Paris, Perancis.
Ruangan luas itu terasa hening sejak beberapa detik lalu. Semua lampu sudah dipadamkan kecuali cahaya kebiruan yang menyorot sosok di atas panggung.
Tubuh tegapnya terbalut setelan jas dan celana bahan berwarna senada dengan cahaya yang mengitarinya. Ekspresinya begitu datar saat pandangannya menyapu seluruh penjuru hall konser malam ini. Seperti biasa, semua seat terisi penuh bahkan di bangku VIP sekalipun. Seakan semua orang tak ingin melewatkan penampilan seorang Sean Altezza, pianis muda berbakat dengan karir yang bersinar seterang bintang.
Pria itu menatap grand piano di depannya beberapa detik, ekspresi datar dan dingin itu masih bertahan. Kemudian jemarinya mulai bergerak perlahan di atas tuts. Alunan merdu Moonlight Sonata memenuhi ruangan luas. Penonton tersihir oleh nada merdu yang dimainkan Sean. Beberapa dari mereka bahkan menahan napas ketika sampai pada nada-nada cepat yang seakan mustahil. Tapi jemari Sean bergerak lincah dengan kecepatan yang menimbulkan decak kagum.
Hingga permainan berakhir tak ada kesalahan sedikitpun. Semuanya sempurna.
Suasana masih hening ketika Sean beranjak dari kursi, sedikit membungkuk hormat kemudian berlalu ke belakang stage. Dalam hitungan detik, gemuruh tepuk tangan membahana dari dalam sana. Standing aplause. Seakan tak peduli, pria itu sudah berada di pintu keluar back stage, menuju ke parkiran mobil.
Langkahnya terhenti ketika terdengar suara seorang perempuan memanggil. Erika menyusul langkahnya. Gadis cantik itu tersenyum menawan saat tiba di hadapan Sean. Dandanan tebal, rambut pirang dan dress seksi jauh di atas lutut yang ia kenakan terlihat mencolok.
"Selamat, Sean. Permainanmu mengagumkan...." Gadis itu berkata sambil menyerahkan sebuket bunga pada Sean. Pria itu menerima dengan ekspresi wajah yang datar.
"Apa kau keberatan jika kita makan malam sebentar?"
"Aku sedang banyak pekerjaan."
"Sebentar saja. Hanya makan malam."
Gadis itu merajuk. Tapi Sean tak peduli. Ia mengibaskan tangan dan bergerak menjauh. Membuat gadis itu menghentakkan kaki sebal.
Hanya karena mereka pernah mengobrol sebentar saat anniversari salah seorang penyanyi ternama, Erika menganggap lain perlakuan Sean padanya. Dan sampai saat ini, gadis itu terus mengusiknya.
Ia sudah terlalu lelah menanggapi perempuan satu itu. Yang seakan tak kenal lelah mengejarnya.
Sean menuju basement tempat Jhon menunggu. Setelah membuka pintu mobil, ia melemparkan buket bunga ke kursi bagian belakang. Tak peduli pandangan heran Jhon.
Porsche putih yang dikemudikan managernya melaju perlahan meninggalkan hall konser dimana Sean menjadi bintang tamu malam ini.
"Kita langsung pulang?" Setelah sunyi beberapa lama, Jhon mengawali obrolan. Meski ia tahu, pria disampingnya sangat jarang mengobrol.
"Ke apartemenmu saja." Sean menjawab singkat. Sementara Jhon hanya mengangguk. Bertahun-tahun bekerja bersama pria satu ini membuatnya memahami jalan pikiran Sean.
"Kau turun di sana, nanti aku akan mengemudi sendiri." Sean menambahkan. Tepat seperti apa yang dipikirkan oleh Jhon.
Jhon melirik sekilas. Sean kini terlihat lebih rileks dibanding slaat memasuki mobil tadi.
Kini Punggung pria itu bersandar pada sandaran empuk di belakangnya sambil memainkan ponsel.
"Jalanan agak sepi.." Jhon berkata sekilas sambil menambah kecepatan mobil. Sementara Sean hanya menanggapi dengan gumaman tak jelas.
TTTTIIIIINNNNNNNNNN!!!!
Suara klakson memekakkan telinga terdengar dari belakang, Jhon melirik spion kemudian membanting setir ke kiri, menginjak rem dalam-dalam hingga terdengar suara berdecit.
"SHIT! KAU GILA!" Umpatan Sean menggelegar di dalam mobil. Untungnya, karena sabuk pengaman, ia tidak ikut terlempar seperti ponselnya, yang mendarat mulus di dashboard.
Jhon baru saja akan menjelaskan, ketika sepersekian detik kemudian, dari arah belakang melaju kencang sebuah mobil di samping mereka dengan kecepatan penuh dan menghantam pembatas jalan di depannya. Belum cukup sampai disitu, mobil itu terbalik dengan bagian depan ringsek dan kaca pecah berhamburan.
Pemandangan mengerikan itu membuat Sean mematung di tempatnya.
"ASTAGA.. YA TUHAN.." Jhon lebih dulu berseru. Dalam kepanikan, ia masih berusaha berpikir waras, menyambar ponsel hitam milik Sean dan menekan 911. Ia berbicara cepat dengan sesorang yang menjawab panggilannya. Menyebutkan secara rinci lokasi kecelakaan kemudian mengakhiri panggilan.
"Ini benar-benar kecelakaan yang serius.. semoga saja kita tidak terlibat." Jhon memandang Sean, bermaksud mengutarakan kecemasannya. Tapi hal yang ia lihat justru menambah level kecemasan dalam dirinya. Pria disampingnya membatu. Wajahnya sepucat kapas. Napasnya terdengar satu-satu. Kedua tangan yang berada di atas paha mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menggigil.
"Sean? Kau baik-baik saja?" Jhon bertanya was-was. Tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, suara sirine mobil polisi dan ambulans mendekat. Lokasi kecelakaan semakin ramai. Terdengar ketukan di jendela samping pengemudi yang kemudian dibuka Jhon. Seorang polisi berseragam.
"Anda baik-baik saja?" Polisi itu tersenyum ramah. Memandang Jhon kemudian ke arah Sean yang masih tak bergerak. Dari lokasi mereka yang hanya beberapa meter, pengemudi mobil di depanya terlihat di evakuasi dari dalam mobil. Ia terlihat sedikit bergerak. Sepertinya masih bernyawa.
"Ah.. iya, maksudku tidak.. temanku sedang tidak sehat. Aku harus segera mengantarnya pulang." Jhon kembali melirik Sean yang kini memejamkan mata.
Polisi itu kembali mengarahkan pandangan pada Sean yang masih diam tak bergerak dengan mata terpejam.
"Apa teman anda baik-baik saja? Perlu saya panggilkan ambulans?" Polisi itu menyelidik.
"Tidak perlu. Sepertinya dia cukup terkejut melihat kecelakaan di depan mata.."
Polisi itu mengangguk kemudian beranjak, ia mengarahkan mobil mewah itu memecah kepadatan. Orang-orang yang berkerumun segera minggir memberi jalan. Tampak tim medis berlalu lalang dan beberapa orang polisi berjaga.
Kini Jalan di depannya benar-benar bebas hambatan. Karena semua kendaraan tertahan sebelum mencapai lokasi kecelakaan. Hanya jalan berlawanan arah yang terlihat antrian mengular. Jhon memacu mobil dengan kecepatan maksimal.
"Sean.. katakan kalau kau baik-baik saja.." masih tak ada jawaban.
Level khawatir Jhon semakin meningkat melihat Sean dengan posisi meringkuk memeluk lutut.
Tubuh Sean masih tak bergerak. Hanya terdengar hembusan napas pelan yang menandakan dia masih hidup. Apartemen Jhon terlewat sudah. Ia tak berhenti. Terus melaju ke rumah milik Sean yang hanya butuh beberapa menit dengan kecepatan penuh seperti ini.
Gerbang tinggi berwarna hitam yang merupakan pagar rumah Sean, perlahan terbuka saat lampu mobil menyorot. Menampakkan dua orang yang berjaga disampingnya. Di sebuah pos kecil.
Gemerutuk conblock di halaman rumah yang tergerus roda terdengar nyaring dalam suasana rumah yang sudah sepi. Tapi setidaknya, masih ada gemericik air mancur di taman depan yang sangat luas itu. Dalam hitungan detik, mobil berhenti tepat di depan pintu. Jhon turun mendahului Sean. Membuka pintu tempat Sean dari luar.
Keadaan pria itu masih sama. Memeluk lutut sangat erat dengan mata terpejam. Sentuhan ringan dari Jhon di bahu membuatnya tersadar dan membuka mata perlahan.
"Kau baik-baik saja?" Jhon mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya.
"Hmm.. ya.." Sean menjawab dengan gumaman. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Napasnya mulai teratur. Ia keluar dari mobil. Masuk ke rumah tanpa berkata dan tanpa melihat Jhon yang masih kebingungan.
"Boss kenapa?" Aland, asisten dan orang kepercayaan Sean untuk mengurusi segala hal dan ia adalah salah satu yang tadi berjaga di gerbang menghampiri Jhon. Ia memandang lekat sosok Sean yang terlihat berbeda. Bahunya terkulai. Tatapan mata tegas dan wibawa yang biasanya selalu terpancar dari iris birunya seakan menguap entah kemana. Sesaat kemudian, pria itu menghilang di balik pintu.
"Tadi kami mengalami kecelakaan. Maksudku hampir." Jhon beranjak ke sisi samping mobil, menempati tempat yang semula diduduki Sean. Aland membulatkan mata terkejut. Belum sempat ia bertanya, Jhon kembali menimpali.
"Tolong antar aku ke apartemenku. Rasanya lelah sekali. Aku tidak sanggup mengemudi." Aland mengangguk, dan tak berapa lama berada di balik kemudi. Sepanjang jalan Ia mencecar Jhon dengan berbagai pertanyaan tentang kecelakaan dan sikap Sean yang terlihat berbeda.
Sementara itu, Sean menyeret langkah menuju kamarnya di lantai dua. Tubuhnya limbung. Ia membuka pintu dan mendapati keadaan kamar yang temaram. Semua lampu memang sesalu ia padamkan. Kecuali yang berada di samping ranjang.
Tanpa melepas jas dan hanya melempar sepatu dengan asal, Sean langsung bergelung di kasur. Tubuhnya meringkuk serupa janin. Kebencian,kesedihan dan kesakitan itu kembali ia rasakan. Ia menangis tanpa suara, tanpa air mata.
Kenangan buruk yang berusaha ia tepiskan saat berada dalam mobil bersama Jhon tadi kembali menguasai pikirannya. Ia bergelung semakin rapat ketika memori yang berusaha ia kubur kini membanjiri ingatannya.