Hari senin, hari yang hampir semua orang benci, termasuk Aretha. Aretha sudah berada di kelasnya dua puluh menit sebelum bel berbunyi karena kata Aram untuk hari ini saja mereka benar-benar tidak boleh telat. Walaupun Aretha datang pagi seperti ini, hampir setengah kelasnya juga sudah berada di dalam kelas, mungkin karena kelasnya termasuk kelas yang diisi oleh anak-anak rajin, dan sebenarnya Aretha sendiri bingung kenapa dia bisa ditempatkan di kelas itu. Sementara Rachel sudah duduk di meja yang biasanya Aretha dan teman-temannya tempati, sementara Sharla dan Tris belum datang.
“Tris barusan nge-chat gue, katanya mulai sekarang Sharla dianter kakaknya jadi Tris gak bisa nebeng lagi,” kata Rachel pada Aretha yang duduk tepat di sebelahnya.
“Pasti gara-gara nyokapnya kan?” Aretha mendengus.
“Kalo bukan nyokapnya, siapa lagi?”
“Sumpah ya!” ujar Tris yang berjalan ke arah Aretha dan Rachel yang duduk di pojok ruangan. “Diantara lo berdua, gak ada gitu yang bisa gantiin Sharla buat jadi anter jemput gue?”
“Lo kan tau gue ke sekolah aja jalan kaki,” ucap Rachel tersenyum kecut.
Rumah Rachel yang terletak tidak jauh dari sekolah membuatnya terpaksa berjalan kaki untuk pergi dan pulang sekolah, itu juga terjadi karena keadaan ekonomi keluarganya yang sedang tidak baik seperti sekarang.
“Re? Apartemen kita cuman beda dua lantai,” rengek Tris menatap Aretha penuh harap.
“Lo kan tau, gue berangkat sekolah bareng Aram,” ucap Aretha dengan cengiran. “Emang cowok lo gak mau nganter jemput?”
“Bisa gila gue, diajak kebut-kebutan tiap hari.” Tris meringis.
“Tinggal lo suruh jangan ngebut, gampang kan?” usul Rachel.
“Mulut gue udah sampe berbusa kali nyuruh dia supaya gak ngebut.” Tris mendengus malas. “Tetep aja dia ngebut.”
“Derita lo,” cetus Rachel sambil terkekeh.
“Terima nasib aja,” sahut Aretha ikut terkekeh.
“Aretha,” panggil Sharla yang sedang berjalan mendekat ke arah Aretha, Rachel dan Tris. “Soal yang kemaren..., kata-kata nyokap gue, sori ya,” ucap Sharla masih dengan tas sekolah di gendongannya.
“Apaan sih lo,” desis Aretha galak membuat Rachel dan Tris bertukar pandang dengan dahi mengkerut.
“Lo marah?” tanya Sharla dengan perasaan tidak enak yang semakin bertambah saat mendengar balasan sinis Aretha.
“Jangan cringe gitu deh,” ujar Aretha sambil terkekeh membuat Sharla menghelas napas lega, begitu juga dengan Rachel dan Tris.
“Gue pikir lo marah!” seru Sharla kesal.
“Jadi menurut lo, gue bakal marah gara-gara nyokap lo ngomong gitu?” tanya Aretha yang dijawab cengiran oleh Sharla. “Lagian omongan nyokap lo gak ada yang salah, emang bener kan, gue bolak-balik masuk ruang konseling gara-gara bikin masalah?”
“Jadi sampe kapan lo gak boleh bawa mobil?” tanya Tris mengalihkan topik pembicaraan.
Sharla mengangkat kedua bahunya setelah meletakkan tasnya di kursi kosong yang terletak di sebelah Tris. “Mungkin selamanya?”
“Tega lo!” rutuk Tris. “Dianter jemput Theo setiap hari, gak baik buat kesehatan jantung gue.”
“Btw, gimana lo sama Raka?” tanya Aretha dengan senyum menggoda.
“Ish! Kacangin aja gue, kacangin!” desis Tris.
“Apanya gimana? Lo gak denger nyokap gue ngomong apa ke dia? Mana mungkin Raka masih mau sama gue, apalagi dia playboy abis.”
“Lagian, sejak kapan kalian deket?” tanya Aretha penasaran.
“Nah itu, gue juga penasaran,” celetuk Rachel. “Setau gue, lo kenal dia baru dari hari jumat pas Aretha nginep di rumah sakit.”
“Eh?” Sharla tersenyum kikuk.
“Gak salah lagi, baru dari hari jumat.” Tris mencibir.
“Jangan bilang ke gue kalo lo suka juga sama Raka,” ucap Rachel dengan tatapan menyelidik.
Sharla tersenyum kecut, “mungkin,” jawabnya ragu.
“La! Jangan gila deh. Lo kan tau Raka playboy, sebulan bisa ganti pacar tiga kali, isi chat-nya udah kayak asrama cewek!” tegur Tris.
t h e b e t
Pelajaran pertama sudah berjalan setengah, pelajaran bahasa indonesia. Pelajaran yang menurut Aretha hanya membuang-buang waktunya. Menurutnya, sehari-hari saja dia berbicara bahasa Indonesia, untuk apa mempelajarinya lagi? Dan karena itu, saat ini Aretha sedang berjalan tanpa arah di koridor sekolahnya setelah meminta ijin untuk ke toilet. Aretha berjalan sendirian, karena Rachel, Sharla dan Tris sedang sibuk menyalin tugas fisika yang akan dikumpul setelah istirahat kedua nanti. Sebenarnya Aretha juga belum mengerjakan tugasnya, tapi menurutnya masih ada banyak waktu untuk menyalin nanti, jadi Aretha memutuskan untuk menyalin dari Rachel saat perempuan itu sudah selesai menyalin nanti.
Lalu sekarang, menurut Aretha berjalan tanpa arah hanya akan meningkatkan kemungkinan Aretha berpapasan dengan guru yang membuatnya ketahuan bolos, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk ke kantin dan membeli micin. Sesaat setelah memasuki area kantin, dahi Aretha mengkerut saat melihat Aram sedang duduk di salah satu meja kantin dengan seseorang berpakaian semi formal yang duduk membelakanginya sehingga Aretha tidak bisa melihat wajahnya.
Aretha tersenyum lebar saat Aram melihat ke arahnya. Lalu hal itu membuat orang yang sedang bersama Aram menoleh ke belakang dan menatap Aretha yang sedang berjalan ke arah satu-satunya meja kantin yang terisi itu.
“Aretha ya?” tanya laki-laki itu. “Alan, kakaknya Aram,” ucapnya sembari mengulurkan tangan kanannya.
“Aretha,” balas Aretha membalas uluran tangan laki-laki itu.
Setelah itu, tanpa diminta, Aretha duduk di sebelah Aram membuat laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai kakak dari Aram tersenyum miring.
“Gue denger, lo adiknya Alvaro?” tanya Alan.
“Iya.”
“Kakak lo masih tetep jadi berandal sampe sekarang? Gimana kabarnya?” tanya Alan lagi.
Sikap Alan yang menunjukkan sudah mengetahui siapa Aretha, sedikit banyak membuat Aretha yakin jika laki-laki itu juga sudah mengetahui hubungannya dengan Aram.
“Dia kuliah di luar negeri.”
“Waktu kakak lo baru masuk SMA, gue baru lulus dan disuruh mulai coba ngelola sekolah ini. Kakak lo berhasil dapet SP di hari pertama masuk sekolah, gue hampir ngasih dia penghargaan kalo si kepsek gak ngelarang gue. Untung aja hari itu gue lagi baik, jadi si kepsek gak gue pecat.”
Aretha terkekeh membuat Aram melirik ke sampingnya, memperhatikan perempuan itu, “Ya kali? Orang dapet SP malah lo kasih penghargaan.”
“Sekarang gue tau kenapa lo bisa jadi pacar Aram. Ini jam pelajaran kan? Kenapa lo malah di sini?” tanya Alan yang tiba-tiba menatap Aretha dengan tatapan menyelidik, laki-laki itu baru sadar jika saat ini masih jam pelajaran. “Kalian mau jadi Bonnie and Clyde, hah?”
“Lebay lo! Gue sama Aram cuman bolos pelajaran doang, bukan ngebunuh orang,” dengus Aretha.
“Eh?” Alan sempat menatap Aretha terkejut untuk beberapa detik. “Gue kira lo bakal nanya Bonnie and Clyde siapa, soalnya gue jarang nemu cewek yang tau siapa mereka,” kekeh Alan. “Apalagi cewek modelan kayak lo,”
“Modelan gue, maksudnya?” tanya Aretha sinis.
“Yang lebih mentingin penampilan daripada otak?” ucap Alan dengan nada bertanya. “Eh, tapi lo versi ceweknya Aram di sekolah ini kan?”
“Maksud lo, versi ceweknya Aram di sekolah ini gara-gara gue sering keluar masuk ruang konseling gara-gara nyari masalah, atau otaknya yang jalan?” tanya Aretha dengan tatapan menyelidik.
“Casing-nya doang bar-bar, aslinya mah cengeng,” ejek Aram sambil menatap Aretha dengan tatapan mengejek.
“Nggak ya! Gue gak pernah nangis di depan lo,” bantah Aretha cepat.
“Gitu ya? Tapi yang gue inget, waktu itu lo nangis cuman gara-gara Rion ngebandingin lo.”
“Cuman itu doang,” elak Aretha.
“Gimana caranya kalian bisa berakhir pacaran kalo masalah sepele kayak gitu aja udah debat,” ucap Alan tidak habis pikir. “Nanti malem ada acara makan keluarga sama peresmian resto nyokap. Tha, lo dateng ya?”
“Ho-oh,” jawab Aretha dengan senang hati.
“Ram, lo ajak aja Aretha ke makan malem sekalian, biar gak ribet,” ucap Alan. “Gue masih ada kerjaan, pergi dulu ya,” pamit Alan yang diangguki Aram dan Aretha.
“Kakak lo, belom tau taruhan kita ya?”
“Kayaknya Rion gak ngasih tau, jadi harusnya dia gak tau.”
“Oh.”
“Balik sana, bukannya belajar malah bolos,” cibir Aram.
Aretha bangkit berdiri mengikuti Aram yang sudah berjalan meninggalkannya. Laki-laki itu berjalan keluar dari kantin dengan Aretha yang mengekor di belakangnya.
“Ngaca! Lo juga sekarang lagi bolos ya, terlepas dari sekolah ini punya keluarga lo, tetep aja namanya bolos!” seru Aretha galak.
“Setidaknya nilai gue gak kebakaran kayak nilai lo,” balas Aram dengan senyum miringnya—senyum yang menurut Aretha sangat menyebalkan.
“Arammm!” rengek Aretha. “Kalo lo gak mau pacaran sama cewek bego kayak gue, ya udah sana, pacaran aja sama Aletha!”
“Gitu aja ngambek.” Aram terkekeh. “Sana masuk,” perintah Aram saat mereka sudah sampai di depan kelas Aretha.
“Ngusir?” tanya Aretha tidak senang.
“Lo pasti bolos alesannya ijin ke toilet kan?”
“Eh?” Aretha menampilkan cengirannya lagi. “Kok tau? Jangan-jangan lo cenayang ya?”
“Alesan lo klise.”
“Klise apaan?” tanya Aretha bingung. “Bahasa planet mana?”
“Klise aja gak tau,” cibir Aram. “Makanya pelajaran bahasa indonesia jangan bolos terus.”
“Aretha! Kamu ini, ijin ke toilet tapi malah pacaran,” tegur guru bahasa indonesia Aretha yang saat ini sedang mengajar di kelasnya, yang entah bagaimana sudah berdiri di depan pintu kelasnya.
“Yah, keciduk,” gumam Aretha.
“Masuk ke dalam kelas, sekarang!” perintah guru tersebut.
“Yah, bu, jangan galak-galak dong,” cetus Aretha.
“Masuk!” ulang guru bahasa indonesia itu.
“Iya-iya, saya masuk,” ucap Aretha sembari berjalan masuk ke dalam kelasnya.
“Nanti sore gue jemput jam lima,” ucap Aram yang membuat Aretha berhenti sejenak dan menatap laki-laki itu, lalu mengangkat jempolnya sebelum akhirnya berbalik dan melanjutkan jalannya.
“Ngapain kamu masih di situ, Aram?” tanya guru itu yang masih terdengar jelas di telinga Aretha, atau sepertinya satu kelas mendengarnya. “Mau ikut masuk?”
“Boleh, bu?” tanya Aram membuat guru tersebut menggeram marah. “Balik ke kelas kamu, sekarang!”
***
Kakaknya Aram alay?