Belum pernah seperti ini sebelumnya. Apa yang sebenarnya aku lamunkan? Apakah aku harus tersenyum? Oh iya, aku melamunkan pria itu. Walau hanya sekilas aku melihat, tapi kilauan kacamatanya setan. Apakah aku akan melihat lagi? Oh Tuhan apa aku sedang harapannya?
Baru kali ini aku memperhatikan orang lain. Lagi pula aku baru melihat setelah tiga tahun aku keluyuran di gedung teater ini. Oh, tubuhku mulai memanas. Aaaaa ... aku sangat senang. Rasanya aku ingin berteriak.
Eh? Nanti dulu. Aku ini Jean Andita bukan Dias Prakarsa si ganjen itu, gak semudah itu, aku akan terkecoh. Kembali ke jati diri. Aku tomboi, tapi tetap punya sisi feminim. Lagi pula itu hanya Ding. Aku harus mengenalnya. Tapi kalau aku melakukan itu ... aku sama dengan Dias. Ihhh… gak gak gak. Kita lihat saja nanti.
Ih, kenapa aku terus berpikir tentangnya? Hah. Dia hanya orang yang tidak jelas. Tapi jika aku terus berbicara seperti ini, itu artinya…. Oh, tidak… tidak mungkin. Jangan melamun Jean. Jangan melamun.
“Jean!” Panggil seseorang. Jean segera berhenti lalu berbalik. “Apa kamu marah? Itukan udah tiga tahun lalu!”
“Asal kakak tahu, ya! Aku.gak.peduli,” Jawab Jean cetus serta menekan kalimat terakhir.
“Jean, Jean!” Rangga menahan Jean untuk pergi.
“Apalagi, sih? Jangan ngulang apa yang udah terjadi, kak!”
“Tapi kakak…”
“Aku udah gak peduli,” Jean langsung berjalan pergi.
‘Hah. Gue telat lagi, harusnya gue nyadar dari dulu kalo Jean bener-bener suka sama gue. Dan sekarang semuanya sia-sia, Jean udah gak peduli lagi sama gue. Sialan!` gerutu Rangga dalam hati.
Beberapa meter di belakang Rangga, tampak seorang pria dengan tegap berdiri menatapi dua orang yang sedang bermasalah itu dengan tenang.
‘Ternyata namamu Jean si antagonis,’ batin pria itu sambil melihat Jean pergi dari gedung teater.
>>>>><<<<<
Jean masuk kembali ke kampusnya. Seperti biasa suasananya berisik, berantakan dan dipenuhi anak remaja yang sedang belajar untuk dewasa. ‘Lagi pula mereka belum remaja.’ pikir Jean.
Sebenarnya ia tidak ingin masuk sekolah hari ini, tapi entah apa yang mendorongnya untuk memilih melamun di kampus meneruskan lamunannya kemarin. Di bawah pohon rindang Jean duduk melamun. Tubuhnya mematung membiarkan semuanya begitu saja demi lamunannya.
Dua temannya Nisa dan Gina mendekatinya dan duduk di samping Jean. Dengan santai mereka menatap Jean yang terlihat aneh itu.
“Heh, kenapa lo diem aja?” Nisa menepuk bahu Jean dan Jean tetap tidak berkutik.
“Gak biasanya lo diem kaya ikan,” Ledek Gina. Tetapi, Jean tetap terlamun tanpa mimik yang menunjukan keadaannya.
“Cowok? Kak Rangga?” Tebak Nisa. Jean tetap tidak menjawab.
“Eh bener?! Kak Rangga apa kabar?” Sahut Gina.
“Dia baru lulus kemarin-kemarin dan baru pulang dua hari yang lalu.”
“Oh.”
“Semenjak pulang kak Rangga sering keluyuran. Ketemu temenlah, refresinglah, bukannya cari kerjaan. Cari jodoh kali, ya?” Sambung Nisa sambil melirik Jean. Gina juga melirik Jean.
“Gue pengen pulang!” Jean beralih menatap langit.
“Inget kampung?” Tebak Nisa.
“Maksudnya bolos, Nisa,” Kesal Jean.
“Aa… Pasti pengen ketemu sama kak Rangga, ya?” Tebak Gina.
“Heh, jangan asal nyeletuk aja lo.”
“Ah, kegeeran kayaknya bener,” Goda Nisa.
“Curhat, dong,” Minta Gina.
“Harus, ya?” Jean melirik Gina. “Udahlah gue mau bolos dulu, bye,” Sambung Jean yang kemudian berjalan menjauh dan menuju gerbang kampus.
Oleh Luthfita