Aku menutup buku dan meletakkan pena di atasnya. Jemari yang mulai terasa dingin berusaha untuk menekan sudut mata letih ini.
Selagi waktu terus berlalu, tenagaku semakin lama kian terkikis. Sepertinya cukup sampai disini aku mengerjakan kisi-kisi soal ujian tes SBMPTN ini.
Kini pandanganku beralih ke luar. Dari dalam kafe kecil tempatku bernaung, aku masih bisa melihat aktivitas orang-orang yang sedikit. Gerakan mereka terlihat begitu kabur akibat tetesan jutaan air hujan yang terjatuh. Terkadang, mataku sempat mengikuti aliran air mungil yang turun perlahan oleh percikan hujan yang menggumpal di kaca.
Saat itulah terdengar getaran kecil di atas meja. Kuraih ponselku dan melihat siapa yang menelpon.
"Putri?" gumamku menyebut nama yang tertera di layar. "Halo, assalamu’alaikum."
["Wa’alaikumsalam. Gita, kau di mana sekarang?"]
"Aku masih di luar."
["Masih di kerjaan?"]
"Sudah pulang daritadi, ’sih. Tapi aku mampir ke suatu tempat dulu. Memangnya ada apa, Put?"
["Aku tadi di rumahmu, tahu?!"] -suara Putri terdengar kesal.
"Maaf-maaf. Kukira kau tidak mampir ke rumahku."
["Kau ini! Oh ya, lusa kau mau ikut acara reunian, tidak?"]
"Emm ..., aku usahakan, 'deh."
["Usahakan?! Tidak! Pokoknya harus datang!"]
"Iya-iya."
["Beneran ’lho, ya?"]
"Iya-iya, bawel."
["Ya sudah. Besok aku ke rumahmu, ya. Sama Ihsan juga. Kita jalan-jalan."]
"Jalan-jalan?"
["Iya. Kau apa tidak jenuh belajar terus? Refreshing dulu ’lah."]
"Hmm, oke, ’deh."
["Nah, begitu, ’dong. Aku istirahat dulu, ya. Hari ini aku benar-benar capek. Aku juga rindu kamar di rumahku."]
"Ya ampun kau ini. Oke, aku juga mau pulang."
["Hati-hati, Git. Assalamu’alaikum."]
"Iya. Wa’alaikumsalam."
Dan begitulah, aku bahkan tersenyum membayangkan tingkah Putri sebelum meletakkan ponselku kembali.
Nah, sekarang tinggal kemas-kemas dan memasukkannya ke dalam tas, setelah itu bergegas pulang.
Tatkala sampai di luar, hujan sudah berganti gerimis. Cahaya kota yang terpantul dalam genangan-genangan air terserap oleh tetesan hujan yang terus mengalir di bawah atap. Namun seindah-indahnya momen itu, entah kenapa pemandangan ini terlihat menyuramkan.
Kuluruskan kerah jaketku dan memutar kaki ke arah tempat parkir. Baru saja hendak membuka jok motor, tanganku terhenti karena sadar kalau tadi aku lupa membawa jas hujan. Jengkel akan realisasi ini, aku langsung membanting tasku ke dalam jok dan nekat untuk tetap pulang menerjang gerimis. Mau bagaimana lagi, ini memang salahku gara-gara telat bangun tadi pagi.
Di tengah perjalanan pulang, sebuah Rumah Makan masuk ke dalam pandangan. Papan tandanya begitu terang-benderang, dan seolah kehangatan tempat itu mengalir keluar saat melihat bagian dalamnya.
"Oh iya, bukannya tadi Nenek minta dibelikan bebek goreng?" gumamku.
Aku langsung mampir dan segera memesan satu porsi. Setelah menyelesaikan apa yang perlu kulakukan, yang tersisa sekarang adalah pulang ke rumah.
Akan tetapi tujuan itu langsung sirna, setelah aku dibuat terdiam di depan pintu karena menyadari hujan kembali turun dengan deras.
Astaga, aku cuma butuh istirahat! Bisakah beri aku keberuntungan sedikit saja untuk hari ini?!
Tapi kalau dipikir-pikir buat apa aku mengeluh? Toh hujannya malah makin deras, jadi sekali lagi aku harus ikhlas menunggu hujan reda seperti di kafe tadi.
"Ya ampun, hujan lagi?"
Suatu suara terdengar tak jauh dari tempatku. Terlihat sepasang muda-mudi baru saja keluar dari dalam Rumah Makan ini.
Mereka berdua berbaju seragam organisasi PMR di suatu sekolah. Pada masing-masing tangan mereka, tertenteng plastik merah besar berisi puluhan bungkus makanan yang terlihat cukup berat. Sepertinya mereka mengadakan sebuah acara dan ditunjuk untuk membelikan makanan.
"Aku bawa mantel. Kau pakai saja. Makanannya nanti ditaruh di tengah," ujar si lelaki sambil meraih kantong besar yang dipegang si gadis.
"Heh?! Kau nanti bakal kehujanan!"
"Tidak apa-apa, lagian dekat, ’kok. Yang penting kita harus segera kembali. Kasihan junior-junior kita."
Mendengar yang dikatakan itu, si gadis pun terpaksa setuju dan menerima mantelnya. Dia sebenarnya juga khawatir, makanya dia terus memandangi si lelaki dengan wajah sungkan.
Aku juga bisa menyadari kalau si lelaki terlihat agak pucat karena mungkin terlalu lelah, tetapi dia masih memikirkan orang lain. Itulah yang membuatku tersenyum dan teringat sesuatu.
"Sikapnya yang memaksakan diri dan terlalu berkorban itu ... begitu mirip dengan Ferdy," gumamku.
Aku kembali menatap ke depan, menengadah memandang langit nan gelap berhias jutaan butiran-butiran transparan. Hawa dingin dan suara gemuruh hujan yang berpadu dengan angin, seolah merubah nuansa hangat sebelumnya menjadi kebekuan.
Hingga tanpa disadari bibirku bergerak mungil.
"Reuni nanti ... dia datang tidak, ya?"
###(PROLOG)###