“Vi, gimana? Sudah dapat kamera belum?”
Percakapanku dengan Sari terputus sesaat. Yang kudapati ketika menoleh ke arah suara yang memanggilku adalah Nouval yang kini sedang berjalan gontai menuju tempatku berdiri sambil memasang senyum cool ala-ala bad boy-nya. Rambut jambulnya yang tertata rapi dan balutan kaos polo biru dongker membuatnya semakin terlihat jangkung. Perlu kuakui, dengan penampilannya yang cukup menawan ini, tidak heran banyak kakak kelas cewek yang jatuh hati padanya.
“Belum, Val!” sambarku begiu dia berdiri di hadapanku. Saking tingginya dia, aku perlu mendongak untuk menatap wajahnya, demi etika kesopanan ketika berbicara. “Aku sudah tanya ke Kak Bening kemarin, ternyata dia udah nggak bawa kamera lagi ke sini sejak semester kemarin. Kalau Kak Alif, katanya sudah ada anak nonpanitia yang pinjam duluan buat hari H. Aku harus cari ke siapa lagi ya?”
Mendengar excuse-ku yang memang begitulah kenyataannya, Nouval hanya manggut-manggut saja. Bola matanya berputar ke atas dan alis matanya ikut berkerut. Dia tampak sedang berpikir sungguh-sungguh.
“Kalau telaten mencari, pasti ada kok. Banyak anak sekolah kita yang punya kamera. Tapi yang jadi masalah itu tersedia atau tidaknya ketika hari H ya hmm...”
“Bukannya si Gulam punya kamera ya?”
Sari yang daritadi hanya diam menyimpak disampingku tiba-tiba nyeletuk.
“Oh iya!” Nouval menjentikkan jarinya, raut mukanya berubah senang seolah sudah menemukan pencerahan. “Dia bawa dari rumah kok! Pinjam saja, pasti dikasih!”
“Gulam anak kelas 10-B?” nada bicaraku ragu. Aku melirik Sari dan Nouval bergantian, secara tersirat menunggu persetujuan.
“Iyaa, Gulam asal Blitar. Sahabat sejak SMP-ku,” jawab Sari mantap. Kali ini aku menoleh ke arah Sari dan masih memberi eskpresi ragu sebagai balasan kata-katanya.
“Aduh, masalahnya aku nggak kenal Gulam. Nggak pernah ngomong-ngomongan sama dia, bahkan jarang ketemu juga. Sekarang aku sih bisa membayangkan wajahnya, tapi samar-samar. Gimana dong? Aku sungkan.”
“Pinjam aja, yaelah. Gitu aja sungkan. Kamu butuh kamera nggak? Atau kukeluarin aja dari divisiku?” sindir Nouval sambil terkekeh kecil.
Walaupun aku tahu dia hanya bercanda, aku menanggapinya dengan serius. Sudah lama aku ingin menjadi panitia dari event besar sekolah supaya mendapat pengalaman di masa SMA-ku ini. Mana mau aku lepaskan posisi yang sudah kuperjuangkan sebegitu gampangnya. “Jangan, bos! Aku sudah nyaman banget dapat divisi dokumentasi. Gini saja, tolonglah aku ya, Val? Kamu kan sama-sama tinggal di asrama cowok bareng Gulam, tolong bilang kalau semisal kameranya nganggur pas acara graduasi nanti, aku mau pinjam. Ya? Ya?”
Sari menyenggol bahuku keras. “Enak aja! Pake nyuruh-nyuruh si Nouval segala. Ngomong langsung sendiri sana ke Gulam!”
“Sungkan aku, Sar! Orang juga ngga kenal, tiba-tiba aja pinjam kamera.”
“Nggak papa! Si Gulam baik hati dan humble kok. Pasti dia pinjemin. Sungkan apaan.”
“Okelah, aku minta tolong kamu aja deh buat ngomong ke dia? Plis.”
“Udah ngomong sendirii!!” sembur cewek berkulit putih langsat itu. Rambut hitam panjangnya ikut bergoyang-goyang sembari dia memukul-mukuli bahuku supaya menuruti ucapannya.
Aku kembali menoleh ke arah Nouval yang hanya dibalas anggukan kecil namun mantap. Aku menghela napas panjang. Tak ada lagi negoisasi dan tapi-tapian yang lain. Kedua temanku ini sudah mengindikasikan satu hal yang sama: bicaralah langsung sana ke orangnya.
“Oke oke, besok aku bakal ngomong sendiri ke Gulam,” ujarku mengalah. Toh yang butuh pinjam kamera juga aku, mau kenal orangnya ataupun tidak.
“Yess!” Sari berseru penuh kemenangan, layaknya anak kecil yang memenangkan lomba tujuh belas agustusan melawan teman-teman kecilnya.
Sejauh kumengingat kembali memori lamaku, itulah awal mulanya.
Kala itu, aku tidak mencurigai apa yang membuat Sari begitu bersemangat dan menggebu-nggebu untuk membuatku berbicara langsung ke Gulam tanpa perantara. Aku tidak menganalisis lebih lanjut ketidaktenangan hatiku perihal akan meminjam kamera ke Gulam, seseorang yang namanya hanya pernah kudengar dari lalu-lalang pembicaraan teman-teman sekolahku. Pun tidak ada firasat maupun prasangka bahwa kisahnya tidak selesai begitu saja saat aku mengembalikan kameranya Gulam nanti. Karena, hanya Tuhan Sang Penulis Skenario lah yang mengetahui bahwa cerita pinjam-meminjam kamera ini merupakan awal dari cerita rumit yang mengusik hari-hari normalku ke depannya.