"Jika tidak bisa merengkuhmu kembali,
cukup bagiku untuk melihatmu baik-baik saja.
Jika aku tidak mampu lagi membuatmu tertawa,
cukup bagiku melihatmu tersenyum, meski itu bukan denganku."
♥
Bima menghapus kasar air matanya. Ia beranjak dari depan pintu paviliun, lantas berjalan menuju mobilnya yang diparkir di halaman. Ia urung memasuki rumah mewah tersebut. Ia belum siap menghadapi kenangan-kenangan yang selama ini berusaha ia tutup rapat di sudut hatinya. Ia belum siap membuka kembali luka hati yang hingga saat ini belum sepenuhnya terobati. Barangkali, selamanya tidak akan pernah terobati. Selamanya, luka tersebut akan tetap berada di sana. Membuatnya terkungkung pada rasa sakit tidak berkesudahan.
"Loh, mas Bima sudah mau pulang? Nggak masuk dulu, mas?" tanya Rudi begitu Bima membuka pintu mobilnya.
Bima hanya menggeleng, seraya melemparkan senyum simpul. Ia segera memasuki mobil, tidak ingin mendapatkan pertanyaan lebih lanjut dari Rudi. Saat ini suasana hatinya sedang tidak baik untuk menjawab bebagai macam pertanyaan. Ia hanya ingin menenangkan diri.
Bima memundurkan mobilnya, meninggalkan halaman lebar rumah mewah tersebut. Setelah berada kembali di jalanan kompleks depan rumah itu, Bima bersiap melajukan kembali mobilnya. Namun, tiba-tiba gerakan terhenti ketika sebuah mobil Wrangler putih berjalan memasuki halaman rumah tersebut dengan angkuh.
Tubuhnya menegang seketika, begitu melihat seseorang yang baru saja turun dari mobil tersebut. Kedua rahangnya mengatup rapat, jari-jemarinya mencengkeram kemudi mobil dengan sangat kuat.
Setelah tiga belas tahun berlalu, ia kembali melihat pria itu. Pria yang sedang berdiri di sana adalah Pria yang sudah mengusirnya dan mama beberapa tahun lalu. Pria itu ada di sana, dengan kehidupan serba mewah yang seolah telah melupakan masa lalu mereka. Pria itu adalah salah satu orang yang bertanggung jawab atas rasa sakitnya. Atas seluruh kehancuran yang dirasakannya selama ini.
Tanpa menunggu waktu lama, Bima kembali menginjak pedal gas dalam-dalam. Suara decitan ban mobil yang bergesekan dengan aspal memecah keheningan malam. Bima melesatkan Rush putihnya menyusuri jalanan, seraya berharap ketika ia tiba di rumah rasa sakitnya akan berkurang, dan akan jauh lebih baik jika menghilang seluruhnya.
♥
Clarissa berada di sebuah tempat yang sangat gelap. Tidak ada apapun di tempat itu, selain kegelapan yang menyelimuti sejauh mata memandang. Clarissa terus berjalan, menyusuri kegelapan tak berujung tersebut dengan rasa ketakutan mendalam. Berulang kali ia berteriak minta tolong, namun hanya suaranya sendiri yang dapat ia dengar. Memantul-mantul, lantas lenyap. Begitu seterusnya setiap kali ia berteriak.
Di tengah kegelapan itu, matanya menangkap sosok seorang anak laki yang berada tidak jauh di depannya. Anak laki-laki itu tersenyum lebar, menunjukkan gigi serinya yang tanggal satu. Clarissa berjalan menghampiri anak tersebut, tangannya menggapai-gapai berniat meminta pertolongan. Namun semakin ia mendekat, anak laki-laki itu justu semakin menjauh.
Clarissa akhirnya menyerah. Langkahnya terasa begitu berat, hingga ia merasa kelelahan. Di tengah napasnya yang terengah-engah, ia mencoba memerhatikan wajah anak laki-laki yang masih belum bisa direngkuhnya tersebut.
Wajah anak laki-laki itu terlihat tidak asing, meski ia sama sekali tidak mengenalnya. Senyum lebar anak laki-laki itu, ia seperti pernah melihatnya. Rangkaian tanda tanya besar seketika tersusun dalam kepalanya.
Tentang, siapa anak laki-laki itu?
Tentang, apa yang dilakukan anak itu di tempat mengerikan ini?
Tentang, sebuah perasaan dalam dadanya yang terus membisikkan bahwa mereka memiliki hubungan yang dekat?
Namun belum sempat pertanyaan itu mendapatkan jawaban, anak laki-laki misterius itu berjalan pelan mendekatinya. Selangkah demi selangkah, jarak panjang yang terbentang di antara mereka menghilang. Semakin dekat anak laki-laki padanya, semakin gejolak di hatinya menghebat.
Ada rasa rindu, rasa takut, dan rasa hampa yang seketika menyergapnya. Dadanya terasa begitu nyeri, seperti dihantam godam bertubi-tubi. Anak laki-laki itu semakin mendekat seraya mengulurkan tangannya. Tanpa sadar Clarissa ikut mengulurkan tangan. Namun sekali lagi, ia tidak dapat menjangkau anak laki-laki yang kini sudah berada di depannya.
"Ka...mu siapa?" tanya Clarissa terbata. Matanya sama sekali tidak beralih dari sosok itu.
Tidak ada jawaban yang diberikan, selain senyum lebar yang sejak tadi tidak menghilang dari wajah polos anak tersebut.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Clarissa lagi.
"Kamu baik-baik saja kan?" bukannya memberikan jawaban, anak laki-laki justru memberikan pertanyaan yang membuat kening Clarissa berkerut.
Clarissa mengangguk pelan, meski dalam hati ia begitu heran.
"Maafkan aku," ucap anak laki-laki itu. Wajahnya tertunduk, tampak sangat bersalah.
Sebelum sempat Clarissa menjawab, anak itu sudah berlutut di hadapannya. Sembari terisak, anak itu terus menggumamkan kata maaf yang sama sekali tidak dimengerti Clarissa.
Apa yang salah? Mengapa anak tersebut terus mengucapkan kata maaf padanya? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Bukankah ini pertama kalinya mereka berjumpa?
"Maaf karena telah meninggalkanmu," dengan suara parau, anak laki-laki itu berucap.
Meninggalkan apa? Memangnya kapan mereka pernah berjumpa?
Clarissa berjongkok, menghadap wajah anak laki-laki tersebut. Tangannya terulur untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi porselen anak tersebut. Tidak seperti sebelumnya, ia bisa menyentuh sosok itu. Anak laki-laki di hadapannya nyata, bukan sekadar ilusi.
"Kamu siapa? Kenapa kamu menangis?" tanya Clarissa lembut. Ibu jarinya bergerak menghapus aliran air mata di pipi anak yang tidak ia ketahui namanya tersebut.
Anak laki-laki itu mendongakkan wajah. Matanya yang memerah, memandang Clarissa dengan penuh pengharapan dan rasa bersalah. Tangannya terulur, menarik tangan Clarissa dan menggenggamnya erat.
"Maafkan aku," ucapnya lagi, seraya tersenyum simpul. "Kamu harus janji, kalau kamu akan baik-baik saja. Kamu harus tetap baik-baik saja."
Meski tidak mengerti ucapan anak tersebut, Clarissa tetap saja mengangguk. Toh, anak itu juga tidak akan memberikannya penjelasan dari seluruh pertanyaan yang ia lontarkan. Clarissa tersenyum, dan dibalas anak itu dengan cengiran kecil.
"Terima kasih sudah bertahan, Clarissa Violetta," anak itu berucap pelan.
Anak laki-laki itu menguraikan genggamannya di tangan Clarissa. Ia berdiri, lantas melangkah mundur perlahan-lahan. Matanya yang berbinar masih terus menatap Clarissa dengan senyum lebar di bibirnya. Anak itu melambaikan tangan, sebagai tanda perpisahan.
"Jangan pergi!" Clarissa berteriak parau.
Clarissa mencoba mengejar anak itu. Berulang kali ia meneriakkan pertanyaan tentang nama anak laki-laki itu, namun hanya hening yang menjawabnya. Seiring tubuh anak laki-laki itu yang semakin menjauh, entah kenapa seluruh oksigen dalam paru-paru Clarissa seperti direnggut paksa. Rasa sesak terasa begitu menghimpit dadanya.
Anak laki-laki itu akhirnya menghilang ditelan kegelapan. Nyeri. Entah mengapa, ia bisa merasakan sakit sedemikian hebat ketika anak laki-laki yang tidak ia kenal tersebut menghilang. Entah mengapa, ia kembali merasakan kesepian yang bahkan jauh lebih dahsyat dibanding sebelum bertemu anak tersebut. Anak laki-laki itu pergi, meninggalkan rasa sakit di dadanya yang terasa begitu menusuk-nusuk.
♥
Clarissa terbangun dengan napas terengah-engah, seolah ia baru saja menyelesaikan lari marathon. Keringat dingin sebesar butiran jagung membasahi dahinya. Clarissa meringis, ketika tiba-tiba dadanya terasa nyeri.
Itu hanya mimpi.
Seharusnya, itu memang hanya mimpi. Tapi mengapa, mimpi itu terasa sangat nyata. Ia seperti benar-benar ditarik pada sebuah tempat tak bernama yang akhirnya mempertemukannya dengan anak laki-laki itu.
Siapa anak itu? Kenapa anak itu terus meminta maaf? Dan, kenapa ia merasa begitu sakit ketika anak itu pergi meninggalkannya?
Rangkaian pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Clarissa. Berputar-putar tanpa bisa ia temukan jawabannya. Akhirnya di sisa malam ini, Clarissa tidak bisa lagi memejamkan mata. Ia hanya memandang kosong langit-langit kamar, seraya memikirkan tentang sosok anak laki-laki yang ia temui di dalam mimpi.
Ia seperti mengenal anak itu. Entah kapan tepatnya, ia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Ia ingin bertemu anak itu lagi. Jika tidak dalam nyata, setidaknya ia ingin bertemu anak itu dalam mimpi.
Anak itu. Anak yang pergi meninggalkan kehampaan dalam hatinya.