehidupan. Dalam hidup yang kuat bertahan adalah pemenangnya. Selalu ada yang harus diperjuangkan dalam hidup. Di tempat gersang ini kita harus rela berkesusahan demi hal yang dianggap remeh oranglain. Hanya untuk melepas dahaga aku harus berjalan sekitar 700 meter ditemani teriknya matahari. Mengeluh pun akan menjadikan segalanya semakin berat,meskipun yang akhirnya ku minum adalah air kran.
Pernahkah kita mendengar nasi akan menangis jika kita menyisakannya ketika kita makan? Namun keadaan berbalik,kita yang akan menangis kalau nasi berlauk kerupuk itu tak kita makan. Sabar,itulah kata yang tepat untuk menghadapi cobaan ini.
Roda pasti akan berputar,maka bersiaplah sebelum keadaan hari ini berbalik. Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah tempat dimana aku banyak memetik buah kehidupan. Pedoman yang ditamankan disini adalah siapa yang bersungguh-sungguh,maka ia akan berhasil “Man Jadda wa Jadda” .
Hari ku penuh dengan air mata,terasa ditutupi awan hitam kelam. Kerinduan akan rumah semakin menancap dalam benakku. Hingga hari itupun datang.
Semua mata tertuju pada buku yang mereka genggam di tangannya. Semua berdoa meminta supaya ujian hari ini di mudahkan. Semua orangtua datang untuk menengok serta memberi semangat putrinya. Namun nampaknya orangtua ku akan terlambat datang.
Aku berjalan diantara ribuan orang mengarah pada tujuan yang sama. Keresahan semakin menghantui perasaanku,semakin lama kurasa aku semakin menjauh dari orang-orang yang ku sayangi. Tertanam rasa penyesalan,terpupuk kesedihan,semakin kuat menancap rasa putus asa.
Namun aku mencoba tegar,aku berusaha menjawab semua pertanyaan dalam ujian tulis tersebut,meskipun aku mengubah semua soal yang diberikan. Aku berusaha agar aku tidak lulus dalam ujian kali ini. Batinku semakin tersiksa,aku sedang dalam dilema yang besar.
“Ayo semangat,kamu pasti bisa! ” ucap salah satu Ustadzah sambil tersenyum
Aku hanya bisa tersenyum dibalik penderitaan yang ku rasakan saat itu. Hingga akhirnya bel pun berbunyi,pertanda ujian telah usai. Aku pun bergegas kembali ke kamar,namun aku melihat orangtuaku duduk ditaman. Aku pun menghampiri mereka,aku pun tak kuasa lagi. Aku menangis,perasaanku seakan tersayat pisau yang kugenggam sendiri ditangan ku.
“Bukannya ini yang kamu minta? Sekarang harus bagaimana lagi? Kalaupun kamu enggak betah tinggal dan belajar disini ya sudah,setelah ujian kita pulang” kata Ibu dengan nada bicara pasrah.
Perkataan itu bukan malah menenangkan aku,namun membuatku semakin menangis dan merasa bersalah. Apakah ini bagian dari skenario kehidupan? Apakah ini yang terbaik untukku?
It’s a scared day for me,hari dimana pengumuman kelulusan akan dibacakan. Sedari malam pun aku tak menyentuh makanan sama sekali,yang ku genggam hanyalah tisu untuk mengusap air mataku yang tak lagi mampu ku bendung.
Waktu seakan berjalan amat cepat,sudah ku coba membelenggu rasa yang mengacau pikiranku. Namun hari demi hari semakin menyiksa ku,hingga akhirnya perjalanan ku terhenti. Aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Awalnya seluruh keluarga menolak keputusan yang ku buat,namun Ibu mencoba meyakinkan semua orang bahwa itulah yang terbaik.
Cobaan belum berakhir,ketika aku kembali ke kota Malang ternyata tak ada satupun sekolah yang membuka gerbang untukku. Dalam hati aku memberontak pada keputusan Tuhan,namun aku juga tak mungkin bisa mengulang segala yang lah terjadi,apalagi memperbaiki segalanya.
Semakin jauh berlayar
Nampaknya gelombang makin menggoda
Tak apa menepilah meski sejenak hanya untuk sekedar melepas beban.
Wew