"You are the love that came without warning; You had my heart before I could say no."
(Unknown)
♥
Setelah menginap semalam di rumah sakit, akhirnya Clarissa diperbolehkan untuk meninggalkan bangunan tersebut. Gadis itu tersenyum semringah begitu menginjakkan kaki di area parkir rumah sakit. Hanya semalam, namun rasanya seperti berbulan-bulan. Ia benar-benar membenci aroma dan suasana rumah sakit.
“Kita makan soto dulu yuk, Bim,” Clarissa menarik pergelangan tangan Bima agar berjalan lebih cepat menuju Rush putih pemuda itu diparkirkan.
“Ntar kalau tante Diana sama om Gerald nyari gimana? Gue udah janji mau langsung antar lo pulang,” Bima mencoba menolak ajakan Clarissa.
“Tenang. Nanti gue yang bilang sama mama,” Clarissa menepuk pelan bahu pemuda di sebelahnya.
Bima memutar bola matanya, sembari mendesah pelan. Jika sudah memiliki keinginan, Clarissa memang sulit untuk dihentikan. Dan bagaimanapun, ia akan selalu menjadi seseorang yang harus mengimbangi Clarissa. Membiarkan gadis itu melakukan segala hal yang diinginkan. Namun, ia juga tidak akan tinggal diam jika tindakan tersebut sudah nyeleneh.
Seperti beberapa bulan lalu, ketika mereka masih berstatus sebagai siswa kelas dua belas yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional. Hari itu, SMA mereka mengadakan acara prom night. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja Clarissa berada di tengah acara tersebut bersama teman-temannya dengan membawa sekaleng bir di tangan masing-masing.
Bima yang mengetahui hal itu, terpaksa menyeret Clarissa pulang. Ia tidak peduli pada gadis itu yang sudah memberontak dan memaksa melepaskan cekalan tangannya. Ia seolah tutup telinga pada segala bentuk makian dari Clarissa selama perjalanan pulang. Ia bahkan sempat diacuhkan oleh gadis itu selama hampir satu minggu.
Baginya, Clarissa adalah seseorang yang harus ia lindungi. Tidak peduli berapa kali Clarissa memaki dan memarahinya setiap kali ia menghalangi keinginan aneh gadis itu. Bahkan, kedua orang tua Clarissa sudah memberikan kepercayaan padanya untuk menjaga gadis itu.
♥
Clarissa menghabiskan semangkuk soto di hadapannya hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Kejadian semalam yang hampir membuatnya mati tenggelam benar-benar membuatnya takut, hingga lupa bagaimana rasanya makan enak. Ia bahkan sama sekali tidak menyentuh roti yang dibelikan Bima selepas ia sadar semalam.
“Lo kelaparan banget ya?” Bima hanya bisa melongo melihat begitu lahapnya Clarissa menyantap makanannya. Sedangkan, Clarissa hanya meringis.
“Eh Bim, semalam yang nolongin gue kak Firza bukan sih?” tanya Clarissa.
Clarissa sendiri tidak tahu darimana prediksi tersebut muncul. Hanya saja, suara seseorang yang ia dengar semalam sangat familiar. Ia memang baru bertemu Firza beberapa kali, namun suara pemuda itu seolah sudah cukup lama melekat dalam kepalanya.
Bima terdiam. Ia tampak tak acuh pada pertanyaan Clarissa, dan terus menyibukkan diri dengan sotonya yang tinggal beberapa sendok lagi. Mungkin ia terlihat egois karena menyembunyikan perihal seseorang yang menolong gadis itu semalam. Tetapi, ia melakukannya demi Clarissa. Belum saatnya gadis itu mengetahui yang sebenarnya.
“Gue yang nolongin lo,” ucap Bima tanpa berani memandang mata cokelat Clarissa.
Clarissa menghela napas. Mata cokelatnya menatap lurus pada pemuda di hadapannya. Mengamati setiap jengkal wajah Bima, lantas berhenti di mata abu-abu gelap pemuda itu yang memandang berkeliling tanpa sekalipun menatap ke arahnya.
Clarissa memajukan tubuhnya beberapa sentimeter. Ia menyangga dagunya di atas kedua tangan, tanpa mengalihkan tatapan dari arah Bima.
“Bim, jawab sambil lihat mata gue!” ucap Clarissa tegas.
Bima mengusap wajahnya kasar. Setelah menguatkan hati selama beberapa detik, ia akhirnya memberanikan diri menatap mata cokelat Clarissa. Dalam hati ia berharap, agar kebohongan yang ia sembunyikan tidak tertangkap oleh gadis itu.
“Jadi, yang nolong gue semalam emang benar-benar lo?” Clarissa mengulang pertanyaannya.
“Iya, gue yang nolong lo.”
Hening sejenak. Clarissa sedang berusaha mencari kebenaran dari sorot mata Bima. Sementara, pemuda itu justru tengah berperang dengan batinnya sendiri. Ia tidak ingin mengatakan pada Clarissa bahwa yang menolong gadis itu adalah Brama. Namun sayangnya, ia tidak ahli dalam berbohong. Clarissa pasti bisa dengan mudah membaca kebohongan dari sorot matanya.
“Bim, gue tahu itu bukan lo,” Clarissa menghentikan ucapannya sejenak. “Lo nggak mau ngasih tahu, siapa yang nolong gue semalam?”
Bima bergeming. Ia merasa tersudut oleh tatapan mengintimidasi Clarissa.
“Jadi benar, kak Firza yang nolong gue semalam?” tanya Clarissa lagi, tanpa menghiraukan raut wajah Bima yang sudah mulai gelisah.
Bima tetap bergeming. Clarissa mulai kesal dengan tingkah laku Bima. Ia tidak mengerti, apa susahnya bagi pemuda itu mengatakan yang sebenarnya? Lagipula, ia hanya ingin menyampaikan terima kasih pada seseorang yang menolongnya semalam. Ia tidak akan memberikan hadiah spesial berupa ajakan menikah pada lelaki yang sudah menolongnya, seperti di cerita dongeng.
“Bima Prasetya, sebenarnya apa sih yang lo sembunyikan dari gue? Segitu susahnya ya lo bilang siapa nolong gue semalam?” Clarissa berucap sembari menggertakkan gigi-giginya kesal.
Bima menghela napas panjang. Sorot gelisah dari mata abu-abu gelapnya kini berubah lembut. “Maafin gue, Clar. Gue nggak bermaksud buat nyembunyiin hal itu dari lo. Tapi gue…”
Bima menggantungkan kalimatnya. Mencari padanan kata yang sesuai untuk menjelaskan pada Clarisa tentang sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini. Hanya saja, hingga beberapa detik berlalu otaknya seolah berhenti bereaksi. Ia sama sekali tidak menemukan cara untuk menjelaskan pada Clarissa.
“Tapi…” Clarissa membeo. Satu alisnya terangkat, mata cokelatnya menyorot penasaran.
Hening sejenak, sebelum akhirnya Bima mengatakan dengan nada dingin dan sedikit tinggi sesuatu yang membuat jantung Clarissa berdetak sekian kali lebih cepat.
“Iya, Firza yang nolong lo semalam.”
♥
Satu jam berlalu sejak Bima mengatakan tentang seseorang yang menyelamatkannya semalam, namun debaran di dada Clarissa belum menghilang sepenuhnya. Segaris senyum simpul terukir di bibir gadis itu, ketika suara pemuda yang menyelamatkannya kemarin mengatakan bahwa ia harus baik-baik saja terngiang di telinganya.
Clarissa meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Gadis itu memandang lurus pada langit-langit kamarnya yang didominasi warna putih. Tanpa sadar, tangannya bergerak pelan menyentuh dada sebelah kiri yang masih berdetak cukup cepat setiap kali bayangan wajah Firza hadir dalam kepalanya tanpa permisi.
“Jadi hanya karena dia nolong gue kemarin, sekarang gue jatuh cinta sama dia?”
♥
Bayangan Firza yang terus berputar-putar dalam kepala Clarissa, berhasil membuat gadis itu tidak bisa tidur dengan nyenyak walau sudah sangat mengantuk. Terlalu berlebihan memang, bahkan hingga saat ini ia masih bisa merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Berkali-kali ia tersenyum sendiri, membayangkan tentang reaksi Firza ketika menolongnya semalam.
Ah, gadis itu bahkan lupa jika besok harus menghadiri kuliah pagi.
Clarissa meraih ponselnya dari atas nakas. Dengan mata setengah terbuka, ia membuka aplikasi instagram. Jari lentiknya bergerak lincah mengetikkan nama Firza di kolom pencarian, sembari berharap dalam hati akan menemukan akun milik pemuda itu.
Gadis itu nyaris memekik kegirangan begitu menemukan akun milik Firza diurutan teratas pencarian. Mata cokelatnya melebar, menghilangkan sepenuhnya rasa kantuk yang sempat menggelayuti. Ia membuka akun tersebut. Tapi sepertinya, di balik bahagia akan ada kecewa tidak terduga yang datang secara tiba-tiba. Ia harus rela menelan kekecewaan, ketika mengetahui akun tersebut dikunci oleh si pemilik.
Clarissa mendesah kesal. Niatnya untuk menjadi stalker Firza pupus seketika. Pemuda itu selalu berhasil membuatnya penasaran, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Namun, bukan Clarissa namanya jika berhenti mengorek informasi hanya karena gagal mencari tahu melalui instagram. Gadis itu masih berusaha mencari akun media sosial Firza melalui twitter dan facebook, seraya berharap kali ini usahanya tidak sia-sia.
Clarissa tersenyum simpul begitu menemukan akun facebook milik Firza yang sepertinya sudah tidak aktif lagi sejak satu tahun lalu. Gadis itu menyeret layar ponselnya, melihat foto-foto yang terpampang di dinding akun facebook pemuda itu.
Awalnya semua tampak baik-baik saja. Dinding facebook pemuda itu hanya diisi oleh foto-foto yang ditandai oleh teman-temannya. Namun, sebaris status yang terdapat di antara jajaran foto itu berhasil mencuri perhatiannya.
Bukankah kita memang tidak ditakdirkan untuk bahagia? Bukankah selamanya waktu tidak akan bersahabat dengan kita?
Clarissa mengerutkan kening. Telunjuknya bergerak cepat menyeret kembali layar ponselnya. Namun, ia sama sekali tidak menemukan status lain yang berkaitan dengan hal itu. Dua kalimat itu adalah satu-satunya status yang ditulis Firza satu tahun lalu.
Kita.
Apa yang dimaksud 'kita' oleh pemuda itu?
Apa yang dimaksud mereka tidak akan pernah bersahabat dengan waktu?
Rangkaian pertanyaan berlarian dalam kepala Clarissa. Apakah 'kita' yang dimaksud Firza adalah seseorang yang pernah mengisi hati pemuda itu? Entah kenapa, rasa cemburu tiba-tiba melintas dalam hati Clarissa.