Minggu.
Teduhnya langit begitu nyaman menyapa tatkala jendela kamar kubuka. Udara lembab nan dingin dengan lembut menerpa wajah yang masih belum berbaur dengan nuansa pagi.
Cuacanya lumayan bagus, namun daerah sini masih saja bukan main dinginnya.
Aku keluar dari kamar, berjalan menuju kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. Lalu di sana kulihat Ibu dan Fairus sudah berpakaian rapi.
"’Lho? Ibu mau kemana?"
"Mau balik ke Surabaya," ujarnya sembari membenahi baju Fairus.
"Heh? Sampai kapan?"
"Mungkin ... H-6."
Mataku melebar. "Lama sekali! Terus Fairus diajak juga?"
Ibu melirik. "Ya iya, ’lah. Kau ini bagaimana, ’sih?"
Aku hanya bisa terdiam mendengarnya. Memang wajar, ’sih. Soalnya pekerjaan Ibu kali ini berada di Surabaya. Sebenarnya sudah lama beliau berniat ingin pindah, namun uang kami masih belum cukup. Ibu juga tidak mau mengontrak, jadi dia lebih memilih menabung dulu.
Untuk rumah kami yang ini, tentu saja Ibu berniat ingin menjual, dan katanya beliau sudah mendapatkan pembelinya. Mungkin sekitar bulan Maret kami sudah pindah.
Aku kemudian membantu beliau mengangkat barang-barang dan memasukkan ke dalam mobil.
"Omong-omong, kenapa banyak kardus di dalam mobil?" tanyaku.
"Oh, itu oleh-oleh."
"Astaga, Bu! Tidak harus sebanyak ini juga kali! Mau pindahan?"
Setelah beliau memasukkan Fairus ke dalam mobil, Ibu menoleh padaku. "Semua persediaan selama ramadhan sudah Ibu siapkan. Jadi kau tidak perlu banyak-banyak belanja."
"Kenapa harus repot-repot ’sih, Bu? Aku ’kan bisa belanja sendiri."
"Kalau kau yang belanja, kau pasti bakal beli makanan sembarangan. Ibu sudah dikasih tahu pengawasmu, kalau kau di sana sering memasak makanan sendiri semaumu."
Ugh! Sial, mereka memberitahu semuanya pada Ibu!
"Untuk masalah surat itu, kemarin Ibu sudah mengambilnya di rumah Pak Budi. Ibu juga sudah titip pesan ke beliau. Minggu depan, Ibu akan mengirimnya."
"Oh, baik, Bu."
"Ya, sudah. Ibu berangkat dulu. Jaga rumahnya! Jangan aneh-aneh!"
"Iya, iya."
Ibu mulai masuk ke dalam mobil, lalu bergerak pergi meninggalkanku sendirian di halaman depan.
Baru sempat mau berbalik, tiba-tiba kantong celanaku bergetar. Omong-omong ini kebiasaan anehku; lupa mengeluarkan ponsel pas kecapekan dan langsung tidur.
Mataku masih agak berat, jadi aku mengabaikan nama penelpon itu dan langsung mengangkatnya.
"Halo, assalamu’alaikum."
["Wa’alaikumsalam."]
Dari suaranya, ini seperti Gita. "Ada apa, Git?" tanyaku sambil menguap.
["Kau baru bangun, ya?!"]
"Tidak usah kaget begitu, kali! Ada apa?"
["Kau baru beli printer sama pasang wifi, ’kan? Buat nyari desain poster, ’nih. Sekalian nge-print di rumahmu."]
"Iya ... eh? Sebentar! Darimana kautahu aku baru beli printer sama pasang wifi? Kau memata-mataiku, ya?!"
Anak ini menyeramkan sekali! Kau ini sudah selevel ibuku saja, Git!
["Ah, cerewet! Kita buru-buru, ’nih! Ya sudah, aku sama Putri ke rumahmu sekarang! Assalamu’alaikum!"]
Gita langsung menutup panggilan, sementara aku memandangi layar ponsel seperti orang bodoh. Apa-apaan anak ini?
Buru-buru aku masuk ke rumah dan segera mandi. Untunglah keadaan rumah sudah rapi berkat Ibu, jadi nanti tinggal menyiapkan suguhan untuk mereka.
Sebenarnya aku sudah mengerahkan kecepatan penuh untuk melakukan niatku tadi, tapi ketika aku baru selesai mandi, pintunya sudah terketuk.
“Assalamu’alaikum!”
Cepat sekali mereka datang?!
Sekali lagi Gita mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum! Ferdy!”
“Wa’alaikumsalam! Iya-iya, sebentar!”
Seusai mengganti baju, buru-buru aku menuju pintu depan. Ketika pintunya terbuka, kudapati Gita yang berwajah cemberut dan Putri yang tersenyum getir sudah berdiri di depan pintu.
“Lama sekali!” protes Gita.
“Salah sendiri memberitahuku mendadak! Ya sudah, buruan masuk!”
Mereka masuk ke dalam sambil berkata ‘Permisi’, dan aku segera membimbing mereka menuju ruang tengah. Begitu sampai, pandangan Putri sempat menyisir ruangan.
“Sepi sekali. Ibumu sama Fairus mana?” tanya Putri.
“Mereka balik ke Surabaya tadi pagi.”
Barusan bukan aku yang menjawab, tapi Gita. Tentu saja aku langsung kaget. “Kenapa kau bisa tahu? Kau ini Roy Kyoshi, ya?”
“Tadi aku telpon ibumu pas kau masih tidur.”
Ah, aku mengerti sekarang. Jadi begini; Gita menelponku karena ingin kemari. Berhubung aku masih tidur, dia menelpon Ibu. Pantas saja Gita tadi tahu semuanya, Ibu pasti yang memberitahu.
Tapi kenapa Ibu tidak bilang-bilang dulu, ‘sih?!
“Aku buatkan minum dulu. Kalian tunggu di sini,” pintaku.
Kemudian aku bergegas menuju dapur. Sepanjang aku melangkah, suara obrolan mereka masih saja terdengar, dan itu entah kenapa membuatku agak risih. Omong-omong mereka ini berisik sekali, seperti ibu-ibu saja.
Setibanya di dapur, aku langsung membuka kulkas untuk mengambil sirup dan es, namun mataku menangkap sesuatu di meja makan. Di sana terdapat sekantong plastik besar berisi camilan yang dibeli dari minimarket, serta di sampingnya ada selembar kertas.
Merasa penasaran, kuambil kertas tersebut dan membacanya.
[Gita dan Putri bakal datang kemari, jadi Ibu belikan camilan untuk kalian. Berhubung di rumah cuma ada kalian bertiga, jangan berbuat aneh-aneh, ya! 😊]
“….”
Apa-apaan ini? Dan juga maksudnya apa memberi emotikon senyum-senyum ini? Kau ini sudah tua, Bu!
Akan sangat berbahaya kalau surat ini dibaca mereka, jadi langsung saja kuremas dan kubanting ke keranjang sampah. Hari ini sepertinya bakal sibuk. Aku harus segera menyiapkan suguhannya dan segera kembali.
Baru tiba aku membawakan minuman dan camilan tersebut, di atas meja sudah penuh akan dokumen-dokumen dan dua buah laptop.
“Kalian bawa laptop sendiri, tapi kenapa pinjam punyaku?” tanyaku.
“Siapa yang mau pinjam? Aku memintamu untuk membantu kami,” jawab Gita.
“Sekalian numpang cetak sama wifi juga,” sambung Putri.
"Kalian ini benar-benar seenak jidat, ya?"
Aku memindahkan beberapa dokumen itu di bawah dekat mereka, lalu menaruh suguhannya di atas meja. Belum sampai piring camilannya menyentuh meja, dua gadis ini langsung menyambar.
“Woy! Jangan asal serobot! Yang sabar, kenapa?!” keluhku, tapi mereka sama sekali tak menggubris.
Awalnya aku berniat memberitahu kalau kebiasaan makan tak terkontrol seperti itu bisa mempengaruhi berat badan mereka. Tapi aku tidak ingin diomeli balik, jadi aku lebih memilih pergi.
Aku mengambil laptop di kamar, lalu kembali ke ruang tengah. Berhubung mejanya sudah penuh, jadi aku memilih mengerjakannya di atas sofa. Omong-omong, menaruh laptop langsung di atas sofa, kasur, bantal, atau semacamnya bisa menghambat sirkulasi pada kipas laptop, jadi aku mengambil dokumen yang belum diperiksa untuk kujadikan sebagai ganjalan. Tapi aku langsung kaget melihat satu piring camilannya sudah kosong.
Astagfirullah, mereka ini benar-benar kelaparan atau apa, ‘sih?!
Kuambil dokumen tersebut sambil bergumam. “Kalian bisa gemuk, ‘lho.”
“Sebentar lagi puasa,” jawab Gita.
“Nanti sekalian diet,” sambung Putri.
Sesimpel itukah? Aku jamin, lebaran nanti berat badan kalian bakal naik lebih drastis lagi.
“Oh ya, mengenai formulir pendaftaran panitia dan semacamnya, bagaimana kalau kita buat situs web?” tanyaku kemudian.
Jemari Gita berhenti. “Maksudmu pendaftaran online?”
“Iya. Mereka bisa mengisinya kapan saja tanpa harus memintai kita formulir, dan juga mereka sendiri yang mencetaknya, jadi kita tinggal terima beres.”
Sejenak Putri dan Gita berpikir, lalu saling memandang.
“Iya, ‘sih. Itu jadi lebih efisien,” ujar Putri.
“Kita juga tidak perlu repot-repot mencetaknya,” sambung Gita.
“Dan bisa menghemat tintaku.”
Seperti itulah yang kubilang, tapi mereka tiba-tiba memandangku dengan tampang tidak mengenakkan.
“Kenapa?” tuntutku.
“Idemu tadi memang bagus, tapi kenapa, ya? Rasanya aku jadi kesal sekarang,” ujar Gita.
“Jangan bertele-tele! Bilang saja kalau mau mengejekku pelit!”
Sementara itu, Putri hanya tersenyum getir melihat percekcokan kami berdua.
※ ※ ※
Sekitar satu jam lebih berlalu, akhirnya aku bisa menyelesaikan sebagian besar membuat situs tersebut.
Niatku membuat situs ini memang aku tidak ingin mereka repot mencetak dan membagikannya ke semua orang. Tapi mereka yang dengan tulus kubantu ini sedang asyik ngobrol kesana-kemari begitu kerasnya di meja belakangku.
Dasar mereka ini! Bagaimana bisa mereka melakukan itu sementara aku sudah berbaik hati meringankan pekerjaan mereka?!
Tapi sudahlah, pekerjaan mereka juga bagian dari pekerjaanku. Untuk kedepannya mereka bakal jauh lebih repot dari sekarang. Apalagi Putri, dia sudah mau membagi waktu latihannya untuk acara ini.
Ketika pikiranku berkutat akan hal itu, aku akhirnya bisa lepas dari keyboard laptop. “Sudah selesai. Aku kirim link-nya ke messenger!”
Mereka berdua langsung membuka link yang kukirim, dan nampaknya dari raut wajah itu mereka agak kaget. Jadi kuberi sedikit penjelasan.
“Selain untuk pengisian formulir, situs ini juga berfungsi sebagai situs resmi acara itu sendiri. Aku juga sudah membuat halaman untuk acara itu di Facebook. Sekarang tinggal menunggu posternya selesai dibuat. Kalau sudah, segera sebarkan ke media sosial lainnya.”
Mereka masih terdiam, meski begitu sepertinya mereka mulai paham. Apalagi Gita, dia bahkan sampai melototi laptopnya begitu serius.
“Git, jangan dekat-dekat. Kasihan matamu,” ujar Putri.
“Maaf, aku jadi kebiasaan.”
“Kalau bisa terus diusahakan tegap badannya, seperti ini.”
Putri mencoba memberi contoh, jadi dia mulai menegapkan tubuhnya. Atau, bisa kubilang … dadanya.
Astaga, jangan terlalu tegap! Itu terlalu boros!
Daripada aku nanti berpikir aneh-aneh, lebih baik aku berpaling ke laptopku lagi. Tapi ya ampun, kenapa masih terbayang-bayang, ‘sih?! Ah, sial! Lain kali aku harus lebih berhati-hati dengan gadis sembrono ini!
“Kau kenapa?” tanya Gita.
“Tidak, tidak apa-apa. Coba kalian sebarkan link pendaftarannya ke teman-teman panitia. Suruh mereka menyebarkan juga,” ujarku.
“Oke,” jawab Gita.
“Kalau begitu, aku akan mengerjakan posternya,” ujar Putri.
Dengan begitu kami mulai sibuk dengan tugas kami masing-masing, lalu keheningan mulai menaungi ruangan ini. Tugasku sebenarnya sudah selesai, tinggal memeriksa mana yang kurang dari situs ini. Tapi itu justru membuatku mulai bosan.
Aku hendak mengambil cemilan yang ada di meja, tapi lagi-lagi piringnya kosong. Sudah dua piring camilan yang mereka berdua habiskan, dan yang mencolok hanyalah minumanku saja yang masih penuh. Jadi aku hanya bisa kesal dan kembali pada layar laptopku.
Omong-omong, sekarang aku sudah menemukan ide jahil. Bahkan Gita sampai berhenti mengetik di laptop.
"Ah, ada email masuk."
"Eh? Bagian pendaftaran?" tanya Putri.
“Iya.”
“Cepat amat! Coba kulihat!”
Putri berdiri di belakang Gita dan bersandar di punggungnya. Sekali lagi, aku seperti tidak tahu harus berkata apa ketika ada gadis secara alamiah memeluk seperti itu.
"... Berat, Put," rintih Gita.
Hm? Apanya yang berat? Meski penasaran akan penyebabnya, aku mungkin akan babak belur jika bertanya hal itu, jadi kuputuskan untuk tidak membahas dan bertanya hal lain. "Siapa yang daftar?"
Putri mengecek. "Hmm ... Nama pengirimnya Sugiono, terus ... apa-apaan emotikon senyum-senyum ini?!"
"Oke, aku sudah tahu siapa yang mengirim." Gita tiba-tiba menoleh padaku.
“Heh? Apa?” tuntutku.
“Kau yang mengirim, ‘kan?”
“Kenapa kau menuduhku?”
“Pertama, di Desa ini tidak ada anak muda yang bernama Sugiono. Kedua, aku bisa melihat perbuatanmu dari laptopmu.”
Ah, sial! Aku lupa menutup tab jendelanya!
"Kalau kau mau main-main sekali lagi, akan kupatahkan kakimu,” lanjutnya.
Astaga, seram! Jangan menatapku seperti itu! "Ma-maaf."
※ ※ ※
Cukup lama ruangan ini diselimuti keheningan, mungkin sekitar satu jam semenjak email "Sugiono" tadi. Kami kembali berkutat dengan tugas masing-masing.
Omong-omong aku sudah mengisi ulang stok camilannya, dan sekarang sudah hampir habis lagi. Aku jadi penasaran, apa mereka belum sarapan? Kalau iya, mending aku belikan makanan saja.
Namun sebelum hendak bertanya, Putri telah dulu bicara. “Ihsan lama sekali.”
“Benar juga, aku baru ingat anak itu. Dia dimana?” tanyaku.
“Sedang menemui anggota Karang Taruna yang mau ikut bergabung,” jawab Gita.
“Kenapa kau tidak ikut saja, ‘Git? Untuk yang ini ‘kan bisa aku kerjakan dengan Putri.”
Gita berhenti sejenak untuk mendesah. “Mana bisa aku pergi ke tempat yang penuh dengan pandangan sinis padaku. Daripada tidak ada kerjaan, mending aku mengerjakan yang bisa kukerjakan. Lagian anggota lain juga sibuk dengan tugas masing-masing. Putri sebentar lagi juga bakal mengikuti turnamen.”
Mendengar itu, wajah Putri jadi berubah sungkan. “Maaf, ya teman-teman. Aku tidak bisa banyak membantu kalian.”
“Ah, bukan begitu!” Gita buru-buru menyanggah. “Justru aku yang merasa tidak enak padamu. Kau sudah banyak meluangkan waktumu untuk kami. Kalau kau merasa kerepotan, salahkan saja orang yang punya ide mengadakan acara ini.”
“’Lho? Kenapa kau malah menjadikanku sebagai beban? Bukankah aku juga banyak membantu?” tuntutku.
“Makanya jangan punya keinginan aneh-aneh. Yang lain jadi ikut kerepotan, ‘kan?” ketus Gita.
“Hey! Kau baru saja benar-benar menganggapku beban!”
“Maaf, keceplosan.”
Gadis ini! Aku melakukannya gara-gara waktu itu melihatmu menangis, kau tahu?!
Putri bicara kembali. “Tapi, apa kau benar-benar tidak apa-apa, Git? Bukankah kau bakal kesulitan mengoordinir orang-orang? Aku juga tidak tahan dengan orang-orang yang berbicara buruk padamu.”
“Memang, ‘sih. Dulu saat kakakku terkena masalah, aku juga sering tidak sengaja mendengar orang-orang menggosipi Kakak.”
Aku jadi mulai mengerti perasaan mereka.
Mulut bisa lebih tajam dari bilah pedang memang ada benarnya. Namun menghadapi masyarakat dengan karakter seperti itu memanglah berat. Seberapa banyak kebaikan yang kauberi, ketika kau mempunyai kesalahan di masalalu, selamanya itu akan menjadi “label buruk” di mata mereka. Meski kau sendiri tak menghiraukannya, orang-orang akan terus mengganggu masa depanmu dengan mengungkit kesalahan yang kaubuat. Tak hanya itu saja, orang-orang terdekatmu juga akan terkena imbas yang sama.
Itulah mengapa Gita dulu lebih memilih menghindar dari sahabat-sahabatnya, agar mereka tidak ikut terkena getah seperti dirinya. Namun kali ini, kami sama sekali tidak merasa begitu. Kami sekarang juga tidak ingin semuanya semakin berlarut.
Demi mengembalikan suasana suram ini, aku berbicara. “Aku pernah diusir ketika ketahuan menguping orang yang sedang menggosip.”
“Dasar orang aneh.” Gita memandangku jijik.
“Hey! Kenapa kau mengejekku? Bukannya tadi kaubilang juga sering mendengar orang-orang menggosip?”
“Kalau aku memang tidak sengaja mendengarnya! Jangan samakan aku denganmu!”
“Kalian berdua ini tidak berubah, ya dari dulu.” Putri tersenyum getir. “Oh ya, posternya sudah jadi, ‘nih!”
Aku kemudian bergerak menuju ke belakang mereka, dan begitu tiba, entah kenapa ada bau harum yang menusuk hidung. Apa ini? Sampo-kah? Bau wangi yang berbeda dari rambut dua gadis ini entah kenapa membuatku agak pusing.
Aku sedikit menutup hidung dengan jemari sambil serius memandang layar, dengan begitu mereka tidak akan curiga.
“Apa begini saja sudah cukup?”
Ketika Putri menoleh padaku, rambut kuncirnya berkibar, dan aroma wanginya kembali tercium. Itu membuat wajahku secara refleks agak mundur. Tapi aku langsung meresponnya. “Umm … Sudah lumayan. Cuma warna latarnya jangan terlalu tajam. Biar tulisannya bisa terlihat lebih jelas.”
“Oke,” dia berpaling ke Gita. “Bagaimana, Git?”
Kepala Gita bergeser mendekati Putri, dan itu justru menghalangi pandanganku dari layar. Tapi yang lebih mengganggu, sekali lagi aku mencium aroma sampo yang bertubrukan dari mereka berdua.
Astaga wanginya! Kalian berdua keramas satu botol sekaligus, ya?! Wangi yang bertubrukan ini benar-benar mengingatkanku ketika lewat di dekat Ibu-Ibu pengajiian!
Kurasa sisanya bisa kuserahkan pada Gita saja. Lagian aku tidak ingin pingsan kalau lama-lama di belakang mereka. Lain kali aku akan menasihati mereka soal memakai minyak wangi.
“Oh ya. Hari ini kau ada jadwal latihan, ‘kan Put?” tanyaku.
“Iya.”
“Lebih baik kau latihan dulu. Tugasmu juga sudah selesai. Sisanya serahkan saja pada kami. Nanti aku akan suruh anak-anak yang lain untuk datang kemari.”
Mata Putri tiba-tiba menatapku selagi terdiam.
“Ada apa?”
“Ah, tidak!” dia kemudian tergelak kaku. “Maaf sudah banyak-banyak merepotkanmu, Dy. Dan juga maaf aku tidak banyak membantu kalian hari ini.”
“Ah, jangan bilang begitu. Kami bisa mengerti, ‘kok,” ujar Gita.
“Ya sudah, kalau begitu aku balik dulu, ya. Laptopnya aku titipkan di sini saja, biar bisa dipakai anak-anak lain yang datang nanti.”
“Oke.”
Putri kemudian mengenakan tasnya dan beranjak pergi. “Dah! Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam.”
Dengan begitu, tinggal kami berdua yang ada di ruangan ini.
Aku kembali ke laptopku, dan saat itu aku sempat melihat Gita yang terus melihati kepergian Putri.
“Ada apa, Git?”
“Heh? Ah, tidak. Aku cuma khawatir saja.”
“Kenapa?”
“… Putri sepertinya terlihat memaksakan diri.”
“Oh, jadi kau juga sepemikiran denganku?”
Mata Gita melebar setelah mendengar jawabanku. “Apa kau juga mendengar kabar kalau selama ini Putri ….”
“Ya, dia terus gagal masuk seleksi nasional. Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Itulah Putri yang sebenarnya.”
“Tapi, kalau dia nanti-“
“Kenapa? Apa kau merasa bersalah?” potongku segera. “Meskipun dulu aku tidak mengajaknya, dia pasti akan memaksa untuk ikut bergabung.”
“… Tapi ini tetap saja ….”
“Jangan mencampuri perasaannya yang tulus membantumu dengan kekhawatiranmu. Apa kau tadi tidak dengar, kalau dia juga tidak tega melihatmu diperlakukan buruk oleh orang lain?”
Sepertinya, Gita masih belum puas dengan jawabanku. Wajahnya jadi semakin suram.
“Apa kau tidak khawatir dengan Putri?” tanyanya.
“Tentu saja aku khawatir, tetapi aku juga tidak ingin menghancurkan ketulusannya. Meski begitu, aku masih yakin kalau Putri akan mendapatkan jawaban atas semua usahanya.”
Gita terlihat tidak mengerti. “Kenapa kau seyakin itu?”
“Karena aku juga seorang atlet. Aku juga tahu bagaimana rasanya gagal berkali-kali.”
Meski aku bilang begitu, aku juga mulai memikirkan masalah yang bakal terjadi padanya. Atau bisa kubilang, “masalah di antara mereka berdua” yang suatu hari bakal terjadi.
Bagi kami yang selalu gagal dan terus melihat keberhasilan orang lain, itu memang memotivasi semangat kami untuk melampaui mereka. Akan tetapi, terkadang itu juga membangkitkan sebuah kebencian. Kau merasa bahwa semuanya benar-benar tidak adil dan usahamu tidak akan pernah terbayar.
Itulah yang paling kutakutkan.
※ ※ ※ (Bab 06) ※ ※ ※