Jarum jam terus berputar, memacu detik untuk terus berdetak memeras hitungan waktu. Suaranya begitu kontras di antara sunyi yang mengapit malam. Tubuh mungil milik gadis remaja itu sudah rebah di sebuah sofa kecil di tengah rumahnya, namun sepasang netranya masih saja bergerak tak beraturan. Sesekali ia memejam cukup lama, namun tak mengantarkannya pada lelap. Kepala kecilnya masih saja dipaksa untuk berspekulasi. Menerka apa yang tak dapat ia temui jawabnya.
Berkali-kali jemarinya mengusap layar handpone yang ada dalam genggamannya. Padahal ia tahu benar, tak akan ada yang berubah di sana. Hanya sebuah gambar pemandangan yang memenuhi layarnya tanpa satupun pemberitahuan pesan yang tersangkut di sana. Pesan yang ia kirimkan sore tadi sudah bertanda centang biru berjam-jam yang lalu, menandakan si penerima sudah membacanya. Namun, hanya itu. tak ada satu huruf pun yang muncul sebagai jawabnya.
“Apa kamu memang sesibuk itu, Kak? Tapi, ini kan sudah malam. Tak sempatkah kamu menjawab dengan satu huruf saja?” gumamnya lirih seraya memandangi pesannya yang tak berbalas.
“Lho, kenapa di sini, Za? Kamu belum tidur?” pertanyaan Kirana membuyarkan apa yang berlarian di kepalanya.
“Belum ngantuk, Bun,” jawabnya singkat, “Embun, kenapa bangun?” Ia bangkit dan bersila di atas sofa yang baru saja menjadi tempat tidurnya. Memberi ruang pada sang ibu untuk duduk di sampingnya.
“Dari kamar mandi,” jawab Kirana. “Ngobrol sama siapa kamu, jam segini belum tidur?” tanya Kirana masih dengan rasa herannya. Jarum jam sudah hampir berhimpit di angka dua belas, namun Farzana masih saja terjaga tanpa melakukan apapun. Tak jarang memang Farzana terjaga hingga menghabiskan sebagian besar waktu malamnya. Namun, itu ketika ia memang harus mengerjakan tugas-tugas sekolahnya yang sedang banyak-banyaknya. Ia tak pernah menghabiskan waktu malamnya dengan melamun seperti itu, kecuali ada hal yang mengganggu pikirannya.
“Ngga, Bun. Mana? Dari tadi juga ga bunyi handphonenya”
“Terus, ngapain dari tadi diliatin aja?”
“Ya karena ga bunyi-bunyi,”
“Memangnya kamu menunggu pesan dari siapa?”
Tak ada jawaban. Farzana belum memiliki keberanian untuk mengatakannya pada sang ibu. Jujur saja, ia tak mau ibunya menyadari bahwa ia sudah mengetahui apa yang disembunyikan ibunya. Ia hanya tidak ingin Kirana merasa membebani anak-anaknya, yang justru akan membuat kesehatannya semakin menurun karena pikirannya sendiri. Ia hanya ingin berusaha membahagiakan ibunya selama ia bisa.
“Bukan gitu, Bun,” katanya diiringi sebuah senyuman dan gelengan kepala. “Aku memang belum ngantuk, dari pada bosen ya udah buka handphone, tapi ternyata gitu-gitu aja. Yang tiba-tiba ngajakin ngobrol juga ga ada,” kilahnya.
“Ya udah, daripada bosen ga jelas, mending kamu wudhu terus shalat lanjut baca qur’an. Kan lebih manfaat,” saran Kirana yang dibalas dengan anggukan mantap dan sebuah senyuman.
“Siap, Bun. Ya udah Embun balik istirahat aja”
“Ya udah, Embun balik ke kamar duluan ya?” sekali lagi Farzana menggangguk menyetujui. Kirana pun bangkit dan kembali menuju kamarnya, meninggalkan Farzana kembali dalam renungannya. Sesekali nafasnya berhembus dengan berat. Entah apa yang benar-benar dipikirkannya. Banyak tanya yang berlomba-lomba mencari jawab. Namun, jawab itu pun tak kunjung hadir. Hingga akhirnya ia pun bangkit untuk mengikuti saran sang ibu. Membasuh, menyucikan dirinya untuk bersimpuh, bersujud di hadapanNya. Membiarkan setiap tanya berevaporasi bersama tetesan air wudhunya. Mengharap suatu saat Dia membisikkan sebuah jawab.
[]
Note :
Evaporasi : disebut juga penguapan, yaitu proses perubahan molekul di dalam keadaan cair dengan spontan menjadi gas. Umumnya penguapan dapat dilihat dari lenyapnya cairan secara berangsur-angsur ketika terpapar sinar dengan volume yang cukup signifikan.