"Untuk membuatmu tertawa, aku rela melakukan apapun. Karena menjadi alasanmu tertawa adalah kebahagiaan untukku."
♥
Cinta memang terkadang bisa membuat orang yang sedang jatuh cinta kehilangan jati diri. Sama seperti Brama saat ini. Ia benar-benar menuruti permintaan Clarissa untuk mengenakan baju berwarna kuning mencolok ketika menjemput gadis itu. Penampilan Brama dengan kaus berwarna kuning dengan gambar keroppi di bagian tengah, sukses menarik perhatian seluruh pasang mata yang sedang berada di area parkir, sepajang koridor, dan taman fakultas. Tidak sedikit dari mereka yang menatap dengan ekspresi geli, bahkan hingga tertawa lebar, tidak terkecuali Clarissa, Vella, dan Bima.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak saat melihat Brama yang berjalan dengan santai dari arah parkir fakultas. Kaus kuning lengan pendek yang dikenakan pemuda itu sangat kontras dengan rambut berjambul, kalung bertali hitam yang liontinnya selalu disembunyikan di balik pakaian, dan celana jeans hitam. Jangan lupakan gelang dan jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
"Si Brama kesambet apaan sih?" tanya Vella di tengah tawanya. Ia bahkan sampai terbungkuk-bungkuk saking gelinya.
"Kesambet setan dari pohon cabe kali," celetuk Clarissa asal, telunjuknya bergerak untuk mengusap air di sudut matanya.
"Gila! Kuning, cuy!" celetuk Bima, tanpa bisa menyembunyikan keterpanaannya.
Sementara, seseorang yang tengah menjadi bahan perbincangan masih berjalan santai di tengah puluhan pasang mata yang memandang ke arahnya. Tanpa menyadari penampilan konyolnya, Brama justru tersenyum tipis begitu melihat sosok Clarissa yang diapit oleh Bima dan Vella berdiri di depan kelas.
"Masih ada kelas?" tanya Brama.
Clarissa berdehem, menormalkan suara sekaligus menahan tawa yang masih hendak menyembur. "Nggak ada. Kenapa?"
Berbeda dengan Clarissa yang mencoba mati-matian menyembunyikan tawa, Bima dan Vella justru masih tidak bisa berhenti tertawa geli. Setidaknya, hari ini Brama tidak menyebalkan seperti biasanya. Kehadiran cowok itu justru membuat suasana hati mereka bertiga yang awalnya buruk karena satu mata kuliah, menjadi sedikit terhibur. Terutama Bima, ia bahkan lupa bahwa sosok yang berdiri di depannya kini adalah seseorang yang telah memantik api kebencian dalam dirinya.
"Gue mau ajak lo pergi," ucap Brama.
Berbeda dengan Firza yang menanyakan kebersediaannya dulu sebelum mengajak pergi, ajakan Brama justru terdengar seperti perintah. Pemuda itu langsung menggandeng pergelangan tangan Clarissa, dan membawanya pergi dari tempat itu —tanpa menunggu izin dari yang bersangkutan.
Awalnya Clarissa ingin berontak, namun dengan cepat ia mengurungkan hal itu. Tidak ada salahnya memberikan Brama kesempatan. Pemuda itu bahkan sudah menuruti permintaan konyolnya untuk mengenakan baju berwarna kuning mencolok, yang sebenarnya sangat tidak cocok berpadu dengan penampilan sangar pemuda itu. Ia akan merasa sangat jahat jika menolak ajakan Brama.
"Gue pergi dulu! Kalau mama nyari, bilangin gue dibawa kabur orang gila!" teriak Clarissa pada Bima dan Vella yang sudah berjarak lima langkah darinya.
♥
Mobil Pajero yang dikendarai Brama meliuk-liuk tajam sepanjang perjalanan. Beberapa kali Clarissa sempat membentak setiap pemuda itu menyalip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi, tetapi Brama hanya tertawa lebar tanpa merasa bersalah.
Brama suka mendengar celotehan dari mulut Clarissa, meski sebagian besar berisi makian untuk dirinya. Sepanjang perjalanan —walau wajahnya tetap datar— Brama tidak bisa menutupi binar bahagia dari bola matanya. Kali ini, ia tidak perlu melakukan debat panjang terlebih dahulu untuk membuat Clarissa bersedia pergi bersama.
Tiga puluh menit yang membuat jantung Clarissa hampir berhenti berdetak akhirnya selesai. Brama menghentikan mobilnya di lapangan parkir yang diisi cukup banyak kendaraan. Ia menatap Brama sejenak, agak heran kenapa pemuda itu mengajaknya ke tempat ini —bukan ke mall seperti tempo hari.
"Gue bukan maniak time zone," ucap Brama, seolah mengetahui pertanyaan yang hendak dilontarkan Clarissa.
Brama turun dari mobil lebih dulu. Jangan bayangkan seperti di film romantis yang terdapat adegan si cowok membukakan pintu untuk kekasihnya. Brama justru berdiri di depan mobilnya, sembari menunggu Clarissa turun.
"Lo sering ke sini?" tanya Clarissa begitu ia telah berdiri di samping Brama.
Pemuda itu mengangguk pelan, tanpa menoleh ke arah Clarissa. Matanya terpancang pada seorang wisatawan yang berdiri di puncak gunung, dan bersiap untuk lepas landas.
Clarissa menarik napas dalam-dalam. Ketakutannya karena cara menyetir Brama yang ugal-ugalan terbayar begitu mereka tiba di tempat ini. Di salah satu tempat wisata yang berada di kota Batu, wisata Paralayang.
Dari ketinggian 1.315 mdpl, mereka bisa menyaksikan hamparan pemandangan kota Batu yang sangat memesona. Ditambah lagi udara dingin dan sejuk, yang membuat mereka semakin betah berlama-lama berada di tempat itu.
“Lo harus cobain naik itu.”
Tanpa menunggu persetujuan Clarissa, Brama menarik tangan gadis itu menuju meja pendaftaran. Meski bukan hari libur, cukup banyak pengunjung yang berada di lokasi tersebut. Tidak heran, pemandangan yang disuguhkan di tempat ini dan sensasi menaiki paralayang membuat para pengunjung membludak.
“Gue nggak mau!" tolak Clarissa, ketika mereka berada berada di barisan belakang para pendaftar.
“Lo harus cobain sensasinya. Bukannya dari dulu lo pingin banget bisa terbang?” ucap Brama.
Mata cokelat Clarissa sedikit membulat mendengar pertanyaan Brama. Darimana pemuda itu tahu tentang keinginan masa kecilnya?
“T-tapi…” Clarissa mengalihkan pandangan para seorang wisatawan yang baru saja lepas landas, dan kini sudah melayang-layang di udara. “Ini terlalu berlebihan.”
Brama terkekeh pelan. Tangannya terulur, mengusap gemas puncak kepala Clarissa. “Gue jamin lo nggak akan nyesel setelah coba ini. Kalau takut, lo bisa merem. Atau—” Brama menjeda sejenak, lantas mengedipkan sebelah matanya pada Clarissa. “Lo bisa panggil nama gue.”
Clarissa berdecak sebal. Di saat ia tengah berkelut dengan perasaannya –antara takut, tapi ingin— pemuda itu justru masih sempat menggombalinya.
Tidak sampai lima menit, nama mereka sudah tertulis di atas kertas bersama para wisatawan lain yang akan mencoba terbang dengan paralayang. Selama menunggu giliran, sudah beberapa kali Clarissa mengesah lantas menggigit bibir bawahnya untuk meredakan ketakutannya. Berbeda dengannya, Brama justru tampak begitu tenang sembari memerhatikan para pengunjung yang berada di tempat itu.
“Just relax, okay?” ucap Brama seraya menepuk pelan puncak kepala Clarissa.
♥
Seharusnya pemandangan indah yang terhampar mampu meredakan gejolak hati Bima. Namun sayang, fokusnya hanya tertuju pada dua orang yang berdiri beberapa meter darinya. Dari balik punggung pengunjung lain, ia bisa melihat kedekatan dua orang tersebut.
Sejak Brama dan Clarissa meninggalkan kampus, ia sengaja mengikuti mereka. Selain untuk menjaga Clarissa, ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Brama. Sebenarnya, ia juga tidak ingin bersikap securiga ini. Tapi mau bagaimana lagi? Perasaannya pada Clarissa, dan kenangan masa lalu bersama Brama yang membuatnya bersikap sedikit berlebihan.
"Gue curiga, apa alasan lo bersikap se-protective ini sama Clarissa? Nggak mungkin hanya karena alasan lo suka sama dia," tanya Vella yang sejak tadi hanya berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di depan dada.
Bima hanya menoleh sejenak ke arah Vella, dan hanya menjawab pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
Karena masa lalu gue sama mereka. Karena ada sesuatu tentang Brama yang harus gue jaga dari Clarissa.
♥
Clarissa mengenakan berbagai macam peralatan terbang di tubuhnya dengan dibantu seorang pilot berpengalaman. Selama pemasangan, ia bahkan tidak henti-henti bertanya ‘apa ia akan baik-baik saja?’ hingga membuat pilot tersebut kesal –meski mencoba untuk menutupi rasa kesalnya.
Beberapa meter di sampingnya, Brama juga sedang mengenakan peralatan yang sama di tubuhnya. Pemuda itu menoleh sekilas, lantas mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke depan dada, seolah memberikan isyarat ‘fighting’. Clarissa mencoba tersenyum, meski jantungnya sudah berdebar tidak karuan karena rasa takut dan khawatir.
Beberapa menit kemudian, Brama berjalan menghampirinya. Pemuda itu tersenyum, seraya mengulurkan tangannya. Sementara, Clarissa hanya mengerutkan kening tidak mengerti.
"Kita terbang."
"Ha?" Clarissa masih memandang tidak mengerti.
"Mas ini yang akan terbang sama, mbak," seorang pilot yang beberapa saat lalu membantu Clarissa memasang peralatan mencoba memberikan penjelasan.
"Tenang, mbak. Mas ini sudah berpengalaman. Dia juga pernah menjadi pilot pengganti di sini."
Brama menaikkan sebelah alisnya, seraya tersenyum tipis. Melalui sorot mata, ia seolah mengatakan 'mari kita buktikan'.
"Mas, tapi saya nggak akan mati karena jatuhkan?" Clarissa masih belum mau untuk percaya.
"Percayakan saja sama mas ini."
Clarissa akhirnya menyetujui ajakan Brama setelah berpikir selama beberapa detik. Dalam hati, ia terus merapalkan doa semoga ia masih selamat kali ini.
"Ingat, kalo takut panggil nama gue!" ucap Brama, ketika mereka sudah siap untuk terbang.
Beberapa menit kemudian, Brama memberikan aba-aba agar ia berlari menuju ujung tebing. Clarissa menarik napas dalam-dalam mencoba meredakan gejolak di dadanya, lantas berlari sesuai instruksi yang diberikan. Ia memejamkan mata begitu merasakan kakinya tidak lagi memijak tanah.
"Open your eyes! Let's we fly like a bird."
Seraya menggigit bibir bawahnya, Clarissa membuka mata perlahan-lahan. Ia nyaris terpekik tidak percaya. Di bawahnya terhampar pemandangan menakjubkan. Rumah-rumah yang dikelilingi pepohonan hijau tampak kecil dari ketinggian.
Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi rasa gelisah. Semua perasaan itu lenyap seketika. Clarissa mendongakkan kepalanya. Langit terasa begitu dekat dari tempatnya saat ini. Clarissa tertawa ketika menyadari bahwa ia sudah berada di udara. Ia terbang. Ia benar-benar terbang.
♥
Clarissa mendarat dengan mulus tanpa ada kurang sedikitpun. Bibirnya tak henti menampakkan senyum lebar seraya melepaskan peralatan yang melekat di tubuhnya.
Tiga meter dari Clarissa, Brama juga tengah melepaskan peralatan yang semula dikenakannya. Pemuda itu tengah berbicara dengan seseorang yang sepertinya adalah seorang pilot paralayang.
Diam-diam Clarissa menarik sudut bibirnya, saat melihat cara Brama tertawa. Entah kenapa, melihat pemuda itu tertawa mampu mengalirkan rasa hangat di dadanya.
Namun di tengah kebahagiaan yang ia rasakan, ada satu pertanyaan yang mengganggu pikirannya saat ini. Tentang keinginannya, darimana Brama tahu bahwa sejak dulu ia begitu ingin terbang? Ia memang pernah menulisnya. Dan, tulisan itu hingga sekarang masih tertempel rapi di dinding kamarnya. Tetapi, pemuda itu bahkan tidak pernah berkunjung ke rumahnya.
Suara langkah kaki dari arah belakang, membuat lamunan Clarissa terpecah. Ia menoleh lantas tersenyum simpul saat melihat Brama –masih dengan kaus kuning— berjalan ke arahnya. Pemuda itu juga tersenyum lebar, seolah tidak terlihat seperti Brama menyebalkan yang dikenalnya selama ini.
“Seru kan?” tanya Brama.
“Banget!” Clarissa berucap kegirangan.
Mata cokelat gadis itu berbinar, membuat jantung Brama berdetak sekian kali lebih cepat. Sekuat hati ia menahan diri untuk tidak memeluk Clarissa, meski nyatanya ia begitu merindukan binar dari mata cokelat gadis itu.
Gadis itu masih tetap sama. Gadis itu masih tetap seperti Clarissa polos yang ditemuinya bertahun-tahun lalu. Gadis itu masih tetap Clarissa polos yang selalu membuatnya terhibur hanya dengan melihat pancaran bening bola mata cokelat itu.
“Bram, kayaknya lo mending ganti baju deh,” ucap Clarissa pada akhirnya, setelah sejak tadi menahan untuk tidak mengatakannya.
“Kenapa?” Brama mengerjap polos.
“Lo lucu.” Clarissa tidak bisa untuk tidak tertawa.
Brama hanya mengedikkan bahunya tak acuh. “Selama lo suka, gue nggak masalah.”
“Tapi, itu sama sekali nggak cocok sama gaya lo,” ucap Clarissa.
“Gue nggak peduli. Selama itu bisa buat lo senang, apapun akan gue lakuin.”
Pipi Clarissa memanas. Jantungnya berdegup kencang, ketika mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Brama.
Clarissa menghentikan langkahnya seketika, membiarkan Brama untuk jalan ke mobil jemputan lebih dulu. Tangannya bergerak menyentuh dada sebelah kiri. Debaran ini terasa sangat berbeda, tidak seperti ketika ia bersama Firza. Ada rasa nyeri sekaligus sesak yang ikut membaur di tengah debaran tidak beraturan dalam dadanya.
Bukan, bukan karena ia menderita penyakit jantung. Namun, entahlah. Ada sesuatu yang asing dari debaran jantungnya kali ini, dan itu tentang Brama.
Sesuatu yang tidak dapat ia jelaskan.